• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Self dan Imago Dei menurut C.G Jung …. 32

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL SILENCE,

2.4. Individuasi menurut C.G Jung

2.4.1 Konsep Self dan Imago Dei menurut C.G Jung …. 32

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Self (diri) adalah satu unsur yang melampaui ego yang sadar. Ia bukan hanya meliputi psike (jiwa) yang sadar, tetapi juga psike yang tak sadar, dan karena itu boleh dikatakan ada satu kepribadian yang juga ada pada kita. Hampir tidak ada harapan pada kita bahwa kita pernah mampu mencapai satu kesadaran yang tepat tentang self (diri), sebab betapa pun banyak hal yang kita sadari, selalu akan ada sejumlah unsur tak sadar yang tak jelas dan tidak dapat ditentukan. Jung juga mengatakan “Self merupakan tujuan hidup kita, karena dia adalah pernyataan yang paling lengkap dari komposisi yang mau tak mau harus diterima (sudah menjadi nasib) dan itu kita sebut individualitas.”

Menurut Jung, terdapat relasi erat antara self dan Yang Maha Esa.Secara empiris self muncul secara spontan dalam rupa lambang-lambang spesifik. Dalam sejarah, lambang-lambang ini dipercayai sebagai gambaran Allah. Jung juga menegaskan bahwa kehadiran Allah dalam pangalaman psike yang mendalam tampak sebagai self , dan seluruh ajaran agama dan semua sistem teologi membuktikan fakta bahwa self adalah salah satu rumusan yang palng biasa dan paling asli untuk mengungkapkan kenyataan Allah. Lambang totalitas self sering dialami secara nominous sebab dialami sebagai

“kepenuhan Ilahi”. Bagi Jung, kata nominous menunjuk kepada sesuatu yang tak bisa diungkapkan, yang penuh rahasia, yang menakutkan dan mempesona, yang sama sekali lain. Dengan kata lain, nominous istilah untuk sesuatu yang dialami langsung tapi tak bisa diungkapkan, misterius dan menggetarkan. Dan semua sifat ini hanya dapat dialami secara langsung berhadapan dengan yang Ilahi.

Mengenai Gambaran Allah, Jung mengatakan bahwa Gambaran Allah (Imago Dei) bukan hasil khayalan manusia, tetapi suatu pengalaman yang spontan menimpa manusia. Setiap orang dapat dengan mudah mengetahui hal itu, apabila orang itu tidak lebih suka menjadi buta karena prasangka-prasangkanya sendiri daripada mencari kebenaran. Bagi Jung, Imago Dei adalah faktor yang ditemukan dalam psike (jiwa), merupakan fungsi psikologis yang mutlak harus ada dan bersifat irasional serta merupakan pengalaman asli manusia. Sebagai empirikus, Jung tidak dapat menarik kesimpulan lain daripada bahwa di dalam jiwa manusia terdapat satu “fungsi religius yang asli” dan “lambang-lambang asli” serta ada faktor-faktor psikis yang bersesuaian dengan figur-figur yang Ilahi. Self yang dalam bentuk Imago Dei dapat mewakili Allah dan dapat mengarahkan dan menentukan hidup kita.

2.4.2 Kristus Sebagai Imago Dei

Dalam Konsep Self dan Imago Dei, selain Kristus sebagai Imago Dei, Jung juga mengemukakan Budha sebagai Imago Dei. Namun pembahasan dalam novel ini hanya menyangkut tokoh utama dengan Kristus (sebagai Imago Dei) maka dalam bagian ini hanya akan digunakan konsep Jung tentang Kristus sebagai Imago Dei. Menurut Jung, lambang Kristus sangat penting bagi ilmu psikologi, sebab lambang Kristus merupakan lambang dari Self yang paling maju dan berkembang. Jung menganggap Kristus sebagai sebuah contoh lain dari Imago Dei.

