• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

Karya sastra pada umunya merupakan hasil imajinasi dari seorang pengarang.

Seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren dalam Pradopo (2002 : 81) bahwa karya sastra pada hakekatnya merupakan sebuah hasil imajinasi dari seorang pengarang.

Karya fiksi psikologis merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan

cara lebih banyak mengkaji perwatakan daripada mengkaji alur atau peristiwa (Cuddon dalam Albertine, 2010:53).

Di dalam karya sastra fiksi terdapat dua unsur yang sangat mempengaruhi yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Salah satu unsur intrinsik yang akan ditelaah dalam novel ini adalah tokoh. Seorang tokoh dalam novel berbeda dengan tokoh sejarah atau tokoh yang hidup. Tokoh novel muncul dari kalimat-kalimat yang mendeskrispikannya dan dari kata-kata yang dikatakan si tokoh tersebut. Tokoh adalah para pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2000:79).

Sebuah novel dapat dikatakan berhasil apabila pembaca mampu memahami dan menghayati cerita dalam novel tersebut. Untuk menghasilkan keberhasilan itu tentu saja diperlukan keterlibatan antara penulis dengan para tokoh tentang apa saja yang akan dilakukan tokoh tersebut, apa saja yang dipikirkan, bagaimana perasaan para tokoh, serta mengapa para tokoh bertindak sedemikian rupa sehingga melahirkan permasalahan atau disebut juga dengan konflik. Konflik yang dihadirkan oleh seorang pengarang tidak luput dari kenyataan bahwa keberadaannya merupakan bagian dari kehidupan manusia.

Sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan, seringkali timbul adanya konflik.

Watak setiap tokoh di dalam karya fiksi selalu berbeda-beda, seperti halnya di dalam kehidupan nyata. Watak seorang tokoh dapat menggambarkan psikologi tokoh tersebut. Walaupun psikologi termasuk unsur ekstrinsik tetapi keberadaan unsur ini sangat mempengaruhi jalan sebuah cerita dari karya fiksi tersebut.

Psikologi sastra adalah studi tipe atau pribadi dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra (Wellek dan Warren dalam Budianto, 1989:90). Psikologi

sastra dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berbeda pada situasi setengah sadar (subconscious), setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious).

Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga meneliti aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga pembaca merasa terbuai oleh problema psikologis kisahan yang kadang kala membuat dirinya merasa terlibat dalam cerita (Endraswara dalam Albertine, 2010:55).

Oleh karena itu, penulis akan menggunakan teori konflik batin dan psikologi analitis yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung yaitu konsep Self dan Imago Dei (Gambaran Allah). Menurut Jung, terdapat relasi antara self dan pengalaman akan Yang Maha Esa. Jung mengatakan “Gambaran Allah serupa dengan arketipe self”.

Di dalam novel Silence diceritakan konflik batin tokoh utama yaitu Sebastian Rodrigues, yang mengalami dilema harus memilih menyangkal imannya demi menyelamatkan orang Kristen di Jepang atau mempertahankan imannya dan tega membiarkan orang Kristen disiksa. Rodrigues merasa setiap siksaan yang dialaminya sama seperti siksaan yang dirasakan oleh Kristus. Dilema Rodrigues memuncak ketika Tuhan yang ia yakini seolah diam tanpa berbuat apapun untuk menyelamatkan umatnya dari kesengsaraan.

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan

Meneliti suatu karya sastra berarti harus menggunakan salah satu teori sastra atau dapat juga dikatakan pendekatan sastra. Di dalam penulisan ini, teori yang akan digunakan penulis adalah teori konflik batin dan psikologi analitis C.G Jung.

Pendekatan psikologi adalah ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia baik itu sebagai individu maupun kelompok.Atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala jiwa manusia.Untuk mengungkapkan gejala-gejala kejiwaan dalam diri tokoh utama, maka penulis menggunakan konsep Self dan Imago Dei menurut Carl G.

Jung.

Konsep teori Jung, penulis rasakan cocok dan sesuai untuk membahas tokoh utama dalam novel ini dibandingkan teori Freud. Jung dengan konsep naluri bawaan mengatakan bahwa manusia sejak lahir mempunyai bawaan adanya gambaran Allah.

Gambaran Allah bukan hasil dari khayalan manusia, tetapi satu pengalaman yang secara spontan menimpa manusia. Sedangkan Freud menyebut agama sebuah ilusi, neurose (gangguan mental lunak) yang menghalangi pemikiran kritis dan pemenuhan sikap kekanak-kanakan. Sehingga jelas bahwa konsep agama menurut Jung dan Freud sangat berbeda.

Self (diri) adalah satu unsur yang melampaui ego yang sadar. Ia bukan hanya meliputi psike (jiwa) yang sadar, tetapi juga psike yang tak sadar, dan karena itu boleh dikatakan ada satu kepribadian yang juga ada pada kita. Hampir tidak ada harapan pada kita bahwa kita pernah mampu mencapai satu kesadaran yang tepat tentang self (diri), sebab betapa pun banyak hal yang kita sadari, selalu akan ada sejumlah unsur tak sadar yang tak jelas dan tidak dapat ditentukan. Jung juga mengatakan “Self merupakan tujuan

hidup kita, karena dia adalah pernyataan yang paling lengkap dari komposisi yang mau tak mau harus diterima (sudah menjadi nasib) dan itu kita sebut individualitas.”

