BAB III REPRESENTASI IDENTITAS ETNIS BATAK TOBA
3.4 Representasi Batak yang Stereotyping
3.4.1 Stereotipe Batak
3.4.2.2 Pemikiran Tokoh Monang: Representasi Identitas
Representasi identitas Batak Toba yang ada dalam novel bisa dikategorikan dari banyak hal. Beberapa hal tersebut sudah dibahas dalam sub bab sebelumnya. Berbeda dengan sub-bab sebelumnya yang mencoba melihat representasi identitas Batak Toba dari luar sudut pandang tokoh utama, dalam sub judul ini, representasi Batak Toba dilihat dari sudut pandang tokoh utama, yaitu Monang.
Novel ini secara naratif memang memosisikan tokoh Monang sebagai pusat penceritaan. Monang direpresentasikan sebagai seorang pemuda Batak Toba yang berasal dari keluarga petani miskin. Kemiskinan ini tidak mengurungkan niatnya untuk melanjutkan studi hingga ke Pulau Jawa.
Pengalaman merantau dan mendapatkan pendidikan di Jawa-lah yang membuat tokoh Monang menjadi pemuda yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan pemuda Batak yang ada di kampungnya. Pembaharuan cara pandang atau berpikir inilah yang membuat Monang menjadi tokoh yang merepresentasikan identitas Batak baru yang ditawarkan oleh novel ini.
Tentu saja, kemunculan tokoh Monang dapat dilihat sebagai cara novel ini menawarkan satu identitas Batak Toba yang berbeda dari representasi-representasi yang ada. Hal inilah yang membuat penulis memutuskan untuk mengkategorikan pemikiran Monang sebagai representasi Batak Toba yang baru.
114
Istilah “baru” dalam penelitian ini bukan diartikan atau diposisikan sebagai entitas baru yang ditawarkan oleh novel ini yang sebelumnya belum terdapat dalam seluruh wacana kebatakan. Kata “baru” yang penulis pakai lebih menekankan pada cara berpikir “berbeda” dengan tokoh-tokoh Batak yang ada dalam novel ini. Perbedaan ini tentu saja penulis posisikan sebagai “jarak” yang tercipta dalam novel karena status tokoh Monang sebagai perantau dan mahasiswa di Pulau Jawa. Hal inilah yang membuat tokoh Monang berbeda dengan Batak yang lain dalam novel ini.
Representasi Batak Toba yang baru dapat dilihat dari kutipan berikut ini. (34) Tetapi, tak seperti abangnya, Hagandaon, Monang adalah salah satu
anak leluhur generasi Batak yang berhasil pergi ke tanah Jawa. Perantauan yang akhirnya tetap gagal menganyam waktu di pulau asing. Seperti kabut hitam, Pulau Jawa, bagi orang muda sekampungnya adalah pulau aneh yang menggiurkan. Tidak ubahnya buah masak yang ingin ditelan. Tetapi, abangnya Hagandaon, si Ganda, tak pernah berniat merantau. Aneh! Seorang muda seperti Ganda yang gagah dan keras, tak pernah penasaran pada Kota Jakarta. Bagi Bapak, dan Mamak, juga Ganda. Dunia adalah tanah Batak (Simatupang, 2009: 40).
Kutipan (34) merupakan narasi dalam novel yang menceritakan perjalanan pulang tokoh Monang ke tanah leluhur, tano Batak. Pasca kegagalan dalam masa studi di tanah perantauan, tokoh Monang kembali ke kampung halaman. Dalam perjalanan inilah representasi pandangan dunia pemuda Batak dideskripsikan. Tokoh Monang sebagai pemuda Batak Toba menunjukkan eksistensi pikiran jika perantauan adalah sesuatu yang wajar dan harus dilakukan.
Kutipan (34) menjadi representasi pemikiran Monang terhadap perantaun yang dibandingkan dengan sikap tokoh Ganda sebagai anak pertama yang tidak berani merantau. Hal ini merupakan satu keanehan bagi anak Batak Toba karena tidak memiliki keinginan merantau.
