• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV REPRESENTASI PT. INDORAYON DALAM NOVEL BULAN

4.3 Bulan Lebam di Tepian Toba: Politisasi identitas etnis

4.3.1 Konstruksi/Politisasi Identitas Etnis Batak

Perubahan masyarakat Batak yang telah dianalisis pada bab III, menandakan jika satu persoalan kebatakn telah turut memengaruhi identitas etnis Batak Toba. Keadaan masyarakat Batak yang berubah menunjukkan sisi “lebam” yang ada di tepian Toba. Tentu saja, “Lebam” di sini mengindikasikan perubahan masyarakat Batak ke arah yang cenderung negatif, degradasi dan nir-makna. Di sisi lain, “lebam” yang ada adalah objektivasi tradisi sebagai objek komoditas yang hanya bernilai ekonomi saja. Dalam poin ini, Sihar turut dalam wacana kritis Batak yang berusaha merekam, merepresentasikan, dan mengkonstruksi identitas

148

etnis Batak Toba. Dalam poin inilah, penulis melihat posisi novel yang sedang menawarkan kritik atau tawaran dalam melihat identitas etnis Batak Toba.

Hall dalam Cultural Identity and Diaspora menjelaskan persoalan identitas merupakan mekanisme produksi yang tidak akan pernah selesai. Dalam proses inilah, representasi menjadi kunci utama dalam politik identitas. Oleh karena itu, identitas akan selalu menyisakan masalah atau ruang dialog, termasuk identitas kultural atau identitas etnis. Hall (1993) mencatat jika:

Identity is not as transparent or unproblematic as we think. Perhaps instead of thinking of identity as an already accomplished fact, which the new cultural practices then represent, we should think, instead, of identity as a “production” which is never complete, always in process, and always constituted within, not outside, representation. This view problematizes the very authority and authencity to which the term, “cultural identity” lays claim.

Kutipan dari Hall ini menjelaskan jika identitas etnis merupakan sesuatu yang diproduksi. Produksi inilah yang hadir dalam wujud representasi. Karena terwujud dalam representasi, maka identitas etnis dapat dilihat dari segala varian wacana, mulai dari media, peraturan, kebijakan, ilmu pengtahuan, hingga sastra. Oleh karena itu, produksi identitas etnis ini tidak akan pernah berhenti; akan selalu memiliki kontiniutas.

Identitas etnis Batak yang direpresentasikan dalam novel ini setidaknya membuktikan jika identitas etnis Batak Toba masih didialogkan, diproduksi, dan direproduksikan. Di sisi inilah, keterkaitan teks novel dan konteks yang melatarbelakangi (wacana kebatakan) terjalin. Dalam melihat hal inilah, penulis meletakkan konsep Hall yang menandakan jika novel ini sedang berperan sebagai teks yang mencoba menawarkan konsep identitas etnis Batak.

Terkait dengan identitas kultural, Hall (1996a) kembali menegaskan :

There are at least two different ways of thinking about cultural identity. The first position defines “cultural identity in terms of one, shared culture, a sort of collective one true self, hiding inside the many other. More superficial or artificially imposed “selves”, which people with a shared history and ancestry hold in common. Whitin the terms of this definition, our cultural identities reflect the common historical experiences and

149

shared cultural codes which provide us, as one people”, with stable, unchanging and continuous frames of reference and meaning. Beneath the sifting divisions and vicissitudes of our actual history.”

Kutipan ini menjelaskan jika identitas budaya dilihat sebagai suatu kesatuan yang dimiliki secara kolektif. Hal ini bisa ditandai dengan persamaan sejarah dan leluhur. Identitas budaya merupakan cerminan kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang membentuk seseorang menjadi satu kesatuan, walaupun dari "luar" mereka terlihat tidak sama sekali pun. Perspektif ini menawarkan pandangan jika identitas budaya dapat terbentuk jika melihat kesamaan sejarah dan kode budaya yang menyatukan mereka. Hal inilah yang mengidentifikasikan mereka sebagai suatu kelompok.

