• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.2. Saran

5.2.1. Saran Praktis

Hasil penelitian ini bisa menjadi sebuah refrensi bagi industri media yang ingin ataupun sedang menjalankan transformasi digital. Khususnya mengenai penjelasan dan pembahasan mengenai model bisnis, yang menjadi contoh bagaimana sebuah media kini menjalankan perusahaannya di tengah era digital.

5.2.2 Saran Akademis

Penelitian ini tak luput dari segala keterbatasan materi dan konsep. Maka dari itu, diharapkan akan muncul penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih mendalam mengenai tingkat kematangan transformasi digital sebuah media secara kuantitatif, ataupun tingkat keberhasilan model bisnis sebuah media secara kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, Dedy. 2016. “96% Masyarakat Indonesia Konsumsi Berita Online”. Okezone. 16 Maret. Diakses 13 Mei 2017.

http://economy.okezone.com/read/2016/03/16/320/1337230/96-masyarakat-indonesia-konsumsi-berita-online

Bijakharisman, Ahmad. 2017. Model Bisnis Media Baru (Studi Kasus Pada

Perusahaan Portal Berita Online Rappler dan Tirto). Tangerang: Universitas Multimedia Nusantara

Bogdan, R. C., & Taylor, S. J,. 1992. Introduction to Qualitative Research Methotds: A Phenomenological Approach in the Social Sciences. Surabaya: Usaha Nasional.

Bonfour, Ahmed. 2016. Digital Futures, Digital Transformation:From Lean Production to Acceluction. New York: Springer

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup Cresswell, John.W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design : Choosing

Among Five Approaches. USA : Sage Publications.

Dwi, Lilik. 2017. “Apakah Website Terlalu Usang Untuk Jurnalisme Digital?”. Diakses pada 5 November 2017.

http://nasional.kompas.com/read/2017/06/20/04000041/apakah.website.terlalu .usang.untuk.jurnalisme.digital.

Einav, Dali. 2015. The New World of Transitioned Media Digital Realignment and Industry Transformation. New York: Springer

Firdaus, Febriana. 2016. “Benarkah Senjakala Media Cetak Sudah Tiba?”. Diakses 4 November 2017. https://www.rappler.com/indonesia/117757-senjakala-media-cetak-bre-redana

Fletcher, Richard & Radcliffe, Damian. 2015. Reuters Institute Digital News Report: Supplementary Report. Oxford: Reuters Institute for the Study of Journalism. HAI. 2018. “About us”. Diakses 17 Januari 2018. http://hai.grid.id/About.

Kirchhoff, Suzanne. 2015. The U.S. Newspaper Industry in Transition. CRS Reports. Congressional Research Service

Jallaludin. 2014. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Rosakarya.

Margianto, J. Heru & Syaefullah, Asep. 2014. Media Online: Antara Pembaca, Laba, dan Etika. Jakarta Pusat: AJI Indonesia.

Manan, Abdul. 2017. “Gelombang Digitalisasi Menerpa, Jurnalis Harus Lebih Sejahtera”. Diakses pada 4 November 2017.

https://aji.or.id/read/berita/649/gelombang-digitalisasi-menerpa-jurnalis-harus-lebih-sejahtera.html

Meek, Colin. 2006. “The Online Journalism Timeline”. Journalism.co.uk. Diakses pada 4 November 2017. https://www.journalism.co.uk/news-features/the-online-journalism-timeline/s5/a51753/

Nayyar, Sarita. 2016. Digital Media And Society : Implications in a Hyperconnected Era. E-Paper. World Economic Forum.

Nieminen, Jesse. 2014. Understanding and Managing Digital Transformation – A case study of a large Nordic retailer. Espoo: Aalto University

Picard, Robert G. 2011. Digization and Media Business Models. USA : Open Society Foundation.