Merantau adalah cara manusia Batak untuk mencapai salah satu tujuan hidupnya. Merantau akan mendekatkan hamoraon, kekayaan. Merantau identik dengan peninggalan kemiskinan di tanah kelahiran. Hal inilah yang akan didapat
115
dari merantau. Hal yang menarik adalah hamoraon bukanlah tujuan tokoh Monang. Monang merantau untuk memenuhi rasa keingintahuannya terhadap pulau Jawa. Ia merantau untuk mengobati penasarannya terhadap dunia baru. Hal inilah yang menjadi poin pertama yang ditawarkan oleh tokoh Monang. Tentu saja, di sinilah politik identitas yang ditawarkan oleh Sihar. Batak yang dibangun adalah Batak yang memiliki transformasi pemikiran, bukan harta.
Selain terkait dengan merantau, tokoh Monang pun menghadirkan dimensi baru dalam pemikiran keluarganya, yaitu politik. Inilah yang terlihat pada kutipan di bawah ini.
(35) “Ganda tak pernah memedulikan isu semacam itu. Monang mulanya sempat ragu dan sempat menimbangnya. Tetapi, berujung keyakinan: Ganda tak mungkin terlibat politik! Dia tahu bahwa di dalam keluarganya, hanya Monang yang tertarik pada pergolakan politik. Ketertarikan itu pun baru dia dapatkan di kota sana, setelah pikirannya dicuci dalam irama seminar dan kelompok diskusi. Dia begitu tekun membangun pikiran-pikiran kritis.” (Simatupang, 2009: 57)
Kutipan di atas menunjukan satu pemikiran baru yang dilontarkan oleh tokoh Monang. Minatnya pada politik mengindikasikan dua hal. Pertama, ranah politik adalah ranah yang hampir tidak disentuh oleh keluarga besarnya. Hal ini menandakan pemikiran untuk terlibat dalam satuperan dengan bingkai negara atau politik bukan sesuatu yang diminati oleh keluarga Bataknya. Kedua, ranah politik yang dihadirkan dalam kutipan ini sangat berelasi dengan pemikiran-pemikiran kritis yang dibangun oleh Monang selama perantuan. Hal ini pula yang absen dalam pergerakan melawan pabrik kertas.
Dengan kata lain melalui tokoh Monang, novel ini menunjukkan jika “politik dan kekritisan berpikir” belum menjadi habitus di masyarakat Batak. Identitas etnis Batak yang terepresentasikan di sini adalah identitas yang apolitis dan tidak kritis. Di poin ini pula, melalui tokoh Monang, novel ini menawarkan jika ranah politik dan arus berpikir kritis yang harus dikembangkan dalam manusia Batak Toba.
116
Pemikiran yang baru juga dihadirkan tokoh Monang ketika berdebat pada Bapaknya; Torang. Ketika tokoh Monang pulang, ia mendapat amarah dari Torang karena ia tidak lulus kuliah di Jawa. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
(36) “Anak gila kau! Kenapa kau gagal kuliah? Mabuk, atau punya anak di kota sana?”
“Tidak, Bapak. Aku dikeluarkan kampusku, mereka tak terima aku sering demonstrasi …”
“Anak tak tahu diri. Demonstrasi, keluar dari kampus. Bangga kali kau mengatakan itu …”
“Tapi aku sudah benar, Bapak…”
“Protes ke pemerintah dan tidak kuliah kau katakan benar?” (Simatupang, 2009: 81)
Kutipan (36) jelas menunjukkan sesuatu yang baru dari manusia Batak, yaitu keikutsertaan dalam dinamika politik negara. Sikap Monang yang mempertahankan argumennya yang membela keberpihakan terhadap demonstrasi dan memrotes negara sebagai suatu keberhasilan yang lebih baik daripada studinya merupakan hal baru bagi manusia Batak Toba.
Jika ditilik kembali pada pembahasa bab II, telah dideskripsikan jika posisi tawar masyarakat adat Batak Toba adalah karena keterlibatan yang pasif terhadap negara. Inilah yang membuat masyarakat Batak Toba termanipulasi dalam kasus PT.IIU. Hal inilah yang sedang diupayakan novel ini melalui tokoh Monang. Tokoh Monang hadir sebagai alternartif manusia Batak yang selama ini cenderung apolitis. Inilah yang diyakini oleh Monang sebagai kebenaran, yaitu demonstrasi mengkritik pemerintah. Identitas yang terbangun adalah identitas Batak yang ikut berperan terhadap kelangsungan negara, melaui kritikan! Ini yang langka di batak. Pemikiran Monang yang menganggap bahwa merantau adalah satu keharusan, pemikiran tentang pendidikan, dan pembebasan juga dapat dlihat dalam kutipan berikut ini.