Untuk terma pertama Hall ini yang meletakkan frasa shared culture sebagai dasarnya, novel ini pun merepresentasikan hal yang sama. Dalam awal-awal uraian narasi, dihadirkan kesamaan mitologi, kesamaan kode-kode budaya yang ada dalam novel ini. Dengan kata lain, penanda-penanda inilah yang akhirnya disematkan sebagai identitas etnis Batak.

Identitas etnis Batak yang ada dalam novel juga menyajikan kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang melengkapi identitas etnis Batak Toba pada tokoh-tokoh narasinya. Hal ini direpresentasikan dengan kode-kode budaya yang tetap dipakai untuk menarasikan identitas etnis batak.

Hal ini dapat dilihat pada awal pengenalan tokoh Monang yang telah dibahas pada bab 3 sebelumnya. Ada beberapa ritus budaya yang memang menjadi penanda identitas etnis Batak itu sendiri. Gunung Simanjarunjung, Pusuk Buhit, Danau Toba, Lembah Panatapan, rumah panggung (rumah bolon), parmalim, makam raja, dan marga-marga menjadi atribut kode-kode budaya yang dimiliki oleh manusia Batak.

Gunung Simanjarunjung, Pusuk Buhit, Danau Toba, dan Lembah Penatapan merupakan kumpulan aspek alam yang memiliki fungsi baik secara materiil maupun kosmologi budaya. Rumah panggung, atribut kebudayaan Parmalim, makan raja dan marga-marga menjadi penanda produk budaya yang

150

ada dan masih dihidupi dalam masyarakat Batak Toba. Kesuluruhan elemen ini merupakan representasi kode-kode budaya yang menandakan identitas etnis Batak Toba.

Kode-kode atau produk budaya yang kerap diidentifikasi sebagai penanda identitas Batak Toba juga dapat dilihat ketika novel ini merepresentasikan upacara adat, tortor, gondang, ulos, dan tarombo marga. Hal-hal inilah yang coba direpresentasikan oleh novel ini dalam kaitannya memperlihatkan penanda-penanda identitas etnis Batak. Dengan kata lain, novel ini menunjukkan jika etnisitas Batak Toba pastilah diwarnai dengan atribut-atribut yang telah dibahas pada dua paragaf di atas.

Selain itu, dua hal adat Batak yang terlihat secara eksplisit dalam novel ini adalah tarombo marga dan simin. Dua hal ini direpresentasikan ketika tokoh Monang pulang kampung dan menemai mamaknya ke makam tokoh Ganda (Abangnya). tarombo marga dan simin merupakan dua adat yang hingga kini masih dihidupi oleh manusia Batak. Setidaknya, hal ini penulis dasarkan dari pengalaman penulis sendiri sebagai orang Batak. Kedua hal ini sangat sulit untuk tidak diterapkan mengingat di sinilah pencatatan regenerasi Batak dilakukan. Tarombo marga menjadi satu dokumen yang mencatat sejarah marga mulai dari keturunan pertama hingga terakhir, sedangkan simin adalah konsep pemakaman yang dikhususukan untun satu keluarga dalam satu marga.

Kode-kode Budaya atau upaya shared culture yang direpresentasikan oleh novel ini sebenarnya telah dibahas pada bab 358. Sihar secara sadar meletakkan dimensi-dimensi mitologi adat, dan atribut-atribut Batak di dalamnya. Dengan kata lain, sulit untuk menyangkal jika novel ini menghadirkan identitas etnis Batak melekat dengan dimensi-dimensi ini. Setidaknya penulis merasa ungkapan “jangan sebut Batak, jika tidak menerapkan seluruh dimensi kearifan lokal manusia Batak ini” menjadi satu tawaran yang diberikan untuk menghadirkan identitas etnis Batak di dalamnya.

