• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik identitas etnis batak toba dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba karya Sihar Ramses Simatupang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik identitas etnis batak toba dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba karya Sihar Ramses Simatupang."

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

vi Abstrak

Kemajuan ekonomi yang ditawarkan oleh wacana industri kerap memunculkan masalah dan kritik jika dihubungkan dengan komunitas masyarakat di daerah-daerah di Indonesia. Wacana industri inilah yang kerap dikritik dalam hubungan dengan masyarakat adat di Indonesia. Beragam hal yang bisa dikaji dari hubungan ini, salah satunya adalah identitas etnis. Untuk itulah penulis memilih topik politik identitas etnis Batak dalam kaitannya dengan wacana PT.Indorayon Inti Utama. Politik identitas yang diteliti pun dikhususkan pada yang terepresentasi dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba karya Sihar Ramses Simatupang. Ada tiga permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu posisi PT. Indorayon yang telah menjadi wacana publik di Tanah Batak, representasi identitas etnis Batak yang ada dalam novel, dan kritik yang ditawarkan oleh novel ini terkait identitas etnis Batak Toba.

Dalam menjawab permasalahan penelitian ini, penulis menggunakan konsep representasi dan identitas etnis (kultural) Stuart Hall. Representasi adalah citraan atau imej yang hadir dari satu entitas atau satu realitas. Dalam konteks kajian budaya, representasi digunakan untuk mensubordinasi, menstereotipan, mendialogkan, menegosiasikan, atau mengkonstrusi identitas. Konsep identitas yang penulis gunakan adalah identitas etnis yang menurut Hall adalah hasil konstruksi dari wacana-wacana yang ada. Dalam konsep inilah dimunculkan politik identitas. Politik identitas adalah upaya seseorang atau sekelompok manusia untuk mengartikulasikan, memperjuangkan, dan menegosiasikan identitas diri atau kelompoknya.

Dari pembahasan yang dilakukan, ada tiga hasil penelitian ini. Pertama, persoalan PT.IIU telah menjadi wacana publik. Hal ini dikarenakan masifnya perlawanan masyarakat Batak hingga saat ini terhadap operasional PT.IIU. Di sini pula dapat dilihat jika relasi manusia Batak dan tanahnya tidak menjadi fokus dalam perlawanan masyarakat Batak berhadapan dengan PT.IIU. Kedua, representasi identitas etnis Batak dalam novel ini memiliki sisi esensialis. Tidak berhenti di situ saja, novel ini pun mengkonstruksi identitas Batak dengan menawarkan alternatif identitas etnis Batak yang lebih positif. Ketiga, persoalan tanah dan konstruksi identitas etnis Batak yang dibangun oleh novel atau pengarangnya adalah identitas manusia Batak yang “kembali” pada nilai-nilai tradisi Batak yang sudah ada dan pengembangan pola pikir kritis yang dapat meningkatkan posisi tawar manusia Batak dalam menghadapi wacana PT.IIU.

(2)

vii Abstract

The economic progress which are offered by the industry discourse often bring problems and criticism if it is connected with the communities in the regions in Indonesia. The industry discourse are often criticized in relation to indigenous peoples in Indonesia. There are many things that can be studied from this relationship, one of them is the ethnic identity. For this reason, the author chose the topic the politic of Batak ethnic identity in relation to the discourse PT.Indorayon Inti Utama. Investigated identity politics are set aside in which is represented in the novel

Bulan Lebam di tepian Toba written by Sihar Ramses Simatupang. There are three

issues that were examined in this study: the position of PT. Indorayon who has become the public discourse in North Sumatera, Batak ethnic identity representations that exist in the novel, and criticism offered by this novel related Batak Toba ethnic identity.

In answer to the problems of this study, the authors use the concept of representation and ethnic identity (cultural) by Stuart Hall. Representations are the images that appear from an entity or a reality. In the context of cultural studies, it could be used to subordinate representations, strereotive, articulate, negotiate , or conctruct the identity. The concept of identity which used is ethnic identity, according to the Hall it’s the result of the construction of the many discourse. In this concept of identity politics raised. Identity politics is a person or group of human effort to articulate, fight and negotiate their identity or their group.

From the discussion that is done, there are three results of this research. First, PT.IIU issue has become public discourse. This is because the massive resistance of Batak society today against the operational PT.IIU. Here, it can be seen if the human relations between Batak and the lands does not become the focus in community Batak resistance against PT.IIU. Second, the representations of Batak ethnic identity in this novel have essentialist side. The novel is also constructing identity by offering an alternative of Batak ethnic identity to be more positive. Thirdly, the issue of land and construction of the Batak ethnic identity which are build by novel or its author is a "return " to the Batak traditional values of existing and the development of critical thinking that can improve the bargaining position in the face of the the PT.IIUdiscourse.

(3)
(4)

POLITIK IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOVEL BULAN

LEBAM DI TEPIAN TOBA KARYA SIHAR RAMSES SIMATUPANG

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Oleh

Hendra Sigalingging 116322018

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

vi KATA PENGANTAR

Pengerjaan tesis sederhana yang terbilang menelan waktu yang sangat panjang secara administrasi kampus ini, sangatlah memakan energi yang cukup banyak. Bukan hanya soal pengerjaan tesis ini saja yang memakan energi, akan tetapi catatan-catatan kaki yang membingkai proses “terburu-buru”nya penyelesaian tesis ini juga menyedot energi yang tidak sedikit. Jika diasosiasikan ini tak ubah seperti pemain sepak bola yang hanya berlatih 90 menit tetapi dalam kenyataannya harus melakukan 30 menit babak tambahan.

Terlepas dari itu semua, akhirnya penulis menyelesaikan tesis ini. Tentu saja, tesis ini bisa terealisasikan berkat dorongan semangat dari Bu Katrin yang sangat membantu penulis. Hal ini dimulai dari pemilihan topik, perumusan masalah, teori, hingga pembahasan. Untuk itulah, penulis mandok mauliate godang kepada Bu

Katrin atas dinamika positifnya yang akhirnya mampu membuka “ruang asyik” telaah

sastra bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan moril dari amang dan oma, kedua adik

tercinta dan keluarga yang dengan sabarnya menunggu tanpa pernah bertanya “Kapan

selesai?” Jujur ini sangat banyak membantu penulis. Dukungan moril dari keluarga

jujur tak ubahnya menjadi “pelepas dahaga” penulis di tengah teriknya sorot “matahari”.

Selanjutnya, penulis pun menghaturkan terima kasih kepada teman-teman kerja di Duta Wacana. Berkat pertanyaan dan tuturan pragmatik yang kerap mendarat di telinga penulis menjadikan tamparan berat untuk menyelesaikan tesis ini. Berkat hal ini pula penulis menjadi termotivasi untuk segera menyelesaikan tesis ini.

Himpunan rasa terima kasih pun penulis haturkan kepada segenap dosen-dosen yang ada di IRB Sanata Dharma. Cukilan-cukilan kesadaran yang diberikanlah

yang akhirnya membawa penulis untuk “berhenti” sejenak untuk melihat “kebatakan”

(11)

vii

“direpotin” dengan ide dan pertanyaan-pertanyaan penulis. Berkat bantuan Romo

pula penulis sangat terbantu selama proses perkuliahan di kampus, baik aspek administrasi hingga menggores kesadaran penulis untuk melihat kembali identitas etnis penulis. Matur Nuwun Romo.

Tidak ketinggalan juga, penulis menghaturkan terima kasih kepada Mbak Desy yang telah banyak membantu penulis. Banyak hal yang telah diupayakan Mbak Desy untuk mengingatkan hingga membantu kesulitas penulis dalam kaitannya persoalan administrasi di kampus. Nuwun Mbak.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Untuk itu, segala saran dan kritik dari berbagai pihak akan penulis terima dengan segala kerendahan hati dan harapan dapat lebih menyempurnakan penelitian ini. Penulis juga berharap tesis ini bermanfaat bagi pembaca.