Rashid, Brian. 2017. “Digital Transformation And Innovation In Today's Business World”. Diakses pada 5 November 2017.

https://www.forbes.com/sites/brianrashid/2017/06/13/digital-transformation-and-innovation-in-todays-business-world/#3b9354024905

Romli, Asep Syamsul.2014. Jurnalistik Online. Bandung : Nuansa Cendikia Tassel, Joan Van. 2010. Managing Electronic Media : “ Making, Marketing, and

Moving Digital Content. United Kingdom : Focal Press.

Tomy, Petrus. 2017. Alur Kerja Jurnalis di HAI-Online. Tangerang: Universitas Multimedia Nusantara.

Westerman, G., Bonnet, D., dan McAfee, A. 2014. Leading Digital: Turning Technology Into Bisnis Transformation. Boston: Harvard Business Review Press

Yin, Robert K. 2013. Studi Kasus : desain & Metode. Depok: Rajagrafindo Persada.

Zuhra, Nur. 2017. “Kelahiran Generasi Z, Kematian Media Cetak”. Diakses 4 November 2017. https://tirto.id/kelahiran-generasi-z-kematian-media-cetak-ctLa.

LAMPIRAN

Foto peneliti dengan Rizki Ramadan

Foto bukti wawancara dengan Rizki Ramadan lewat surat elektronik a.

Tabel Wawancara

Tanggal Wawancara Subjek yang Diwawancarai

12 Januari 2018 dan 9 Febuari 2018 Rizki Ramadan 16 Januari 2018 dan 12 Febuari 2018 Adhi Quardianto

Tabel Observasi

Tanggal Observasi Objek/Subjek yang Diobservasi

12 Januari 2018 - Peneliti melakukan observasi langsung ke kantor redaksional HAI.

- Kantor redaksional HAI ternyata berada di ruangan yang sama dengan kesemua media naungan Grid Id Network, dan tiap medianya dibedakan menurut jeda antarmeja

- Redaksional HAI saat ini diisi oleh empat orang saja, serta beberapa tambahan pekerja lepas.

- Adanya diskusi antara tim divisi video dari Grid Id Network dan Managing Editor HAI, guna membahas konten video HAI selanjutnya. 17 Januari 2018 - Melihat tampilan website HAI

- Konten berita di website HAI dibagi ke dalam beberapa rubrik, seperti feature, kampus, self-improvement.

- Konten berita di website HAI berupa multimedia, gabungan antara tulisan, foto, dan video.

- Para pembaca HAI bisa meninggalkan komentar pada tiap berita di website HAI dan terhubung dengan media sosial Facebook. - Twitter HAI kerap mengunggah tautan dari

Narasumber: Managing Editor HAI, Rizki Ramadan

Pertama bisa dijelaskan bagaimana sampai akhirnya hai memutuskan untuk memberhentikan majalahnya dan digital saja?

Sebenarnya keputusan mau pindah dari cetak ke digital itu wacananya udah muncul di tahun 2016. Tapi waktu itu pengen uji coba dulu kalau kita nggak jadi digital langsung, tapi jadi majalah bulanan. Kan Sebelumnya hai itu mingguan Ya udah jadi bulanan sejak bulan Oktober 2016, nyoba sampai bulan Mei 2017 tapi penjualannya gak meningkat jadi ya udah salah satu alasannya sih itu karena kita nyoba ngikutin generasi Z ini yg mau jadi pembacanya hai kan mereka anak2 sma, dan mereka udah jauh banget dari majalah, udah gak ada yg beli majalah, dan biasanya mengonsumsi media tuh dari media digital, jadi sekalian aja. Hai kan majalah anak muda sekalian aja jadi media yg anak muda banget, jadibmedia digital.

Perubahan-perubahan apa aja yg terjadi di tubuh Hai setelah jadi digital, selain formatnya?