(37) Menurut Monang Putra Batak harus pergi berkelana. Dia ada di antara kisah sejarah negerinya sendiri dan kesadarannya pada perkembangan dunia dan misteri alam raya. Di dalam tubuhnya berlapis-lapis kepercayaan dan adat telah ditanamkan. Tetapi di otaknya, bermacam
117
buku dan pengajaran dari para guru di sekolah memberinya pemahaman tentang pembebasan (Simatupang, 2009: 116).
Kutipan (37) merepresentasikan pemikiran berani dalam tokoh Monang. Identitas yang dibangun dalam kutipan ini adalah identitas pembebasan. Tokoh Monang merepresentasikan pemikiran yang didasarkan oleh pendidikan. Dapat ditafsirkan jika tokoh Monang merupakan representasi pemikiran yang berlawanan atau beroposisi dengan streotipe Batak Toba yang sebelumnya telah dibahas.
Kutipan (37) menjadi representasi jika identitas Batak Toba yang dikonstruk adalah identitas yang tidak terkekang streotipe Batak yang irasional dan tradisional. Adanya pemikiran “pembebasan” yang memosisikan pendidikan sebagai sentranya menjadi paradigma yang ditawarkan oleh Monang. Hal ini juga dapat ditafsirkan jika poin inilah identitas etnis Batak yang diupayakan oleh Sihar. Perubahan sendiri menjadi representasi yang diperjuangkan oleh tokoh Monang. Dengan semangat mudanya sebagai pemuda Batak Toba menjadi resistensi terhadap kekangan tradisi yang ada. Hal ini menandakan jika pemuda Batak memiliki keinginan perubahan terhadap situasi keterbatasan di kampung halaman. Hal ini juga direpresentasikan pada kutipan (38) di bawah ini :
(38) Masih berbicara tentang pengalaman Monang di tanah perantauan sebagai mahasiswa muda yang haus akan perubahan. Ketika itu yang ada di dalam pikirannya adalah sosok besar yang puluhan tahun merontokkan suara kebebasan bangsa ini. Dalam pikirannya, hanya orang berdarah garda depan buat perubahan. Salah satunya adalah Monang. Putra Batak yang rindu perubahan! (Simatupang, 2009: 58)
Hal ini pun dilanjutkan dengan pemikiran Monang pada kutipan (39). Kutipan (39) merepresentasikan pemuda Batak Toba yang tidak menerima paradigma “takut merantau”. Tokoh Monang menjadi representasi Batak Toba yang mengutamakan dan memperjuangkan pendidikan diri untuk mewarnai paradigma tradisi Batak yang telah ada. Identitas Batak Toba yang berani mencoba hal baru terepresentasikan dalam kutipan ini.
118
(39) Putera Batak harus berkelana. Dia ada di antara kisah sejarah negerinya sendiri dan kesadarannya pada perkembangan dunia dan misteri alam raya. Di dalam tubuhnya berlapis-lapis kepercayaan adat yang telah ditanamkan. Tetapi di otaknya, bermacam buku dan pengajaran dari para guru di sekolah telah memberinya pemahaman tentang kebebasan. Sejak lulus sekolah menengah pertama, Monang tak percaya lagi kekuatan fisik. Segala pikiran mamaknya tentang dunia pengetahuan dan kelebihan manusia soal akal dan pikiran, telah merenggut darah mudanya sebagaimana yang dijalani para pemuda intelek lain di tanah ini.
……….
Bahwa dunia luar bukan lagi ujung berbahaya yang tak layak dikunjungi. Bahwa jendela pandang manusia pintar harus selalu terbuka demi untuk kemajuan dirinya sendiri (Simatupang, 2009: 117- 118).
Kutipan (39) menjadi penegasan sikap Monang yang tidak mau terkungkung dalam satu kampung halaman saja. Bagi Monang, kehidupan di dunia luar lebih menyajika satu ruang pembaharuan yang dapat digunakan untuk kemajuan diri. Pola pendidikan yang diberikan mampu mengimbagi keberadaan adat yang telah diberikan oleh leluhur di dalamnya. Terlepas dari itu semua, bagi Monang pendidikan atau intelektualitas adalah sesuatu yang wajib. Hanya dengan ini, ia bisa mensejajarkan dirinya dengan pemuda-pemuda dari daerahnya.
