• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

2.2. Konsep dan Teori

2.2.1 Transformasi Digital

Transformasi digital adalah perkembangan baru dalam penggunaan teknologi digital pada sebuah organisasi. Target utama dari konsep transformasi digital ialah para organisasi bisnis atau perusahaan (Bonfour, 2016, 20). Konsep tranformasi digital pada organisasi bisnis, berarti mengalihkan sistem pengoperasian industri, dari mode yang bersifat tradisional, menuju mode pemanfaatan teknologi digital secara penuh (Rashid, 2017, para.1).

Kelahiran konsep transformasi digital sendiri tak lepas dari dampak merajalelanya internet. Maka dari itu, transformasi digital sejatinya merupakan proses yang melibatkan penyebaran internet pada sektor permintaan dan penawaran sebuah organisasi bisnis (Bonfour, 2016, h. 20).

Bagi perusahaan media, transformasi digital berarti mengganti platform penyebaran informasi dari media analog ke media digital. Radio, televisi, koran, dan majalah, merupakan contoh dari media analog. Sementara, websites, social media, broadband, dan mobile phone, merupakan contoh dari media digital (Einav, 2015, h. 13-14). Media digital itu sendiri termasuk ke dalam bentuk digital platform (situs dan aplikasi), digitized content (tulisan, audio, video, dan gambar), serta sektor jasa (informasi, hiburan, dan komunikasi) (Nayyar, 2016, h. 5).

Media online menjadi senjata utama perusahaan media cetak dalam melakukan transformasi digital. Penyebaran konten berita tak lagi menggunakan format koran atau majalah, melainkan melalui sebuah situs (Kirchhoff, 2015, h.12). Media online sendiri memiliki beberapa karakteristik, diantaranya (Romli, 2014, h. 15-30):

1) Immediacy: mengutamakan kecepatan dalam penyampaian konten berita.

2) Multiple Pagination: menghadirkan ratusan halaman yang bisa saling berkaitan satu sama lain.

3) Multimedia: penyajian konten dapat berupa teks, gambar, dan video.

4) Flexibility Delivery Platform: tidak dibatasi ruang dan waktu, sehingga pembuatan konten berita dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja.

5) Archieving: konten berita dikelompokan ke dalam rubrik-rubrik. 6) Relationship with Reader: memungkinkan adanya interaksi langsung dengan para pembaca.

Sukses tidaknya transformasi digital tergantung pada tingkat kematangan sebuah organisasi bisnis dalam menggunakan aplikasi internet. Tingkat kematangan tersebut dinilai berdasarkan dua kriteria, yaitu intensitas digital serta intensitas manajemen transformasi, dan dibagi ke dalam empat level (Bonfour, 2016, h. 20-21):

1) Digital beginners, merupakan perusahaan yang tingkat implementasi intensitas digital dan transformasinya sangat rendah. 2) Digital fashionistas, merupakan perusahaan yang tingkat implementasi intensitas digitalnya sudah tinggi, namun tingkat transformasinya masih rendah.

3) Digital conservatives, merupakan perusahaan yang sudah menyadari pentingnya transformasi digital, tapi pekerjaannya masih terbagi dengan cara tradisional.

4) Digitary: perusahaan yang sangat memahami nilai transformasi digital dan bagaimana cara memanfaatkannya

Kriteria intensitas digital dijelaskan dari tingkat perusahaan dalam memanfaatkan teknologi digital. Teknologi digital tersebut merupakan alat bagi perusahaan untuk lebih dekat dengan para pelanggan, memberdayakan karyawan, serta mengubah proses bisnis internalnya (Westerman, Bonnet, dan McAfee, 2014, h. 13).

Sementara, pada kriteria intensitas manajemen transformasi, penjelasannya dapat dilihat dari tingkat kebijakan serta koordinasi perusahaan dalam menjalankan transformasi digital itu sendiri. Terutama, bagaimana pihak pemimpin perusahaan membangun visi masa depan yang jelas, memulai beberapa kebijakan vital, dan kemudian mengkoordinasi karyawan agar bisa sejalan dengan visi yang ada (Westerman, Bonnet, dan McAfee, 2014, h. 14).

Sebuah organisasi bisnis atau perusahaan, bisa diidentifikasi sebagai pelaku transformasi digital, apabila telah memenuhi beberapa kriteria, yakni, melakukan perubahan pada cara berbisnisnya, perubahan dalam penugasan, serta mencari kemampuan baru yang sesuai dengan kebutuhan dunia digital. Kriteria tersebut nantinya juga berguna bagi perusahaan untuk memperluas cara pandangnya dalam penerapan transformasi digital (Bonfour, 2016, h. 22).

