• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Keadaan Umum Lokasi 1.1. Geografi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. Keadaan Umum Lokasi 1.1. Geografi"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

1. Keadaan Umum Lokasi 1.1. Geografi

Kecamatan Darmaga terletak di wilayah Bogor Barat dengan luas wilayah 2.437.636 Ha. Sebagian besar tanah yaitu 972 Ha digunakan untuk sawah, 1145 Ha lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49,79 Ha lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20,30 Ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Darmaga mempunyai batas wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Curah hujan di Kecamatan Darmaga 1000 – 1500 mm/tahun, dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut. Jarak Kecamatan Darmaga dari ibukota Kabupaten Bogor adalah 12 km, dari ibukota Propinsi Jawa Barat 180 km, dan dari ibukota negara Indonesia 60 km (peta lokasi kecamatan pada lampiran 1). Kecamatan Darmaga terdiri dari 10 desa, 24 dusun, 72 RW, 309 RT, dan 20.371 KK (Kepala Keluarga).

1.2. Demografi

Jumlah penduduk Kecamatan Darmaga pada tahun 2004 adalah 84.609 jiwa yang didistribusikan menurut kelompok umur pada Tabel 24.

Tabel 24. Distribusi Penduduk berdasarkan Kelompok Umur

No Kelompok Umur (tahun) Jumlah %

1. 0 – 4 8.294 9,80 2. 5 – 9 8.770 10,37 3. 10 – 14 8.146 9,63 4. 15 – 19 8.128 9,61 5. 20 – 24 8.579 10,14 6. 25 – 29 8.047 9,51 7. 30 – 34 6.978 8,25 8. 35 – 39 6.559 7,75 9. 40 – 44 5.850 6,91 10. 45 – 49 4.756 5,62 11. 50 – 54 3.858 4,56 12. 55 – 59 2.855 3,37 13. ≥ 60 3.789 4,48 Jumlah 84.609 100

Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Darmaga cukup beragam yaitu sektor pertanian, perdagangan, buruh, ABRI/TNI, dan pegawai negeri yang disajikan pada Tabel 25.

(2)

Tabel 25. Distribusi Penduduk berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah %

1. PNS 1.056 4,68

2. TNI/ Polri 57 0,25

3. Pegawai/ karyawan 4.031 17,87 4. Dagang/ Wiraswasta 4.865 21,57 5. Petani & Peternak 1.309 5,80

6. Jasa / Buruh 10.604 47,01

7. Lainnya 634 2,81

Jumlah 22.556 100

Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Darmaga masih rendah dimana 41,97% tidak tamat SD, 31,88 % tamat SD. Penduduk yang berpendidikan diploma maupun sarjana masih sangat sedikit yang terlihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Distribusi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah %

1. Tidak tamat SD 35.513 41,97 2. Tamat SD 26.973 31,88 3. Tamat SMP 10.889 12,87 4. Tamat SMA 8.791 10,39 5. D1 – D3 959 1,13 6. S1 – S3 1.484 1,75 Jumlah 84.609 100

1.3. Sarana dan Prasarana

Kecamatan Darmaga mempunyai beberapa sarana dan prasarana yang cukup lengkap, seperti sarana dan prasarana sosial, pengairan, perhubungan, pertanian, dan perekonomian. Sarana dan prasarana sosial di Kecamatan Darmaga meliputi tempat ibadah yaitu 102 mesjid, 450 mushola, dan 5 surau, gedung pendidikan 93 buah, kantor desa 10 buah, dan lapangan olahraga 1 buah. Prasarana kesehatan terlihat pada Tabel 27.