Kalimat “Bahwa jendela pandang manusia pintar harus selalu terbuka demi untuk kemajuan dirinya sendiri” menarik untuk dikaji lebih mendalam. Kalimat ini dengan eksplisit menjadi upaya Sihar untuk memberi kesadaran jika keterbukaan adalah hal yang penting. Dalam konteks ini, keterbukaan penulis tafsirkan sebagai “terbukanya ruang baru” tentang pengetahuan dalam diri orang Batak karena hal inilah yang menjadi “penanda kepintaran”. Identitas etnis Batak yang dikonstruksi di sini adalah “keterbukaan” terhadap kemajuan-kemajuan atau perubahan yang ada. Ajakan untuk membuka “diri” inilah yang ditawarkan oleh Sihar.
Kutipan (39) sekali lagi menghadirkan pemikiran yang terbilang sangat berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini. Tokoh-tokoh muda yang ada dalam novel ini dihadirkan dengan stereotipikal. Hanya tokoh Monang yang
119
mewakili kaum muda Batak yang mampu memikirkan hal ini. Untuk itulah, tokoh Monang dapat diposisikan sebagai identitas baru pemuda Batak.
Pemikiran yang berbeda juga direpresentasikan dalam kutipan berikut ini. (40) Mata mudanya terus digempur pandangan yang menyeret dia pada
kenangan alami, atau lebih tepatnya kenangan manusia tradisi yang sekarang dibicarakan oleh orang kota sebagai manusia yang ramah dan tak ganas sebagaimana penduduk modern (Simatupang, 2009: 46). Kutipan (40) menjadi satu kritikan yang cukup tajam yang ditawarkan oleh tokoh Monang. Sekali lagi, Monang menghadirkan suatu yang berbeda dibanding dengan pemuda Batak lainnya yang memandang kota dengan imaji yang „ideal”. Dalam kutipan ini, terrepresentasikan kritik Monang terhadap penduduk modern. Kutipan ini secara eksplisit menghadirkan penduduk modern sebagai yang ganas dan tak ramah.
Perbandingan yang dilakukan oleh tokoh Monang memperlihatkan keberpihakan Monang terhadap keramahan dan kenyamanan kehidupan di kampung halamannya. Hal inilah yang tampak pada kutipan (40). Di sisi lain, Monang mengkritik penduduk modern (modernitas) dengan menghadirkannya dalam nada yang negatif. Di sini, Sihar sedang mengkritik modernitas. Bagi Sihar, Batak cenderung disematkan denga ramah, natural, dan tak ganas. Hal yang tidak ramah dan “ganas” adalah modernitas itu sendiri. Sihar dalam poin ini mencoba menawarkan jika modernitas merupakan sesuatu yang negatif.
Hal lain yang bisa dilihat adalah ambiguitas sikap Monang terhadap kampung halaman. Jika pada pembahasan di kutipan-kutipan sebelumnya, Monang dihadirkan sebagai pemuda Batak yang haus akan perubahan. Hal ini hanya didapat dari merantau. Dengan kata lain, perantauan lebih baik daripada kampung halaman. Di sinilah letak ambiguitasnya. Dalam novel ini, tokoh Monang mengalami kemenduaan atau ambivalensi sikap terkait kampung halaman. Kutipan (40) menghadirkan tokoh Monang sebagai tokoh yang primordial. Hal ini juga dapat dilihat pada kutipan (41).
(41) Dia larut dalam hiruk-pikuk perjuangan. Suara rakyat tentang perubahan serasa mengharu biru di dada dia dan kawan-kawan.
120
Sampai dia tidak datang lagi ke perkuliahan, sampai ia harus bersembunyi ketika namanya disebut sebagai salah seorang yang menjadi target pengejaran. Terdengar kabar, beberapa kawannya ditangkapi dan tak dia ketahui nasibnya bahkan setelah Monang menyingkir dari keramaian hingga kembali ke huta (Simatupang, 2009: 58).
Kutipan ini merupakan narasi ketika tokoh Monang pulang ke kampung halaman karena situasi politik yang tidak kondusif. Monang yang terlibat aktivitas melawan orde Baru menjadi korban dari situasi yang tidak kondusif. Ia pun menjadi orang yang masuk daftar pencarian orang. Hal inilah yang membuat tokoh Monang memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, Tano Batak.
