• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Rule of Reason dan Perse Illegal Dalam Hukum Persaingan

PENDEKATAN EKONOMI DALAM MEMAHAMI PERSAINGAN USAHA

B. Konsep Rule of Reason dan Perse Illegal Dalam Hukum Persaingan

Dalam hukum persaingan usaha dikenal istilah perse Illegal(bersifat imperatif dengan interpretasi yang memaksa) dan rule of reason ( pembuktian yang rumit) yang mana keduanya memiliki makna yang berbeda.72 Teori perse ini lebih menitikberatkan kepada struktur pasar tanpa memperhitungkan kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas.73 Dengan kalimat lain, dapat dikatakan bahwa tindakan-tindakan yang jelas-jelas melanggar hukum persaingan usaha sehingga dengan serta merta dapat ditentukan sebagai tindakan yang illegal. Hanya dengan membuktikan bahwa tindakan telah dilakukan dan tanpa melakukan analisis lebih jauh terhadap dasar-dasar yang mungkin dikemukakan untuk membenarkan tindakan itu.74

Teori Rule of Reason ini lebih luas dari teori perse. Teori Rule of reason ini lebih berorientasi kepada prinsip efisiensi. Pendekatan Rule of reason diterapkan terhadap TindakanTindakan yang tidak bisa scara mudah dilihat ilegalitasnya tanpa menganalisis akibat tindakan itu terhadap kondisi persaingan. Dalam pendekatan rule of Reason diisyaratkan untuk mempertimbangkan factor-faktor seperti latar belakang dilakukannya tindakan tersebut, alas an bisnis dibalki tindakan tersebut serta posisi si pelaku tindakan dalam industri tertentu. Setelah mempertimbangkan factor-faktor tersebut, barulah dapat ditentukan apakah suatu

72 Ayudha D.Prayoga dkk, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia,

Partnership for Business Competition, Jakarta, 1998, hal.12.

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

tindakan bersifat illegal atau tidak.75 Pendekatan rule of reason ini diterapkan dengan menimbang-nimbang akibat negatif dari tindakan tertentu terhadap persaingan dengan keuntungan ekonomisnya.76 Pendekatan Rule of Reason dipergunakan Untuk mengakomodasi tindakan tindakan yang berada dalam “grey

area”, antara legalitas dan illegalitas. Dengan analisis pendekatan Rule of Reason

tindakan-tindakan yang berada dalam “grey area” namun ternyata berpengaruh positif terhadappersaingan akan menjadi berpeluang untuk diperbolehkan. Pendekatan Rule of Reason ini seakan-akan menjadi jaminan bagi para pelaku usaha untuk secara leluasa mengambil langkah bisnis yang mereka kehendaki, sepanjang langkah itu reasonable.77

Perbedaan antara hambatan yang bersifat mutlak atau tidak menjadi faktor penentu yang penting karena prinsip ini menentukan konsep pendekatan “rule of

reason” dan “perse rule” pada saat menentukan tindakan yang sifatnya anti

persaingan atau tidak. Dengan kata lain, paradigma Hukum Persaingan terfokus pada hal ini, bila hambatan itu mutlak maka pertimbangannya adalah perse illegal,

Hukum Persaingan mengenal beberapa konsep dalam mengenali hambatan (restraint) yang terjadi dalam suatu proses persaingan. Hambatan yang terjadi ada yang mutlak bersifat menghambat persaingan dan ada yang mempunyai pertimbangan dan alasan ekonomi. Sehingga dengan pertimbangan ataupun rasionalisasi yang dipengaruhi factor ekonomi, social dan keadilan maka dapat diputuskan bahwa tindakan tersebut dapat dianggap atau tidak menciptakan hambatan dalam proses persaingan.

