• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Makanan Pendamping ASI (MPASI)

Dalam dokumen 1. Keadaan Umum Lokasi 1.1. Geografi (Halaman 59-64)

dibandingkan sebelum intervensi baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Sebaliknya tingkat

7.2. Konsumsi Makanan Pendamping ASI (MPASI)

Makanan Pendamping ASI (MPASI) merupakan makanan yang diberikan pada bayi disamping ASI agar pertumbuhan anak menjadi baik. Berdasarkan anjuran WHO untuk memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, maka setelah usia 6 bulan bayi harus mendapat MPASI yang sesuai untuk kebutuhan gizinya. Pada keluarga dengan daya beli rendah, MPASI yang diberikan pada bayi sering tidak sesuai dengan kebutuhan gizi bayi (kualitas MPASI yang buruk) dan sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri karena higienis dan sanitasi yang tidak terjamin.

Pengenalan MPASI yang terlalu dini dapat mengurangi absorpsi zat gizi dari ASI sehingga intik zat gizi menjadi berkurang (Gibson, et al, 1997). Selain itu MPASI dapat meningkatkan morbiditas pada anak bila higienis dan sanitasi MPASI kurang terjamin. Jumlah MPASI yang dikonsumsi bayi disajikan pada Tabel 56.

Tabel 56. Jumlah MPASI yang Dikonsumsi Bayi per Hari menurut Kelompok (Gr)

Perlakuan (n =27) Kontrol (n =29) Total (n = 56)

Jenis MPASI

Sebelum Setelah Sebelum Setelah Sebelum Setelah

Susu Formula 9,4 ± 3,2 - 6,6 ± 5,5 0,83 ± 0,4 8,2 ± 4,4 0,43 ± 0,2

MPASI Non

Komersial 4,6 ± 6,5 114,1 ± 90,4 - 88,3 ± 60,6 2,2 ± 1,5 100,7 ± 81,7

MPASI Komersial 12,3 ± ,0 24,1 ± 15,2 6,9 ± 4,3 17,4 ± 10,4 9,5 ± 3,8 20,9 ± 12,1

Buah 6,8 ± 2,9 11,3 ± 5,4 5,2 ± 1,5 6,4 ± 4,3 6,0 ± 1,9 4,0 ± 4,9

Dari Tabel 56 dapat dilihat bahwa MPASI yang dikonsumsi bayi terdiri dari susu formula, MPASI non komersial, MPASI komersial, dan buah. MPASI non komersial terdiri dari bubur nasi, bubur kacang hijau, dan nasi tim. Sedangkan MPASI komersial terdiri dari makanan bayi siap saji yang dikemas dalam ukuran kecil (sachet). MPASI komersial ini merupakan makanan bayi produk industri dengan merek SGM, SUN, Nestle, dan Promina.

Pada awal intervensi MPASI yang dikonsumsi kelompok perlakuan relatif lebih banyak daripada MPASI kelompok kontrol. MPASI yang banyak dikonsumsi adalah MPASI komersial dan susu formula baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa banyaknya konsumsi MPASI komersial dan susu formula pada awal intervensi disebabkan belum lancarnya produksi ASI serta adanya hadiah (gift) ketika melahirkan berupa susu dan makanan bayi dari bidan sehingga ibu merasa sayang bila tidak menggunakannya. Disamping itu adanya kewajiban ibu untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah mengakibatkan ibu merasa lebih praktis untuk memberikan susu formula ataupun MPASI daripada menyusui karena dapat dilakukan orang lain. Tidak adanya payung hukum dalam pelaksanaan

pemberian ASI eksklusif saat ini mendorong peran LSM yang peduli terhadap ASI mengupayakan agar dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan pemberian ASI eksklusif diwujudkan dalam peraturan pemerintah (PP) tentang pemasaran susu formula. Berdasarkan laporan terbuka kepada publik oleh koalisi LSM peduli ASI di berbagai media dikemukakan bahwa saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pemasaran susu formula sedang dalam proses pembahasan di berbagai departemen teknis seperti Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Departemen Kesehatan, Departemen Perdagangan, Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, BPOM, dan Asosiasi Perusahaan Makanan Bayi (Majalah Tempo, 2007).

