• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II WACANA PUBLIK TENTANG INDORAYON

2.1 Relasi Masyarakat Batak dan Alam

2.1 Relasi Masyarakat Batak dan Alam

Lingkungan akan menjadi topik utama yang ada dalam analisis di sini. Lingkungan di sini pun sebenarnya mencakup aspek-aspek yang ada di dalamnya, baik yang melibatkan unsur tanah, air, maupun udara. Untuk itulah, hal ini mendapatkan posisi yang cukup sentra bagi manusia Batak, khususnya mengingat relasi masyarakat Batak terkait dengan alamnya.

Salah satu poin yang bisa dilihat dari relasi masyarakat Batak dengan alam lingkungannya dapat dilihat pada letusan gunung api Toba, sekitar 740.000 tahun lalu. Ledakan gunung yang dibicarakan dalam ranah meteorologi dan geofisika, diklaim sebagai salah satu letusan terbesar di dunia. Akan tetapi, klaim ini tidak sesuai dengan masyarakat Toba dalam melihat letusan Gunung Api Toba yang berasa dalam lingkungan area Danau Toba. Bagi masyarakat Batak, ini lebih merupakan kisah masa lalu yang dibawa secara tiba-tiba dalam bentuk teori letusan gunung. Ini sangatlah terasa asing mengingat dalam perspektif kebudayaan Batak, Danau Toba merupakan sumber kehidupan dan berkah debata (Tuhan) yang memiliki nilai spiritual dan nilai ekonomi di dalamnya. Untuk itulah, kelestarian Danau Toba menjadi atensi seluruh masyarakat di Tanah Batak.

Sebagai contoh, letusan gunung Sinabung pada 2010 juga tidak mampu mengubah persepsi masyarakat Batak terkait kealamannya. Tradisi dan upacara pemujaan yang dilakukan pun, umumnya tetap dilakukan. Hal ini merupakan simbolisasi doa-doa memohon keselamatan dari gagal panen, banjir, longsor, atau penyakit, tetapi tidak secara khusus mengaitkannya dengan bahaya aktivitas gunung api. Kosmologi pemikiran masyarakat Batak yang tampak di sini adalah persepsi gunung api (alam) yang dilihat bukan sebagai sumber masalah.

Hal ini juga dapat dilihat dalam catatan yang dilansir Litbang Kompas (2011), gunung aktif terdekat yang dikenal di Tano Batak adalah Pusuk Buhit di dekat Pangururan, Ibu Kota Kabupaten Samosir, yang belum pernah mengirim petaka kepada masyarakat. Hubungan masyarakat dengan Gunung Pusuk Buhit merupakan hubungan mitologis bernuansa sejarah. Gunung Pusuk Buhit dipercaya

24

masyarakat sekitar Danau Toba sebagai gunung sakral, yang mampu memberikan perlindungan dan berkah bagi mereka yang mengunjungi dan melantunkan doa di sana.

Bagi masyarakat Batak Toba, bencana lebih dikaitkan dengan persoalan kelestarian alam dan dampak perusakan hutan, serta perubahan sosial, daripada bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung atau gempa. Persoalan yang diakibatkan oleh alam akan ditafsir sebagai siklus lingkungan yang biasa. Persoalan bencana alam pun tidak terlalu banyak berdampak pada identitas Batak Toba. Hal inilah yang sedikit berbeda jika bencana disebabkan oleh dunia “industri” atau dalam bahasan bab ini, adalah bencana yang diakibatkan oleh PT.IIU.

Salah satu unsur lingkungan yang mendapat posisi vital atau penting dalam masyarakat Batak Toba adalah tanah. Tanah dalam kehidupan masyarakat Batak Toba meliputi beberapa dimensi hidup bagi masyarakat Batak Toba. Hal inilah yang akan penulis deskripsikan dalam pembahasan berikut ini.

Eratnya keterkaitan orang batak dengan tanah, secara implisit tersirat dalam alam pikiran dan cita-cita hidup masyarakat Batak Toba yang mendasari seluruh aspek kehidupannya. Bagi orang Batak Toba, misalnya cita-cita itu ialah mencari hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan), dan Hagabeon (keturunan) inherent dengan unsur tanah (Simanjutak, dkk. 2015: 3).4 Inherent yang dimaksud tentulah keterlibatan tanah dalam menggapai cita-cita manusia Batak. Manifestasinya sendiri dapat diwujudkan dengan beragam cara. Cita-cita hamoraon terkait tanah sebagai produksi ekonomi keluarga. Hasangapon sendiri dapat dicapai dengan tetap mempertahankan tanah leluhur kepada generasi berikutnya.