74 Arie Siswanto, Op.Cit, hal.65 75 Ibid, hal 66

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

tetapi bila bersifat tambahan maka hanya akan dapat diputuskan berdasarkan pertimbangan pembenaran atau “reasonableness” alasannya. Dengan demikian penting untuk diketahui mengenai perbedaan antara hambatan yang sebenarnya maupun yang sifatnya artificial karena hambatan mutlakpun belum tentu pasti bersifat perse illegal.78

Sementara itu hambatan yang bersifat tambahan adalah secara fungsional merupakan bagian integral terhadap perjanjian. Hambatan tersebut adalah untuk memfasilitasi atau berfungsi menjalankan perjanjian tersebut. Dengan kata lain, transaksi tersebut adalah perjanjian utama dan hambatan hanya bersifat tambahan. Hambatan dapat saja merupakan elemen utama dari transaksi ataupuntambahan yang sifatnya adalah memproteksi elemen utama dari transaksi tersebut. Sehingga kunci utama untuk justifikasi hal ini adlah dengan melihat apakah para pihak merupakan bagian utama dari suatu kegiatan produksi. Juga dengan mempertimbangkan apakah perjanjian atau transaksi antara para pihak dan fungsi yang relevan dari hambatan terhatap perjanjian para pihak dimana fungsi merupakan unsure penentu yang penting. Dengan kata lain bahwa seluruh hambatan dalam akan dinyatakan melanggar hukum, kecuali apabila:79

a. hanya bersifat tambahan (ancillary) tehadap tujuan utama dari kontrak atau perjanjian yang legal, misalnya perjanjian yang berisikan kesepakatan dimana pembeli untuk tidak bersaing dengan pembeli atau pembeli tidak bersaingan dengan penjual yang membeli usaha penjual tersebut.

77 Arie Siswanto,Op.Cit, hal.47.

78 Ningrum Natasya Sirait, Hukum persaingan Usaha di Indonesia, Op.Cit, hal.72 79 Ibid, hal.73

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

b. Atau pegawai tidak akan bersaing dengan perusahaan yang memperkerjakannya dimana perjanjian tersebut memang dibutuhkan untuk melindungi usaha tersebut

c. Tidak berisi hambatan yang dianggap sangat tidak wajar (“exceeds the

necessity presented”).

Bila alasan pendukung sifatnya ekonomis menyatakan hambatan tersebut dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang produktif, tetapi mengakibatkan persaingan terhambat, maka bukan berarti hambatan itu dapat dikategorikan sebagai tambahan. Sehingga fungsi sangat menentukan dimana mereka akan tetap dikategorikan mutlak karena tidak memiliki hubungan fungsional tehadap produktivitas bersama tersebut. Oleh sebab itu argument mengenai efisiensi dapat dikemukakan baik dalam konteks hambatan yang sifatnya mutlak atau tambahan. Perbedaannya terletak bukan pada isu efisiensi, tetapi lebih pada bagaimana caranya mencapai tahap efisiensi tersebut. Sehingga untuk menda[patkan nilai maksimum, maka hambatan merupakan elemen utama dalam transaksi tersebut.80

80 Ibid, hal.73

Hambatan mutlak tujuan ekonominya adalah umtuk membatasi atau menghambat kebebasan ekonomi pihak lain. Contohnya adalah penetapan harga, dimana tidak terdapat alas an pembenaran kecuali persetujuan untuk menghambat persaingan. Pada saat para pihak setuju untuk membatasai kebebasan merekadalam berusaha dan mengekakan persaingan, maka dapat dikategorikan sebagi hambatan mutlak. Bentuk lainnya adalah dalam hal membagi wilayah, konsumen ataupun menetukan produk apa yang akan dijual dimana factor utama penetu adalah para pihak merupakan pesaing.

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

Sulit untuk menentukan penggunaan yhambatan yang sifatnya mutlak ataupun tambahan dalam menentukan suatu keadaan. Faktor “reasonableness” atau alas an dalam sifat pertimbangan sangant subjektif pada suatu kasus dan waktu dalam pasar yang kompetitif. Bila aplikasi hambatan mutlak diperlukan untuk melihat pertimbangan secara subjektif untuk setiap kasus, maka akan sulit untuk memutuskan karena mudah menjadi bias. Sehingga dibutuhkan analisis yang mengikutsertakan elemen mengenai permintaan dan penyediaan, tujuan social serta objektif dari Hukum persaingan yang mampu menjawab apakah suatu hambatan itu menguntungkan atau merugikan.