58

151

Penanda-penanda atau kode-kode kebudayaan inilah yang masih dipertahankan oleh novel ini untuk merujuk identitas etnis Batak. Kode-kode kebudayaan ini menjadi dasar hidup dan terus dihidupi hingga saat ini. Penanda-penanda ini akan senantiasa muncul dalam acara-acara adat Batak yang dilakukan oleh manusia Batak di manapun dia berada. Dengan kata lain, penanda-penanda identitas etnis ini bersifat “permanen”. Setidaknya jika penulis menggunakan istilah penulis sendiri, penanda-penanda ini terhubung dalam 3 dimensinya; Manusia Batak – Pencipta (kosmologi budaya), Manusia Batak- Alam (tempat penghidupan), dan Manusia Batak – manusia Batak lainnya (relasi adat dan sosial). Kesamaan dalam konsep tiga dimensi inilah yang menandakan identitas etnis Batak. Ini juga seturut dengan konsep identitas etnis yang pertama menurut konsep Hall yang telah dikutip di atas. Kode-kode budaya ini sebagai identifikasi secara internal dalam masyarakat Batak terkait atribut kebatakan yang wajib ada dalam diri manusia Batak.

Stuart Hall menambahkan bahwa persoalan identitas bukanlah semata-mata berkaitan dengan eksistensi. Dalam kaitannya dengan ini pula, menurut Hall ada suatu politik identitas yang dibangun karena kompleksitas persoalan identitas yang ada. Identitas etnis yang diacu atau dirujuk dengan kesamaan konsep, penanda, atribut, dan kebersejarahan etnis dirasa oleh Hall menjadi tidak cukup lagi digunakan dalam analisis identitas. Untuk memperlihatkan hal ini, penulis akan kembali mengutip persoalan politik identitas Hall.

Politik identitas adalah wacana yang cukup banyak dilihat dan dilakukan pada era 1970‟an. Dalam masa-masa ini, politik identitas dipakai untuk melihat kepentingan suatu identitas, misalnya komunitas gay, komunitas kulit hitam, kelompok feminis dan banyak lainya lagi. Gerakan yang dilakukan di sini didasari oleh konsep identitas yang tradisional. Hall (dalam Potcher, 2004: 118) menyatakan jika identitas ini dianggap absolut, terberi, dan didasari dengan identifikasi kesamaan-kesamaan dari anggota kelompok, misalnya gender, ras, etnisitas, dll. Identitas tradisonal ini menghadirkan solidaritas yang mapan dan mampu menggerakan kelompok-kelompok yang ada menyuarakan dan

152

memposisikan diri mereka. Hasilnya adalah dengan beberapa kelompok mendapatkan legitimasi eksistensinya.

Akan tetapi, pada perkembangnnya solidaritas ini akhirnya terbagi-bagi karena dirasa kebutuhan dan kepentingan satu kelompok tidak bisa lagi dihomogenkan. Sebagai contoh kelompok feminis. Pada dekade sebelumnya kelompok feminis telah berhasil menyuarakan dan memposisikan eksistensinya. Akan tetapi pada fase selanjutnya, ada perbedaan ketika kelompok feminis terbagi menjadi dua identitas, identitas feminis kulit putih (white feminist), dan feminis kulit hitam (black feminist). Adanya perbedaan perspektif dan identifikasi diri yang lebih lanjut pada akhirnya membuat perbedaan jika hal-hal yang dilakukan oleh kelompok feminis kulit putih tidak lagi mampu mengakomdasi kepentingan feminis kulit hitam. Pada akhirnya tidak bisa lagi dikatakan jika gerakan kelompok feminis kulit putih serta merta dapat diterjemahkan sebagai gerakan kelompok feminis kulit hitam.

Dari uraian singkat di atas, dapat terlihat jika perjuangan yang pada dasarnya dimulai dari kesamaan nasib dan kesamaan perlakuan yang dialami oleh perempuan menunjukkan perkembangan yang berbeda. Kesamaan yang lahir di awal pergerakan ini akhirnya tidak mampu ketika di komunitas atau secara internal sendiri terdapat kepentingan yang berbeda, contohnya adalah feminis kulit putih dan feminis kulit hitam. Akhirnya, identitas yang hadir menjadi kompleks karena perbedaan kepentingan di dalamnya.

Dalam konteks konsep identitas di atas, penulis merasa jika Sihar memiliki atau setidaknya menawarkan konsep identitas. Tentu saja, dalam hal ini, Sihar memiliki maksud atau kepentingan di dalamnya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya jika identitas etnis pada cara pertama telah diperlihatkan dalam novel dalam bentuk penanda-penanda yang disematkan sebagai identitas etnis Batak. Hal ini menandakan jika identitas secara tradisional tidak lagi cukup. Melanjutkan penjelasan identitas Hall, Portcer (2004: 118) menambakan jika :

“(The) recognition … of the impossibility of identity in its fully unified meaning, does, of course, transform the nature of political commitment.