Menurut Jung, sebagai manusia, Kristus adalah individu yang unik dan tak terulang serta yang paling khas, tetapi sebagai Allah, bersifat universal dan abadi. Self

Dei, maka bersifat universal dan abadi. Dan Kristus sebagai penyatuan antara dua kodrat ialah yang manusiawi dan yang Ilahi mencerminkan fakta psikologis ialah bahwa Kristus sebagai manusia melambangkan ego dan sebagai Allah melambangkan self. Namun juga terdapat perbedaan antara self dan tokoh Kristus yang sebenarnya kurang begitu jelas.

Perbedaan ini terdapat dalam hal “kesempurnaan” dan “keutuhan”. Gambaran Kristus dibayangkan sebagai “sempurna”, sedangkan arketipe self dimaksudkan sebagai

“keutuhan” yang jauh dari sempurna. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa seberapa banyakpun hal yang manusia sadari akan selalu ada juga hal-hal yang tak disadari dan tak jelas sehingga membuat manusia tidak pernah mampu menjadi diri yang sempurna. Itu sebabnya kita tak pernah mampu mencapai satu kesadaran yang tepat tentang self.

Perwujudan dari self harus menghadapi dan mengakui sifat paradoksalnya.

Perwujudan self mengandaikan bahwa kita harus masuk kedalam konflik-konflik fundamental dari pertentangan-pertentangan dalam self itu. Manusia yang menderita dalam proses individuasi seolah-olah bergantung pada salib pertentangan seperti Yesus yang menderita pada salibnya bergantung di antara dua penjahat, disisi kiri dan kanannya.

Kristus di atas salib melambangkan usaha pahit manusia untuk mencapai kepenuhannya, melambangkan keutuhan psikisnya yang susah payah untuk mewujudkan keutuhan psikisnya.

Lambang Kristen, penyaliban, justru menghapuskan keadaan konflik dan keadaan gawat yang disebabkan karena manusia belum ditebus. Lambang salib menyatakan bahwa justru manusia yang menderita merupakan titik pertemuan. Di titik itulah pertentangan-pertentangan yang hidup dengan paling keras bertabrakan dan mereka

berusaha untuk saling dipersatukan. Menurut Jung, salib adalah pengalaman sedih yang paling intens bahwa pertentangan-pertentangan sangat dipertajam dan tak dapat ditahan, tetapi justru pengalaman pahit ini merupakan syarat psikologis yang mutlak harus ada supaya manusia dapat mengalami kemungkinan penyalamatan dari luar (dan bukan penyelamatan diri). Psikologi Kristen mempunyai pengertian dalam terhadap fakta bahwa penebusan tidak berarti mengambil sebuah beban yang tidak mau dipikul oleh kita sendiri.

Hanya seseorang yang utuh yang dapat mengalami betapa berat beban manusia bagi dirinya sendiri.

Kristus sebagai yang disalibkan dan sebagai manusia sejati adalah gambaran yang dengan sangat baik melukiskan tujuan dari usaha etis manusia. Sengsara Kristus adalah lukisan dari sengsara yang harus dialami setiap manusia dalam proses individuasinya yang akhirnya membawa kepada mekarnya self. Itu berarti bahwa apa yang terjadi dalam kehiupan Kristus, terjadi selalu dan dimana-mana. Kristus adalah penjelmaan self yang berjuang untuk mengatasi dunia. Jung mengatakan, dalam agama Kristen lebih ditekankan aspek penderitaan. Kristus tahu bahwa Ia harus mengorbankan diri dan bahwa itulah jalan kehidupannya dari dalam Dirinya sendiri.

Dengan demikian, Kristus dalam agama Kristen menjadi satu contoh yang terdapat dalam setiap orang Kristen sebagai inti kepribadian yang integral; Kristus menjadi gambaran perkembangan self. Sehingga individu tidak mengikuti jalannya sendiri menuju keutuhannnya tetapi berusaha meniru jalan yang ditempuh oleh Kristus.

Dokumen terkait