• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan."

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON NARAPIDANA WANITA TERHADAP

PROGRAM PEMBINAAN DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS IIA WANITA TANJUNG

GUSTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial Sumatera Utara

Disusun Oleh:

MICHAEL MORRIS SIANIPAR

050902016

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Michael Morris Sianipar

NIM : 050902016

Departemen : Ilmu Kesejahteraan Sosial

Judul : Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan Di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta

Medan

Medan, Oktober 2009 PEMBIMBING

(Mastauli Siregar, S.Sos, M.Si) NIP : 132 297 180

KETUA DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

(Drs. Matias Siagian, M.Si) NIP : 132 054 339

DEKAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Telah Diuji dan Dipertahankan di Hadapan Penguji Skripsi Departemen

Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

Hari/Tanggal : Senin, 16 Oktober 2009

Waktu : 09.30-10.30 WIB

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

Tim Penguji

Ketua Penguji : Drs. Matias Siagian, M.Si ( )

Reader/Penguji I : ( )

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL NAMA: MICHAEL MORRIS SIANIPAR

NIM : 050902016

ABSTRAK

Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas Ii A Wanita Tanjung Gusta Medan

Salah satu permasalahan sosial yang telah lama menjadi masalah di negeri ini ialah masalah tindak kejahatan. Orang yang berkonflik dengan hukum yang akhirnya mendekam di Lembaga Pemasyarakatan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka perlu mendapatkan pembinaan, agar tidak kembali melakukan hal yang membuat dirinya bermasalah dengan hukum. Pembinaan bertujuan agar narapidana setelah selesai menjalani masa pidananya tidak akan mengulangi perbuatannya (kejahatan) dan dapat hidup bermasyarakat secara wajar dan dapat berpartisipasi didalam pembangunan. Oleh karena itu maka setiap narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina agar dapat menggali potensinya dan mengembangkannya menjadi narapidana yang baik dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral sebagai bekal hidup dikemudian hari apabila sudah keluar dari Lembaga Permasyarakatan. Permasalahan penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana respon narapidana terhadap pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dan faktor-faktor penghambat dalam melaksanakan pembinaan. Dilatarbelakangi hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul : “Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan”.

Penelitian ini berbentuk deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran situasi yang diteliti ataupun keadaan yang sebenarnya terjadi, yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 37 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah poporsional purposive sampling, metode pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara guna melengkapi hasil kuesioner yang belum jelas dan untuk memperkuat hasil penelitian. Teknik analisa data yang dilakukan adalah dengan mentabulasi data yang diperoleh dan disusun dalam tabel tunggal kemudian dijelaskan secara kualitatif guna mendapatkan gambaran mengenai pembinaan.

(5)

dan kondisi di luar Lapas, perlunya ditambah personil di Lapas dari berbagai disiplin ilmu dan peran serta aktif pemerintah khususnya Departemen Hukum dan HAM agar mengatasi masalah kekurangan dana anggaran dan peningkatan fasilitas, serta meningkatkan kerjasama yang lebih efektif dengan instansi terkait.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus atas segala kasih,

anugerah, berkat dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi yang berjudul: Respon Narapidana Wanita Terhadap

Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat sejumlah

kekurangan sehingga mengurangi nilai dari kesempurnaannya. Hal ini terutama

dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman penulis.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan demi kebaikan dimasa yang akan datang.

Skripsi ini Saya persembahkan terkhusus buat Ayahanda tersayang E.

Sianipar dan ibunda N. Br Panggabean yang sudah menjadi spirit buat saya serta

semua saudara-saudara yang telah mendukung Penulis selama penulisan skripsi

ini.

Penulis juga menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini dapat

terselesaikan dengan baik berkat dukungan dari beberapa pihak. Pada kesempatan

ini, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih, diantaranya

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

(7)

2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara.

3. Ibu Mastauli Siregar, S.Sos, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih

atas bimbingan, arahan, pemikiran, saran, kritik,dan pandangannya yang

berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar yang telah mengajar dan membimbing

penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

5. Kepada Ibu Naomi Sihombing, Ibu Agustina Nainggiolan beserta

staff-staffnya yang telah bersedia yang telah membantu penulis dalam pengambilan

data di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta.

6. Buat kedua orang tua yang penulis cintai dan kasihi Ayahanda E. Sianipar dan

Ibunda N. Br Panggabean terima kasih atas semua kasih sayang dan dukungan

yang telah kalian berikan selama ini.

7. Buat saudara-saudaraku Kak Eva, kak Lisbeth, Kak Heddy & adikQ Meir

semangat yah, I luv U All. Buat teman-teman Kezouz ’05 (KOMA)…….

Hidup adalah perjuangan, berjuanglah untuk lebih hidup. hehehe. Buat JD

(peppy), Kariz, Poote, anti, Ninot S.sos, Chiek, Nuva, Hanie, Nida, Samri

(taomingse), Ico (lebay), Jolli , Rudi, kiel, Agung PB, Jonis (Andi), tina,

Timoty (Roni), Ramot ( manusia aneh), Tio, Etty, Maxwel (irwansah), Dicky

(8)

S.Sos, Ocyk, S.Sos dan yang lainya. Semua senior dan juniorku di

Kezouz….dan semua yang tidak bisa aku sebutkan namanya satu

persatu….thanx buat semuanya….

8. Buat teman seperjuangan Paten 20 dan Mandolin 40, masuk!!! Dicari 1 orang

lagi.

9. Buat keluarga besar IMIKS doakan saya.

10.Buat orang-orang yang gak tersebutkan namanya yang sudah mendukung dan

membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, aku ucapin terima kasih dan

sukses buat kalian semua.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat

kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik guna

menyempurnakannya agar kedepannya penulis dapat lebih baik lagi. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan Terima

Kasih.

Medan, September 2009

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 9

1.4 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Respon ... 11

2.2 Narapidana ... 13

2.2.1 Pengertian Narapidana Wanita ... 13

2.2.2 Hak dan Kewajiban Narapidana ... 14

2.3 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) ... 15

2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 15

2.3.2 Petugas Pemasyarakatan ... 16

2.4 Sistem Pemasyarakatan... 18

(10)

2.4.2.1 Wujud Pembinaan ... 25

2.4.2.2 Proses Pembinaan ... 26

2.4.2.3 Tujuan Pembinaan ... 28

2.4.3 Sasaran Pemasyarakatan ... 29

2.5 Konsep Kesejahteraan Sosial dan Keberfungsian Sosial ... 30

2.5.1 Konsep Kesejahteraan Sosial... 30

2.5.2 Keberfungsian Sosial ... 32

2.6 Konsep Pemikiran ... 34

2.7 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional ... 36

2.7.1 Defenisi Konsep ... 36

2.7.2 Defenisi Operasional ... 36

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian... 39

3.2 Lokasi Penelitian ... 39

3.3 Populasi dan Sampel ... 40

3.3.1 Populasi ... 40

3.3.2 Sampel ... 40

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.5 Teknik Analisis Data ... 42

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis ... 43

4.2 Latar Belakang Berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan ... 44

4.3 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan... 46

(11)