Secara yuridis hal inilah yang akan dihadapi oleh system hukum untuk setiap kasus. Karena memang ada kenyataan yang menunjukkan bahwa hambatan yang sifatnya mutlak justru menguntungkan masyarakat. Cara praktis untuk menyelesaikannya adalah dengan memikirkan suatu petunjuk komprehensif sesuai dengan sudut pandang ekonomi dan hukum yang cocok dengan peraturan yang berlaku dan sesuai dengan kepentingan umum.81

81 Ibid, hal.75

Oleh sebab itu peran sutau badan independen yang secara terus menerus memberikan pertimbangan dibutuhkan untuk memutuskan bila hambatan mutlak memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan sosial atau efisiensi. Implikasi analisis ini adalah bila hambatan itu bersifat mutlak maka haurus diputuskan mutlakmelanggar hukum, sebaliknya bila tidak maka harus dinyatakan bahwa tindakan itu legal. Sehingga tidak dibutuhkan adanya pertimbangan subjektif atau ditengahnya.

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

Bila tidak didapat alternatif lain maka hambatan tambahan tersebut dianggap beralasan karena pertimbangannya lebih efisien dan dalam ekonomi pasar. Tetapi bila ada alternatif lain, maka harus dipertimbangkan biaya dan akibat social dari hambatan ini. Karena semua hambatan tambahan akan berhadapan dengan analisis yang sifatnya subjektif per kasus maka penentu keputusan mungkin saja untuk mempertimbangkan biaya social atau keuntungan atau efeknya bagi masyarakat. Pertimbangan antara analisis kesejahteraan umum efisiensi sering menjadi acuan untuk memutuskan perbedaan antara hambatan yang sifatnya mutlak atau tambahan. Umumnya hambatan mutlak hanya kan menghambat persaingan dan mengakibatkan biaya social bagi mayarakat. Termasuk diantaranya perpindahan kesejahteraan dan alokasi yang tidak efisien dari sumber daya.82

Pada umumnya terdapat 2 pendekatan untuk melihat apakah pelaku usaha atau perusahaan diduga telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang Hukum Persaingan atau tidak. Yaitu dengan melihat pada:

Disamping itu dalam jangka panjang hal ini akan dapat menimbulkan distorsi pasar. Bila hambatan mutlak diijinkan maka seolah-olah memberikan kebebasan untuk pelaku pasar untuk mengeksploitas pasar. Walaupun demikian harus dilihat kenyataan bahwa misalnya, perjanjian yang sifatnya kartel juga mempunyai sisi ekonomi yang menguntungkan misalnya untuk menyelamatkan suatu keadaan dimana memang dibutuhkan perjanjian kartel untuk menjaga kestabilan harga atau pasokan. Sehingga untuk menghindarkan eksploitasi pelaku pasar maka dibutuhkan adanya pengawasan masyarakat.

83

82 Ibid, hal.76 83 Ibid, hal.77

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

a. Struktur pasar (market structure), misalnya perusahaan memiliki pangsa pasar lebuh dari indicator yang ditetapkan oleh undang-undang, yaitu 50% untuk 1 pelaku atau 75 % untuk 2 pelaku usaha atau lebih.

b. Perilaku (behavior) misalnya melalui tindakan atau perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut dengan pelaku usaha pesaingnya atau tidak, contohnya tindakan jual rugi (predatory pricing), perjanjian distributor tersebut dsb.

Pendekatan yang dipergunakan di banyak negara yang telah memberlakukan Hukum Persaingan adalah lebih menitikberatkan kepada pendekatan perilaku (behavior) yang bersifat anti persaingan. Kedua pendekatan yang telah disebut diatas tidaklah mudah penerapannya dalam kasus-kasus persaingan yang terjadi di masyarakat. Karena tidak semua orang mempunyai persepsi yang sama terhadap pengertian yang menyatakan suatu tindakan dinyatakan mutlak melanggar ataupun dapat diputuskan setelah melihat argumentasi dan alasan rasional tindakannya. Banyak metode yang telah dicoba oleh para akademisi, ahli Hukum Persaingan dan praktisi hukum untuk menetapkan aplikasi ini walaupun tuidak bersifat mutlak. Oleh sebab itu selama waktu ini, perdebatan masih tetap berlangsung dalam hukum persaingan ketika menentukan ukuran factor

reasonableness tersebut. Adapun factor-faktor yang perlu diperhatikan untuk

mengukurnya adalah :84

a. Akibat yang ditimbulkan dalam pasar dan persaingan b. Pertimbangan bisnis yang mendasari tindakan tersebut c. Kekuatan pangsa pasar (market power)