153

Hundred-and-one percent commitment is no longer possible … Looking at new conceptions of identity requires us also to look at redefinitions of the forms of politics which follow that : the politics of difference, the politics of self-reflexivity, a politics that is open to contingency but still able to act. The politics of infinite dispersal is no politics at all.”

Ini berarti diperlukan konsep baru terkait identitas yang tidak lagi didasarkan pada persamaan yang tidak mengenal batas akan tetapi sebaliknya. Dituntut adanya redefinisi bentuk politik yang baru: politik pembedaan, politik refleksi diri, politik yang terbuka untuk ketidakpastian atau ketidaktetapan. Ini menandakan jika tidak ada identitas yang stabil, otonom, dan stagnan.

Ada tiga pokok bahasan utama terkait politik identitas Hall, yaitu perbedaan, refleksi diri, dan kontingensi. Politik perbedaan merangkum semua praktik yang mengakomodasi oposisi biner, hitam-putih, perempuan-pria. Dalam hal ini, perbedaan tidak ditujukan untuk mempertegas identitas diri secara eksternal (orang lain), melainkan internal. Artinya identifikasi kesamaan diri dalam satu grup atau satu kelompok. (Portcer, 2004:119). Ini artinya tidak beda jauh dengan konsep identitas secara tradisional; mencari kode-kode kebudayaan atau identitas yang sama.

Konsep perbedaan ini secara khusus telah dibahas pada bagian sebelumnya pada subbab ini. Hal yang belum dibahas adalah terkait dengan oposisi biner yang dihadirkan pada novel ini. Hal ini menandakan jika “kontras” menjadi satu cara yang diambil oleh novel ini untuk memperlihatkan identitas etnis Batak Toba yang ditawarkannya.

Oposisi biner yang terepresentasikan dalam novel ini bisa dilihat dari pertentangan dua entitas dalam novel ini. Entitas pertama adalah representasi stereotipe Batak Toba59 dan entitas yang memberikan “warna” baru terhadap stereotipe ini. Sihar meletakkan imaji stereotipe tentang Batak dalam menarasikan para tokohnya. Imaji stereotipe ini cenderung sesuai dengan imaji stereotipe identitas etnis Batak yang ada dalam masyarakat umum.

59

154

Sihar menghadirkan perilaku-perilaku para tokoh cerita secara negatif. Hal ini tentu saja merujuk pada tokoh-tokoh yang melakukan perilaku mabuk, berjudi, anarki, irasional, dan kolot. Secara sadar, Sihar merepresentasikan hal ini ke dalam tokoh-tokoh yang secara kuantitatif jumlahnya lebih banyak dibanding tokoh-tokoh berperilaku atau bersudut pandang positif.

Konstruksi identitas yang terjadi di sini adalah upaya Sihar menghadirkan lapo tuak dalam merepresentasikan imaji stereotipe ini. Sihar melibatkan tempat sejenis “kafe rakyat” yang komoditas utamanya adalah tuak. Secara logis, tentu saja ini akan menstmulan terjadinya perilaku mabuk dan berjudi dalam masyarakat Batak Toba. Di sinilah penulis menafsirkan jika Sihar mengakui jika perilaku Batak yang seperti ini ada di Tanah Batak. Akan tetapi, Sihar tidak berhenti pada upaya representasi imaji stereotipe ini saja. Sihar melampauinya dengan menciptakan tokoh-tokoh narasi sebagai “identitas bandingan” atau bahkan “identitas orisinal Batak”. Di sinilah oposisi biner terjadi.

Sihar menarasikan tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan imaji stereotipe Batak sebagai oposisi biner imaji stereotipe Batak. Dengan cara ini, novel ini tidak mereprsentasikan sifat atau perilaku negatif tersebut sebagai sesuatu yang khas atau milik etnis Batak. Sihar menghadirkan tokoh-tokoh yang lebih positif melalui tokoh Datu.