Transformasi digital berpengaruh terhadap empat aspek rencana bisnis perusahaan, yaitu scoop, scale, speed, dan source. Pada aspek scoop, transformasi digital memengaruhi perusahaan untuk mengembangkan pendekatan digital dalam ekosistem bisnisnya. Pada aspek scale, perusahaan perlu memanfaatkan sumber utama ekonomi dunia digital, yaitu data. Speed, berarti perusahaan harus membuat percepatan pada sektor peluncuran produk, pembuatan kebijakan, serta pembangunan relasi. Sementara pada aspek source, perusahaan akan mencari nilai penciptaan produk dan pemasukan yang baru (Bonfour, 2016, h. 22-23).

2.2.2 Model Bisnis Media Daring

Bagi sebuah perusahaan, model bisnis merupakan salah satu bagian dari keseluruhan rencana bisnis. Adapun konsep rencana bisnis tersebut mencakup beberapa hal, yakni, karakteristik organisasi, manajemen, produk, analisis pasar dan kompetisi, analisis pelanggan potensial dan

konsumen, analisis pemasaran dan penjualan, model bisnis, serta rancangan finansial dan tujuan ke depan (Tassel, 2010, h.326).

Model bisnis sendiri berguna untuk menggambarkan logika dasar bisnis sebuah perusahaan. Model bisnis juga menjelaskan berbagai kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan, seperti, bagaimana cara perusahaan menciptakan nilai lewat produk dan pelayanannya, apa yang menjadikan produk yang dibuat berbeda dengan para pesaing, bagaimana perusahaan mengatasi keperluan operasionalnya, bagaimana perusahaan membangun lalu menjaga hubungannya dengan para customer dan partner, serta bagaimana cara perusahaan dalam menghasilkan uang (Picard, 2011, h. 8).

Tassel (2010, h.326) membagi model bisnis ke dalam empat komponen utama, antara lain:

1) Content Models

Content models menjelaskan tentang cara membuat sebuah konten yang menarik bagi para konsumen, cara mempertahankan para konsumen, dan cara memengaruhi para konsumen. Lebih jauh, content models juga terkait soal jenis serta karakteristik konten yang ditawarkan, dan bagaimana konten akan menarik para konsumen (Tassel, 2010, h. 327). Content models sendiri dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu content aggregation models, audience aggregation models, audience segmentation models (Tassel, 2010, h. 329).

Content aggregation models berfokus pada cara-cara pembuatan konten yang menarik bagi khalayak. Cara pertama yang bisa dipakai ialah consumer experience model. Dalam penerapannya, consumer experience model berusaha membuat konten yang bisa memberikan pengalaman menyenangkan bagi khalayak. Faktor-faktor menyenangkan yang dimaksud, bisa didapat dari segi kemudahan akses konten, ataupun tingginya manfaat konten bagi khalayak (Tassel, 2010, h. 330-331).

Cara kedua ialah bundling and buckets. Pada cara ini, sebuah perusahaan akan membuat serta menyajikan sebanyak mungkin konten kepada khalayak. Selanjutnya, khalayak diberi kebebasan untuk memilih sendiri konten mana yang bermanfaat untuk mereka (Tassel, 2010, h. 331-332).

Cara ketiga, interface control model, beranggapan bahwa khalayak akan kebingungan dalam memilih jika sebuah perusahaan terlalu banyak membuat serta menyajikan konten. Maka dari itu, interface control model berusaha mengatur dan memandu konten mana saja yang harus dikonsumsi oleh khalayak (Tassel, 2010, h. 332-333). Interface control model bisa diterapkan pada bagian homepage sebuah website, atau juga dengan menempatkan sebuah tautan pada sebuah konten, yang mana tautan tersebut nantinya akan mengarahkan khalayak kepada konten lainnya (Tassel, 2010, h. 333-334).

Selanjutnya, cara keempat yang bisa dipakai ialah user-created model. Pada cara ini, perusahaan menjadikan khalayak sebagai pembuat konten. Cara ini sudah dipakai oleh beberapa perusahaan digital, seperti, Youtube, Twitter, dan Facebook (Tassel, 2010, h. 334).

Cara kelima atau cara terakhir yang dapat diterapkan adalah syndication and licensing. Cara ini memberikan kebebasan bagi pemilik perusahaan untuk menyajikan konten apapun tanpa perlu memikirkan biaya pegawai editorial. Melalui beberapa perjanjian kontrak, si pemilik perusahaan bisa menampilkan konten yang dibuat oleh perusahaan lainnya (Tassel, 2010, h. 335).