Salam

(12)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ……….. ii

LEMBAR PENGESAHAN ……… iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………. v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Tinjauan Pustaka ... 6

1.6 Landasan Teori ... 8

1.6.1 Representasi ... 9

(13)

ix

1.7 Metode Penelitian... 18

1.7.1 Metode Deskriptif dan Analisis isi ... 18

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ... 19

1.8 Sumber Data ... 20

1.9 Sistematika Penyajian …..……… 20

BAB II WACANA PUBLIK TENTANG INDORAYON ... 21

2.1 Relasi Masyarakat Batak dan Alam ... 23

2.2 PT.IIU dan Persoalan Tanah di Tanah Batak ... 27

2.3 PT.Indorayon: Masalah Kronis di Tanah Batak ... 51

2.4 Perlawanan-perlawanan terhadap PT.IIU ... 59

2.5 Rangkuman ... 68

BAB III REPRESENTASI IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA DALAM NOVEL BULAN LEBAM DI TEPIAN TOBA ... 72

3.1 Representasi Kearifan Lokal ... 77

3.2 Pemahaman Terhadap perubahan Budaya dan Modernitas 86 3.3 Representasi Persepsi Pendidikan ... 97

3.4 Representasi Batak yang Stereotyping ... 100

(14)

x

Identitas Etnis Batak Toba. ... 111

3.4.2.1 Pemikiran Tokoh Datu : Representasi identitas etnis Batak Toba Baru ... 111

3.4.2.2 Pemikiran Tokoh Monang: Representasi Identitas etnis Batak Toba Baru ... 113

3.5 Rangkuman ... 122

BAB IV REPRESENTASI PT. INDORAYON DALAM NOVEL BULAN LEBAM DI TEPIAN TOBA : KONSTRUKSI IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA ………. ... 127

4.1 Representasi PT.IIU dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba ……… 128

4.2 Krtitik Novel Terhadap Indorayon ... 137

4.3 Bulan Lebam di Tepian Toba: Politisasi identitas etnis Batak Toba ……….. . 147

4.3.1 Konstruksi/Politisasi Identitas Etnis Batak ... 147

4.3.2 Persoalan Tanah: Kritik Perlawanan Terhadap PT.IIU….. 162

4.4 Rangkuman ... 172

(15)

xi Abstrak

Kemajuan ekonomi yang ditawarkan oleh wacana industri kerap memunculkan masalah dan kritik jika dihubungkan dengan komunitas masyarakat di daerah-daerah di Indonesia. Wacana industri inilah yang kerap dikritik dalam hubungan dengan masyarakat adat di Indonesia. Beragam hal yang bisa dikaji dari hubungan ini, salah satunya adalah identitas etnis. Untuk itulah penulis memilih topik politik identitas etnis Batak dalam kaitannya dengan wacana PT.Indorayon Inti Utama. Politik identitas yang diteliti pun dikhususkan pada yang terepresentasi dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba karya Sihar Ramses Simatupang. Ada tiga permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu posisi PT. Indorayon yang telah menjadi wacana publik di Tanah Batak, representasi identitas etnis Batak yang ada dalam novel, dan kritik yang ditawarkan oleh novel ini terkait identitas etnis Batak Toba.

Dalam menjawab permasalahan penelitian ini, penulis menggunakan konsep representasi dan identitas etnis (kultural) Stuart Hall. Representasi adalah citraan atau imej yang hadir dari satu entitas atau satu realitas. Dalam konteks kajian budaya, representasi digunakan untuk mensubordinasi, menstereotipan, mendialogkan, menegosiasikan, atau mengkonstrusi identitas. Konsep identitas yang penulis gunakan adalah identitas etnis yang menurut Hall adalah hasil konstruksi dari wacana-wacana yang ada. Dalam konsep inilah dimunculkan politik identitas. Politik identitas adalah upaya seseorang atau sekelompok manusia untuk mengartikulasikan, memperjuangkan, dan menegosiasikan identitas diri atau kelompoknya.

Dari pembahasan yang dilakukan, ada tiga hasil penelitian ini. Pertama, persoalan PT.IIU telah menjadi wacana publik. Hal ini dikarenakan masifnya perlawanan masyarakat Batak hingga saat ini terhadap operasional PT.IIU. Di sini pula dapat dilihat jika relasi manusia Batak dan tanahnya tidak menjadi fokus dalam perlawanan masyarakat Batak berhadapan dengan PT.IIU. Kedua, representasi identitas etnis Batak dalam novel ini memiliki sisi esensialis. Tidak berhenti di situ saja, novel ini pun mengkonstruksi identitas Batak dengan menawarkan alternatif identitas etnis Batak yang lebih positif. Ketiga, persoalan tanah dan konstruksi identitas etnis Batak yang dibangun oleh novel atau pengarangnya adalah identitas manusia Batak yang “kembali” pada nilai-nilai tradisi Batak yang sudah ada dan pengembangan pola pikir kritis yang dapat meningkatkan posisi tawar manusia Batak dalam menghadapi wacana PT.IIU.

(16)

xii Abstract

The economic progress which are offered by the industry discourse often bring problems and criticism if it is connected with the communities in the regions in Indonesia. The industry discourse are often criticized in relation to indigenous peoples in Indonesia. There are many things that can be studied from this relationship, one of them is the ethnic identity. For this reason, the author chose the topic the politic of Batak ethnic identity in relation to the discourse PT.Indorayon Inti Utama. Investigated identity politics are set aside in which is represented in the novel

Bulan Lebam di tepian Toba written by Sihar Ramses Simatupang. There are three

issues that were examined in this study: the position of PT. Indorayon who has become the public discourse in North Sumatera, Batak ethnic identity representations that exist in the novel, and criticism offered by this novel related Batak Toba ethnic identity.

In answer to the problems of this study, the authors use the concept of representation and ethnic identity (cultural) by Stuart Hall. Representations are the images that appear from an entity or a reality. In the context of cultural studies, it could be used to subordinate representations, strereotive, articulate, negotiate , or conctruct the identity. The concept of identity which used is ethnic identity, according to the Hall it’s the result of the construction of the many discourse. In this concept of identity politics raised. Identity politics is a person or group of human effort to articulate, fight and negotiate their identity or their group.

From the discussion that is done, there are three results of this research. First, PT.IIU issue has become public discourse. This is because the massive resistance of Batak society today against the operational PT.IIU. Here, it can be seen if the human relations between Batak and the lands does not become the focus in community Batak resistance against PT.IIU. Second, the representations of Batak ethnic identity in this novel have essentialist side. The novel is also constructing identity by offering an alternative of Batak ethnic identity to be more positive. Thirdly, the issue of land and construction of the Batak ethnic identity which are build by novel or its author is a "return " to the Batak traditional values of existing and the development of critical thinking that can improve the bargaining position in the face of the the PT.IIUdiscourse.

(17)

1

Bab I Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Siapa Aku? Pertanyaan ini tentu saja merupakan pertanyaan klise sekaligus “terbarukan” dalam wacana pengetahuan. Kedirian manusia menjadi topik yang cenderung ada dan senantiasa menciptakan ruang analisis untuk melihatnya. Pertanyaan ini pula yang menjadi momentum bagi penulis untuk melihat kembali “kedirian” penulis. Penulis merasa pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang tidak penting dan tentunya tidak mudah juga untuk menjawabnya. Penulis merasa jika di tengah kompleksitas yang membentuk dan terbentuk di tengah diri penulis turut mempengaruhi penulis dalam pencarian jawabannya.

Pertanyaan perihal kedirian ini pula yang membawa penulis kepada satu hal, yaitu identitas. Terma ini menjadi akar dan hasil akhir yang akan penulis coba dalam penelitian kali ini. Identitas menjadi suatu problematika yang kembali penulis kaji karena selama ini persoalan kedua hal ini seolah-olah “baik-baik” saja, setidaknya di wilayah diri penulis sendiri.

Selama ini penulis merasa persoalan identitas semata hanya menjawab pertanyaan”Kamu asli dari mana?”Jawaban pertanyaan ini tidak lagi “cukup” jika si penjawab mengarahkan jawabannya pada level kedaerahan. Pertanyaan ini tentu menarik untuk dikaji ulang mengingat perubahan dinamika masyarakat yang semakin kompleks saat ini. Kompleksitas inilah yang membuat identitas tidak lagi bisa terjawab penuh hanya dengan menjawab “asal daerah” atau etnisitas belaka.

(18)

2

Dalam kutipan Hall di atas dapat ditarik dua hal. Pertama, identitas akan selalu berproses dan bersifat cair. Ini bisa dimaknai jika identitas merupakan entitas yang tidak otonom dan bersifat mutlak. Kedua, adalah pembentukan identitas berlangsung dalam representasi. Representasi yang dimaksud tentu saja, satu ruang yang tercipta dengan tujuan menegosiasikan, mengkaji ulang, ataupun mengkonstruksi identitas itu sendiri. Konstruksi identitas inilah yang akan terlihat melalui representasi.

Dalam kajian budaya sendiri, persoalan identitas akan bermuara pada anti-esensialis. Dalam konteks ini, identitas dilihat sebagai hasil “bentukan” wacana yang mengubah maknanya menurut waktu, tempat, dan penggunan (Barker, 2000:166). Dengan kata lain, dapat ditarik sebuah “benang merah” jika persoalan identitas baik level personal maupun sosial akan selalu saling tarik-menarik dengan wacana-wacana yang ada di antara mereka. Wacana-wacana ini dapat berupa wacana tradisi, ekonomi, kultural, ataupun globalisasi. Persinggungan atau “senggolan” antarwacana inilah yang menentukan atau mengklasifikasikan “kecairan” pembentukan suatu identitas.