Formatnya dulu ya, formatnya kan berubah jadi digital online, di online itu kita kontennya jadi lebih banyak, multimedia kan. Pertama kita bikin konten utamanya di web. Webnya itu haionline.com yang ada di subdomain grid. Di situ tuh kita ngeshare kayak artikel2 harian. Trus sebgai cabangnya haionline itu kita pnya ig buat ngepost berita2 singkat, trus ada twitter, fb, line, tiga itu dipake untuk ngeshare berita2 dari haionline. Sama youtube juga. Youtube tuh untuk video, untuk mengupload konten2 video.

Trus yg berubah lagi?

Ya sistem kerja berubah, ini kalo dulu kan kerjanya mingguan dan bulanan, kalo sekarang jadi harian. Jadi kontennya tuh konten2 harian. Terus struktur organisasi berubah yaitu mengikuti manajemen di sini secara keseluruhan. Yang tadinya strukturnya agak banyak, jadi dirampingin. Dulu si hai itu bisa sampe 20 orang, klo skrng cuma 5 org, pemred, pemrednya tuh pemred gabungan membawahi tiga media sekaligus, nah trus dibawahnya pemred tuh ada managing editor. Trus di bawahnya managing editor tuh ada editor satu, dibawahnya lagi ya ada editor tiga, jadi cuma segitu doang.

perubahan dari sisi launching prodaknya, atau kontennya gimana?

Masalah peluncuran hai online, sebenernya hai online udah dari tahun 2000. Udah lama banget. Kita termasuk media2 awal untuk membuat web, makanya secara website online itu udah dipercaya google, karena domainnya udah lama banget. Trus baru benar-benar digitalnya tuh di tahun 2017 kemaren, bulan Juni. Saat itu di edisi terakhir majalah kita bawa kampanye we need more space. Jadi intinya si hai ini pindah ke hai online bukan karena meninggalkan media, tapi karena hai butuh ruang yg lebih besar lagi untuk mengeksplor konten, bikin2 konten, dan lebih akrab lagi menyapa anak muda. Itu misi yg dibawa sama Hai.

Kalo dari segi sistem redaksi gimana perubahannya?

Di hai tuh ada tiga jenis konten. Ini di hai online ya. Pertama konten bulanan, ini tuh artikel yang tayang sebulan sekali. Trus ada konten mingguan dan konten harian. Nah ketiganya itu ada rapatnya masing-masing. Jadi tiap bulan sekali kita rapat untuk membicarakan konten bulanan ini. Jadi kita nih bikin indepth reporting tentang suatu isu sebulan sekali dgn tema2 tertentu, dan tiap bulan ada tema2nya. Misalnya di bulan desember kemarin, kita ngebahas tentang udah apa aja terjadi di tahun 2017 di bidang musik film trus tren di media sosial secara umum. Trus yg kedua konten mingguan. Kita tiap minggu ada rapat untuk mengidekan artikel2 feature yg agak panjang untuk dibikin tiap hari senin oleh masing2 reporter. Kalo di konten harian, berita yg kita temuin di hari itu sedang menarik sedang trending ya diangkat hari itu juga, gak ada meeting2nya dulu. Kalo dari sistem redaksi tetep ada pembagian2 rubrik, ada penjaga tiap rubrik. Fokusnya tuh ke musik film, trending news olahraga sekolah sama self improvment, tapi karena sekarang orangnya dikit jadi satu orang merangkap beberapa rubrik sekaligus. Misalnya adi megang musik sama sport dan teknologi. Trus si ryan megang sport, karena ryan editor jadi cakupannya kecil, jadi cuma sport dan musik, bantu2 si adi. Trus si alvin ini lebih fokus ke trending news, lifestyle dan fashion. Trus gue sendiri megang sekolah, megang isu2 pendidikan, sama teknologi.

Kalo pandangan Hai sendiri tentang menghadapi dunia digital kayak gimana?