Audience aggregation models sebenarnya merupakan kebalikan dari content aggregation models. Pada content aggregation models, perusahaan mengumpulkan konten terlebih dahulu, baru setelah itu mencari khalayak yang akan mengonsumi konten tersebut. Sementara itu pada audience aggregation models, tahap pertamanya justru lebih dulu mengumpulkan khalayak, baru selanjutnya mencari konten yang bisa menarik khalayak tersebut (Tassel, 2010, h. 336).

Ada dua cara yang bisa diterapkan pada audience aggregation models, yaitu horizontal portals and destination, serta free service models. Dalam horizontal portals and destination, sebuah perusahaan akan membuat berbagai macam materi konten

yang sekiranya bisa menarik perhatian banyak orang. Horizontal portals and destination bertujuan untuk menaikan nama situs perusahaan agar berada di urutan teratas search engine (Tassel, 2010, h. 337).

Sementara itu, pada cara kedua, yakni free service models, sebuah perusahaan akan berupaya memberikan konten yang atraktif serta bernilai tinggi untuk menarik para khalayak. Cara ini biasanya diterapkan dengan memberikan layanan gratis lewat internet kepada khalayak, dan mendapat dukungan dari iklan (Tassel, 2010, h. 338).

Audience segmentation models pembahasannya berfokus pada khalayak, dan pembuatan konten yang menarik untuk khalayak yang ditargetkan (Tassel, 2010, h. 339). Audience segmentation models berusaha memanfaatkan internet untuk menarik orang-orang yang memiliki beberapa pengalaman atau minat yang sama (Tassel, 2010, h. 338).

Ada dua cara yang bisa diterapkan pada audience segmentation models, yaitu vertical portals and destination model dan internet community models. Cara pertama, vertical portals and destination models, mengharuskan perusahaan untuk lebih dulu menargetkan khalayak yang memiliki minat khusus, kemudian baru berikan konten yang menarik untuk khalayak tersebut.

Segmentasi dan jenis konten menjadi hal yang terpenting dalam penerapan cara ini (Tassel, 2010, h. 339).

Cara yang kedua ialah internet community models. Pada cara ini, sebuah perusahaan akan membuat konten yang menarik untuk sebuah kelompok masyarakat atau komunitas. Penerapan internet community models memungkinkan para anggota komunitas untuk bisa saling berinteraksi, berdiskusi, dan berkomentar, lewat jaringan internet (Tassel, 2010, h. 339). Internet community models sendiri telah diterapkan oleh sebuah perusahaan game online, World of Warcraft, dengan menambahkan konten diskusi untuk komunitas di situs utama mereka http://www.worldofwarcraft.com/community/ (Tassel, 2010, h. 340).

2) Distribution Models

Distribution model membahas tentang bagaimana cara penyebaran konten agar dapat menggapai para konsumen. Distribution model juga menguraikan bagaimana konten akan menjangkau konsumen, dan bagaimana kondisi konsumen sehingga bisa mengakses konten (Tassel, 2010, h. 327). Distribution model sendiri dibagi ke dalam tiga kategori, antara lain, windowing model, cross-media platform, dan walled garden (Tassel, 2010, h. 350).

Windowing model merupakan konsep pendistribusian konten yang dilakukan ke dalam beberapa tahapan waktu. Pada masing-masing tahapan waktu, pendistribusiannya akan menggunakan platform media yang berbeda-beda. Pembahasan windowing model sebenarnya juga berkaitan dengan marketing model dan revenue model. Bila dibahas sebagai marketing model, maka konsep windowing model akan bertujuan untuk menjangkau para pelanggan yang kurang bersemangat. Sementara bila dibahas sebagai revenue model, penerapan windowing model bertujuan untuk menetapkan harga yang lebih rendah (Tassel, 2010, h. 350).

Cross media platform beranggapan bahwa di era digital, setiap pelanggan memiliki caranya masing-masing untuk menikmati konten. Ada yang lebih nyaman menonton video, membaca artikel, melihat gambar, atau bahkan ada pula yang lebih nyaman dengan menggabungkan kesemuanya. Maka dari itu, penerapan cross media platform berusaha untuk mendistribusikan konten dengan menggunakan berbagai platform media (Tassel, 2010, h. 351).