Pertemuan antarwacana yang memengaruhi proses pembentukan identitas tentu saja menghadirkan satu ruang sebagai medianya. Dalam konteks ini, pertemuan antarwacana bisa dilihat atau didapat dari seluruh varian wacana yang ada, termasuk sastra. Sastra bisa dikatakan sebagai wacana yang mengupayakan pembentukan identitas, mengidentifikasi identitas, atau merepresentasikan pertarungan identitas. Dalam hal ini, sastra bisa dilihat dari dua dimensi. Dimensi pertama adalah sastra sebagai teks atau wacana yang ikut ambil bagian sebagai pembentuk suatu identitas. Dalam dimensi ini, sastra dianggap sebagai upaya pembentukan identitas atau politik identitas. Dimensi kedua adalah sastra yang ditempatkan sebagai representasi. Dalam dimensi ini, karya sastra bisa dilihat sebagai representasi identitas yang ada dalam suatu komunitas sosial.

(19)

3

Salah satu novel yang bisa mewakili kegelisahan penulis terkait identitas adalah novel “Bulan Lebam di Tepian Danau Toba”. Novel ini sendiri penulis rasa bisa mewakili kegelisahan penulis perihal identitas batak. Novel yang berlatarkan budaya batak ini dengan cukup dominan membawa identitas batak sebagai entitas utama penceritaan. Dalam novel ini pula penulis bisa melihat pertarungan identitas yang direpresentasikan di dalamnya. Untuk itulah, penulis melibatkan novel ini sebagai objek kajian penulis untuk menganalisis politik identitas, secara khusus identitas Batak Toba.

Dalam proses analisis politik identitas, penulis pun memfokuskan konsentrasi pada identitas etnis Batak toba. Identitas ini sebenarnya hanya didasarkan pada “etnisitas” bawaan karena penulis dilahirkan oleh orang tua yang beretnis batak. Alhasil, secara tradisi penulis pun “di-batak-kan”. Dalam asumsi penulis, identitas Batak toba yang hadir di sini adalah identitas sosial. Tentu saja, identitas sosial di sini masih berupa identitas yang dihasilkan karena penulis dilahirkan dari kedua orang tua yang beretnis Batak Toba dan dibesarkan dalam budaya Batak Toba. Dengan kata lain, identitas batak toba penulis merupakan konstruksi dari sistem sosial masyarakat Batak (baca: norma, adat, dan tradisi Batak Toba).

Dalam level personal, konstruksi identitas batak sendiri telah melalui perjumpaan dengan wacana-wacana yang bervarian. Hal ini dimulai dengan identitas lahiriah penulis, identitas etnis penulis, identitas komunitas sosial penulis, dan identitas pekerjaan penulis. Keseluruhan ini hanya menghasilkan idealiasasi identitas yang penulis lakukan. Dengan kata lain, penulis bebas menggunakan identitas personal penulis. Di sisi lain, kata “bebas” sendiri juga bisa diartikan sebagai “keterkaitan” dengan yang lain. Hal yang lain penulis maksudkan adalah wacana-wacana yang ada di luar diri penulis.

(20)

wacana-4

wacana ini tentu saja memengaruhi proses identifikasi identitas penulis sebagai orang Batak Toba.

Uraian di atas sebenarnya juga dapat dilihat dalam novel. Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, novel Bulan Lebam di Tepian Toba bisa mewakili kegelisahan identitas penulis. Selain karena novel ini dominan bercerita tentang identitas batak, novel ini pun menghadirkan wacana-wacana yang ikut berperan dalam dialog identitas di dalamnya. Tokoh utama novel ini dihadirkan sebagai wacana pembanding di tengah gempuran wacana kapital yang ada di dalamnya. Hal inilah yang cenderung bisa mewakili kegelisahan penulis terkait identitas batak yang secara subyektif penulis rasa selalu mengalami perubahan seiring gempuran wacana global dan wacana kapital di dalamnya. Tentu saja, semua ini berdampak pada perubahan budaya dan perubahan identitas itu sendiri.

Pertarungan wacana yang ada di dalam novel ini pun sebenarnya bisa dilihat dari perspektif poskolonial. Novel ini merepresentasikan dua wacana yang sangat berperan dalam pembentukan identitas batak toba, yaitu wacana tradisi versus wacana modern; wacana desa versus wacana kota; wacana adat versus wacana ekonomi. Wacana tradisi diwakili oleh tokoh-tokoh Batak yang ada di dalamnya yang berjuang dengan kelestarian alam dan adat batak, sedangkan wacana modern diwakili oleh tokoh-tokoh yang juga merupakan orang batak yang cenderung percaya jika modernitas bisa dicapai dengan cara merepresi wacana tradisi.

(21)

5

Pertarungan wacana yang ada di dalam novel inilah yang menarik penulis untuk melibatkannya dalam analisis politik identitas. Novel ini bisa penulis tafsirkan sebagai representasi wacana kebatakan yang terjadi. Novel ini pula bisa penulis posisikan sebagai teks yang sedang menegosiasikan atau memberi alternatif terhadap wacana identitas etnis Batak Toba. Dengan kata lain, penulis menempatkan teks ini sebagai salah satu wacana pembentuk identitas etnis Batak Toba.

1.2Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat politik identitas etnis Batak Toba dalam novel “Bulan Lebam di Tepian Toba”. Untuk itulah penulis mengambil beberapa rumusan masalah yang terangkum di bawah ini :

1.2.1 Bagaimana posisi PT. Indorayon dalam Persoalan Identitas Etnis Batak Toba?

1.2.2 Bagaimana representasi identitas etnis Batak dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba?

1.2.3 Kritik seperti apa yang ditawarkan oleh novel Bulan Lebam di Tepian Toba terkait identitas etnis Batak Toba?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Mendeskripsikan posisi PT.Indorayon dan hubungannya dengan identitas etnis Batak Toba.

1.3.2 Menganalisis secara tekstual perihal representasi identitas etnis Batak Toba dalam novel Bulan Lebam di Tepian Danau Toba.

(22)

6

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki dua poin manfaat, yaitu personal dan khalayak umum. Dalam level personal, penelitian ini menjadi cara penulis untuk melihat kembali identitas dan subyektivitas kebatakan penulis sendiri. Dengan penelitian ini, paling tidak, penulis sadar jika identitas batak tidak pernah “mapan”. Kedua hal ini bersifat “cair” dan cenderung akan selalu bergeser berhadapan dengan perubahan yang ada di dalam dan di luarnya. Hal ini akan bermanfaat bagi penulis untuk sadar dengan “kecairan” identitas batak yang senantiasa berproses.

Level kedua adalah, manfaat kepada khalayak umum. Penelitian ini diharapkan mampu membantu dalam wacana identitas. Kedua hal ini tentu saja berguna untuk melihat kembali kedirian manusia di tengah pertarungan wacana yang terjadi dalam masyarakat. Untuk itulah, penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu “cermin” dalam menentukan atau menegosiasikan identitas dan subyektivtas masyarakat dalam menghadapi atau berintegrasi dengan wacana-wacana yang ada. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu memberi manfaat bagi khayalak umum jika identitas Batak Toba yang terbentuk bisa saja terjadi atau dialami oleh seluruh etnis di Indonesia, tidak hanya etnis batak.

1.5 Tinjauan Pustaka

Topik identitas merupakan satu topik yang cukup sering dibahas dalam ranah akademis. Topik ini telah cukup banyak menjadi bahan analisis beberapa disiplin ilmu pengetahuan, termasuk kajian budaya. Untuk itulah, penulis akan mendeskripsikan beberapa tulisan yang pernah menempatkan topik identitas sebagai bahan analisisnya.

(23)

7

dan “Kanal” karya Ratna Indraswari Ibrahim. Penelitiannya menyimpulkan jika tokoh Ratna dan Jamal di kedua cerpen tersebut tidak menarasikan upaya resistensi. Kedua tokoh ini cenderung melegitimasi konstruksi identitas inferior yang dilekatkan penjajah. Negosiasi identitas Belanda dan Indonesia dalam “Bibir” dan “Kanal” sangat dinamis dan makin menunjukkan bahwa identitas di zaman yang secara budaya serba hibrid ini sebagai akibat kolonialisasi dan globalisasi adalah identitas yang berubah-ubah dan ambivalen.