Datu dihadirkan sebagai tokoh yang lebih positif. Datu hadir sebagai identitas etnis batak yang tradisional, identitas Batak sebelum munculnya modernitas, dan identitas Batak yang menawarkan nilai-nilai Batak yang dulu ada. Melalui tokoh Datu, Sihar menawarkan jika etnis Batak memiliki identitas yang lebih positif. Sihar mengkonstruksi tradisi sebagai penanda identitas Batak yang seharusnya. Dengan kata lain, Sihar mencoba mengkonstruksi kembali identitas etnis Batak dengan bercermin pada masa lalu, pada tradisi yang memang dimiliki oleh masyarakat Batak.

Datu menjadi tokoh yang mengidentifikasi jika perilaku mabuk, berjudi, dan kekerasan bukanlah kebiasaan yang berasal dari tanah Batak.

Perilaku-155

perilaku ini pun menurut Datu tidak pantas disematkan begitu saja dan berlaku hanya pada masyarakat Batak Toba. Hal ini juga disematkan dan berlaku di wilayah lain. Dengan cara ini, Sihar sedang mengupayakan jika identitas etnis Batak tidak sesuai dengan imaji stereotipe yang beredar di masyarakat umumnya.

Oposisi biner lain yang terlihat tentu saja dilihat dari penokohan yang ada. Tokoh Datu yang dihadirkan sebagai pemimpin Batak yang mewakili tradisi dan dihadirkan secara positif dihadapkan pada tokoh Amang Impal sebagai pemimpin birokrasi kampung yang pro dan berdiri pada jaringan kekuasaan PT.IIU. Novel ini cenderung memperlihatkan tradisi atau Datu sebagai suatu entitas yang bersifat positif.

Oposisi biner kedua adalah Tokoh Monang sebagai pemuda Batak perantauan yang mengecap pendidikan di Tanah Jawa dan memiliki pandangan kritis dan sikap politik yang jelas dihadapkan pada tokoh Muda Batak (Hotman, Rade, Tigor, dan Ganda) sebagai manusia muda Batak yang memiliki sikap mabuk-mabukan dan gemar judi serta tidak berpendidikan. Serupa dengan Datu, tokoh Monang direpresentasikan sebagai tokoh yang positif.

Tokoh Monang sendiri beroposisi biner dengan seluruh tokoh pemuda yang ada dalam novel ini. Melaui tokoh Monang, Sihar menawarkan pendidikan dan sikap kritis yang harusnya ada dalam manusia Batak. Upaya ini tentu saja sejalan dengan bahasan sebelumnya60. Melalui tokoh Monang, Sihar berupaya membangun jika pemuda Batak memiliki identitas “perantauan” yang harusnya sejalan dengan berkembangnya pendidikan dan pola pikir kritis. Akan tetapi ini tidak terjadi. Hal inilah yang menjadi kritik Sihar jika identitas etnis Batak menurutnya bisa memasuki pendidikan dan pola pikir kritis di dalamnya.

Oposisi biner ketiga adalah tokoh Torang sebagai ayah dari Monang yang memperjuangkan hak tanah adat dan marganya berhadapan dengan tokoh Peak sebagai ayah dari tokoh Hotman yang pemabuk dan tidak “menghiraukan”

60

156

persoalan adat Batak lagi. Novel ini cenderung merepresentasikan tokoh Torang sebagai identitas Batak yang lebih positif.

Oposisi biner keempat adalah representasi perubahan Tanah adat yang sebelumnya asri, bernuansa alami dan memiliki kualitas alam yang baik berhadapan dengan keadaan Kampung di masa sekarang ketika industri masuk dengan membawa aspal, kendaraan-kendaraan transportasi dan lonjakan perantauan yang ada di Tanah Batak. Dengan kata lain, situasi lingkungan tradisi berhadapan dengan lingkungan saat ini yang dianggap modern. Novel ini menujukkan jika keberpihakannya pada tradisi sangatlah eksplisit.

