• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Sistem Pemasyarakatan

2.4.1 Konsep Sistem Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini yaitu secara konseptual

dan historis. Sangat berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan.

Pembinaan narapidana menurut sistem kepenjaraan terkesan sebagai lembaga

pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku, sedangkan dalam sistem

pemasyarakatan azas yang dianut menempatkan narapidana sebagai subjek yang

dipandang sebagai pribadi dan warga negara, serta dihadapi bukan dengan latar

belakang pembalasan melainkan dengan pembinaan terarah yang kedepannya

dapat menyadarkan sipelaku kejahatan.

Dalam Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan

ditegaskan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan narapidana agar

dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan

menunjukan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai pelembagaan respon

masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada hakekatnya merupakan

pola pembinaan yang berorientasi pada masyarakat. Peran serta masyarakat harus

dipandang sebagai suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan.

Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya

perbaikkan perlakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara, yaitu:

“Orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara, dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakkan balas dendam dari negara, tobat tidak akan dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan pembinaan, terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan terpidana kehilangan kemerdekaan, negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang itu kedalam masyarakat” (Harsono, 1995:1).

Pada tanggal 15 juli 1963, pada penganugerahan gelar Doctor Hounouris

Causa dalam ilmu hukum, Sahardjo dalam pidatonya menyatakan:

a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita akibat dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.

b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan (Muladi,

Dalam Konperensi Dinas Pemasyarakatan yang pertama kali pada tanggal

27 april 1964 pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut pada akhirnya dijabarkan

dan dirumuskan sebagai sistem pembinaan narapidana sebagai berikut:

1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan diberikan kepadanya bekal hidup

sebagai warga yang baik, yakni masyarakat Indonesia yang menuju ke tata

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bekal hidup tidak

hanya berupa finansiil dan materiil, tetapi yang juga lebih adalah mental, fisik,

keahlian, keterampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan

yang potensiil dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar

hukum dan berguna dalam pembangunan negara.

2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap

narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara

perawatan atau penempatan. Derita yang dihilangkan hanya kemerdekaannya.

3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.

Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma

kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang

lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk

menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada

sebelum ia masuk lembaga. Karena itu harus diadakan pemisahan antara:

a. Yang residivis dan yang bukan.

c. Macam tindak pidana yang dibuat.

d. Sudah tua (40 tahun keatas), dewasa (25-40 tahun), remaja (18-25 tahun).

e. Orang terpidana dan orang tahanan.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus diperkenalkan

dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Pada waktu

mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan

pengasingan dari masyarakat. Kini menurut sistem pemasyarakatan mereka

tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara “kultural”. Secara

bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang

merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.

6. Pekerjaan diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu,

atau hanya diperuntukan kepentingan Jawatan atau kepentingan Negara

sewaktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus suatu pekerjaan di masyarakat

yang ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi

pekerjaan narapidana dengan pembangunan.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila. Pendidikan dan

bimbingan harus berisikan asas yang tercantum didalam pancasila, kepada

narapidana harus diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan

ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, toleransi, kekeluargaan,

bermusyawarah untuk bermufakat positif. Narapidana harus dimanfaatkan

8. Tiap manusia harus diperlakukan sebagai layaknya manusia, meskipun telah

tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukan kepada narapidana bahwa ia itu adalah

penjahat. Ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai

manusia. Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap

maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan

agar narapidana mendapat mata pencaharian untuk keluarga dengan jalan

menyediakan/memberikan pekerjaan upah. Bagi pemuda dan anak-anak

disediakan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun diberi kesempatan

kemungkinan mendapatkan pendidikan diluar lembaga.

10.Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai

dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan

lembaga-lembaga yang berada di tengah-tengah kota ke tempat-tempat yang

sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.

Sistem yang baru ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem

Pemasyarakatan” yang juga merupakan tujuan dari pidana penjara. Di dalam

pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan karena dalam sistem

pemasyarakatan narapidana hanya dibatasi bergeraknya saja sedangkan hak-hak

kemanusiaannya tetap dihargai. Maka dengan itu dapat diuraikan bahwa usaha

pergantian dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang dikenal

Bangsa Indonesia dan memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, sebagai

individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat.

Didasarkan atas pertimbangan sistem kepenjaraan sudah tidak sesuai lagi

dengan kepribadian bangsa Indonesia yang di dalam kehidupan sehari-hari selalu

berpedoman dan berlandaskan kepada falsafah Pancasila. Sistem pemasyarakatan

2.4.2 Pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan

Pemasyarakatan adalah sebuah proses “therapoutie” yaitu proses

pembinaan yang bertujuan membina warga binaan yang sementara tersesat

hidupnya karena kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Narapidana yang dibina

harus bisa dikembangkan rasa tanggung jawabnya untuk menyesuaikan diri

dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat agar selanjutnya

berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.

Untuk mencapai hal ini maka dilakukanlah pembinaan secara kelompok dan

perorangan.

Bimbingan sosial kelompok bertujuan untuk meningkatkan fungsionalitas

sosial individu-individu melalui pengalaman-pengalaman kelompok yang disusun

secara sadar dan bertujuan. Kelompok digunakan sebagai target kegiatan-kegiatan

interventifnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, karena

pertimbangan bahwa penggunaan kelompok merupakan mekanisme yang lebih

baik, dan bahwa kelompok memiliki kekuatan yang apabila digali dan

dikembangkan dapat merupakan sumber penyembuhan dan pengembangan bagi

Sedangkan pembinaan yang diselenggarakan secara perorangan adalah

suatu proses yang digunakan oleh badan sosial tertentu untuk membantu individu

agar dapat memecahkan masalah didalam kehidupan sosial mereka secara lebih

efektif. Definisi ini mempunyai empat bagian pokok yang menjadi unsur-unsur

yang saling berhubungan dengan yang lainnya. Titik pokok dari bimbingan

perseorangan ini adalah: seseorang (person) dengan suatu masalah (problem)

datang ke suatu tempat (place) dimana seseorang pekerja yang berwenang

menolong dia dengan suatu proses (proces) (Perlman,1991:1).