Sebenernya lebih banyak enak gak enaknya sih jadi media digital. Pertama dulu tuh kalo majalah, majalah udah jadi disebar ke distributor, kita gatau lakunya berapa, reaksinya respon orang2 setelah baca artikel kita gimana. Nah kalo di digital tuh kita bisa tau persis kayak gimana reaksi orang, trus brp org yg baca artikel kita, trus ada masukan2 apa dari si audiens. Jadi sangat dinamis dan realtime. Enaknya interaktif sama pembacanya jadi saat itu juga. Kalo dulu kan majalah, kita sama pembaca tuh sangat berjarak banget kan. Kalo ini lebih deket, gitu. Itu pertama enaknya. Trus kedua itu bisa lebih banyak konten. Kalo dulu misalkan mau wawancara suatu gamer, dulu pikirannya cuma mau wawancara sama foto doang. Setelah jadi digital kita bisa jadi mikirin si hasil wawancaranya itu mau jadi video, videonya kita bisa bikin macem2, bisa interview, challenge, trus bisa tetep ada fotonya juga, foto berkonsep. Tetep bikin artikel panjang. Jadi satu subjek bisa jadi banyak konten gitu. Jadi eksplorasi kontennya lebih banyak. Terus gak enaknya, cepet banget dan dinamis banget di digital itu. Jadi ya kita yg terbiasa dengan pola kerja di cetak agak sempet mengalami masa2 culture shock gitu. Kalo dulu kan, kita kerja tiga minggu sebelum si majalah terbit, itu jadi punya waktu panjang untuk kejar narasumber, untuk bikin feature panjang, jadi satu artikel panjang bisa kita garap 2 3 hari. Sementara sekarang kita harus makin cepat, dalam penentuan tema, lihat apa yg lagi trending, trus kita harus bisa bikin artikel saat itu juga. Gak cukup satu artikel, jadi ya harus banyakin angle beritanya. Pokoknya banyak-banyakin angle hanya dari satu tema. dan karena semua bisa dihitung banget di dunia digital itu jadi suatu tantangan buat kita. kita ditargetin satu bulan itu hai harus mencapai let say 4 juta page view. Itu harus dikejar banget, jadi kalopun kita belum mencapai target itu ya harus cari cara untuk bikin konten yang banyak mendatangkan audiens. Jadi orientasinya sekarang itung2an tadi itu. Kalo dulu kan target ada, tapi gak begitu pengaruh. Kalo dulu laporan oplah pun enam bulan sekali kan. Kalo sekarang kan ya hari itu juga bos2 bisa tau hai itu dibaca sama berapa orang.

Kalo buat ngemanage culture shock itu gimana?

Sebenernya bisa2nya kita sih, org2 redaksi untuk beradaptasi sama si dunia digital ini. Kita untungnya lagi si hai ini dibawah grid network. Jadi hai bukan satu2nya media yg pindah dari majalah ke digital. Jadi kita bisa ngeliat dan mempelajari pola2 sama media tetangga. Misalnya grid, ternyata untuk bisa menarik audiens artikel kita harus banyak dulu, dan itu ternyata benar, karena kita nulisnya banyak jadi angle yg kita kulik banyak kan. Itu jadi terbiasa untuk melatih bikin artikel yg disukain sama si audiens. Untungnya, di hai ini di tim udah ada satu dua orang yang udah ahli dunia digital. Jadi dua orang ini bs jadi role model untuk sisanya.

Dulu kan udah ada online, sekarang kan digital doang, ada pengembangan signifikan gak yg dilakuin hai setelah digital aja?

Enggak signifikan sih. Karena hai itu dibawah grid network. Nah grid network itu ada 12 media kalo gak salah. Nah itu segi tampilannya sama semua. Jadi ya hai gak bisa punya banyak kuasa untuk merubah templatenya, jadi harus ngikutin template yg udah disediain sama manajemen. Sebenernya kalo dulu tuh hai mau bikin rubrik ini, tampilannya kayak gini, itu bisa tapi mungkin harus request dalam waktu lama. Ini skrng templatenya sama, dari segi tampilannya ya gak begitu signifikanlah perubahannya. Tapi kalo dari segi konten, ya kalo dulu kan kita terbiasa dengan artikel panjang feature gitu kan. Hai itu dikenal sebagai media yang kerap memproduksi artikel feature indept reporting, tapi kalo sekarang ini kita mengikuti budaya online. Artikel panjang itu dipecah jadi beberapa artikel dengan sudut pandang yg berbeda-beda. Tapi, intinya tetep yg tadi gua bilang itu, di harian kita nulisnya pendek2, tapi kan di konten yg sebulan sekali itu kita tetep nulis panjang.