Walled garden adalah konsep pendistribusian konten yang berusaha mengarahkan konsumen untuk datang ke satu tempat saja. Perusahaan akan berupaya membuat para konsumen tidak meninggalkan tempat tersebut dengan menerapkan sistem berlangganan. Jadi, kebebasan konsumen dalam memilih konten

hanya berpusat pada satu tempat, yakni di perusahaan penyedia konten (Tassel, 2010, h. 352).

3) Marketing Models

Marketing models menjelaskan bagaimana proses konsumen potensial bisa berubah menjadi konsumen sebenarnya (Tassel, 2010, h.327). Marketing models juga menjelaskan bagaimana pelanggan mencari tahu tentang konten yang disediakan, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mengakses atau membelinya (Tassel, 2010, h. 344). Marketing models sendiri dibagi ke dalam lima kategori, yakni, spiral models, viral models, affinity models, data mining, dan longitudinal cohort models (Tassel, 2010, h. 344-345).

Sprial models adalah cara pemasaran yang mengarahkan para calon konsumen dari satu platform media, ke platform media lainnya, sampai akhirnya mereka yakin untuk mengakses atau membeli konten. Produk yang ditawarkan pada masing-masing platform media tetaplah sama, hanya cara memengaruhinya yang berbeda. Spirals models beranggapan bahwa setiap platform media bisa digunakan sebagai alat pemasaran, asal dimanfaatkan sesuai karakteristiknya masing-masing (Tassel, 2010, h. 344-345).

Viral models berusaha membuat konten yang akan dibagikan oleh satu konsumen ke konsumen lainnya, baik secara pribadi, maupun jaringan, sampai konsumen lainnya tersebut

menjadi yakin untuk mengakses atau membeli konten. Dalam hal ini, viral models berarti turut memposisikan para konsumen sebagai agen pemasaran (Tassel, 2010, h. 347).

Cara pemasaran pada affinity models ialah menjalin kerjasama dengan perusahaan lain yang kontennya bisa saling berkaitan atau saling melengkapi, serta bertujuan untuk menjangkau orang-orang yang berpotensi untuk melihat atau membeli konten. Demi memaksimalkan sisi komersial, pada sistem kemitraannya, perusahaan-perusahaan terkait harus menjalin kesepekatan terlebih dahulu mengenai tautan mana yang bisa diakses konsumen (Tassel, 2010, h. 347).

Pada data mining, cara pemasarannya ialah dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi tentang para konsumen yang sudah pernah mengakses konten. Data dan informasi yang didapat berguna untuk menentukan nilai jual perusahaan bagi para konsumen. Selain itu, data dan dan informasi tersebut, juga bisa dijadikan sebagai panduan kegiatan perusahaan selanjutnya. Semakin banyak data dan informasi yang didapat, akan semakin memudahkan perusahaan dalam menjangkau dan menargetkan konsumen (Tassel, 2010, h. 348).

Longitudinal cohort models ialah cara pemasaran yang berusaha mengikuti segmen demografis konsumen tertentu. Perusahaan akan berupaya memasarkan konten yang sesuai dengan

selera segmen tersebut (Tassel, 2010, h. 345). Kunci utama dari longitudinal cohort models adalah kesetiaan perusahaan dalam mengikuti segmen tertentu. Perusahaan harus terus menerus melayani segmen tersebut dari waktu ke waktu (Tassel, 2010, h. 349).

4) Revenue Model

Revenue model menjelaskan rincian bagaimana sebuah industri dapat menghasilkan uang. Revenue model juga menunjukan bagaimana keterkaitan antara konten-konten yang dibuat dalam menghasilkan uang (Tassel, 2010, h.327). Penjelasan revenue model sendiri dijabarkan ke dalam 12 kategori, yakni, multiple revenue stream, ad-supported model, transactional pay-per, bundling and tiering, big bite model, subscription model, commerce-supported model, usage fees, piggyback model, licensing fee, revenue sharing model, affiliate revenue sharing, cybermediary model, consumer generated content, dan data sales model (Tassel, 2010, h.354).

Multiple Revenue Stream merupakan sistem pendapatan yang dihasilkan lebih dari satu sumber. Selain iklan, dan penjualan konten, perusahaan media juga kerap memasarkan produk lainnya dan dijadikan sebagai aliran pemasukan baru (Tassel, 2010, h.353).

Ad-supported model merupakan sistem pendapatan yang berasal dari iklan. Perusahaan media biasanya akan memberikan tempat khusus di halaman situsnya untuk diisi oleh para pengiklan (Tassel, 2010, h.354).