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan ... 50

4.6 Pembinaan Narapidana ... 51

4.7 Wujud Pembinaan di Lembaga Pemasyaraktan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan ... 55

4.8 Fasilitas dan Bangunan ... 64

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Analisis Identititas Responden ... 67

5.2 Analisis Data Penelitian ... 73

5.2.1 Pola Pembinaan... 73

5.2.2 Tujuan Pembinaan ... 83

5.2.3 Pelaksanaan Pembinaan ... 86

5.2.4 Manfaat Pembinaan... 99

5.2.5 Sarana dan Prasarana... 101

5.3 Temuan Studi Lapangan/Interpretasi ... 106

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 108

6.2 Saran ... 110

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Angka Kejahatan Di Propinsi Sumatera Utara Dari

Tahun 2001-2008 ... 3

Tabel 2 Jumlah Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan Dari Tahun 2002-2009 ... 4

Tabel 3 Organisasi Pegawai LP Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan . 49 Tabel 4 Perbandingan Jumlah Petugas Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50

Tabel 5 Kegiatan Pembinaan Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Medan ... 56

Tabel 6 Daftar Menu Makanan Narapidana di Lapas Wanita Klas IIA Medan ... 63

Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 67

Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Asal Daerah ... 68

Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 69

Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Tindak Pidana ... 70

Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Masa Hukuman ... 71

Tabel 12 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Masa Hukuman yang telah dijalani ... 72

Tabel 13 Distribusi Responden Tentang Rasa Tertarik Mengikut i Pola Pembinaan ... 73

Tabel 14 Distribusi Responden Tentang Jenis-Jenis Pola Pembinaan... 74

Tabel 15 Distribusi Responden Tentang Frekuensi Mengikuti Kegiatan Pembinaan ... 75

Tabel 16 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Pembinaan Pendidikan Umum ... 76

(13)

Tabel 19 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Pembinaan Jasmani ... 79

Tabel 20 Distribusi Responden Tentang Kunjungan Keluarga ... 80

Tabel 21 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Rekreasi ... 81

Tabel 22 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Pembinaan Integrasi ... 82

Tabel 23 Distribusi Responden Tentang Pemahaman Tujuan Pembinaan .. 83

Tabel 24 Distribusi Responden Tentang Kemampuan Mengikuti Pembinaan ... 84

Tabel 25 Distribusi Responden Tentang Pembinaan Sebagai Pedoman Setelah Keluar Dari Lapas ... 84

Tabel 26 Distribusi Responden Tentang Kuantitas Materi Pembinaan ... 85

Tabel 27 Distribusi Responden Tentang Kesungguhan Mengikuti Kegiatan Pembinaan ... 86

Tabel 28 Distribusi Responden Tentang Kesesuaian Pembinaan Dalam Minat, Bakat dan Kemauan ... 87

Tabel 29 Distribusi Responden Tentang Bantuan Petugas Dalam Hal Menjelaskan Pola Pembinaan ... 88

Tabel 30 Distribusi Responden Tentang Kepatuhan Terhadap TataTertib di Lapas ... 89

Tabel 31 Distribusi Responden Tentang Ketepatan Melaksanakan Kewajiban ... 90

Tabel 32 Distribusi Responden Tentang Perlakuan Petugas ... 91

Tabel 33 Distribusi Responden Tentang Keterampilan Petugas ... 92

Tabel 34 Distribusi Responden Tentang Keterpaksaan Dalam Mengikuti Pembinaan... 93

Tabel 35 Distribusi Responden Tentang Kualitas Pembinaan ... 94

Tabel 36 Distribusi Responden Tentang Kecenderungan Mendapatkan Masalah Dalam Pembinaan ... 94

Tabel 37 Distribusi Responden Tentang Melanggar Peraturan di Lapas... 95

(14)

Tabel 39 Distribusi Responden Tentang Cara Pelaksanaan

Pembinaan Yang Diberikan ... 97

Tabel 40 Distribusi Responden Tentang Ketepatan Jadwal

Kegiatan Pembinaan ... 98

Tabel 41 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Pemberian Remisi ... 98

Tabel 42 Distribusi Responden Tentang Manfaat Pola Pembinaan

Yang Diberikan ... 99

Tabel 43 Distribusi Responden Tentang Manfaat Pembinaan Terhadap

Meningkatnya Pengetahuan, Keterampilan dan Keimanan ... 100

Tabel 44 Distribusi Responden Tentang Sarana Beribadah ... 101

Tabel 45 Distribusi Responden Tentang Tentang Situasi Kapasitas

Kamar Tidur ... 102

Tabel 46 Distribusi Responden Tentang Menu Makanan ... 102

Tabel 47 Distribusi Responden Tentang Fasilitas Kesehatan ... 103

Tabel 48 Distribusi Responden Tentang Sikap Pembina Dalam

Menangani Narapidana Sakit ... 104

Tabel 49 Distribusi Responden Tentang Fasilitas Hiburan ... 105

Tabel 50 Distribusi Responden Tentang Kondisi Fasilitas di Lapas ... 106

Tabel 51 Distribusi Responden Tentang Kepuasan Terhadap

Fasilitas di Lapas ... 107

(15)

DAFTAR BAGAN

Bagan Kerangka Pemikiran ... 35

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Daftar Kuesioner

Lampiran II : Izin Melakukan Penelitian

(17)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL NAMA: MICHAEL MORRIS SIANIPAR

NIM : 050902016

ABSTRAK

Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas Ii A Wanita Tanjung Gusta Medan

Salah satu permasalahan sosial yang telah lama menjadi masalah di negeri ini ialah masalah tindak kejahatan. Orang yang berkonflik dengan hukum yang akhirnya mendekam di Lembaga Pemasyarakatan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka perlu mendapatkan pembinaan, agar tidak kembali melakukan hal yang membuat dirinya bermasalah dengan hukum. Pembinaan bertujuan agar narapidana setelah selesai menjalani masa pidananya tidak akan mengulangi perbuatannya (kejahatan) dan dapat hidup bermasyarakat secara wajar dan dapat berpartisipasi didalam pembangunan. Oleh karena itu maka setiap narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina agar dapat menggali potensinya dan mengembangkannya menjadi narapidana yang baik dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral sebagai bekal hidup dikemudian hari apabila sudah keluar dari Lembaga Permasyarakatan. Permasalahan penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana respon narapidana terhadap pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dan faktor-faktor penghambat dalam melaksanakan pembinaan. Dilatarbelakangi hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul : “Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan”.

Penelitian ini berbentuk deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran situasi yang diteliti ataupun keadaan yang sebenarnya terjadi, yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 37 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah poporsional purposive sampling, metode pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara guna melengkapi hasil kuesioner yang belum jelas dan untuk memperkuat hasil penelitian. Teknik analisa data yang dilakukan adalah dengan mentabulasi data yang diperoleh dan disusun dalam tabel tunggal kemudian dijelaskan secara kualitatif guna mendapatkan gambaran mengenai pembinaan.