Bagaimana sih kerjasama yg terjalin antara Hai dan grid?

Oohh banyak banget kolaborasi di sini, bahkan kita boleh share link artikel ke fb media lain. Grid itu kan di fb followersnya udah sejuta, sementara hai itu 200rb. Jadi hai bisa ngeshare berita yg sesuai sama audiensnya grid di fb nya grid. Itu lumayan kan buat dapetin klik. Kita juga bisa gini, ini kebijakan baru sih, jadi kita boleh naroh artikel di media lain yg masih di bawah naungan grid, tapi cuma semacem teasernya doang gitu. Jadi ketika lu baca artikel hai di grid paling cuma nemu 3 paragraf, tp buat baca paragraf lainnya sampe abis ya bacanya di hai online Itu kenapa hai dibawah naungan grid?

Itu keputusan manajemen, karena kita emang mau goes digital gtu kan. Jadi sejak 2017 kan pengen hijrah ke digital, yaudah sekalian bikik konsep baru, jadi kita bikinlah grid network. Jadi kompas gramedia magazine itu berubah nama jadi grid network. Jadi di bawah grid network itu ada empat bidang, pertama digital satu, digital satu itu, eh bentar ulang. Dibawah grid itu ada empat bidang, pertama penerbitan cetak, itu yang make percetakan kan nova, natgeo, nakita. Terus ada yg namanya digital. Nah digital itu di bawahnya ada dua, pertama digital satu dan digital dua. Yang di digital satu itu Hai, cewek banget, intisari, grid. Digital dua itu memayungi grid oto, bolasport. Terus yang di divisi ketiga ini ada yang semacam agensi gitu. Jadi si kompas

minta diurusin media sosialnya, trus grid factory yang turun tangan. Trus satu lagi, namanya grid voice, ini semacam bikin manajemen influencer. Itu kayak manajemen youtuber2 gitu. Tapi gak cuma youtuber, lebih luas lagi.

Terus, konten yang bagaimana yang diproduksi oleh Hai? Atau bikinnya harus ke remaja banget atau gimana?

Pembaca utama hai itu ada di umur 18 sampe 24 tahun, tapi itu pembaca idelanya di umur-umur SMA, atau baru lulus SMA. Jadi hai itu memposisikan diri sebagai kakak bagi anak-anak SMA, dan menceritakan masa-masa kuliah juga. Trus positioning Hai itu adalah cowok yang agak bandel tapi tetep mikirin sekolah dan pinter, keren tapi pinter, tapi nakal juga. Trus konten2 yang dibahas itu secara garis besar ada empat pilar, pertama musik, kedua pop culture, seperti movie, art, anime, kayak gitu2 di bawah pop culture. Trus yang ketiga self improvment, dan satu lagi itu pendidikan, semacam kayak berita2 sekolah atau kampus.

Bagaimana cara HAI memproduksinya?