Selain dengan menghadirkan tokoh Datu dan Torang, novel ini cenderung menggunakan metode “mengingat masa lalu” sebagai cara perbedaan Batak yang dulu dan saat ini. Jika melihat keempat oposisi biner yang dihadirkan dalam novel ini, penulis cenderung menafsirkan jika identitas etnis Batak yang dibangun memiliki “warna” primordial. Ada upaya yang direpresentasikan novel ini jika kondisi kampung dan manusia Batak yang dulu lebih baik dari saat ini. Batak yang dulu dihadirkan dengan situasi lingkungan yang sehat, konteks sosial yang damai tanpa kekerasan, dan penghormatan yang tinggi pada adat dan kearifan lokal manusia Batak Toba. Inilah yang penulis simpulkan sebagai upaya penawaran identitas etnis Batak yang pertama sesuai dengan konsep Hall.

Selain konsep perbedaan, Hall menawarkan konsep refleksi diri. Konsep refleksi diri mencoba menghadirkan pemahaman jika seseorang dapat berbicara dalam posisi apapun. Refleksi diri berkonotasi dengan pemosisian (position) dalam suatu konteks. Artinya, identitas terkait dengan pemosisian yang “sengaja” dipilih seseorang untuk menunjukkan atau memperjuangkan suatu hal atau suatu kepentingan.

Novel ini merepresentasikan perubahan-perubahan atau permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba. Identitas etnis batak menjadi penting atau berfungsi karena ada masalah di dalamnya. Representasi persoalan manusia Batak yang telah dibahas dalam novel ini sebenarnya bisa dipandang sebagai

157

wujud pemosisian itu sendiri. Dalam kaitannya dengan pemosisian inilah, penulis melihat ada beberapa tokoh cerita yang menjadi alternatif atau pemosisian Batak yang ideal menurut novel ini (yang ditawarkan Sihar). Dalam kerangka inilah, novel ini memperlihatkan suatu identitas etnis Batak yang berusaha dibangunnnya.

Permasalahan kebatakan yang hadir dalam novel ini penulis tafsirkan sebagai dibutuhkannnya suatu identitas Batak sebagai responnya. Persoalan-persoalan kebatakan yang ada dalam novel ini menghadirkan satu ruang khusus yang meletakkan “identitas batak” sebagai “orientasi” akhirnya. Hal inilah yang menurut penulis dihadirkan dalam tokoh Datu dan Tesya. Kedua tokoh ini dihadirkan sebagai manusia Batak yang merespon persoalan Batak yang terjadi di kampungnya, termasuk PT.IIU. Untuk itulah, dalam rangka mellihat hal ini, penulis akan melihat kedua tokoh ini sebagai salah satu “tawaran” identitas Batak yang dihadirkan oleh novel ini. Dengan kata lain, respon dari tokoh-tokoh ini dibaca sebagai upaya pemosisian identitas etnis Batak Toba. Untuk itulah penulis akan membahas hal ini satu per satu.

Tokoh Datu seperti yang telah penulis uraikan pada pembahasan sebelumnya merupakan tokoh yang dihadirkan sebagai manusia Batak “penjaga” tradisi. Sosok Datu dihadirkan sebagai kritik dan tokoh yang merespon persoalan PT.IIU. Tentu saja, kehadiran Datu di sini bersifat politis, alias mencoba membangun satu konstruksi identitas Batak Toba.

Di awal narasi cerita telah diperlihatkan jika tokoh Datu mengorasikan perihal peradaban. Peradaban yang diucapkan oleh Datu adalah peradaban yang cenderung mengakibatkan Orang muda pergi dari Tanah Toba dan menikmati budaya lain (Simatupang, 2009: 2). Di sini Datu menghadirkan satu realita jika ada perubahan yang terjadi di Tanah Toba. Menurut tokoh Datu, manusia Batak atau Orang Muda cenderung akan meninggalkan tanah kelahirannya dan menikmati kebudayaan lain. Ada dua hal yang bisa didapat di sini terkait identitas etnis Batak Toba. Pertama, tokoh Datu menghadirkan satu paradigma yang bernada ironi. Paradigma yang dikritik oleh Datu adalah kata peradaban itu

158

sendiri. Peradaban yang dimaksud oleh Datu cenderung bermakna negatif dan menjadi kritik yang sedang dibangun oleh tokoh Datu. Datu melihat jika

Dokumen terkait