(18)

dan kondisi di luar Lapas, perlunya ditambah personil di Lapas dari berbagai disiplin ilmu dan peran serta aktif pemerintah khususnya Departemen Hukum dan HAM agar mengatasi masalah kekurangan dana anggaran dan peningkatan fasilitas, serta meningkatkan kerjasama yang lebih efektif dengan instansi terkait.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kejahatan semakin berkembang sesuai dengan perkembangan

zaman terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga

timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu

menimbulkan keresahan didalam masyarakat. Keresahan adalah gejala tidak

adanya kesejahteraan sosial, ketenteraman dan kebahagiaan. Kejahatan adalah

masalah sosial yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan

manusia, karena masalah sosial sebagai hasil dari kebudayaan manusia. Masalah

sosial ini berbeda-beda disetiap masyarakat disebabkan adanya tingkat

perkembangan kebudayaan, lingkungan, sifat penduduk dimana masyarakat itu

hidup (Mardjono, 1994:12).

Kejahatan merupakan gejala sosial yang selalu dihadapi oleh setiap

masyarakat di dunia ini. Apapun usaha manusia untuk menghapusnya sampai

tuntas tidaklah mungkin bisa, karena kejahatan itu tidak dapat dihapus sampai

bersih kecuali dikurangi intensitasnya maupun kualitasnya. Meskipun telah

diberikan sanksi yang tegas namun masih ada juga yang melakukannya berulang

kali. Hal ini disebabkan karena kebutuhan manusia yang berbeda-beda dan tidak

(20)

Kejahatan tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja, oleh anak-anak, orang

yang sudah dewasa bahkan orang tua, baik yang berjenis kelamin laki-laki

ataupun wanita. Walaupun diketahui bahwa seorang wanita memiliki perasaan

yang lembut, halus tutur katanya, feminin, penyabar, mampu menekan emosinya

dalam mengahadapi persoalan, tetapi terkadang karena berbagai faktor mereka

dapat tiba-tiba berubah menjadi keras dan menakutkan. Bahkan kaum wanita pun

sudah tidak takut lagi untuk menghuni Lembaga Pemasyarakatan.

Pada umumnya kejahatan terjadi karena:

1. Niat

2.

untuk melakukan suatu pelanggaran.

Kesempatan

Jika hanya ada salah satu dari kedua unsur tersebut maka kejahatan tidak akan

terjadi (Sahetapy, 1992:87).

untuk melaksanakan niat itu.

Perlu diketahui angka kejahatan di Indonesia semakin lama semakin

meningkat. Menurut catatan Mabes Polri, jumlah kejahatan di Indonesia pada

tahun 2006 adalah sebesar 783.159 kasus. Pada tahun 2007 jumlah ini bertambah

menjadi 821.334 kasus, dan pada tahun 2008 meningkat lagi menjadi 867.761

kasus. Berarti antara tahun 2006-2007 terjadi kenaikan angka kejahatan sebesar

4,87%, sedangkan antara tahun 2007-2008 terjadi kenaikan sebesar 5,65%, dan

pada sampai sekarang angka kejahatan masih terus meningkat (Ernaningsih,

Wanita dan Kejahatan, http://cedawui.net/index.php?option=com_content&task

(21)

Umumnya pelaku kejahatan pada kasus-kasus di atas adalah pria,

meskipun demikian tidak berarti tidak ditemukan adanya kejahatan yang

dilakukan oleh wanita. Namun angka kejahatan wanita menunjukkan peningkatan

yang cukup pesat dari hasil data yang diperoleh. Menurut catatan Mabes Polri

pada tahun 2008 menunjukkan angka kejahatan wanita di Indonesia, dari sejumlah

19.372 kasus kejahatan oleh wanita pada tahun 2006, angka tersebut meningkat

menjadi 26.878 kasus di tahun 2007 dan menjadi 31.493 kasus di tahun 2008.

Sementara jumlah angka kejahatan di Sumatera Utara dari tahun 2001

sampai 2008 menurut jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.

Tabel 1

Angka Kejahatan Di Propinsi Sumatera Utara Dari Tahun 2001-2008

Sumber: Seksi Registrasi Kanwil Kehakiman dan HAM Provinsi Sumatera Utara 2008.

Salah satu sanksi yang terdapat pada hukum pidana yaitu pidana penjara

dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan. Saat ini Lembaga Pemasyarakatan

sebagai unit pelaksana teknis dibidang pemasyarakatan, berperan untuk

membimbing dan membina narapidana agar tidak mengulangi kesalahannya dan

dapat kembali diterima oleh masyarakat. Sebagai realisasinya dibangun juga

(22)

meningkat (Meiriya, Sudut Pandang Lembaga Pemasyarakatan,

april 2009).

Persoalan yang muncul apakah rumah tahanan yang dibangun tersebut

masih efektif dalam membina narapidana dan memberikan rasa takut bagi

manusia lainnya untuk berbuat kejahatan (preverensi general). Karena pada

kenyataannya tindakan pencegahan tersebut yang dilakukan oleh pemerintah

ternyata kurang efektif, dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah

kejahatan. Berikut ini adalah tabel yang menujukkan jumlah narapidana wanita LP

Tanjung Gusta dari tahun 2002 sampai dengan 2009

Tabel 2

Jumlah Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan Dari Tahun 2002-2009

No. Tahun Jumlah Narapidana/Anak Didik

1.

(23)

Konsep pembinaan narapidana tersebut merupakan pemikiran dari Dr.

Sahardjo (1963) yang mencetuskan tentang konsep pemasyarakatan. Proses

pembinaan tersebut dilakukan di LP tahap demi tahap. Pembinaan narapidana ini

sangat penting diperhatikan oleh pemerintah sehingga tujuan pembinaan Lembaga

Pemasyarakatan ini tercapai agar narapidana sadar akan perbuatannya dengan

tidak melakukan lagi perbuatan ini dan dapat kembali ke masyarakat sebagai

manusia yang berguna di tengah masyarakat (Panjaitan, Petrus, 1995:10).

Sebagai puncak realisasi sistem pemasyarakatan tersebut di Indonesia

adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Lembaga Pemasyarakatan, dan peraturan pelaksanaannya PPRI Nomor 31 dan 32

Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan dan Syarat serta Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan. Pertimbangan dibentuknya Undang-Undang ini adalah karena

menganggap bahwa seorang Narapidana sekalipun telah melakukan kejahatan,

mereka juga merupakan insan dan Sumber Daya Manusia yang harus

diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan.

Hal ini sejalan dengan salah satu sasaran pembangunan dalam orde baru

yakni “pembangunan masyarakat Indonesia yang seutuhnya agar terwujud

masyarakat yang adil dan makmur”. Dengan harapan pembangunan masyarakat

Indonesia yang seutuhnya dapat berjalan dengan tidak membedakan atas status

(24)

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tersebut juga menyebutkan

tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan, dalam pasal 2 disebutkan

bahwa “Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga

Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia yang seutuhnya menyadari

kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat

diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab”.