Penelitian lainnya juga telah dilakukan oleh Paramita Ayuningtyas (2009). Dalam tesisnya yang berjudul “Identitas Diri yang Dinamis; Analisis Identitas Gender dalam Novel Breakfast on Pluto karya Patrick Mccabe”. Tesis ini membahas identitas gender. Dengan menggunakan teori identitas Stuart Hall, Ayunigtyas (2009) menunjukkan jika identitas gender memiliki potensi untuk didekonstruksi. Hal inilah yang ditunjukkan oleh tokoh Patrick Branden. Pemosisian yang dilakukan oleh komunitas sosial dan tubuhnya sendiri menjadi satu halangannya dalam mentransformasikan identitas. Akan tetapi, Patrick memiliki strategi untuk mentransformasikan identitas gender yang diinginkannya, yaitu dengan dekonstruksi gender, dekorasi tubuh dan strategi naratif. Pada akhirnya, penelitian ini berakhir dengan kesimpulan jika novel ini menawarkan identitas yang dinamis atau fleksibel. Identitas adalah proses menjadi yang akan terus terjadi dalam kehidupan manusia.

Topik identitas juga menjadi kajian yang dilakukan oleh Retnowati (2012). Dengan penelitian yang berjudul “Pembentukan Identitas Tokoh Ian dalam Novel 5 CM karya Donny Dhirgantoro: Tinjauan Psikologi Sastra”, Retnowati (2012) mendeskripsikan struktur pembentukan identitas tokoh Ian. dalam penelitian ini, Retnowati menyimpulkan jika identitas tokoh Ian secara psikologis terbentuk karena dua proses, yaitu imitasi dan identifikasi. Dua proses ini tentu saja melibatkan pengaruh dari orang tua, lingkungan sosial, media, tokoh idola, dan sahabat tokoh Ian.

(24)

8

Giok Tien dalam Novel Putri Cina karya Shindunata”. Dalam penelitian ini, Sakinah (2012) menggunakan tinjauan Poskolonial. Penelitian ini mendeskripsikan citraan identitas perempuan baik secara fisik, perilaku, psikis, dan sosial. Citra fisik Putri Cina adalah seorang wanita Cina yang cantik jelita, berperilaku baik dan lemah lembut, taat beragama. Tokoh Giok Tien dideskripsikan sebagai seorang wanita yang cantik, berperilaku baik, setia terhadap suami, dan mudah bersosialisasi dengan orang-orang pribumi.

Peran Putri Cina menunjukkan isu politik dalam proses pembauran etnis yang ikut menyumbangkan perubahan di tanah air, sedangkan peran Giok Tien dalam proses pembauran etnis adalah ikut mengharumkan nama kesenian Jawa, yaitu ketoprak.

Seluruh tinjauan pustaka yang ada dalam subbab ini, menunjukkan jika identitas merupakan satu topik kajian yang kerap digunakan untuk analisis teks sastra. Identitas yang dianalisis pun mencakup identitas diri, identitas psikis, dan identitas sosial. Tinjauan pustaka ini semakin menunjukkan posisi penelitan ini. Penelitian ini mencoba melengkapi kajian terkait identitas dengan mengutamakan identitas etnis di dalamnya. Tidak hanya mengidentifikasi identitas tokoh yang ada dalam novel, penulis mencoba menempatkan novel yang dikaji dalam hubungannya dengan operasional PT.Indorayon Inti Utama. Tentu saja, hal ini dilihat sebagai kerangka politik identitas.

1.6. Landasan Teori

(25)

9

Konsep representasi akan penulis aplikasikan ketika akan menganalisis novel secara tekstual. Dengan kata lain, analisis naratif penulis lakukan dengan bantuan konsep representasi dalam rangka untuk melihat “ruang” pembentukan identitas batak di dalamnya.

Bagian kedua dari konsep yang akan dipakai adalah konsep identitas kultural Stuart Hall. Konsep ini dipakai untuk mencari tahu politik identitas batak toba yang terbentuk dalam novel ini. Pembahasan kedua konsep ini secara detail akan dibahas pada bagian di bawah ini.

1.6.1 Representasi

Dalam konteks kehidupan sosial, terkadang manusia dituntut untuk memposisikan diri. Pemosisian ini tentu saja dipengauhi oleh lingkungan sosial yang ada di sekitarnya. Dalam beberapa dimensi, manusia akan memposisikan diri sebagai bagian dari suatu kelompok ataupun bagian dari suatu kelompok yang berbeda dengan kelompok lainnya. Pencarian persamaan atau perbedaaan diri dengan orang atau kelompok lain tentu saja bisa didasarkan pada identitas. Praktek pemosisian diri yang berdasar pada identitas inilah yang disebut dengan politik identitas. Dengan kata lain, politik identitas bisa dimaknai sebagai upaya manusia atau sekelompok manusia untuk mengartikulasikan atau memperjuangkan atau menegosiasikan dirinya atau kelompok sosialnya.

Dalam proses pemosisian inilah, politik identitas meletakkan representasi sebagai konsep yang penting. Representasi menjadi ruang bagi manusia untuk menciptakan atau menegaskan identitas diri atau kelompoknya. Hal ini bisa dilakukan sebagai respon atas marjinaliasi atau diskriminasi yang dialamai oleh seseorang atau kelompok sosial.

(26)

10

citra diri yang didapat akan tetapi bisa dipahamai sebagai citra diri yang dibentuk. Dalam konteks penelitian ini, citra diri inilah yang ditempatkan sebagai identitas.

Diskursus representasi sendiri menempatkan beberapa entitas yang bisa digunakan dala repersentasi. Hal ini dapat berupa gambar, video, berita, seni, maupun sastra. Dalam konteks inilah penulis menempatkan novel sebagai representasi yang diupayakan dalam mempolitisasi suatu hal, termasuk identitas. Dalam kajian budaya sendiri seluruh produk budaya dianggap atau diposisikan sebagai teks yang “dimaknai” atau direinterpretasi sesuai dengan perspektif yang dibangun. Di poin inilah penulis melihat ada signifkasi novel dalam kajian penulis.

Novel Bulan Lebam di Tepian Toba sebagai representasi yang digunakan oleh penulis. Dalam hal ini, reprsentasi ini dilakukan dalam upaya mengkonstruksi atau mempolitisasi identitas Batak Toba. Representasi inilah yang pada akhirnya “ikut ambil bagian” dalam diskursus identitas etnis Batak Toba, secara khusus yang terkait dengan PT.IIU.

(27)

11

interpretannya. Dalam beberapa sisi, pandangan Hall ini bisa dikatakan atau diapropriasi dengan mitologi Roland Barthes. Dalam hal ini, proses penandaan dalam analisis suatu teks bisa ditafsirkan sebagai investigasi politis yang ada dalam suatu teks atau suatu representasi.

Hall juga menambahkan jika interpretasi terhadap konsep reprsentasi tidak akan pernah selesai. Interpretasi akan terus berproses menghadirkan pemaknaan-pemaknaan baru sehingga tidak akan bisa dikatakan jika “makna” suatu hal merupakan makna akhir atau kebenaran yang absolut. Hal ini menandakan jika dalam proses pemaknaan ini, representasi akan terus menghadirkan dimensi-dimensi yang dapat dipakai untuk melihat pertarungan wacana yang ada di dalamnya.

Konsep representasi merupakan salah satu konsep yang cukup penting dalam ranah kajian budaya. Representasi menghubungkan bahasa dan makna dalam budaya. Representasi merupakan bagian dari proses ketika satu makna dibentuk atau dipertukarkan di antara anggota suatu kelompok budaya (Hall, 1997: 17).

Dalam representasi sendiri ada tiga pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan reflektif. Pendekatan ini membahas cara bahasa mencerminkan suatu makna yang telah ada perihal di dalam objek, masyarakat, ataupun fenomen-fenoman yang terjadi. Pendekatan lainnya adalah pendekatan intensional. Pendekatan ini memfokuskan analisisnya ucapan, pikiran, atau makna yang sengaja ditekankan oleh seseorang. Pendekatan ketiga adalah pendekatan konstruksionis (constructionist). Pendekatan ini menitikberatkan pada makna suatu wacana yang dikonstruk untuk tujuan tertentu (Hall, 1997: 15).

(28)

12

Practices of representation always implicate the positions from which we speak or write- the positions of enunciation. What recent theories of enunciation suggest is that, though we speak, so to say in our own name, of ourselves and from our own experience, nevertheless who speaks, and the subject who is spoken of, are never identical, never exactly in the same place. “

Kutipan di atas sangat jelas menunjukkan jika dalam representasi akan terselip satu kepentingan yang sedang dibangun. Hubungan representasi dengan apa yang dipresentasikan tentulah berpijak pada posisi subjek yang berbicara atau menciptakan representasi dan subjek yang direpresentasikan. Hal ini menandakan jika ada jarak atau jalur yang hadir atau dihadirkan dari yang dipresentasikan.