Menurut Jung, terdapat relasi erat antara self dan Yang Maha Esa. Secara empiris self muncul secara spontan dalam rupa lambang-lambang spesifik. Dalam sejarah, lambang-lambang ini dipercayai sebagai gambaran Allah. Jung juga menegaskan bahwa kehadiran Allah dalam pangalaman psike yang mendalam tampak sebagai self. Self yang dalam bentuk Imago Dei dapat mewakili Allah dan dapat mengarahkan dan menentukan hidup kita. Kemudian mengenai konsep Jung tentang Kristus sebagai Imago Dei, ia mengatakan bahwa Kristus sebagai yang disalibkan dan sebagai manusia sejati adalah gambaran yang dengan sangat baik melukiskan tujuan dari usaha etis manusia. Sengsara Kristus adalah lukisan dari sengsara yang harus dialami setiap manusia dalam proses individuasinya yang akhirnya membawa kepada mekarnya self. Kristus dalam agama Kristen menjadi satu contoh yang terdapat dalam setiap orang Kristen sebagai inti kepribadian yang integral.

Dalam hal ini, seperti yang dikemukakan Jung bahwa self memiliki relasi dengan Imago Dei. Self juga bisa dikatakan sebagai kepribadian atau diri sendiri. Self menyeimbangkan keseluruhan aspek sadar dan tak sadar yang ada dalam diri manusia.

Self membimbing manusia kearah aktualisasi diri (individuasi) untuk menjadi diri yang utuh dan sempurna. Hal itu merupakan tujuan hidup manusia meskipun jarang tercapai, karena seberapa banyakpun hal yang manusia sadari akan selalu ada juga hal-hal yang tak disadari dan tak jelas sehingga membuat manusia tidak pernah mampu menjadi diri yang sempurna. Dalam proses individuasi yaitu perjalanan untuk menjadi diri sejati, pada saat

bentuk pengalaman yang paling dekat dengan self yang mampu dicapai oleh kebanyakan manusia. Manusia menjadikan gambaran Allah yang ada dalam dirinya sebagai teladan menuju kepribadian yang utuh. Kristus merupakan gambaran Allah yang muncul dalam agama Barat. Sengsara yang dialami Kristus merupakan gambaran kesengsaraan yang harus dialami setiap manusia dalam proses menjadi diri sendiri. Proses ini seringkali menyakitkan karena mau tidak mau manusia harus menerima hal-hal yang biasanya dihindari ataupun tidak disukai, namun hal ini yang akhirnya membawa manusia kepada berkembangnya self.

Konflik adalah percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Dalam sastra diartikan bahwa konflik merupakan ketegangan atau pertentangan didalam cerita rekaan atau drama yakni pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya. Konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih, atau keinginan yang saling bertentangan untuk mengusai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku. Pendapat lain mengenai jenis konflik disebutkan oleh Dirgagunarsa (dalam Sobur 2003: 292-293), bahwa konflik mempunyai beberapa bentuk, antara lain sebagai berikut.

1. Konflik mendekat-mendekat (approach-aproach conflict)

Konflik ini timbul jika suatu ketika terdapat dua motif yang kesemuanya positif (menyenangkan atau menguntungkan) sehingga muncul kebimbangan untuk memilih satu di antaranya.

2. Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict)

Konflik ini timbul jika dalam waktu yang sama timbul dua motif yang berlawanan mengenai satu objek, motif yang satu positif (menyenangkan),

yang lain negatif (merugikan, tidak menyenangkan). Karena itu ada kebimbangan, apakah akan mendekati atau menjauhi objek itu.

3. Konflik menjauh-menjauh (avoidance-avoidance conflict)

Konflik ini terjadi apabila pada saat yang bersamaan, timbul dua motif yang negatif, dan muncul kebimbangan karena menjauhimotif yang satu berarti harus memenuhi motif yang lain yangjuga negatif.

Pada umumnya konflik dapat dikenali karena beberapa ciri, menurut Dirgagunarsa (dalam Sobur, 2003:293) adalah sebagai berikut:

1. Terjadi pada setiap orang dengan reaksi berbeda untuk rangsangan yangsama.

Hal ini bergantung pada faktor-faktor yang sifatnya pribadi.

2. Konflik terjadi bilamana motif-motif mempunyai nilai yang seimbang atau kira-kira sama sehingga menimbulkan kebimbangan dan ketegangan.

3. Konflik dapat berlangsung dalam waktu yang singkat, mungkin beberapa detik, tetapi bisa juga berlansung lama, berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Dalam analisis ini, penulis hanya akan menggunakan teori konflik menjauh-menjauh, yaitu konflik yang terjadi apabila pada saat bersamaan, muncul motif yang dua-duanya sama tidak menyenangkan. Namun mau tidak mau, harus memilih salah satu dari kedua motif itu. Tokoh Rodrigues dalam novel Silence, sering dihadapkan dengan dua pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan untuknya. Sehingga muncul kebimbangan dan konflik dalam batinnya untuk memilih salah satu dari dua pilihan tersebut. Oleh karena itu penulis menggunakan teori konflik menjauh-menjauh untuk menganalisis

Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda (Pradopo, 2003:72-73). Pada pandangan semiotik yang berasal dari teori Saussure dalam Nurgiyantoro (1995:39), bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa bersifat mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Oleh karena itu, penulis akan menganalisis psikologis tokoh utama Sebastian Rodrigues dalam novel Silence menggunakan pendekatan semiotik yang digunakan untuk menjabarkan tanda-tanda psikologis yang akan dilihat dari teori konflik batin serta konsep Self dan Imago Dei melalui tokoh cerita yang terdapat dalam novel tersebut.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dokumen terkait