Tetapi pada kenyataannya walaupun mantan narapidana tersebut telah

menjalani masa pembinaannya di LP, banyak masyarakat yang masih

menganggap bahwa mantan narapidana adalah kelompok masyarakat yang harus

dihindari, diwaspadai bahkan diasingkan dari pergaulan masyarakat, sehingga

mereka cenderung sulit untuk bersosialisasi. Misalnya saja pada saat mereka

mencari pekerjaan diluar, walaupun di dalam LP mereka telah dibekali dengan

keterampilan, tetapi hal tersebut sia-sia karena mereka telah dikenal melalui

identitasnya yang buruk. Hal ini jugalah salah satu yang menjadi penyebab

mereka mengulangi perbuatan jahatnya atau yang disebut residivis (Panjaitan,

Petrus, 1995:25).

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan azas

pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan dan pembinaan serta

bimbingan melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sistem

(25)

sebagai warga yang baik selain itu juga untuk melindungi masyarakat terhadap

kemungkinan diulanginya tindak kejahatan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan penerapan dan bagian yang tidak

terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dimana aspek

pembinaan narapidana/anak didik pemasyarakatan mempunyai ciri-ciri preventif,

kuratif, rehabilitasi dan edukasi (Aroma, 2003: 37).

Pelaksanaan sistem pemasyarakatan tersebut diperlukan juga keikutsertaan

masyarakat baik dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima

kembali narapidana yang telah selesai menjalani pidananya ataupun yang sedang

menjalani pembebasan bersyarat. Sebab tanpa adanya keikutsertaan masyarakat,

pembinaan terhadap narapidana tidak akan berhasil. Selain itu peran dari petugas

pemasyarakatan juga sangat penting, mereka harus berhadapan dengan

orang-orang yang beraneka ragam sifat dan tingkah laku. Petugas pemasyarakatan harus

memiliki mental yang baik dan sehat, hal ini diperlukan dalam pelaksanaan tugas

untuk meningkatkan kualitas yang positif baik untuk dirinya sendiri, warga binaan

maupun untuk lingkungannya (Sujatno, Hubungan Narapidana dengan

Lingkungan http://www.ditjenpas.go.id/index.php?option=com_content&task=

view&id=178&Itemid=9 diakses tanggal 26 april 2009).

Keberhasilan sistem pemasyarakatan dalam membina narapidana memang

belum mempunyai tolak ukur yang jelas. Ahli kriminolog, sosiolog dan

pemasyarakatan mengatakan jika residivis menurun maka pemasyarakatan

(26)

ukur karena banyak sekali variabel-variabel yang menyebabkan turunnya

residivis, misalnya adanya angka yang luput dari data statistik, residivis

melakukan kejahatan ditempat lain dan lain-lain (Harsono, 1995:4).

Maka kita dapat melihat bahwa keberhasilan pembinaan bukanlah hanya

didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, tetapi juga dengan partisipasi

dari berbagai pihak, substansi hukum, sosial, dan substansi lainnya. Oleh karena

itu program pembinaan harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip dasar

pemasyarakatan. Pembinaan yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan haruslah

mampu menumbuhkan suasana yang penuh saling pengertian dan kerukunan, baik

di antara sesama warga binaan, maupun antara pembina dengan yang dibina.

Dari titik tolak uraian diatas, maka melalui penelitian ini akan mencoba

untuk memaparkan gambaran yang jelas mengenai ”Respon Narapidana Wanita

Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita

Tanjung Gusta Medan”.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian

(Arikunto, 1992:47). Dalam penelitian ini perlu ditegaskan dan dirumuskan

masalah yang diteliti. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan,

maka penulis merumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah:

(27)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Setiap orang yang melakukan penelitian tentu saja mempunyai tujuan yang

ingin dicapai, adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui

bagaimana respon narapidana wanita terhadap program pembinaan oleh Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian. Khususnya

Ilmu Kesejahteraan sosial, terutama mengenai permasalahan sosial yang ada di

tengah-tengah masyarakat saat ini.

2. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pemahaman dan kemampuan

berpikir secara ilmiah dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama

mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi penulis dalam

pengembangan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan bagi lembaga pemasyarakatan

(28)

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan secara teoritis tinjauan-tinjauan yang

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, kerangka pemikiran,

definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi

dan sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan sejarah singkat serta gambaran umum lokasi

penelitian dan data-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah

ini.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil

penelitian beserta dengan analisisnya.

BAB VI :PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Respon

Respon diartikan sebagai suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud

balik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan,

suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Selain itu

menurut Daryl Beum respon juga diartikan sebagai tingkahlaku balas atau sikap

yang menjadi tingkahlaku atau adu kuat. Respon pada hakekatnya merupakan

tingkahlaku balas atau juga sikap yang menjadi tingkah laku balik, yang juga

merupakan proses pengorganisasian rangsang dimana rangsangan-rangsangan

proksimal diorganisasikan sedemikian rupa sehingga terjadi representasi

fenomenal dari rangsangan-rangsangan proksimal tersebut (Adi, 1994:105).

Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap

merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku dalam

menghadapi suatu rangsangan tertentu. Melihat sikap seseorang atau sekelompok

orang terhadap sesuatu maka akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap

kondisi tersebut. Menurut Louis Thursone, respon merupakan jumlah

kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, pra pemahaman yang

mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang

khusus. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengungkapan sikap

(30)

1. Pengaruh atau penolakan.

2. Penilaian.

3. Suka atau tidak suka.

4. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi.

Perubahan sikap dapat menggambarkan respon seseorang atau

sekelompok orang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan.

Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi, mendekati dan

mengharapkan suatu objek, seseorang disebut mempunyai respon positif dilihat

dari tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Sebaliknya seseorang mempunyai

respon negatif apabila informasi yang didengarkan atau perubahan suatu subjek

tidak mempengaruhi tindakan atau malah menghindar dan membenci objek

tertentu. Terdapat dua jenis variabel yang mempengaruhi respon, yaitu:

1. Variabel struktural yakni faktor-faktor yang terkandung dalam rangsangan

fisik.

2. Variabel fungsional yakni faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat,

misalnya kebutuhan suasana hati, pengalaman masa lalu.

Menurut Hunt (1962) orang dewasa mempunyai sejumlah unit untuk

memproses informasi-informasi. Unit-unit ini dibuat khusus untuk menangani

representasi fenomenal dari keadaan di luar yang ada dalam diri individu.

Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk memperkirakan

peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar. Proses yang berlangsung secara rutin inilah yang

(31)

2.2 Narapidana

2.2.1 Pengertian Narapidana Wanita

Kehidupan narapidana adalah suatu pola kegiatan atau aktifitas yang

dilakukan oleh narapidana dan dikelompokkan pada suatu tempat yang tidak

bebas sifatnya (geraknya) guna mempertanggungjawabkan perbuatannya serta

mengarahkannya kepada perbuatan yang benar menurut hukum dan agama agar

mereka dapat bertobat bila sudah bebas nanti. Narapidana wanita yang dibina

dalam lembaga pemasyarakatan disebut warga binaan pemasyarakatan atau klien

pemasyarakatan. Narapidana atau warga binaan adalah terpidana yang menjalani

pidana di LAPAS, yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Seseorang yang dipenjara berarti telah terbukti melakukan pelanggaran,

yang tentu saja tidak disukai dan ditentang oleh masyarakat. Masyarakat pun pada

akhirnya mendiskreditkan atau menurunkan status seorang narapidana dari

seseorang yang seutuhnya menjadi seseorang yang tercemar dan diabaikan karena

perbuatan yang pernah dilakukan oleh para terpidana.