Dalam peraturan pemerintah RI No. 31 Tahun 1999 tentang pembinaan

dan pembimbingan narapidana pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan

“pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, perilaku, profesional, kesehatan

jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.

Menurut Mangunhardjuna pembinaan adalah:

“suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang dimiliki dan mempelajari hal-hal yang baru yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif” (Harsono, 1995:70).

Pembinaan merupakan aspek utama dalam sistem pemasyarakatan sebagai

upaya pembinaan/bimbingan menjadi indikator dari pelaksanaan sistem

pemasyarakatan. Pengertian akan sebab orang melanggar norma akan dapat

membantu menemukan cara yang terbaik untuk pembinaan terhadap sipelanggar

hukum atau narapidana, karena itu ada hubungan antara mencari sebab kriminal

dengan mencari sistem pembinaan yang efektif (Mardjono Reksodiputro, 1994:3).

Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan itu

adalah membina narapidana dalam usaha perbaikan terhadap tingkah laku yang

menyimpang. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan perseorangan yaitu

metode social case work: cara menolong seseorang dengan konsultasi untuk

memperbaiki hubungan sosialnya dan penyesuaian sehingga memungkinkan

mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermanfaat.

2.4.2.1 Wujud Pembinaan

Wujud pembinaan adalah:

1. Pembinaan yang dilakukan dalam gedung lembaga pemasyarakatan yang

meliputi:

a. Pendidikan umum, pemberantasan tiga buta (buta aksara, buta angka, buta

bahasa).

b. Pendidikan keterampilan, kerajinan tangan, menjahit, dan sebagainya.

c. Pembinaan mental, spiritual dan pendidikan agama.

d. Sosial budaya, kunjungan keluarga dan lain-lain.

e. Kegiatan rekreasi, diarahkan pada pemupukan kesegaran jasmani dan

2. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan di luar gedung lembaga

pemasyarakatan:

a. Belajar di tempat latihan kerja milik lembaga pemasyarakatan.

b. Belajar di tempat latihan kerja milik industri/dinas lain.

c. Beribadah, sembahyang di mesjid, gereja dan lain sebagainya.

d. Berolahraga bersama masyarakat.

e. Pemberian bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas.

f. Pengurangan masa pidana/remisi.

2.4.2.2 Proses Pembinaan

Empat tahap proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan:

Tahap pertama :Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap narapidana

untuk mengetahui hal ikhwal yang bersangkutan.

Tahap kedua :Bilamana proses pembinaan telah berjalan

selama-lamanya sepertiga dari masa pidananya dan menurut

Dewan Pembina Pemasyarakatan sudah terdapat kemajuan

(insyaf, disiplin, patuh terhadap peraturan tata tertib),

maka yang bersangkutan ditempatkan pada Lembaga

Pemasyarakatan dengan sistem keamanan yang medium

(medium security), dengan kebebasan yang lebih banyak.

Tahap ketiga :Bilamana proses pembinaan telah berlangsung selama

setengah dari masa pidananya dan menurut Dewan

baik secara fisik, mental maupun keterampilannya, maka

dapat diadakan asimilasi dengan masyarakat luar.

Tahap keempat :Bilamana proses pembinaannya telah berlangsung selama

dua pertiga dari masa pidananya atau sekurang-kurangnya

sembilan bulan, maka kepada yang bersangkutan dapat

diberikan lepas bersyarat, atas usul dari Dewan Pembina

Pemasyarakatan.

Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk memperoleh asimilasi

narapidana harus telah menjalani ½ (setengah) dari masa pidana dikurangi masa

tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum

tetap. Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga

pemasyarakatan. Untuk memperoleh pembebasan bersyarat narapidana harus telah

menjalani ⅔ (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap

(Harsono, 1995:31).

Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana luar

lembaga pemasyarakatan, bagi terpidana yang tidak dapat diberikan pelepasan

bersyarat karena masa hukuman atau masa pidananya pendek, untuk dapat

diberikan CMB narapidana harus telah menjalani ⅔ (dua pertiga) dari masa pidananya setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal

cuti terakhir paling lama enam bulan. Remisi adalah pengurangan masa pidana

yang diberikan kepada narapidana karena telah memenuhi persyaratan yang telah

ditetapkan dan berkelakuan baik selama menjalani masa pidana.

2.4.2.3 Tujuan Pembinaan

Secara umum tujuan pembinaan adalah:

1. Memantapkan iman (ketahanan mental).

2. Membina mereka agar segera mampu berintegrasi secara wajar dalam

kehidupan kelompok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan kehidupan

yang lebih luas (masyarakat), setelah selesai menjalani pidana.

Sedangkan secara khusus tujuan pembinaan adalah:

1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta

bersikap optimis akan masa depannya.

2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal keterampilan untuk bekal hidup

mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum dengan tidak lagi melakukan

perbuatan yang melanggar hukum.

4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengadilan terhadap bangsa dan negara.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan narapidana

berusaha kearah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami

konflik sosial, sebagai suatu cara baru untuk menjadi seseorang yang dapat

berguna bagi negara, hal ini merupakan usaha yang dilakukan untuk mencapai

Dokumen terkait