Hall juga menambahkan penjelasannya dengan menarasikan representasi bangsa kulit hitam. Hall menjelaskan "the ways in which black people, black experiences, were positioned and subject-ed in the dominant regimes of representation were the effects of crtical exercise of cultural power and normalization. Not only, in Saids Orientalist sense, were we constructed as different and other whitin the categories of knowledge of the West by those regimes. They had the power to make us see and experience ourselves as “Other”. Every regime of representation is a regime power formed.” Kutipan di atas menjelaskan representasi merupakan tindakan politis dari penguasa. Ini mengindikasikan jika representasi menjadi ruang untuk mengkonstruk atau memposisikan suatu subjek. Upaya ini dilegitimasi oleh jaringan kekuasaan yang melibatkan pengetahuan di dalamnya.

(29)

13

1.6.2 Konsep Identitas Kultural

Dalam diskursus yang terkait dengan identitas, pada prinsipnya melibatkan dua proses relasi, yaitu relasi dengan dirinya sendiri dan relasi dengan orang lain. Dalam relasi dengan dirinya sendiri, identitas akan dilihat sebagai pembentukan citra diri yang didasarkan dari internal dirinya sendiri. Di sisi lain, relasi dengan orang lainlah proses pembentukan identitas terjadi. Proses ini melibatkan sisi eksternal dari identitas orang lain. Dengan kata lain, faktor eksternal inilah yang terlibat dalam konstruksi identitas seseorang atau suatu kelompok sosial.

Hall dalam The Question of Cultural Identity (1996a) menjelaskan jika terminologi identitas tidak bisa lagi disamakan dengan terminologi yang lama. Hal ini dikarenakan pengaruh perkembangan zaman yang membuka ruang-ruang individualisme. Ruang-ruang inilah yang memungkinkan terjadinya pembaharuan konsep terkait dengan subyek dan identitas.

Perkembangan ini tentu saja membawa transformasi pada individu manusia. Individualitas yang dihasilkan karena negosiasi dengan zaman inilah yang mentransformasikan individu untuk mencoba melepaskan diri dari “kungkungan” struktur sosial ataupun tradisi yang sudah ada. Salah satu ciri modernitas yang turut mengubah tatanan sosial menurut Hall adalah penemuan dan perkembangan mesin. Penemuan inilah yang menggeser paradigma identitas.1 Perkembangan mesin, secara khusus telah mengubah kehidupan masyarakat sehingga memengaruhi identitas. Secara khusus munculnya mesin cetak Wittenberg yang pada akhirnya memperkaya wacana-wacana yang ikut bagian dalam pembentukan identitas.

Dalam penjelasannya tentang identitas, Hall melanjutkan dengan klasifikasi identitas yang dirurut dari masa pencerahan hingga postmodernitas; Subjek atau identitas yang bersifat esensialis, identitas yang stabil dan final,

1

(30)

14

hingga identitas yang terbuka, kontradiktif, tidak selesai, dan terfragementasi (postmodernisme).2

Dalam Identity, Community, Culture, Difference (1990), Hall menambahkan jika “There are two kinds of identity, identity as being (which offers a sense of unity and commonality) and identity as becoming (or a process of identification, which shows the discontinuity in our identity formation)”. Dalam perspektif pertama, identitas dilihat sebagai satu kesatuan yang dimiliki bersama. Identitas tidak dapat terlepas dari rasa atau kesadaran terhadap ikatan kolektivitas. Tentu saja, ini dapat dilihat dari kesamaan fisik, adat, norma, sejarah, dan leluhur. Inilah yang mengikat atau menjadikan identitas seseorang.

Perspektif kedua terkait identitas bisa dikatakan sebagai pelengkap atau anti-tesis dari perspektif pertama. Perspektif kedua memberikan satu argumentasi jika subjek atau identitas tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang otonom dan stabil. Subjek atau identitas tidak lagi dipahami secara sederhana. Identitas pada perkembangannya dilihat sebagai proses identifikasi atau idealisasi terhadap realitas yang membentuk subjek atau identitas tersebut. Identitas akhirnya dilihat sebagai entitas yang cair, berproses, dan membentuk-terbentuk dengan seluruh varian wacana yang mengelilinginya.

Dalam pandangan persepektif kedua inilah Hall menjabarkan perkembangan identitas yang dilihatnya dari teori-teori sosial. Hall (1990) mendeskripsikan sketsa perihal subjek dan identitas yang didasarkan pada teori sosial; pada akhirnya disebut dengan “the final de-centering of the Cartesian subject”. Pertama, diambil dari pemikiran Marx. Hall mencatat “Men make history, but only on the basis of conditions which are not of their own making”. Individu pada kenyataannya merupakan agen dari sejarah karena dihasilkan oleh kondisi historikal yang dikonstruk oleh orang lain. Upaya ini dilakukan dengan menggunakan sumber material maupun kultural yang diadopsi dari generasi sebelumnya.

2

(31)

15

Kedua, diambil dari pemikiran Freud yang mengembangkan konsep ketaksadaran. Dalam sketsa ini, identitas didasarkan pada proses simbolik dari alam bawah sadar yang sangat berbeda bentuknya dari subyek rasional yang memiliki identitas tetap. Sketsa ketiga adalah penjelaskan yang didasarkan pada konsep lingustik strukturalis Saussure yang mencatat “We are not in any absolute sense the authors of the statements we make or the meaning we express in language”. Dengan kata lain, bahasa hanya bisa digunakan dalam rangka produksi makna dengan memosisikan diri dalam aturan kebahasan (langage). Aturan-aturan inilah yang berpadu dengan sistem dari makna itu sendiri yang disesuaikan dengan konsesus kultural yang dipahami oleh individu tersebut. Bahasa bukanlah merupakan sistem individu, melainkan sistem sosial.

Sketsa keempat merupakan pembahasan subyek yang merujuk pada teori Foucault. Foucault menjelaskan mekanisme kekuasaan yang berasal dari penelusuran sejarah di abad ke-20 yang disebutnya sebagai disciplinary power. Foucault pun menjelaskan proses regulasi, pengawasan atau panopticon yang mengatur atau mendisplinkan kelompok sosial, mapun individu. Hal ini tentu saja menyentuh level kebertubuhan. Teori ini sendiri mambantu Hall untuk melihat sejarah modernitas yang menunjukkan mekanisme kekuasaan dan kedispilinan yang dijaringkan dalam bentuk hukum atau regulasi yang terinstitusi. Mekanisme ini melibatkan penerapan kekuasaan dan pengetahuan yang selanjutnya disebut individualizes yang terinternalisasi dalam tubuh seseorang. Sketsa terakhir adalah pembahasan pusat diri yang didasarkan pada pemikir feminism. Identitas dilihat sebagai krtik teori maupun gerakan sosial (gerakan mahasiswa atau gerakan persamaan hak) yang marak dilakukan pada 1960-an.

Masih terkait dengan konstruksi identitas, Hall (1996a: 4-5) menjelaskan jika :

(32)

16

exclusion, than they are the sign of an identical, naturally-constituted unity- an identity in its traditional meaning”

Kutipan di atas menjelaskan jika identitas dibentuk di dalam wacana itu sendiri. Mekanise inilah yang tersebar atau disebar oleh rejim penguasa. Strategi kekuasaan yang menggunakan wacana ini dalam upaya melanggengkan kekuasaan yang ada. Pembentukan identitas ini juga beroperasi dalam pengetahuan dan praktik-praktik kekuasaan yang terinstitusi. Untuk menegaskan hal ini, Hall juga menambahkan jika :

“Above all, and directly contrary to the form in which they are constantly invoked, identities are constructed through, not outside, difference. This entails the radically disturbing recognition that it is only through the relation to the Other, the relation to what it is not, to precisely what it lacks, to what has been called its constitutive outside and thus its identity can be constructed (Derrida, 1981; Laclau, 1990; Butler, 1993).

Hall dalam Cultural Identity and Diaspora (1993) menjelaskan persoalan identitas merupakan mekanisme produksi yang tidak akan pernah selesai. Dalam proses inilah, representasi menjadi kunci utama dalam politik identitas. Oleh karena itu, identitas akan selalu menyisakan masalah atau ruang dialog, termasuk identitas kultural atau identitas etnis. Hall mencatat jika

Identity is not as transparent or unproblematic as we think. Perhaps instead of thinking of identity as an already accomplished fact, which the new cultural practices then represent, we should think, instead, of identity as a “production” which is never complete, always in process, and always constituted within, not outside, representation. This view problematizes the very authority and authencity to which the term, “cultural identity” lays claim.