Pada akhir intervensi yaitu pada saat bayi berumur 5-8 bulan relatif lebih banyak mengkonsumsi MPASI non komersial. Hal ini disebabkan karena MPASI non komersial relatif lebih murah harganya daripada MPASI komersial. Sayangnya MPASI non komersial yang diberikan pada bayi lebih banyak mengandung energi saja, sedangkan protein sangat rendah karena lebih sering terdiri dari bubur nasi dengan garam atau kecap saja. Pemberian hati, ikan, ataupun daging pada bubur bayi sangat jarang sekali. Telur, tahu dan tempe kadang-kadang diberikan namun dengan jumlah yang relatif sedikit. Bubur nasi yang diberikan pada bayi kebanyakan bubur nasi dengan kecap yang dibeli dari pedagang bubur ayam jalanan dengan alasan lebih ekonomis dan praktis karena selain mengurus anak, ibu juga harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri seperti memasak, mencuci, dan lain-lain. Bahkan ada juga ibu yang bekerja sebagai buruh tani dan buruh cuci pakaian. Tidak cukupnya waktu untuk mengasuh anak secara baik dan benar pada keluarga miskin menjadi salah satu penyebab terjadinya malnutrisi pada anak (World Bank, 2006).

Pembelian bubur nasi seharga Rp 500 dapat untuk konsumsi bayi dua kali yang lebih murah dibanding biaya pemakaian minyak tanah untuk memasak bubur merupakan contoh nyata pemberian MPASI yang tidak baik. Meskipun relatif lebih murah pemberian makanan dengan cara membeli bubur jalanan ini tidak baik, selain karena alasan higienis dan sanitasinya yang tidak terjamin pemberian bubur nasi ini tidak dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi terutama kebutuhan gizi mikro karena bubur nasi yang diberikan terdiri dari bubur dan kecap saja. Selain itu praktek pemberian susu formula juga dikhawatirkan kandungan gizi dan kebersihannya dimana susu formula yang diberikan tidak sesuai dengan aturan (encer) sehingga

kandungan gizi yang diharapkan tidak tercapai. Tingkat kontaminasi bakteri pada botol susu juga sangat tinggi karena botol susu sangat jarang direbus untuk sterilisasi. Berdasarkan hal ini terlihat bahwa tingkat kecukupan protein dari MPASI adalah rendah dan morbiditas bayi tinggi. Praktek pemberian MPASI yang buruk ditengarai sebagai penyebab kesakitan dan kematian pada bayi (Unicef, 2002).

Konsumsi MPASI non komersial ini lebih banyak pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Sebaliknya konsumsi MPASI komersial lebih banyak pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Konsumsi MPASI lebih banyak pada akhir intervensi dibanding pada awal intervensi. Hal ini disebabkan bertambahnya umur bayi sehingga relatif lebih banyak membutuhkan zat gizi untuk pertumbuhannya. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa selain ASI, MPASI berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan gizi bayi sehingga penting untuk memperhatikan kualitas MPASI yang diberikan.

Konsumsi Zat Gizi dari MPASI

Konsumsi zat gizi dari MPASI menurut kelompok pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 57.

