• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2.3. Alokasi Sumberdaya Lahan

2.3.2. Konservasi Sumberdaya Alam Untuk Pembangunan Berkelanjutan

Menurut Western Cape Education Depertment/WECD (1987) dalam Siregar (2004) pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yaitu ekologis, sosial- ekonomi-budaya, sosial politik dan hukum kelembagaan. Secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu : keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan bagi zona pemanfaatan tetapi harus dialokasikan juga untuk zona preservasi dan konservasi.

Konservasi dimaksudkan sebagai penggunaan sumberdaya yang bijaksana sepanjang waktu, hal ini berbeda-beda untuk masing- masing tipe sumberdaya (Barlow, 1972). Konservasi sumberdaya lahan merupakan suatu sistem penggunaan dan pengelolaan lahan yang didasarkan atas pembawaan atau keadaan lahan itu sendiri, yang meliputi penerapan cara-cara atau praktek-praktek terbaik yang ditujukan untuk memperoleh produksi tertinggi tanpa merusak lahan yang bersangkutan. Oleh karena itu konservasi lahan dapat diartikan sebagai penggunaan lahan yang tepat, melindungi lahan dari kerusakan dan memperbaiki lahan yang mutunya buruk. Dengan definisi tersebut, maka konservasi lahan hendaknya merupakan suatu alat untuk penataan penggunaan lahan yang baik.

Dalam usaha pengelolaan sumberdaya lahan yang bijaksana sepanjang waktu di kawasan pesisir Kabupaten Sidoarjo, yang perlu diperhatikan adalah menyangkut keberadaan kawasan lindung mangrove. Suatu kebijakan untuk tetap mempertahankan kawasan lindung mangrove sampai dengan luasan tertentu (hutan mangrove lestari), jelas hal ini akan bisa menjamin kelangsungan bagi manfaat ekonomi untuk masa- masa yang akan datang. Konsep hutan mangrove

lestari lebih dikaitkan dengan luasan tertentu dari kawasan lindung mangrove sehingga keberadaannya mampu menjaga stabilitas ekosistem lain disekitarnya.

Luas hutan mangrove lestari sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan, misalnya polusi atau senyawa biokimia tertentu yang berpotensi menurunkan kualitas ekosistem. Semakin tinggi kadar polusi yang ditimbulkan oleh lingkungan sekitar, maka diperlukan tegakan hutan mangrove yang lebih luas untuk berfungsi sebagai biofilter, sehingga keberadaan ekosistem sekitarnya (misal: ekosistem tambak) tetap berfungsi secara normal. Karena itu konsep luas hutan mangrove lestari sangat bersifat spesifik lokasi. Kesulitan untuk menentukan batasan hutan mangrove lestari disebabkan oleh tidak tersedianya informasi tentang besar kecilnya kemampuan biomassa mangrove dalam menguraikan polusi logam berat dan atau senyawa kimia tertentu, menyediakan bahan organik dan lain- lain. Namun begitu konsep hutan mangrove lestari bisa didekati dari sisi ketebalan green belt (jalur hijau) mangrove yang ada di sempadan pantai.

Menurut JICA (1994) dalam laporan PT. Intermulti Planindo (2004) bahwa pada ketebalan hutan mangrove 200 m, kerapatan pohon 30 pohon/100 m2, diameter pohon 15 cm dapat meredam 50 persen gelombang tsunami dengan ketinggian 10 m. Informasi inilah yang umumnya dipakai sebagai rujukan pemerintah daerah dalam menentukan batasan sabuk hijau kawasan pesisir.

Pendekatan lebar belt didasarkan pada suatu fungsi yang menurun dari kadar polutan menurut jaraknya dari garis pantai. Sampai tingkat ketebalan tertentu, kadar senyawa biokimia tertentu yang berpotensi merusak ekosistem sekitar mangrove dapat dinetralisir oleh hutan mangrove. Karena itu dengan

mengetahui pengaruh hutan mangrove terhadap perilaku kadar senyawa biokimia tertentu, kita bisa menentukan batas hutan mangrove lestari. Sukardjo (1982) melaporkan hasil penelitiannya di muara Cimanuk sebagaimana disajikan pada Tabel 1 bahwa semakin masuk ke dalam hutan mangrove – semakin jauh dari garis pantai, kadar senyawa biokimia tertentu semakin menurun.