Selain itu, mitologi kehidupan orang Batak dilukiskan seperti sebuah pohon harihara (pohon beringin) yang menjulang tinggi dari benua bawah hingga benua atas yang dinamakan juga harihara sundung di langit. Pohon inilah yang

4

Bungaran. A. Siamanjuntak, dkk. Karakter Batak: Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan (2015). Buku ini berisi ulasan tentang perubahan karakter masyarakat Batak dari dulu hingga sekarang.

25

diyakini sebagai simbol dari dewata tertinggi dalam menyatukan segala kehidupan dan mewakili segala tata tertib. Nasib setiap orang tercatat pada pohon tersebut dan semua kehidupan bersumber daripadanya.5 Mitologi harihara selain menunjukkan relasi ke atas yang ditujukan kepada penghormatan kepada dewata tertinggi, secara implisit, mitologi ini dapat diinterpretasi pada kelekatan pohon ini dengan tanah yang di bawahnya.

Selain mitologi ini, sebenarnya menurut penulis telah menjadi pandangan umum jika suatu komunitas adat, termasuk Batak Toba akan dihiasi serangkaian kebudayaan yang melibatkan alam di dalamnya, mulai dari mitologi hingga simbol-simbol dalam upacara adat. Menurut penulis, hal inilah yang membuat relasi manusia adat (Batak Toba) sangat dekat dengan unsur alam atau lingkungannya.

Salah satu yang bisa dilihat dari hubungan manusia Batak dengan alamnya (tanah) dapat dilihat dari mitologi Batak lainnnya. Dalam sistem keyakinan masyarakat Toba yang tradisional, dikenal adanya konsep Ketuhanan, yakni Debata Mulajadi Nabolon. Dalam mitologinya juga terdapat unsur tanah di dalamnya. Debata Mulajadi Nabolon sebagai dewa pencipta memerintahkan seorang puteri surga bernama Si Boru Deak Parujar turun ke benua tengah dengan membawa sekepal tanah. Tanah itulah yang menjadi permulaan dari bumi ini.6

Konsep benua tengah di atas merupakan salah satu kosmologi religi masyarakat Batak Toba. Dalam konsep ini dipercaya jika ada tiga banua (benua), yaitu banua ginjang (Benua atas), banua tonga (Benua Tengah: Bumi), dan banua toru (Benua bawah). Dari mitologi ini dapat diperlihatkan jika asal muasal bumi adalah “sekepal” tanah yang dibawa oleh Si Boru Deak Parujar. Oleh karenanya, awal penciptaan bumi dan manusia Batak dimulai dari “sekepal” tanah ini.

Selain mitologi ini, relasi manusia Batak dengan alamnya dapat dilihat kembali pada penentuan tempat tinggal atau pendirian pemukiman (huta) manusia

5

ibid

26

Batak Toba. Huta tidak boleh didirikan di tempat yang diapit dua gunung. Hal ini akan menyebabkan penghuni huta akan sakit-sakitan karena terpaan angin gunung. Huta juga tidak boleh didirikan di sekitar kelokan sungai, karena rumah-rumah yang didirikan di sana akan ditelan “nafas” sungai. Huta juga tidak boleh didirikan di lembah karena tempat ini disebut “pelangi untuk minum” (parsoburan ni halibutongan) atau tanah mati. Dengan kata lain, ini tempat pemakaman7.

Dari konsep lokasi huta ini kembali diperlihatkan dimensi alam terhadap kehidupan masyarakat Batak Toba. Hal ini semakin menandakan jika manusia Batak telah memiliki konsep, kosmologi, dan relasi dengan alamnya yang telah menjadi tradisi. Kesadaran inilah yang pada akhirnya menyebabkan “relasi” kuat antara manusia Batak dan alamnya sehingga Bencana alam yang terjadi di dalamnya tidak dianggap sebagai bencana yang akan “menganggu” kehidupan atau identitas etnis Batak.

Dari uraian pembahasan yang ada di atas, setidaknya didapat gambaran kesulitan mendudukan entitas Batak dengan menyampingkan mitologi dan alam yang saling berelasional. Inilah yang banyak mempengaruhi masyarakat Batak Toba dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain, relasional ini telah menjadi software yang ada dalam masyarakat Batak Toba.

Dari uraian singkat ini dapat dilihat relasi Batak dan alamnya sangat kuat. Bencana yang diakibatkan oleh alam tidak langsung berakibat atau berpengaruh terhadap identitas etnis Batak. Bagi manusia Batak, ini bukanlah bencana. Untuk itulah, PT.IIU yang memberikan “goncangan” terhadap relasional ini menjadi satu fokus masalah yang pada akhirnya juga berkontribusi pada konstruksi identitas etnis Batak Toba.

PT.IIU menjadi salah satu stimulan yang pada akhirnya memberikan jarak antara manusia Batak dan alam lingkungannya. Hal ini akan secara khusus dibahas pada subbab selanjutnya (subbab 2.3). dalam subbab ini telah

7

Dokumen terkait