Kalo sekarang kan digital, nah pertama itu kan interaktif banget, jadi gua gak bisa bilang kalo HAI itu bikin konten yang sangat idealis, gak kayak gitu. Gini penjelasannya, jadi Hai punya dua jenis konten, pertama yang berorientasi pada idealisme hai sendiri. Jadi hai ngegodok tema, jadi bikin konten berdasarkan rapat redaksi, dan itu kita lempar ke audiens. Nah, trus yang satu lagi adalah konten-konten yang berdasarkan keinginan audiens, itu kita lacaknya berdasarkan, ini enaknya di dunia digital kita bisa tau apa yang lagi trending di dunia maya, nah hai bikin juga konten2 yang seperti itu, jadi kita ngebaca yang audiens pengen cari tau, tapi tetep dalam sudut pandang hai. Misalkan kemaren, kita bikin konten tentang mobile legend. Itu kan kita ngangkat tren di anak-anak sekolah. Tapi sejauh itu, media2 lain ngebhasanya barus seputar tips and trick. Nah, hai sebagai media yang udah biasa bikin indepth reporting gitu, bikin laporan panjang tentang demam mobile legend. Jadi kita lebih dalam lagi, kenapa sih mobile legend itu disukain sama orang-orang, trus kenapa mobile legend itu sebenernya siapa yang bikin, trus lebih dalem lagi kayak hero-hero yang disukain sama orang indo, trus kebiasaan orang-orang yang main mobile legend tuh seperti apa. Jadi kita semacam memberikan pembahasan yang lebih mendalam tentang suatu isu yang lagi trend.

Kalo soal pendistribusian konten, caranya hai itu bagaimana sih?

Sebenernya cara hai sama-sama aja. Pertama, dari sosial dlu. Jadi hai mendistribusikan kontennya lewat media-media sosial, lewat fb, line, twitter, ig. Yang paling besar sejauh ini media-media sosial yang untuk mendistribusikan konten itu fb, ig, sama twitter, itu tiga besarnya. Trus yang kedua direct search, ya itu ketika lu ngetik kata kunci apa di google, trus website yang keluar website hai. Itu salah satu cara hai mendapatkan klik. Misalkan lu ngetik kata imo yang keluar hai, itu disebutnya direct search. Trus yang ketiga itu ketika hai direkomendasiin sama suatu web. Misalnya link artikel hai ditanem di web lain. Lu ngeblog gitu, trus ada kata menurut Hai, nah kata hai nya itu di hyperlink ke website hai. Trus yang satu lagi, yang lagi booming itu, news agregator. Ya semacam line today, kurio, babe, uc. Jadi, kita hai ngasih semacem link gitu, si perusahaan news agregator bisa ngeliat update2 terbaru dari hai.

Nah ketika liat update itu, mereka bisa nilai, wah artikel ini cocok nih untuk ditaroh di uc news, trus diambil. Jadi yang milih artikelnya tuh mereka, kita gak punya kuasa.

Kalo dengan para news agregator itu gimana tuh perjanjian kerjasamanya? Wah gua kurang tau tuh, ntar lu coba tanya aja ke ardi.

Kalo, cara buat ningkatin ke search engine itu gimana?

Nah itu untungnya dari sio nya hai itu udah kuat, karena website hai udah lama banget. Trus ya kita strategi gitu untuk bikin konten yang sio banget, salah satunya dari judul, penulisan artikel, trus keterangan-keterangan pendukung artikel, misalkan ngasih tag, nah itu penting banget. Ada kegiatan lain sih selain di redaksi dari hai?

Hai pertama punya komunitas, high school crew, ini komunitas wartawan sekolah. Komunitas ini jadi cara hai untuk mengakrabkan diri dan menjaga pembaca2 loyal hai. Karena gak cuma baca hai, tapi juga ngasih input ke hai tentang, apa yang hai bikin, cocok gak nih sama anak sma. Mereka juga bisa kita ajak buntuk bikin konten, jadi lumayan kan, bikin berita kayak gitu. Trus hai juga punya event, yang paling besar tuh Hai day. Tahun ini bakal digelar di bulan april. Salah satu pendapatan terbesar juga dari hai day itu.

Hai day itu tujuannya apa?

Pertama sih pengen mengkomunikasikan brand hai, mengukuhkan brand hai sebagai media yang anak remaja banget. Jadi kan bukan cuma di media aja, tapi juga bisa bikin sesuatu yang offline dan bisa lebih dirasakan secara langsunh oleh anak-anak muda. Ya juga membesarkan nama hai.

Dokumen terkait