Terkait dengan identitas kultural, Hall (1996b) kembali menegaskan :

(33)

17

Kutipan ini menjelaskan jika identitas budya dilihat sebagai suatu kesatuan yang dimiliki secara kolektif. Hal ini bisa ditandai dengan persamaan sejarah dan leluhur. Identitas budaya merupakan cerminan kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang membentuk seseorang menjadi satu kesatauan, walaupun dari "luar" mereka terlihat tidak sama sekali pun. Perspektif ini menawarkan pandanagn jika identitas budaya dapat terbentuk jika melihat kesamaan sejarah dan kode budaya yang menyatukan mereka. Hal inilah yang mengidentifikasikan mereka sebagai suatu kelompok.

Selain itu, Hall (1996b) juga menjelaskan posisi kedua dari identitas etnis (budaya). Hall Mencatat jika,

Cultural identity, in this second sense, is a matter of becoming as well as of being. It belongs to the future as much as to past. It is not something which already exist, transcending place, time, history, and culture. Cultural identities come from somewhere, have histories. But, like everything which is historical, they undergo constant transformation. Far from being eternally fixed in some essentialised past, they are subject to the continuous play of history, culture and power. Far from being grounded in a mere recovery of the past, which is waiting to be found, and which , when found, will secure our sense of ourselves into eternity, identities are the names we give to the different ways we are positioned by, and position ourselves within, the narratives of the past.”

(34)

18

Pemosisian menjadi kata kunci dalam pemahaman identitas kultural Hall. Kata “posisi” telah menghadirkan dua hal. Pertama, hal ini akan terkait dengan pihak yang memposisikan dan pihak yang diposisikan. Hal ini tentu saja menggunakan media representasi apapun. Dalam kerangka ini, penulis melihat jika representasi adalah ruang politis. Oleh karena itu, identitas kultural pun bisa ditafsirkan sebagai ruang politis. Kedua, identitas kultural atau identitas etnis merupakan ruang identifikasi. Meminjam terma Lacan, identitas kultural dalam perkembangannya merupakan hasil idealisasi atau apropriasi dari wacana yang mengelilinginya.

Dengan kata lain, identitas kultural tidak bisa dipahami lagi sebagai kesamaan nasib dan kesamaan kode-kode budaya dari suatu komunitas saja. Identitas budaya sebaiknya dilihat sebagai entitas yang terus akan selalu diproduksi, akan selalu tidak stabil, dan akan selalu teridentifikasi dengan wacana yang ada. Untuk itu, perlu dilihat kembali mekanisme representasi atau mekanise kekuasaan yang menggunakan wacana untuk melihat identitas budaya suatu kelompok sosial. oleh karena itu, identitas budaya adalah terma yang sangat politis. Hall menambahkan : “Cultural identities are the points of identification, the unstable points of identification or suture, which are made, within the discourse of history and culture. Not an essence but a positioning. Hence, there is always a politics of identity, a politics of position, which has no absolute guarantee in an unproblematic, transcendental “law of origin”

1.7.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini ingin menjelaskan dan menggambarkan politik identitas etnis Batak Toba yang terangkum dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Setidaknya ada dua metode penelitian yang digunakan, yaitu metode deskriptif dan metode analisis isi.

1.7.1 Metode Deskriptif dan Analisis Isi

(35)

19

hasil pengamatan, ataupun hasil pembacaan. Metode deskripsi penulis gunakan dalam dua level. Level pertama, penulis menggunakannya untuk deskripsi wacana public tentang Indorayon. Deskripsi yang dilakukan pun meliputi masalah-masalah yang ada di seputar PT.IIU dan korelasinya dengan masyarakat Batak Toba. Level kedua adalah deskripsi yang dilakukan untuk mendeskripsikan data-data tekstual (novel). Data yang berupa kutipan-kutipan ini penulis deskripsikan guna menjadi bahan analisis.

Setelah itu, secara khusus, metode penelitian yang akan dilakukan adalah metode analisis isi (content analysis). Metode analisis ini menjadi metode yang dominan penulis pakai. Metode ini dipakai untuk menyisir narasi yang ada dalam novel dan menganalisis identitas batak yang ada dalam novel. Neuendorf (2002: 2) memberikan penjelas perihal analisis isi. Penjelasanya dapat dilihat pada kutipan berikut ini:

“Content analysis may be briefly defined as the systematic, objective analysis of mesaage characteristic. It includes the careful examination of human interactions; the analysis of character in tv commercials, film, and novel; the computer-driven investigation of word

usage in newsreleases and political speeches; and so much more”.

Dalam pembahasannya, Hijmans (dalam Neuendorf, 2002 : 5) ada beberapa domain utama dalam analisis ini, yaitu analisis retorik, analisis naratif, analisis wacana, analisis struktural, analisis interpretatif, analisis percakapan, analisis kritis,dan analisis normatif. Dalam penelitian ini secara khusus yang digunakan adalah analisis naratif.

This technique involves a description of formal narrative structure; attention focuses on characters – their difficulties, choices, conflicts, complications, and developments. The analyst is interested not in the text as such but in characters as carriers of the story. The

analysis involves reconstruction of the composition of narrative (Neuendorf, 2002 : 5).”

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data.

(36)

20

berupa kata, kalimat, dialog, ataupun kejadian yang ada dalam novel. Semua ini terkait dalam politik idenitas yang ada dalam novel.

1.8Sumber Data

Penelitian ini adalah penelitian literatur sehingga sumber data yang dominan adalah litarutur atau pustaka. Dalam penelitian ini, literatur utama yang digunakan adalah novel “Bulan Lebam di Tepian Toba” karya Sihar Ramses Simatupang. Lalu dalam analisis selanjutnya literatur yang dominan digunakan ada dua buku. Buku pertama berjudul “Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak VS PT.Indorayon

Utama di Sumatera Utara” karya Dimpos Manalu. Buku kedua berjudul “

Orang-orang yang Dipaksa Kalah: Penguasa dan Aparat Keamanan Milik Siapa?”

karya Saur Tumiur Situmorang,dkk.

1.9Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disusun dalam lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar balakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

(37)

21

BAB II

Wacana Publik Tentang Indorayon

“Ini kampung nenek moyang kami, kenapa kami di sini dilarang mengambil kayu untuk memasak nasi, padahal PT. Inti Indorayon Utama (selanjutnya disingkat: IIU) boleh menghabiskan hutan

ini? (Tempo dalam Situmorang, dkk., 2010: viii).

Satu kutipan di atas menjadi pembuka pembahasan dalam bab ini. Kutipan di atas merupakan bagian pembuka Sekapur Sirih dari buku “Orang-Orang yang Dipaksa Kalah; Penguasa dan Aparat Keamanan Milik Siapa?” Kutipan di atas menjadi dasar pemikiran perihal salah satu problem atau masalah kebatakan yang terjadi dalam masyarakat Batak, khususnya Batak Toba.3

Salah satu persoalan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba hingga saat ini adalah operasional PT.IIU. Keberadaan pabrik kertas ini memberikan dampak yang tidak sedikit dalam kehidupan masyarakat Batak. Hal inilah yang membuat penulis memosisikan PT.IIU pada pusat pembahasan bab ini. Keberadaan PT.IIU yang sejak dekade 1980‟an masih menunjukkan perannya dalam berelasi dengan masyarakat Batak Toba. Isu lingkungan, tanah adat, politik, dan dominasi kekuasaan di dalamnya menjadikannya sebagai salah satu wacana yang memiliki ekses pada diskursus identitas etnis Batak Toba.

Penelitian ini sendiri konteksnya adalah melihat politik identitas etnis Batak yang ada dalam novel Bulan Lebam di Tepian Toba. Novel ini meletakkan persoalan tanah dan relasi PT.IIU di dalamnya. Untuk itulah penulis memposisikan PT.IIU dengan dinamika permasalahan yang ada sebagai pokok bahasan bab ini. Tentu saja, hal ini difungsikan untuk memperlihatkan PT.IIU yang berkolerasi dengan persoalan identitas etnis Batak. Dalam kerangka inilah, penulis mencoba akan memperlihatkan persoalan PT.IIU yang telah menjadi

3

(38)

22

wacana publik dalam hubungannya dengan perubahan yang terjadi di Tanah Batak.

Perubahan yang terjadi di Tanah Batak dengan operasional PT.IIU menyentuh aspek lingkungan, masyarakat, ekonomi, dan sosial. Dalam uraian yang terkait dengan lingkungan, pertama-tama penulis akan mendeskripsikan relasi manusia Batak terhadap alam atau lingkungannya. Ini digunakan untuk memperlihatkan bahwa alam atau lingkungan menjadi salah satu dimensi sentral dalam kehidupan masyarakat Batak.