Tabel 27. Prasarana Kesehatan di Kecamatan Darmaga

No Prasarana Kesehatan Jumlah %

1. Balai Pengobatan 2 2,11

(3)

3. Rumah Bersalin 4 4,21 4. Puskemas dengan tempat perawatan 1 1,05

5. Puskesmas 4 4,21 6. Puskesmas pembantu 3 3,16 7. Posyandu 75 78,95 8. Apotik 1 1,05 9. Toko obat 4 4,21 Jumlah 95 100

Sarana dan prasarana pengairan terdiri dari DAM 3 buah, Air PAM 1 buah, pompa air 305 buah, sungai/kali 3 buah, dan danau 2 buah. Sarana dan prasarana perhubungan meliputi lalu lintas darat sepanjang 108 km dengan alat pengangkutan sepeda motor/ojek dan angkutan kota. Terdapat 1 buah pasar, 260 toko/warung, 100 kios, 6 supermarket, dan 3 minimarket yang digunakan sebagai sarana perekonomian penduduk. Prasarana pendidikan di Kecamatan Darmaga terdiri dari universitas negeri, akademi, SMA, SMP, SD, TK, dan pondok pesantren yang terlihat pada Tabel 28.

Tabel 28. Prasarana Pendidikan di Kecamatan Darmaga

No Prasarana Pendidikan Jumlah %

1. Universitas Negeri 1 1,08

2. Akademi Swasta 1 1,08

3. SMU Swasta 1 1,08

4. SMK Swasta 1 1,08

5. Madrasah Aliyah Swasta 1 1,08

6. SMP Negeri 1 1,08 7. SMP Swasta 4 4,30 8. Mts Swasta 1 1,08 9. SD Negeri 35 37,63 10. MI Negeri 1 1,08 11. MI Swasta 8 8,60 12. TK Swasta 8 8,60 13. Pondok Pesantren 30 32,26 Jumlah 93 100

(4)

Karakteristik sosial ekonomi terdiri dari jumlah anggota keluarga, umur ibu dan bapak, tingkat pendidikan ibu dan bapak, pengeluaran pangan dan non pangan, dan pekerjaan ibu dan bapak. Secara umum karakteristik sosial ekonomi pada kedua kelompok relatif sama (Tabel 29). Jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang, sedikit diatas batasan keluarga ideal menurut BKKBN. Umumnya keluarga mempunyai satu atau dua anak. Umur ibu dan bapak kebanyakan berada pada kisaran 21-40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ibu dan bapak termasuk usia produktif baik untuk mendapatkan penghasilan maupun reproduksi menghasilkan keturunan. Tingkat pendidikan keluarga sampel tergolong rendah karena pendidikan ayah rata-rata sedikit diatas Sekolah Dasar (SD) yaitu 7 tahun dan pendidikan ibu sedikit dibawah ayah yaitu 6 tahun. Pendapatan keluarga didekati dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk keperluan rumahtangga yaitu Rp 683875,0 ± 401790,7 atau 75% untuk keperluan pangan dan 25% untuk non pangan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk pangan yang melebihi pengeluaran untuk non pangan menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah (miskin). Ibu kebanyakan tidak bekerja sehingga perolehan penghasilan umumnya bersumber dari bapak. Pekerjaan ibu dan bapak cukup bervariasi tetapi bila dihubungkan dengan perolehan penghasilan maka jenis pekerjaan ibu dan bapak ini merupakan pekerjaan dengan penghasilan relatif rendah. Hal ini sesuai dengan tingkat pendidikan ibu dan bapak yang rendah sehingga jenis pekerjaan seperti buruh tani, buruh pabrik, buruh bangunan, supir, dan dagang yang umumnya terdapat pada kedua kelompok ini. Dilihat dari jenis pekerjaan ibu dan bapak terlihat bahwa pekerjaan ibu dan bapak lebih mengandalkan kekuatan fisik sehingga membutuhkan konsumsi energi yang besar. Jenis pekerjaan yang penghasilannya relatif rendah sangat rawan terhadap pemenuhan pangan terutama bila dalam keluarga banyak terdapat anggota keluarga yang tidak produktif mendapatkan penghasilan. Hasil uji statistik karakteristik sosial ekonomi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05).