Dalam menentukan batasan ketebalan hutan mangrove lestari, tentunya tidak akan dilakukan analisis terhadap keseluruhan unsur- unsur senyawa biokimia, karena itu dapat dipilih unsur- unsur utama yang sangat besar pengaruhnya terhadap keseimbangan ekosistem seperti phospat, nitrogen, kebutuhan oksigen biokimia (BOD), serta kebutuhan oksigen kimia (COD) (Nur, 2002). Pertambahan bahan organik dalam air dapat meningkatkan kemasaman akibat pelepasan gas CO2 melalui penguraian bahan organik. Boyd (1989) telah

mengga mbarkan kondisi kemasaman perairan untuk kehidupan dan pertumbuhan ikan seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Di dalam air, pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga yaitu adanya garam- garam karbonat dan bikarbonat. pH sering pula dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan. Air yang agak basa dapat mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral- mineral yang dapat diasimilasikan oleh tumbuh-tumbuhan, sehingga pH ikut berperanan dalam menentukan produktivitas primer perairan.

Salinitas ; kehidupan berbagai jenis fitoplankton dan juga zooplankton bergantung pada salinitas. Dikenal jenis-jenis yang bersifat stenohaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang sangat sempit) dan euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Menurut Nontji (2002), peranan salinitas di perairan

Tabel 1. pH dan Kandungan Hara Tanah di Hutan Mangrove Cimanuk Jarak Dari Laut PH H2O NH4 (ppm) NO3 (ppm) C (%) N (%) C/N P2O5 (ppm) K2O (mg/100 g) 0 7.30 35.00 18.00 4.03 0.27 18.47 23 5.47 20 6.80 39.00 8.00 5.56 0.23 24.30 31 5.56 40 6.30 53.00 10.00 5.64 0.26 21.52 40 5.05 60 6.10 67.00 32.00 5.74 0.40 14.92 52 5.71 100 6.10 60.00 26.00 8.79 0.38 23.34 37 6.75 140 6.20 56.00 16.00 6.38 0.33 19.27 39 5.18 260 6.10 68.00 13.00 5.19 0.35 15.20 57 6.06 Sumber : Sukardjo (1982)

Tidak ada reproduksi Tidak ada reproduksi Kematian Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Kematian

Lambat yang baik Lambat

4 5 6 7 8 9 10 11 Gambar 6. Pengaruh pH Terhadap Perikanan Kolam

mungkin lebih menentukan terjadinya suksesi dari pada produktivitas secara keseluruhan. Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh pada fitoplankton. Variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah estuaria khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batasan salinitas yang sempit. Menurut Kinne (1964), keragaman dan jumlah spesies organisme di perairan samudera akan mencapai maksimum pada kisaran salinitas 31 – 40 0/oo. Keanekaragaman dan jumlah spesies kemudian berturut- turut menurun pada perairan tawar (salinitas kurang dari 0.50/oo), perairan payau (salinitas 0.5 – 300/oo), hypersaline (salinitas 30 – 80 0/oo) dan brain water (salinitas lebih dari 80 0/oo).

Nitrogen (N), merupakan unsur penting dalam proses pembentukan protoplasma. Di dalam air, nitrogen biasanya berada dalam bentuk gas N2 yang

segera berubah menjadi senyawa lain yaitu nitrit, nitrat, ammonium dan ammonia. Menurut Mackentum (1969), kadar nitrat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 3.9 – 15.5 ppm, sedangkan nitrat kurang dari 0.114 ppm akan menyebabkan nitrat menjadi faktor pembatas. Menurut Welch and Lindell (1980), rasio unsur N dan P dapat menentukan tingkat kesuburan suatu perairan. Perairan eutrofik dicirikan oleh rasio N/P lebih kecil atau sama dengan 16/1, sedangkan perairan oligotrofik memiliki rasio N/P lebih besar atau sama dengan 16/1. Reynolds (1984) mengemukakan jika rasio N/P lebih besar dari 15/1, maka perairan dibatasi oleh unsur P, sedangkan rasio N/P lebih kecil dari 15/1 maka perairan dibatasi oleh unsur N.