Wanita sebagai pelaku kejahatan dianggap telah melanggar norma ganda oleh

masyarakat, yaitu norma hukum dan norma konvensional tentang bagaimana

seharusnya wanita berperilaku dan bersikap.

Bagi narapidana wanita harus mampu melakukan penyesuaian diri yang

dilakukan secara seimbang baik dalam penyesuaian secara pribadi dan sosial.

(32)

melakukan kerjasama, beraktivitas serta membina komunikasi sehingga mereka

mampu menyikapi diri dalam situasi dan kondisi yang selalu berubah di

lingkungan LP. Narapidana wanita tersebut tidak mengalami kesulitan yang

mendasar, akan tetapi terdapat permasalahan dalam penyesuaian diri terhadap

peraturan yang diberlakukan. Peran keluarga dan lingkungan sosial mampu

memberikan motivasi bagi narapidana untuk dapat menyesuaikan diri.

2.2.2 Hak Dan Kewajiban Narapidana

Dalam suatu proses peradilan pidana, narapidana masih mempunyai

beberapa hak yaitu:

1. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi

sesuai dengan pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai pemasyarakatan.

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang

merugikan/menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.

3. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang keluarga sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Lembaga

Pemasyarakatan adalah:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan.

b. Mendapat perawatan jasmani maupun rohani.

c. Mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

e. Menyampaikan keluhan.

(33)

g. Menerima kunjungan keluarga.

h. Mendapat pengurangan masa menjalani pidana (remisi).

i. Berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

j. Mendapat pembebasan bersyarat.

k. Mendapat cuti menjelang bebas.

l. Mendapat kewajiban mengikuti program pembinaan.

m. Mendapatkan jaminan keselamatan dan ketertiban.

Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh narapidana, yaitu bahwa setiap

narapidana pemasyarakatan wajib mengikuti program pendidikan dan bimbingan

agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kewajiban narapidana

ditetapkan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Pasal 15 yaitu:

1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan

tertentu.

2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

2.3 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) 2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan

pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Undang-Undang Nomor

(34)

pranata masyarakat, sebagai tempat untuk mendidik para narapidana agar dapat

meluluhkan kembali kesadaran mereka dalam bermasyarakat, untuk memperbaiki

martabat dan harga diri mereka ditengah-tengah masyarakatnya. Lembaga

Pemasyarakatan adalah sebagai wadah pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat

jahat melalui pendidikan (Panjaitan, Petrus, 1995:10).

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap

narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang

merupakan bagian akhir dalam tata peradilan pidana. Lembaga pemasyarakatan

yang berkembang sekarang ini menganut sistem pemasyarakatan yaitu suatu

tatanan arah dan batas serta cara pembinaan terhadap narapidana berdasarkan

pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan

masyarakat untuk meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga

yang baik dan bertanggung jawab.

2.3.2 Petugas Pemasyarakatan

Kewajiban untuk mengeluarkan narapidana dari lembaga untuk kembali ke

masyarakat tidak kalah pentingnya daripada tugas untuk memasukkan narapidana

ke dalam lembaga. Berhasilnya tugas untuk mengeluarkan dan mengembalikan

narapidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat terhadap hukum,

digantungkan kepada petugas-petugas negara yang diserahi tugas menjalankan

(35)

Adapun petugas pemasyarakatan yang memiliki mental yang baik dan

sehat ditunjukan dalam 5 aspek, yaitu:

1. Berpikir realitas.

2. Mempunyai kesadaran diri.

3. Mampu membina hubungan sosial dengan orang lain.

4. Mempunyai visi dan misi yang jelas.

5. Mampu mengendalikan emosi.

Berdasarkan surat edaran Dirjen Pemasyarakatan berikut ini adalah

sepuluh kewajiban petugas pemasyarakatan:

1. Menjunjung tinggi hak-hak warga binaan pemasyarakatan.

2. Bersikap belas kasih dan tidak sekali-kali menyakiti warga binaan

pemasyarakatan.

3. Berlaku adil terhadap warga binaan pemasyarakatan.

4. Menjaga rahasia pribadi warga binaan pemasyarakatan.

5. Memperhatikan keluhan warga binaan pemasyarakatan.

6. Menjaga rasa keadilan masyarakat.

7. Menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan prilaku.

8. Waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman dan gangguan

keamanan.

9. Bersikap sopan tetapi tegas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

(36)

Petugas lembaga pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang

mendalam tentang seluk-beluk sistem pemasyarakatan dan terus menerus

meningkatkan kemampuan, dalam menghadapi perangai narapidana.

Petugas-petugas yang dimaksudkan dalam uraian dimuka melakukan peranan sesuai

dengan kewenangannya yang ditunjuk oleh peraturan, dan berusaha menciptakan

bentuk kerjasama yang baik untuk membantu menyelenggarakan “proses

pemasyarakatan” sedemikian rupa dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

2.4 Sistem Pemasyarakatan

2.4.1 Konsep Sistem Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini yaitu secara konseptual

dan historis. Sangat berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan.

Pembinaan narapidana menurut sistem kepenjaraan terkesan sebagai lembaga

pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku, sedangkan dalam sistem

pemasyarakatan azas yang dianut menempatkan narapidana sebagai subjek yang

dipandang sebagai pribadi dan warga negara, serta dihadapi bukan dengan latar

belakang pembalasan melainkan dengan pembinaan terarah yang kedepannya

dapat menyadarkan sipelaku kejahatan.

Dalam Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan

ditegaskan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan narapidana agar

dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan

(37)

menunjukan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai pelembagaan respon

masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada hakekatnya merupakan

pola pembinaan yang berorientasi pada masyarakat. Peran serta masyarakat harus

dipandang sebagai suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan.

Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya

perbaikkan perlakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara, yaitu:

“Orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara, dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakkan balas dendam dari negara, tobat tidak akan dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan pembinaan, terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan terpidana kehilangan kemerdekaan, negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang itu kedalam masyarakat” (Harsono, 1995:1).

Pada tanggal 15 juli 1963, pada penganugerahan gelar Doctor Hounouris

Causa dalam ilmu hukum, Sahardjo dalam pidatonya menyatakan:

a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita akibat dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.

b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan (Muladi,

(38)

Dalam Konperensi Dinas Pemasyarakatan yang pertama kali pada tanggal

27 april 1964 pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut pada akhirnya dijabarkan

dan dirumuskan sebagai sistem pembinaan narapidana sebagai berikut:

1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan diberikan kepadanya bekal hidup

sebagai warga yang baik, yakni masyarakat Indonesia yang menuju ke tata

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bekal hidup tidak

hanya berupa finansiil dan materiil, tetapi yang juga lebih adalah mental, fisik,

keahlian, keterampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan

yang potensiil dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar

hukum dan berguna dalam pembangunan negara.

2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap

narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara

perawatan atau penempatan. Derita yang dihilangkan hanya kemerdekaannya.

3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.

Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma

kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang

lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk

menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada

sebelum ia masuk lembaga. Karena itu harus diadakan pemisahan antara:

a. Yang residivis dan yang bukan.

(39)

c. Macam tindak pidana yang dibuat.

d. Sudah tua (40 tahun keatas), dewasa (25-40 tahun), remaja (18-25 tahun).

e. Orang terpidana dan orang tahanan.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus diperkenalkan

dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Pada waktu

mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan

pengasingan dari masyarakat. Kini menurut sistem pemasyarakatan mereka

tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara “kultural”. Secara

bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang

merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.

6. Pekerjaan diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu,

atau hanya diperuntukan kepentingan Jawatan atau kepentingan Negara

sewaktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus suatu pekerjaan di masyarakat

yang ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi

pekerjaan narapidana dengan pembangunan.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila. Pendidikan dan

bimbingan harus berisikan asas yang tercantum didalam pancasila, kepada

narapidana harus diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan

ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, toleransi, kekeluargaan,

bermusyawarah untuk bermufakat positif. Narapidana harus dimanfaatkan

(40)

8. Tiap manusia harus diperlakukan sebagai layaknya manusia, meskipun telah

tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukan kepada narapidana bahwa ia itu adalah

penjahat. Ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai

manusia. Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap

maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan

agar narapidana mendapat mata pencaharian untuk keluarga dengan jalan

menyediakan/memberikan pekerjaan upah. Bagi pemuda dan anak-anak

disediakan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun diberi kesempatan

kemungkinan mendapatkan pendidikan diluar lembaga.

10.Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai

dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan

lembaga-lembaga yang berada di tengah-tengah kota ke tempat-tempat yang

sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.

Sistem yang baru ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem

Pemasyarakatan” yang juga merupakan tujuan dari pidana penjara. Di dalam

pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan karena dalam sistem

pemasyarakatan narapidana hanya dibatasi bergeraknya saja sedangkan hak-hak

kemanusiaannya tetap dihargai. Maka dengan itu dapat diuraikan bahwa usaha

pergantian dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang dikenal

(41)

Bangsa Indonesia dan memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, sebagai

individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat.

Didasarkan atas pertimbangan sistem kepenjaraan sudah tidak sesuai lagi

dengan kepribadian bangsa Indonesia yang di dalam kehidupan sehari-hari selalu

berpedoman dan berlandaskan kepada falsafah Pancasila. Sistem pemasyarakatan

2.4.2 Pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan

Pemasyarakatan adalah sebuah proses “therapoutie” yaitu proses

pembinaan yang bertujuan membina warga binaan yang sementara tersesat

hidupnya karena kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Narapidana yang dibina

harus bisa dikembangkan rasa tanggung jawabnya untuk menyesuaikan diri

dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat agar selanjutnya

berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.

Untuk mencapai hal ini maka dilakukanlah pembinaan secara kelompok dan

perorangan.

Bimbingan sosial kelompok bertujuan untuk meningkatkan fungsionalitas

sosial individu-individu melalui pengalaman-pengalaman kelompok yang disusun

secara sadar dan bertujuan. Kelompok digunakan sebagai target kegiatan-kegiatan

interventifnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, karena

pertimbangan bahwa penggunaan kelompok merupakan mekanisme yang lebih

baik, dan bahwa kelompok memiliki kekuatan yang apabila digali dan

dikembangkan dapat merupakan sumber penyembuhan dan pengembangan bagi

(42)

Sedangkan pembinaan yang diselenggarakan secara perorangan adalah

suatu proses yang digunakan oleh badan sosial tertentu untuk membantu individu

agar dapat memecahkan masalah didalam kehidupan sosial mereka secara lebih

efektif. Definisi ini mempunyai empat bagian pokok yang menjadi unsur-unsur

yang saling berhubungan dengan yang lainnya. Titik pokok dari bimbingan

perseorangan ini adalah: seseorang (person) dengan suatu masalah (problem)

datang ke suatu tempat (place) dimana seseorang pekerja yang berwenang

menolong dia dengan suatu proses (proces) (Perlman,1991:1).

Dalam peraturan pemerintah RI No. 31 Tahun 1999 tentang pembinaan

dan pembimbingan narapidana pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan

“pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, perilaku, profesional, kesehatan

jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.

Menurut Mangunhardjuna pembinaan adalah:

“suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang dimiliki dan mempelajari hal-hal yang baru yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif” (Harsono, 1995:70).

Pembinaan merupakan aspek utama dalam sistem pemasyarakatan sebagai

(43)

upaya pembinaan/bimbingan menjadi indikator dari pelaksanaan sistem

pemasyarakatan. Pengertian akan sebab orang melanggar norma akan dapat

membantu menemukan cara yang terbaik untuk pembinaan terhadap sipelanggar

hukum atau narapidana, karena itu ada hubungan antara mencari sebab kriminal

dengan mencari sistem pembinaan yang efektif (Mardjono Reksodiputro, 1994:3).

Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan itu

adalah membina narapidana dalam usaha perbaikan terhadap tingkah laku yang

menyimpang. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan perseorangan yaitu

metode social case work: cara menolong seseorang dengan konsultasi untuk

memperbaiki hubungan sosialnya dan penyesuaian sehingga memungkinkan

mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermanfaat.

2.4.2.1 Wujud Pembinaan

Wujud pembinaan adalah:

1. Pembinaan yang dilakukan dalam gedung lembaga pemasyarakatan yang

meliputi:

a. Pendidikan umum, pemberantasan tiga buta (buta aksara, buta angka, buta

bahasa).

b. Pendidikan keterampilan, kerajinan tangan, menjahit, dan sebagainya.

c. Pembinaan mental, spiritual dan pendidikan agama.

d. Sosial budaya, kunjungan keluarga dan lain-lain.

e. Kegiatan rekreasi, diarahkan pada pemupukan kesegaran jasmani dan

(44)

2. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan di luar gedung lembaga

pemasyarakatan:

a. Belajar di tempat latihan kerja milik lembaga pemasyarakatan.

b. Belajar di tempat latihan kerja milik industri/dinas lain.

c. Beribadah, sembahyang di mesjid, gereja dan lain sebagainya.

d. Berolahraga bersama masyarakat.

e. Pemberian bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas.

f. Pengurangan masa pidana/remisi.

2.4.2.2 Proses Pembinaan

Empat tahap proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan:

Tahap pertama :Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap narapidana

untuk mengetahui hal ikhwal yang bersangkutan.

Tahap kedua :Bilamana proses pembinaan telah berjalan

selama-lamanya sepertiga dari masa pidananya dan menurut

Dewan Pembina Pemasyarakatan sudah terdapat kemajuan

(insyaf, disiplin, patuh terhadap peraturan tata tertib),

maka yang bersangkutan ditempatkan pada Lembaga

Pemasyarakatan dengan sistem keamanan yang medium

(medium security), dengan kebebasan yang lebih banyak.

Tahap ketiga :Bilamana proses pembinaan telah berlangsung selama

setengah dari masa pidananya dan menurut Dewan

(45)

baik secara fisik, mental maupun keterampilannya, maka

dapat diadakan asimilasi dengan masyarakat luar.