Transactional pay-per merupakan sistem pendapatan yang diperoleh langsung dari konsumen ketika mereka mengakses konten. Layanan di internet, memungkinkan perusahaan langsung mendapatkan pemasukan dari setiap video, foto, atau artikel yang diakses konsumen (Tassel, 2010, h.355).

Bundling and tiering adalah sistem pendapatan yang mana perusahaan akan menyajikan berbagai macam konten secara bersamaan, lalu menetapkan harga untuk tiap paketnya. Penetapan harga tiap paket pada bundling and tiering dikelompokan berdasarkan tema kontennya, misalnya olahraga atau tema populer lainnya. Bundling and tiering sudah cukup sering digunakan oleh para perusahaan televisi berbayar (Tassel, 2010, h.356).

Big bite model adalah sistem pendapatan yang langsung menguangkan konten sejak pertama kali dirilis. Big bite model beranggapan, bila konten yang dibuat sudah banyak tersebar di internet, maka harga jualnya akan cepat turun. Pembuat konten pun harus segera mendapatkan uang sejak konten pertama kali dirilis (Tassel, 2010, h.356).

Subscription model ialah cara perusahaan mendapatkan uang dengan menerapkan sistem berlangganan kepada para konsumennya. Jadi, pelanggan akan membayar sejumlah uang untuk bisa mengakses konten tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Bundling and tiering kerap dijadikan tambahan dari subscription model (Tassel, 2010, h.356-357).

Commerce-supported model, merupakan sistem pendapatan yang akan mengratiskan konten, namun tetap didukung dari hasil penjualan produk lainnya. Pembuatan konten hanyalah strategi untuk menarik orang-orang saja. Setelah tertarik, orang-orang tersebut kemudian ditargetkan sebagai konsumen dari penjualan produk (Tassel, 2010, h. 357).

Usage fees, sistem pendapatan ini besar uangnya tergantung dari layanan yang dikonsumsi pelanggan. Layanan yang dimaksud, biasanya dikelompokan ke dalam bentuk layanan tetap, layanan jaringan, atau layanan akses (Tassel, 2010, h. 358).

Piggyback model berfokus pada strategi untuk memiliki satu konten sebagai pendukung konten lainnya. Cara ini biasanya diterapkan oleh para stasiun televisi. Mereka kerap menyiarkan acara yang memiliki rating tertinggi terlebih dahulu, guna membangun penonton untuk acara-acara lainnya (Tassel, 2010, h. 358).

Licensing fee adalah sistem pendapatan yang berusaha memertahankan hak cipta. Lincensing fee memungkinkan konten untuk dijual atau didistrubusikan kembali oleh pihak ketiga (Tassel, 2010, h. 358).

Revenue sharing models berfokus pada strategi berbagi pelanggan dan pendapatan dengan mitra perusahaan. Total pendapatan dibagi secara adil sesuai kesepakatan awal kepada masing-masing perusahaan yang bekerjasama (Tassel, 2010, h. 358-359).

Affiliate revenue sharing berfokus pada sistem kemitraan pembagian hasil dengan penyedia konten untuk meningkatkan jumlah konsumen. Sistem kemitraan tersebut biasanya terjadi antara pihak penyedia konten dan e-commerce. Situs dari pemilik konten akan menempatkan logo atau tulisan yang akan menghubungkan konsumen dengan e-commerce. Jika konsumen kemudian membeli produk e-commerce, maka pihak e-commerce harus membagi hasil pendapatannya dengan sang penyedia konten (Tassel, 2010, h. 359).

Cybermediary model adalah versi online dari distributor penjualan grosir. Cybermediary model memudahkan pertukaran antara penjual dan pembeli secara online (Tassel, 2010, h. 360).

Consumer generated content memungkinkan konsumen untuk turut menyediakan konten, lalu membayar konsumen

tersebut sesuai pekerjaannya. iStockphoto kerap membayar konsumen yang membuat konten foto ke situsnya sebesar 20 sampai 40 persen dari total pendapatan tiap fotonya. Beberapa situs blogging juga kerap membagi hasil pendapatan iklan kepada para blogger yang produktif menghasilkan tulisan (Tassel, 2010, h. 363).

Data sales model adalah sistem pendapatan dengan menjual data-data mengenai konsumen dan pengguna konten. Data tersebut memang menjadi hal yang paling berharga bagi perusahaan. Selain berguna sebagai daya tawar kepada mitra perusahaan, data-data tentang konsumen juga bisa dijual dan dijadikan uang (Tassel, 2010, h. 363).

Dokumen terkait