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

d. Alternatif yang tersedia e. Tujuan dari tindakan tersebut

Suatu tindakan atau perilaku baru dapat dikatakan bersifat anti persaingan (anti competitive behavior) adalah dengan melihat akibat dari tindakan tersebut, misalnya penetapan harga. Dalam ukuran perse illegal maka pihak yang menuduh melakukan pelanggaran hanya harus membuktikan bahwa tindakan itu benar dilakukan tanpa harus membuktikan efek atau akibatnya. Tindakan yang dilakukan itu juga tidak memiliki pertimbangan bisnis atau ekonomi yang rasional dan dapat dibenarkan, misalnya penetapan harga hanya dengan tujuan untuk mengelakkan persaingan. Dalam hal ini pemisahan yang tegas antara pendekatan

perse illegal dan rule of reason dinyatakan dengan bright line test (perse rules).

Selebihnya dengan melihat pakah unsur alasan dengan jalan mengevaluasi tujuan dan akibat dari tindakannya dalam suatu pasar atau proses persaingan.85

Pasal-pasal dalam Undang-undang No.5/1999 menggambarkan bentukdari pendekatan perse illegal ini melalui pasal yang sifatnya imperative dengan intepretasi yang memaksa. Sebagai kebalikan dari pendekatan perse illegal maka pendekan rule of reason menggunakan alasan pembenaran apakah tindakan tersebut walaupun bersifat anti persaingan tetapi mempunyai alasan pembenaran yang menguntungkan dari pertimbangan sosial, keadilan ataupun efek yang ditimbulkannya serta juga unsur maksud (intent). Dalam substansi UU No.5/1999 umumnya mayoritas juga menggunakan pendekatan rule of reason. Dalam undang-undang no.5/1999 maka substansi pasal-pasalnya yang menggunakan Pendekatan Rule of Reason dan Perse Illegal dalam UU No.5/1999

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

pendekatan rule of reason tergambar dalam konteks kalimat yang membuka alternatif interpretasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam undang-undang apakah telah mengakibatkan terjadinya praktek monopoli ataupun praktek persaingan tidak sehat.86

Pasal yang menyiratkan unsur pendekatan rule of Reason dalam UU No.5/1999 tergambar dalam ketentuan pasal-pasal yang berbunyi sebagai berikut ini adalah dalam kalimat yang membuka peluang dengan melihat akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan yang sebelum dinyatakan melanggar undang- undang, yaitu:87

a. Pasal 1 ayat 2 “…sehingga menimbulakn persainganusaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”

b. Pasal 4 ”… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”

c. Pasal 7,21,22 dan 23 ”…Yang dapat mengakibatkan terjadinya persainganusaha tidak sehat”

d. Pasal 8 “…. Sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 9 “.. sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktrek monopoli dan atua persaingan usaha tidak sehat’.

e. Pasal 10 ayat (2) “…sehingga perbuatan tersebut : (a) merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain”.

f. Pasal 11,12,13,16,17,19 “…yang dapat mengakibatkan trejadinya persaingan usaha tidak sehat”

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

g. Pasal 14, “…yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau dapat merugikan masyarakat”.

h. Pasal 18,20,26,”… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

i. Pasal 28 ayat (1) dan (2) “…yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat”.

Dengan melihat beberapa isi pasal diatas, maka sejak awal memang telah banyak asumsi yang disampaikan bahwa substansi UU No.5/1999 mengandung berbagai kerancuan yang dapat menimbulkan masalah Dallam interpretasinya. Oleh sebab itu telah banyak juga masukan dan kritik agar undang-undang ini diamandeman untuk memberikan kejelasan dalam penerapan hukumnya.

Manahan : Perilaku Pelaku Usaha Untuk Menjadi Posisi Dominan Melalui Pemilikan Saham Yang Bertentangan Dengan UU No.5/1999, 2007.

USU Repository © 2009

BAB IV

PERILAKU PELAKU USAHA UNTUK MENJADI POSISI DOMINAN