Tahap keempat :Bilamana proses pembinaannya telah berlangsung selama

dua pertiga dari masa pidananya atau sekurang-kurangnya

sembilan bulan, maka kepada yang bersangkutan dapat

diberikan lepas bersyarat, atas usul dari Dewan Pembina

Pemasyarakatan.

Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk memperoleh asimilasi

narapidana harus telah menjalani ½ (setengah) dari masa pidana dikurangi masa

tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum

tetap. Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga

pemasyarakatan. Untuk memperoleh pembebasan bersyarat narapidana harus telah

menjalani ⅔ (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan

dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap

(Harsono, 1995:31).

Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana luar

lembaga pemasyarakatan, bagi terpidana yang tidak dapat diberikan pelepasan

bersyarat karena masa hukuman atau masa pidananya pendek, untuk dapat

diberikan CMB narapidana harus telah menjalani ⅔ (dua pertiga) dari masa

pidananya setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal

(46)

cuti terakhir paling lama enam bulan. Remisi adalah pengurangan masa pidana

yang diberikan kepada narapidana karena telah memenuhi persyaratan yang telah

ditetapkan dan berkelakuan baik selama menjalani masa pidana.

2.4.2.3 Tujuan Pembinaan

Secara umum tujuan pembinaan adalah:

1. Memantapkan iman (ketahanan mental).

2. Membina mereka agar segera mampu berintegrasi secara wajar dalam

kehidupan kelompok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan kehidupan

yang lebih luas (masyarakat), setelah selesai menjalani pidana.

Sedangkan secara khusus tujuan pembinaan adalah:

1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta

bersikap optimis akan masa depannya.

2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal keterampilan untuk bekal hidup

mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum dengan tidak lagi melakukan

perbuatan yang melanggar hukum.

4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengadilan terhadap bangsa dan negara.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan narapidana

berusaha kearah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami

konflik sosial, sebagai suatu cara baru untuk menjadi seseorang yang dapat

berguna bagi negara, hal ini merupakan usaha yang dilakukan untuk mencapai

(47)

2.4.3 Sasaran Pemasyarakatan

Sasaran pemasyarakatan dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Sasaran khusus

Sasaran pembinaan terhadap individu warga binaan pemasyarakatan adalah

menungkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan, yang meliputi:

a. Kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

b. Kualitas intelektual.

c. Kualitas profesionalisme/keterampilan.

d. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani.

e. Kualitas sikap dan perilaku.

2. Sasaran umum

Sasaran umum ini pada dasarnya juga merupakan indikator-indikator yang

digunakan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dari pelaksanaan sistem

pemasyarakatan. Indikator-indikator tersebut antara lain:

a. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka dan gangguan

keamanan.

b. LAPAS berisi lebih rendah dari pada kapasitas (pemerataan isi LAPAS).

c. Meningkatnya secara bertahap dari tahun ke tahun jumlah narapidana yang

bebas sebelum waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi.

d. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis.

e. Semakin banyaknya jenis institusi UPT pemasyarakatan sesuai dengan

(48)

f. Presentase kematian dan sakit narapidana/tahanan lebih sedikit atau sama

dengan angka kematian dan sakit dari anggota masyarakat.

g. Biaya perawatan narapidana dan tahanan sama dengan kebutuhan minimal

manusia Indonesia pada umumnya.

h. LAPAS dan RUTAN adalah instansi terbersih di lingkungan

masing-masing.

i. semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan

proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam LAPAS dan sebaliknya semakin

berkurangnya nilai-nilai subkultur penjara dan LAPAS.

2.5 Konsep Kesejahteraan Sosial dan Keberfungsian Sosial 2.5.1 Konsep Kesejahteraan Sosial

Konsep “Kesejahteraan Sosial” sebagai suatu program yang terorganisir

dan sistematis yang dilengkapi dengan segala macam keterampilan ilmiah,

merupakan suatu konsep yang relatif baru berkembang, terutama di negara-negara

berkembang. Masalah-masalah kemiskinan, penyakit dan disorganisasi sosial

merupakan masalah sosial yang sudah lama ada sepanjang sejarah kehidupan

manusia. Permasalahan kesejahteraan sosial yang begitu luas dan kompleks telah

menyebabkan timbulnya beraneka pemahaman konsepsi dan usaha perwujudan

kesejahteraan sosial itu dalam masyarakat setiap negara.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak mulai berdirinya telah memikirkan

(49)

Kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai “suatu kegiatan terorganisasi yang

membantu tercapainya penyesuaian timbal balik diantara perorangan dengan

lingkungannya”. Tujuan ini diwujudkan melalui penggunaan teknik-teknik dan

metode-metode untuk membantu perorangan, kelompok-kelompok dan

kesatuan-kesatuan masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka serta

memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap pola-pola

kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan (dinamis), dan melalui

tindakan kerjasama untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial.

Menurut Walter A. Friedlander (1961), “Kesejahteraan Sosial” adalah

sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga yang

bertujuan mengangkat individu dan kelompok untuk mencapai standard hidup dan

kesehatan yang memuaskan, serta relasi-relasi pribadi dan sosial yang

memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan

meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan

masyarakatnya.

Definisi diatas menjelaskan:

1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang berintikan

lembaga-lembaga dan pelayanan sosial.

2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang

sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan,

(50)

3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan “kemampuan

individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi

kebutuhannya (Perlman, 1991:18).

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang

ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial berbunyi:

“Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang meliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.

Definisi tersebut menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial itu adalah

keadaan yang sebaik-baiknya yaitu pemenuhan kebutuhan manusia yang terdiri

dari aspek jasmaniah dan rohaniah. Manusia membutuhkan makanan, pakaian,

tempat tinggal, air, udara dan pemeliharaan kesehatan serta kebutuhan kerohanian.

2.5.2 Keberfungsian Sosial

Fungsi sosial yaitu pelaksanaan tugas-tugas pokok yang dilaksanakan oleh

individu dan anggota masyarakat sebagai suatu petunjuk umum kearah kehidupan

bersama manusia dan masyarakat yang berupa fungsi pengaturan, pemilikan,

pelaksanaan dan pengawasan. Kemampuan berfungsi sosial yaitu mengacu kepada

(51)

masyarakat dan sebagainya) bertindak dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan

dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

Keberfungsian sosial dapat dipandang dari berbagai segi, yaitu:

1. Dipandang sebagai kemampuan melaksanakan peranan sosial

Keberfungsian sosial dapat dipandang sebagai penampilan/pelaksanaan

peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektivitas.

2. Dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

Orang selalu dihadapkan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu,

keberfungsian sosial juga mengacu kepada cara-cara yang digunakan oleh

individu maupun kolektivitas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

3. Dipandang sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sosial

Orang dalam usahanya memenuhi kebutuhan, melaksanakan tugas-tugas

kehidupan dan mewujudkan aspirasinya tidaklah mudah. Ia dihadapkan kepada

keterbatasan, hambatan dan kesulitan serta permasalahan yang harus ditangani

dan dipecahkan.