Tabel 57. Konsumsi Zat Gizi dari MPASI menurut Kelompok Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Zat Gizi

Sebelum Setelah Sebelum Setelah

Energi (Kal) 92,7 ± 124,9 259,3 ± 310,9* 90,9 ± 178,9 227,5 ± 205,8* Protein (g) 2,6 ± 3,7 6,9 ± 12,2 2,5 ± 4,6 6,9 ± 7,4 Zink (mg) 0,5 ± 0,6 1,5 ± 2,7 0,5 ± 1,2 1,4 ± 2,6 Besi (mg) 1,3 ± 1,7 2,9 ± 4,8 1,3 ± 2,7 2,9 ± 5,1 Vitamin A (RE) 73,7 ± 117,2 276,0 ± 514,6* 82,1 ± 163,5 208,6 ± 312,9* Vitamin C (mg) 9,5 ± 12,9 12,4 ± 42,0 9,6 ± 19,0 12,2 ± 22,5 Kalsium (mg) 86,4 ± 135,9 192,0 ± 513,4* 103,5 ± 185,6 131,6 ± 226,1* Fosfor (mg) 70,1 ± 104,7 130,9 ± 375,3* 73,7 ± 140,8 99,9 ± 113,4 * = berbeda nyata (p<0,05)

Dari Tabel 57 terlihat bahwa konsumsi zat gizi dari MPASI akhir intervensi lebih tinggi daripada awal intervensi. Hal ini disebabkan meningkatnya kebutuhan

gizi bayi seiring dengan bertambahnya usia bayi dimana pada akhir intervensi bayi sudah berusia 5 - 8 bulan. Konsumsi zat gizi makro yaitu energi dan protein pada kelompok perlakuan sedikit lebih tinggi dibanding kelompok kontrol baik pada awal intervensi maupun akhir intervensi. Sebaliknya konsumsi zat gizi mikro bervariasi. Konsumsi zink, besi, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan fosfor setelah intervensi lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol meskipun konsumsi vitamin C, kalsium, dan fosfor pada awal intervensi lebih rendah pada kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol. Sumbangan MPASI terhadap tingkat kecukupan gizi menurut kelompok pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 58.

Tabel 58. Sumbangan MPASI terhadap Tingkat Kecukupan Gizi menurut Kelompok (%)

Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Tingkat Kecukupan

Zat Gizi Sebelum Setelah Sebelum Setelah

Energi 23,0 ± 30,7 42,2 ± 43,8 22,7 ± 44,7 37,5 ± 34,9 Protein 34,1 ± 56,0 55,2 ± 43,3 29,8 ± 52,6 52,3 ± 66,5 Zink 8,6 ± 12,2 23,6 ± 49,8 9,3 ± 16,8 21,4 ± 47,3 Besi 29,1 ± 30,2 63,0 ± 110,8 24,3 ± 50,4 54,4 ± 111,2 Vitamin A 19,2 ± 31,1 71,1 ± 136,9 21,1 ± 41,5 54,1 ± 79,9 Vitamin C 21,8 ± 31,7 28,0 ± 105,2 21,0 ± 40,5 27,0 ± 53,6 Kalsium 36,5 ± 66,3 63,2 ± 257,7 38,3 ± 65,7 46,1 ± 108,7 Fosfor 57,6 ± 102,9 79,4 ± 130,3 50,8 ± 94,2 65,1 ± 114,3

Dari Tabel 58 terlihat bahwa tingkat kecukupan energi dan protein pada kelompok perlakuan sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol baik pada awal maupun akhir intervensi. Sebaliknya tingkat kecukupan zink, besi dan vitamin C lebih tinggi pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan baik pada awal maupun akhir intervensi. Tingkat kecukupan zink, besi, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan fosfor setelah intervensi lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol meskipun tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, kalsium dan fosfor sebelum intervensi lebih rendah pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Konsumsi zink, besi, kalsium, dan fosfor pada MPASI

berasal dari susu formula dan bubur susu dengan merek SGM, SUN, Nestle, dan Promina; sedangkan telur, ikan, daging dan hati sebagai sumber zat gizi mikro ini relatif jarang diberikan yang meskipun diberikan jumlahnya relatif kecil. Hal inilah yang mengakibatkan rendahnya konsumsi zat gizi mikro dari MPASI.

Dalam dokumen 1. Keadaan Umum Lokasi 1.1. Geografi (Halaman 59-64)

Dokumen terkait