Keputusan tokoh Monang untuk pulang pun menjadi representasi jika Monang sebagai pemuda Batak melakukan idealiasasi dengan menganggap kampung halaman adalah pilihan yang tepat. Hal ini menjadi representasi yang menarik karena sebelumnya tokoh Monang dikarakterkan sebagai pemuda Batak yang memperjuangkan kebebasan dan perubahan terhadap tradisi tetapi memilih kampung halaman sebagai idealiasasi. Tentu saja, ini dapat dibaca sebagai representasi jika wacana kampung halaman dengan segala keasrian lingkungan yang ada mampu mendamaikan pemuda Batak dari hiruk pikuk kota dan politik.
Idealiasi kampung halaman sebagai akhir dari Pemuda Batak yang telah berkecimpung di dunia pendidikan dan dunia politik merupakan representasi identitas Batak yang akan kembali lagi pada “romantisme” dengan situasi kampung. Inilah yang dapat dilihat dalam kutipan di atas.
Kritik lain yang disampaikan oleh tokoh Monang terkait dengan tradisi simin. Ini terjadi sewaktu Monang bersama Ibunya berziarah ke makam Ganda. Monang mengingat anak dari abangnya (keponakannya) yang berjenis kelamin perempuan. Tokoh Monang mengkritisi tradisi yang memarjinalkan perempuan. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
(42) Nasib memang nasib, karena Ganda memang tidak punya penerus keturunan marga. Anaknya itu seorang perempuan, si Florida. Karenanya, di garis silsilah, kelak tak pernah lagi ada nama keturunan di bawah nama Hagandaon. Bagi Monang, ini ironi keturunan Batak.
121
Tiap generasi selama berabad-abad telah telah mencatat garis keturunan. Lebih dari ratusan tahun, Monang tak habis pikir, betapa setia orang-orang seketurunan dalam tiap marga Batak membuat tulisan yang menjelaskan keturunannya. Tak ada nama perempuan di silisilah! (Simatupang, 2009:94)
Pemikiran baru lainnya yang dihadirkan oleh tokoh Monang adalah suara “sumbang”nya terkait tradisi simin. Simin sendiri merupakan ritus pencatatan marga dan regenerasinya mulai dari keturunan pertama hingga terakhir. Hal inilah yang dikritisi oleh Monang.
Kritik yang dilontarkan memang belum mencapai fase aksi. Kritik ini masih bersifat “celotehan” yang ada dalam pemikirannya ketika melihat kuburan abangnya (Ganda) dan melihat ponakannya yang perempuan, Florida. Hanya karena Abangnya memiliki anak perempuan dan tidak memili anak pria, abangnya tidak memiliki hak untuk mencatatkan nama Florida di dalamnya sebagai keturunan.
Budaya patriarki menciptakan gap yang sangat besar berkaitan dengan anak perempuan dan anak laki-laki. Anak yang berhak dicatatkan di simin adalah anak laki-laki. Ialah yang meneruskan marga. Bagi Monang, ini merupakan ketidakadilan karena menutup kehadiran anak perempuan di dalamnya. Hal inilah yang dialami oleh ponakannya, Florida.
Dalam uraian subbab ini terlihat jika novel ini memberikan satu ruang khusus pada tokoh Monang. Monang dihadirkan sebagai tokoh muda Batak yang mendapatkan pengelaman pendidikan hingga perguruan tinggi. Dalam proses inilah, hasil berpikir dan pola berpikir ditempa sehingga menjadikannya tokoh muda Batak yang sangat berbeda dari tokoh Batak lainnya.
Ritme pendidikan yang membuat tokoh Monang terbiasa dengan seminar dan diskusi serta demosnstrasi menciptakan pola pemikiran yang sangat kritis dan berdasar pada pengembangan pengetahuan. Melalui tokoh Monang, identitas etnis Batak sedang dikonstruk sebagai entitas yang lepas dari streotipe tokoh Batak Toba. Tokoh Monang menjadi satu simbol jika pemuda Batak Toba seharusnya mengenyam pendidikan hingga ke level tertinggi; pemuda Batak Toba harus
122
menghidupi pola pikir kritis; pemuda Batak harus aktif terlibat dalam politik; pemuda Batak harus menjadi agen perubahan; pemuda Batak harus turut berkontribusi dalam pengawasan atau demonstrasi mengkritik pemerintahan.