Unsur hara phospat yang efektif bagi pertumbuhan fitoplankton adalah dalam bentuk senyawa phosphor inorganik (ion ortophospat), meskipun dalam keadaan tertentu dapat pula diperoleh dari phosphor organik tertentu. Di perairan alami phospat biasanya menjadi faktor pembatas utama bagi pertumbuhan produktivitas primer perairan. Tinggi rendahnya kandungan phospat dalam perairan merupakan pendorong terjadinya dominasi fitoplankton tertentu, seperti yang dikemukakan oleh Prowse (1962) yaitu perairan dengan kandungan phospat rendah (0.00 – 0.02 ppm) akan didominasi oleh Chlorophyta dan pada kadar tinggi lebih dari 0.10 ppm didominasi oleh jenis Cyanophyta.

Oksigen terlarut di perairan berasal dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton, tanaman air dan aliran yang masuk. Oksigen merupakan salah satu unsur yang penting di perairan alami yaitu sebagai pengatur proses-proses metabolisme komunitas serta sebagai indikator kualitas perairan. Selain itu kandungan oksigen terlarut di perairan dapat memberikan petunjuk tentang

tingginya produktivitas primer suatu perairan (Nielsen, 1979). Clark (1977) menambahkan, bahwa peningkatan produktivitas primer hasil proses fotosintesis sebanding dengan jumlah oksigen yang dihasilkannya. Kebutuhan oksigen biokimiawi atau Biological Oxygen Demand (BOD) menunjukkan jumlah oksigen yang dipergunakan dalam proses oksidasi. Bahan yang dapat diuraikan oleh kegiatan organisme pembongkar (bakteri) secara tidak langsung merupakan indikasi jumlah bahan organik. Laju pertambahan BOD di dalam air merupakan indikasi jumlah bahan organik yang telah diuraikan sesuai dengan keseimbangan kecepatan pemakaian oksigen dalam menguraikan limbah organik dan kecepatan oksigen dalam air atau reoksigenasi. Nilai standar pasti ukuran kualitas air yang didasarkan BOD sulit diterapkan, karena berkaitan dengan reoksigenasi. Namun berdasarkan reoksigenasi, batas minimum BOD untuk kepentingan biota air adalah 5 mg/l pada air tergena ng dan batas maksimum mencapai 15 mg/l. Kebutuhan oksigen kimiawi atau Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan total oksigen yang dibutuhkan untuk me ngoksidasi sempurna semua bahan orga- nik menjadi karbondioksida dan air (Boyd, 1982). Nilai COD dapat digunakan untuk mengukur jumlah oksigen yang setara dengan kandungan bahan organik suatu contoh air yang mudah dioksidasi oleh oksigen kimia (APHA, 1989).

Hutan mangrove sebagai biofilter akan mampu menetralisir polusi dan atau mempengaruhi perilaku kadar senyawa biokimia tertentu menurut suatu fungsi yang menurun tergantung jaraknya dari garis pantai. Sampai tingkat ketebalan tertentu, polutan dan kadar senyawa biokimia yang berpotensi untuk mengganggu ekosistem sekitar mangrove dapat dinetralisir sehingga aman untuk melakukan aktivitas ekonomi seperti budidaya udang dan bandeng. Pada batas

inilah dikatakan bahwa hutan mangrove tersebut mencapai ambang batas lestari. Fenomena ini digambarkan dalam sebuah grafik fungsi produksi sebagaimana disajikan pada Gambar 7. Unsur-unsur yang berpotensi menggangu ekosistem tambak diantaranya adalah : phospat, nitrogen, BOD.

Untuk melakukan pendugaan parameter digunakan analisis regresi linier berganda dengan metode OLS. Setelah diperoleh fungsi dugaannya, selanjutnya nilai rataan kandungan polutan dan atau senyawa biokimia yang ada dalam tambak disubstitusikan ke persamaan model. Dengan begitu akan diketahui batas ketebalan hutan mangrove lestari. Data yang diperlukan adalah kadar polutan dan atau senyawa biokimia yang terkandung dalam air tanah disekitar kawasan pesisir pantai – untuk itu diperlukan analisis laboratorium untuk air tanah contoh.

Tingkat Polusi (P)

Kadar Polutan

P = a . J-b

P0 Toleransi Kadar Polutan Dalam Tambak

0

J0 J ( Jarak Dari Garis Pantai) Ketebalan Minimal Ambang Batas

Hutan Mangrove Lestari

Gambar 7. Hubungan antara Kadar Polutan dengan Jarak dari Garis Pantai

Dokumen terkait