Pembahasan terkait lingkungan ini pun akan difokuskan pada aspek tanah. Pembahasan ini akan digunakan untuk memperlihatkan operasional PT.IIU dibaca sebagai satu “stimulan” persoalan tanah (lahan) yang pada akhirnya akan menyentuh persoalan identitas etnis Batak. Dalam hubungannya dengan PT.IIU inilah akan diperlihatkan jika tanah yang awalnya memiliki dimensi yang sangat penting bagi manusia Batak dikomodifikasi oleh pelaku industri (PT.IIU) menjadi objek materil nir-makna. Di sini akan diperlihatkan masuknya kapitalisme khususnya dalam hal tanah. Selain itu, subbab ini akan diposisikan sebagai penanda jika PT.IIU menjadi “masalah” yang turut “menggores identitas etnis Batak.

(39)

23

2.1 Relasi Masyarakat Batak dan Alam

Lingkungan akan menjadi topik utama yang ada dalam analisis di sini. Lingkungan di sini pun sebenarnya mencakup aspek-aspek yang ada di dalamnya, baik yang melibatkan unsur tanah, air, maupun udara. Untuk itulah, hal ini mendapatkan posisi yang cukup sentra bagi manusia Batak, khususnya mengingat relasi masyarakat Batak terkait dengan alamnya.

Salah satu poin yang bisa dilihat dari relasi masyarakat Batak dengan alam lingkungannya dapat dilihat pada letusan gunung api Toba, sekitar 740.000 tahun lalu. Ledakan gunung yang dibicarakan dalam ranah meteorologi dan geofisika, diklaim sebagai salah satu letusan terbesar di dunia. Akan tetapi, klaim ini tidak sesuai dengan masyarakat Toba dalam melihat letusan Gunung Api Toba yang berasa dalam lingkungan area Danau Toba. Bagi masyarakat Batak, ini lebih merupakan kisah masa lalu yang dibawa secara tiba-tiba dalam bentuk teori letusan gunung. Ini sangatlah terasa asing mengingat dalam perspektif kebudayaan Batak, Danau Toba merupakan sumber kehidupan dan berkah debata (Tuhan) yang memiliki nilai spiritual dan nilai ekonomi di dalamnya. Untuk itulah, kelestarian Danau Toba menjadi atensi seluruh masyarakat di Tanah Batak.

Sebagai contoh, letusan gunung Sinabung pada 2010 juga tidak mampu mengubah persepsi masyarakat Batak terkait kealamannya. Tradisi dan upacara pemujaan yang dilakukan pun, umumnya tetap dilakukan. Hal ini merupakan simbolisasi doa-doa memohon keselamatan dari gagal panen, banjir, longsor, atau penyakit, tetapi tidak secara khusus mengaitkannya dengan bahaya aktivitas gunung api. Kosmologi pemikiran masyarakat Batak yang tampak di sini adalah persepsi gunung api (alam) yang dilihat bukan sebagai sumber masalah.

(40)

24

masyarakat sekitar Danau Toba sebagai gunung sakral, yang mampu memberikan perlindungan dan berkah bagi mereka yang mengunjungi dan melantunkan doa di sana.

Bagi masyarakat Batak Toba, bencana lebih dikaitkan dengan persoalan kelestarian alam dan dampak perusakan hutan, serta perubahan sosial, daripada bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung atau gempa. Persoalan yang diakibatkan oleh alam akan ditafsir sebagai siklus lingkungan yang biasa. Persoalan bencana alam pun tidak terlalu banyak berdampak pada identitas Batak Toba. Hal inilah yang sedikit berbeda jika bencana disebabkan oleh dunia “industri” atau dalam bahasan bab ini, adalah bencana yang diakibatkan oleh PT.IIU.

Salah satu unsur lingkungan yang mendapat posisi vital atau penting dalam masyarakat Batak Toba adalah tanah. Tanah dalam kehidupan masyarakat Batak Toba meliputi beberapa dimensi hidup bagi masyarakat Batak Toba. Hal inilah yang akan penulis deskripsikan dalam pembahasan berikut ini.

Eratnya keterkaitan orang batak dengan tanah, secara implisit tersirat dalam alam pikiran dan cita-cita hidup masyarakat Batak Toba yang mendasari seluruh aspek kehidupannya. Bagi orang Batak Toba, misalnya cita-cita itu ialah mencari hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan), dan Hagabeon (keturunan) inherent dengan unsur tanah (Simanjutak, dkk. 2015: 3).4 Inherent yang dimaksud tentulah keterlibatan tanah dalam menggapai cita-cita manusia Batak. Manifestasinya sendiri dapat diwujudkan dengan beragam cara. Cita-cita hamoraon terkait tanah sebagai produksi ekonomi keluarga. Hasangapon sendiri dapat dicapai dengan tetap mempertahankan tanah leluhur kepada generasi berikutnya.

Selain itu, mitologi kehidupan orang Batak dilukiskan seperti sebuah pohon harihara (pohon beringin) yang menjulang tinggi dari benua bawah hingga benua atas yang dinamakan juga harihara sundung di langit. Pohon inilah yang

4

(41)

25

diyakini sebagai simbol dari dewata tertinggi dalam menyatukan segala kehidupan dan mewakili segala tata tertib. Nasib setiap orang tercatat pada pohon tersebut dan semua kehidupan bersumber daripadanya.5 Mitologi harihara selain menunjukkan relasi ke atas yang ditujukan kepada penghormatan kepada dewata tertinggi, secara implisit, mitologi ini dapat diinterpretasi pada kelekatan pohon ini dengan tanah yang di bawahnya.

Selain mitologi ini, sebenarnya menurut penulis telah menjadi pandangan umum jika suatu komunitas adat, termasuk Batak Toba akan dihiasi serangkaian kebudayaan yang melibatkan alam di dalamnya, mulai dari mitologi hingga simbol-simbol dalam upacara adat. Menurut penulis, hal inilah yang membuat relasi manusia adat (Batak Toba) sangat dekat dengan unsur alam atau lingkungannya.

Salah satu yang bisa dilihat dari hubungan manusia Batak dengan alamnya (tanah) dapat dilihat dari mitologi Batak lainnnya. Dalam sistem keyakinan masyarakat Toba yang tradisional, dikenal adanya konsep Ketuhanan, yakni Debata Mulajadi Nabolon. Dalam mitologinya juga terdapat unsur tanah di dalamnya. Debata Mulajadi Nabolon sebagai dewa pencipta memerintahkan seorang puteri surga bernama Si Boru Deak Parujar turun ke benua tengah dengan membawa sekepal tanah. Tanah itulah yang menjadi permulaan dari bumi ini.6

Konsep benua tengah di atas merupakan salah satu kosmologi religi masyarakat Batak Toba. Dalam konsep ini dipercaya jika ada tiga banua (benua), yaitu banua ginjang (Benua atas), banua tonga (Benua Tengah: Bumi), dan banua toru (Benua bawah). Dari mitologi ini dapat diperlihatkan jika asal muasal bumi adalah “sekepal” tanah yang dibawa oleh Si Boru Deak Parujar. Oleh karenanya, awal penciptaan bumi dan manusia Batak dimulai dari “sekepal” tanah ini.

Selain mitologi ini, relasi manusia Batak dengan alamnya dapat dilihat kembali pada penentuan tempat tinggal atau pendirian pemukiman (huta) manusia

5

ibid

6 Bungaran. A. Simanjuntak, dkk.

(42)

26

Batak Toba. Huta tidak boleh didirikan di tempat yang diapit dua gunung. Hal ini akan menyebabkan penghuni huta akan sakit-sakitan karena terpaan angin gunung. Huta juga tidak boleh didirikan di sekitar kelokan sungai, karena rumah-rumah yang didirikan di sana akan ditelan “nafas” sungai. Huta juga tidak boleh didirikan di lembah karena tempat ini disebut “pelangi untuk minum” (parsoburan ni halibutongan) atau tanah mati. Dengan kata lain, ini tempat pemakaman7.

Dari konsep lokasi huta ini kembali diperlihatkan dimensi alam terhadap kehidupan masyarakat Batak Toba. Hal ini semakin menandakan jika manusia Batak telah memiliki konsep, kosmologi, dan relasi dengan alamnya yang telah menjadi tradisi. Kesadaran inilah yang pada akhirnya menyebabkan “relasi” kuat antara manusia Batak dan alamnya sehingga Bencana alam yang terjadi di dalamnya tidak dianggap sebagai bencana yang akan “menganggu” kehidupan atau identitas etnis Batak.

Dari uraian pembahasan yang ada di atas, setidaknya didapat gambaran kesulitan mendudukan entitas Batak dengan menyampingkan mitologi dan alam yang saling berelasional. Inilah yang banyak mempengaruhi masyarakat Batak Toba dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain, relasional ini telah menjadi software yang ada dalam masyarakat Batak Toba.