Identitas-identitas baru inilah yang sedang dibangun oleh tokoh Monang. Walau dalam membentuk ini, tokoh Monang belum sampai pada tataran aksi, akan tetapi pola pikir yang ditawarkan oleh Monang terbilang baru. Apalagi, ini dibandingkan dengan kehadiran tokoh-tokoh lainnya dalam novel yang digambarkan sebagai tokoh yang tidak berpendidikan. Inilah yang menjadi fokus pada analisis subbab ini.
3.5 Rangkuman
Analisis dalam bab ini telah mendeskripsikan representasi kebatakan yang ada dalam novel ini. Representasi inilah yang ditafsir sebagai upaya dalam mengkonstruk atau menawarkan identitas Batak Toba. Oleh karena itu, seluruh representasi yang hadir dibaca sebagai wacana kebatakan yang turut berkontribusi dalam politik identitas Batak Toba.
Ada empat representasi yang penulis rangkum dalam novel ini, yaitu Representasi kearifan lokal, Pemahaman Terhadap Perubahan budaya atau modernitas, Persepsi Tentang Pendidikan, Representasi Batak yang Streotyping, dan Pemikiran Tokoh Monang : Representasi Batak Toba Baru.
Representasi kearifan lokal jika menggunakan teori identitas etnis Stuart Hall dapat dikategorikan sebagai identitas dimensi pertama. Identitas ini terbangun dengan kesamaan kode-kode budaya dan pandangan dunia Batak Toba. kearifan lokal yang direpresentasikan lebih dominan menarasikan tradisi dan adat istiadat Batak yang ada.
Representasi kedua mendeskripsikan jika data-data yang ada dalam novel ini memperlihatkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba. perubahan yang direpresentasikan cenderung distimulan dengan wacana ekonomi. Representasi inilah yang menegaskan jika novel ini mendeskripsikan salah satu implikasi yang dihasilkan atas persinggungan wacana tradisi Batak Toba dengan
123
wacana ekonomi dan modernitas yang ada. Representasi ini menjadi gambaran terkait identitas Batak Toba yang mulai mengalami perubahan. Karakter dari tokoh cerita yang dinarasikan mulai mengalami perubahan juga mempertegas jika identitas Batak Toba tidak lagi bisa disamakan dengan identitas yang lama.
Wacana yang terkait identitas lama dan identitas baru inilah yang penulis baca sebagai mulai beranjaknya data-data dalam novel yang terfokus pada identitas etnis dimensi pertama Stuart Hall ke dimensi kedua. Identitas etnis dalam dimensi kedua membahas jika identitas etnis adalah konstruk dari banyak wacana. Dalam hal inilah, persinggungan dengan wacana-wacana yang ada menempatkan identitas sebagai entitas “bentukan” tidak lagi seotonom yang dulu. Identitas Batak Toba yang terepresentasikan pun mulai mengalami perubahan atau “cair”. Di poin inilah dapat dikatakan konstruksi identitas Batak Toba dalam novel ini dimulai.
Representasi berikutnya adalah representasi yang terkait dengan pendidikan. Novel ini mendeskripsikan identitas Batak Toba yang mementingkan pendidikan. Representasi terkait hal ini tentu saja sudah menjadi paradigma umum dalam masyarakat Batak Toba. Pendidikan sebagai salah satu cara mencapai kehormatan (hasangapon) menjadi elemen yang akan diusahakan oleh masyarakat Batak Toba. Dalam representasi ini pula, terlihat ada “ruang dialog” yang dihadirkan Sihar terkait pendidikan.
Sihar melalui novel ini merepresentasikan pendidikan dengan dua corak. Pertama, pendidikan yang dibayangkan oleg orangtua dan keluarga Monang sebagai proses pencarian ijazah, gelar, dan pekerjaan. Kedua, adalah pendidikan yang digagas oleh pemikiran Monang yang meletakkan proses berpikir dan pembentukan kesadaran kritis sebagai dasar dan tujuannya.
Representasi berikutnya adalah terkait dengan data-data yang mengakomodir imaji stereotipe identitas Batak Toba. Dalam novel ini sendiri, data-data terkait dengan imaji streotipe Batak dihadirkan dengan perilaku pemuda
124
Batak yang mabuk, berjudi, dan irasional. Dengan kata lain, representasi ini sesuai dengan imaji stereotipe yang dibayangkan oleh masyarakat pada umumnya.
Di sisi lain, dialog atas perubahan kehidupan masyarakat Batak Toba dan imaji stereotipe Batak yang dilakukan oleh para tokoh cerita juga dilakukan