Uraian diatas menggambarkan bahwa setiap orang selalu dihadapkan

kepada permasalahan sosial. Kemampuan seseorang di dalam mengatasi dan

memecahkan permasalahan yang dialami menunjukan kemampuannya dalam

(52)

2.6 Kerangka Pemikiran

Penempatan para pelaku tindak pidana di lembaga pemasyarakatan

bertujuan untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan ke dalam

masyarakat. Pemasyarakatan merupakan bagian yang paling akhir dari sistem

peradilan pidana. Sebagai sebuah tahapan yang terakhir sudah semestinya terdapat

harapan dan tujuan berupa pembinaan dari penghuni lembaga pemasyarakatan.

Pada prinsipnya di Indonesia, tujuan pemberian sanksi pidana haruslah berfungsi

untuk membina, yaitu bagaimana narapidana setelah keluar dari lembaga

pemasyarakatan menjadi baik, mempunyai keterampilan hidup yang dibutuhkan,

keseimbangan mental dan fisik pulih, dihormati segala hak dan kewajibannya

(53)

Bagan berikut menunjukan kerangka pemikiran secara skematis, yaitu:

Bagan 1

Bagan Kerangka Pemikiran

PROGRAM PEMBINAAN 1. Pendidikan umum.

2. Pendidikan keterampilan. 3. Pendidikan rohani. 4. Sosial budaya, kunjungan

keluarga.

5. Kegiatan rekreasi: olahraga, hiburan, membaca.

NARAPIDANA WANITA KLAS IIA TANJUNG GUSTA MEDAN

RESPON POSITIF RESPON NEGATIF

RESPON NARAPIDANA WANITA TERHADAP PROGRAM PEMBINAAN

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

(54)

2.7 Definisi Konsep dan Definisi Operasional 2.7.1 Definisi Konsep

Konsep adalah istilah, yaitu satu kata atau lebih yang menggambarkan

suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu. Untuk lebih

mengetahui pengertian mengenai konsep-konsep yang digunakan, maka dibatasi

konsep yang akan digunakan sebagai berikut:

1. Respon yaitu pandangan, pemahaman dan persepsi terhadap objek tertentu.

2. Warga binaan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu narapidana wanita

dewasa yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di lembaga

pemasyarakatan wanita dan telah menjalani masa pidana 1 (satu) tahun.

3. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan

narapidana/warga binaan pemasyarakatan.

4. Pembinaan yaitu semua usaha atau kegiatan yang ditujukan untuk

memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan warga binaan.

2.7.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan cara

mengukur suatu variabel. Dalam penelitian ini variabel yang diteliti, yakni:

1. Respon warga binaan yaitu pandangan, pemahaman, dan persepsi warga

binaan lembaga pemasyarakatan terhadap pembinaan, yang diukur dari

penilaian, menyenangi atau menolak, suka atau tidak suka, mengharapkan atau

(55)

a. Sikap warga binaan terhadap pembinaan.

b. Reaksi warga binaan terhadap pembinaan yang dapat dilihat dari

partisipasi atau keterlibatan dalam pembinaan.

2. Adapun indikator-indikator pembinaan adalah:

a. Pengetahuan narapidana terhadap jenis-jenis pembinaan:

1) Pendidikan umum.

2) Pendidikan keterampilan.

3) Pendidikan rohani.

4) Sosial budaya, kunjungan keluarga.

5) Kegiatan rekreasi: olahraga, hiburan, membaca.

b. Pemahaman narapidana terhadap tujuan pembinaan.

Membina narapidana agar dapat berintegrasi, setelah selesai menjalani

pidana kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

c. Pemahaman narapidana pelaksanaan pembinaan yang dilakukan oleh

petugas lembaga pemasyarakatan dan instansi terkait.

d. Manfaat pembinaan yang diterima narapidana.

Agar seorang narapidana menyadari akan perbuatannya dan kembali

menuju masyarakat yang sejahtera.

e. Pemahaman narapidana terhadap sarana dan prasarana yang disediakan,

meliputi:

1) Ruangan/bangunan fisik.

(56)

3) Peralatan pendukung pembinaan.

4) Sarana hiburan, olahraga, keterampilan dan sebagainya.

(57)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu sebagai

suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau

melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga,

masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang

tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1991:63).

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu

objek yang diteliti melalui pencarian data-data dan sumber-sumber informasi yang

berkenaan dengan objek yang akan diteliti, menganalisa data-data yang didapat

serta menginterpretasikan kondisi-kondisi yang terjadi pada objek penelitian

berdasarkan data yang ada. Yang diteliti yaitu pembinaan bagi warga binaan dan

bagaimana respon warga binaan terhadap pembinaan tersebut.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita,

Tanjung Gusta, Medan. Yang berlokasi di Jl. Pemasyarakatan Tanjung Gusta,

Medan. Alasan penulis memilih penelitian ini karena LAPAS wanita ini

merupakan satu-satunya lembaga pemasyarakatan wanita yang ada di Sumatera

Utara yang dalam melaksanakan pembinaannya menggunakan sistem

(58)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,

benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa

sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian

(Nawawi, 1991;141).

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan

para terpidana wanita yang melakukan tindak kejahatan yang berada di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas II A Tanjung Gusta. Jumlah populasi ini dapat

berubah setiap saat dikarenakan bebasnya narapidana atau masuknya narapidana

baru. Sampai pada bulan Juli 2009, jumlah populasi yang diperoleh berkisar 368

orang berstatus narapidana.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti dan dianggap

dapat menggambarkan populasinya. Dalam suatu penelitian sering timbul

pertanyaan akan besarnya sampel yang harus diambil untuk mendapatkan data

yang representatif. Menurut Arikunto, jumlah populasi lebih dari 100 maka

dianjurkan untuk menentukan jumlah sampel antara 10% - 20% dari populasi dan

dianggap representatif (Arikunto, 1997:20).

Dalam menentukan sampel dari populasi yang akan diteliti dalam

penelitian ini maka penulis menggunakan metode pengambilan sampel berupa

Gambar

Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 7
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengamati gambar dan mendengarkan penjelasan guru, siswa dapat mengidentifikasi dan mendemonstrasikan cara memegang dan membalik buku

con®rm the expected form and sign of the two-way interactions (p. Finding a signi®cant three-way interaction does not warrant such speci®c expectations... This is the consequence of

3.3.4 Menunjukkan huruf vokal dalam suatu kata yang terkait dengan tubuhku 3.3.5 Menunjukkan huruf konsonan dalam suatu kata yang terkait dengan tubuhku 4.3 Melafalkan

Carefully de®ning the underlying task require- ments, as well as comparing and contrasting those requirements to tasks previously studied, is a critical event necessary to further

SURAT TUGAS Nomor: 814/IV/SD.05/II/2015 Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala SD Negeri Mancagahar 1 UPTD Pendidikan Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut dengan ini menugaskan kepada :

1 shows that performance is (1) a positive function of goal setting for both levels of task interdependence, (2) over trials, performance level increases for reciprocal but is

Metode pemberian tugas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah metode yang dilakukan oleh seorang guru dengan memberikan tugas kepada peserta didik untuk mempelajari suatu

Dengan mengucap syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmad, taufik dan hidayah-Nya serta dengan usaha sungguh-sungguh penulis