Dari uraian singkat ini dapat dilihat relasi Batak dan alamnya sangat kuat. Bencana yang diakibatkan oleh alam tidak langsung berakibat atau berpengaruh terhadap identitas etnis Batak. Bagi manusia Batak, ini bukanlah bencana. Untuk itulah, PT.IIU yang memberikan “goncangan” terhadap relasional ini menjadi satu fokus masalah yang pada akhirnya juga berkontribusi pada konstruksi identitas etnis Batak Toba.

PT.IIU menjadi salah satu stimulan yang pada akhirnya memberikan jarak antara manusia Batak dan alam lingkungannya. Hal ini akan secara khusus dibahas pada subbab selanjutnya (subbab 2.3). dalam subbab ini telah

7

(43)

27

dideskripsikan jika alam memiliki dimensi penting dan salah satu yang paling mendasar adalah posisi tanah. Tanah dalam kehidupan manusia Batak memiliki dimensi yang penting. Masalah tanah otomatis akan merujuk pada persoalan yang akan memengaruhi kehidupan masyarakat Batak, termasuk identitas etnis Batak. Untuk itulah penulis akan membahas posisi tanah bagi manusia Batak pada subbab selanjutnya.

2.2PT.IIU dan Persoalan Tanah di Tanah Batak

Berbicara perihal alam lingkungan, maka tidak bisa dikesampingkan tiga unsur yang meliputi alam itu sendiri, yaitu udara, air, dan tanah. Dalam kaitannya dengan inilah, sebagai pembuka awal dalam analisis masalah PT.IIU ini, penulis akan membahas aspek tanah dan korelasinya dengan PT.IIU serta masyarakat Batak Toba.

Aspek tanah yang akan penulis uraikan pertama adalah arti dan fungsi tanah bagi masyarakat Batak Toba. Hal ini dilakukan untuk memperlihatkan pentingnya tanah bagi manusia Batak. Ini tidak sama dengan pembahasan sebelumnya karena akan memperlihatkan arti dan fungsi tanah dilihat dari dimensi politik dan sosial, bukan alam secara keseluruhan. Lalu pembahasan dilanjutkan dengan persoalan tanah di Batak dan hubungannya dengan operasional PT.IIU.

Arti dan fungsi tanah pertama yang akan penulis bahas dilihat dari sisi politik. Pola perkampungan orang Batak Toba adalah berbanjar. Rumah-rumah didirikan saling berhadapan dan di tengah terdapat halaman bersama untuk tempat menjemur padi dan hasil produksi lainnya. Konsep berbanjar inilah yang merepresentasikan konsep nenek moyang Batak yang mendesain agar seluruh penghuni rumah di huta akan bisa saling bersosialisasi. Barisan rumah yang berbanjar dan saling berhadapan merepresentasikan ketermudahan dalam mengorganiasi warga huta jika ada suatu kegiatan sosial di dalamnya.

(44)

28

ulaon alaman seperti perkawinan, kematian, meminta dan menolak hujan, upacara inisisai, misalnya meratakan gigi mangalontik ipon. Selain itu, halaman juga berfungsi sebagai tempat menyampaikan pengumuman, pasahat hon tinting dohot boa-boa, tempat melaksanakan peradilan huta, tempat ternak, mencari makan dan sebagainya. Dengan demikian, halaman berfungsi sebagai proses sosialiasi (Simanjuntak, 2015: 30-31)8.

Konsep rumah berbanjar dan ketersediaan halaman yang luas menjadi representasi kesatuan para penghuni huta. Halaman yang ada dalam satu huta tidak memiliki pembatas dari satu rumah ke rumah lainnya. Halaman desa atau huta adalah “milik bersama”. Karena itu, tidak terdapat pagar yang menandakan atau membatasi milik pribadi. Dengan kata lain, sebenarnya halaman dalam huta “mirip” dengan fungsi “alun-alun” dalam konsep Kraton. Halaman menjadi ruang sosialisasi bagi penghuni huta.

Arti dan fungsi tanah kedua dilihat dari dimensi sosial. Salah satu satuan permukiman pada masyarakat Batak Toba disebut huta, yang terdiri dari tanah yang diperuntukkan bagi tapak rumah, pekarangan, jalan, ladang sekitar pemukiman, mual, tepian, lumbung, parik, pagar tumbuhan, pekuburan, pertukangan, tempat melaksanakan upacara dan aspek kehidupan lainnya. Huta atau perkampungan dihuni oleh satu marga raja, marga tano, dengan boru (pengambil istri). Perkampungan kecil biasanya dihuni oleh mereka yang berasal dari satu nenek moyang dalam arti lima generasi ke atas sehingga dalam satu huta jumlah rumah yang ada sekitar 10 – 25 rumah saja (Simanjuntak, 2015: 23).

Beberapa di antara huta tersebut memiliki dua buah parik, yakni parik bulu suraton dan parik bulu duri. Di sekeliling parik sebelah luar, terdapat sebidang tanah yang lebarnya lebih kurang 3 meter yang disebut anak bajang atau suha. Tanahnya dipergunakan untuk perawatan dari parik-parik itu. Anak bajang

8

(45)

29

atau suha tersebut boleh ditanami tetapi apabila tanahnya diperlukan untuk huta maka tanaman-tanaman harus disingkirkan tanpa ganti rugi.9

Huta merupakan tempat tinggal bagi mereka yang satu marga, atau paling tidak terdiri dari satu nenek (saompu) dengan atau tanpa disertai boru (pengambil istri). Marga yang mendirikan huta dinamakan marga tano atau marga raja. Marga-marga boru yang datang kemudian tidak memiliki hak golat. Mereka hanya berharap memakai tanah setelah disetujui oleh marga raja.

Dari uraian di atas, tanah menjadi satu pembatas teritori satu keturunan nenek moyang atau satu marga. Dalam satu batas teritorial inilah, aspek kehidupan manusia Batak diatur dengan pembagian dan fungsi tanah yang ada. Satu huta juga menandakan adanya kehidupan atau jaringan politik yang mengatur posisi manusia Batak terkait dengan hubungan antarsatu marga. Di sini pula yang pada perkembangannya akan memperlihatkan pembagian-pembagian kerja ketika satu rumah akan melangsungkan pesta atau “hajatan”.

Bila suatu huta dianggap sudah padat, maka penduduk setempat mengatasinya dengan mendirikan permukiman baru yang dinamakan lumban, sosor, dan huta pagaran. Alasan pendirian pemukiman baru selain karena huta induk sudah padat, juga adanya pertentangan atau permusuhan terutama karena keinginan untuk memeroleh kehidupan yang lebih baik. Bisa pula, satu ompu tertentu ingin berdiri sendiri atau memiliki kerajaan sendiri (manjae) bebas dari kekuasaan huta induk.

Untuk mendirikan huta yang baru, seseorang harus memohon kepada Raja huta atau raja doli di kampungnya. Permohonan terlebih dahulu menyampaikan sulang-sulang (makanan persembahan) dalam suatu acara makan bersama, sebagai pengantar dari permohonan tersebut. Jika Raja menyetujui, mereka kemudian pergi ke lokasi yang dipilih untuk menyampaikan persembahan (bunti) kepada Dewa penguasa tanah. Persembahan diletakkan di tengah lokasi tersebut dan kemudian pada keempat titik tersebut calon perkampungan dibuat tanda-tanda

9

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil Evaluasi Kualifikasi Pokja Pengadaan Barang/Jasa Balai Latihan Transmigrasi Pekanbaru, perusahaan saudara dinyatakan lulus evaluasi kualifikasi untuk paket

Untuk itu dengan dibuatnya karya ilmiahini diharapkan warga masyarakat dapat sadar dan segera meninggalkan atau mengurangi kebiasaan mereka yang tidak

The population of Sumatran rhino has declined from year to year and based on the Sumatran Rhino Crisis Summit in Singapore in 2013, the Asian Rhino Range State Meeting in Lampung

Bila deskripsi diatas dikaitkan dengan penyebab kemiskinan masyarakat Kota Bandar Lampung seperti tertera pada Tabel 1, maka semestinya program aksi sebagai rumusan program

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Quality of Service, Discrimination , Self Assessment terhadap Penggelapan pajak.. Populasi dalam penelitian ini

Perhatikan gambar persegi AB Jika tinggi segitiga sama den dan jumlah luas daerah yang pada bangun tersebut 25 cm 2 diarsir adalah…cm 2.. Pada suatu latihan, 11 ora ng, dan 5

Ketika aset dari entitas anak dinyatakan sebesar nilai revaluasi atau nilai wajar dan akumulasi keuntungan atau kerugian yang telah diakui sebagai pendapatan komprehensif

Bangun tersebut terbentuk dari sebuah persegi panjang, segitiga, dan setengah lingkaran.. Luas bangun tersebut dapat ditentukan dengan menjumlahkan ketiga