(5)

Karakteristik Sosial Ekonomi Perlakuan (n = 27) Kontrol (n =29) Total (n = 56) Sig Jumlah anggota keluarga (orang) 5,44 ± 2,10 5,21 ± 1,68 5,32 ± 1,88 0,64 Umur Ibu (tahun) 25,74 ± 4,77 25,86 ± 5,36 25,80 ± 5,07 0,93 Umur Bapak (tahun) 31,15 ± 6,49 31,83 ± 6,65 31,49 ± 6,57 0,70 Pendidikan Ibu (tahun) 6,89 ± 2,44 6,17 ± 2,12 6,53 ± 2,28 0,25 Pendidikan Bapak (thn) 7,70 ± 2,87 7,07 ± 2,84 7,39 ± 2,86 0,41 Pekerjaan Ibu :

Tidak bekerja Buruh (tani, pabrik, cuci) Dagang, Swasta 20,21 ± 2,01 5,24 ± 0,36 2,03 ± 1,31 21,14 ± 3,25 3,20 ± 1,23 5,61 ± 0,61 20,12 ± 3,58 4,8 ± 2,16 4,5 ± 0,23 0,62 0,56 0,47 Pekerjaan Bapak : Tidak bekerja Buruh (tani, pabrik, bangunan) Dagang, Swasta Supir 5,12 ± 2,61 16,51 ± 4,65 1,31 ± 0,25 5,27 ± 0,36 2,32 ± 0,36 17,15 ± 1,71 3,31 ± 0,23 7,02 ± 1,32 4,2 ± 1,23 15,8 ± 0,23 1,7 ± 0,65 5,9 ± 2,14 0,73 0,52 0,29 0,47 Pendapatan Keluarga (Rp/bln) 742851,9 ± 469752,4 628965,5 ± 325152,1 683875,0 ± 401790,7 0,30 Pendapatan per Kapita

(Rp/kapita/bln) 136553,7 103691,6 ± 120722,7 93542,9 ± 128547,9 113718,5 ± 0,27 Pengeluaran Pangan (%) 69,1 ± 28,8 80,6 ± 20,4 75,0 ± 25,2 0,23 Pengeluaran Non Pangan (%) 30,9 ± 28,8 19,4 ± 20,4 24,9 ± 25,2 0,11

3. Status Gizi dan Morbiditas Ibu Menyusui

3.1. Berat Badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT)

Rata-rata berat badan ibu sebelum intervensi pada kelompok perlakuan lebih rendah daripada kelompok kontrol. Rata-rata berat badan ibu menyusui ini lebih rendah daripada rata-rata berat badan ibu menyusui satu bulan setelah melahirkan di pedesaan Meksiko yaitu 53 ± 7,6 kg dengan tinggi badan 1,5 ± 0,1 m (Villalpando. S, et al, 2003). Berat badan ibu menyusui 0 – 4 bulan di Honduras dan Swedia juga lebih tinggi daripada berat badan ibu menyusui dalam penelitian ini yaitu 56 ± 11 kg pada ibu di Honduras dan 65 ± 10 kg pada ibu di Swedia. Setelah intervensi 4 bulan

(6)

rata-rata ibu menyusui mengalami penurunan berat badan 0,5 kg. Pada ibu kelompok perlakuan mengalami penurunan berat badan 1,5 kg sebaliknya pada ibu kelompok kontrol mengalami penambahan berat badan 0,3 kg. Rata-rata berat badan ibu menyusui disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30. Rerata Berat Badan (Kg) Ibu Menyusui

Waktu Pengamatan Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Total (n = 56) Sig BB Sebelum 48,89 ± 6,00 51,03 ± 5,49 49,91 ± 5,79 0,17 BB Setelah 47,40 ± 5,32 51,37 ± 6,17 49,46 ± 6,06 0,13 Selisih -1,48 ± 3,03 0,33 ± 3,39 -0,54 ± 3,32 0,14

Penurunan berat badan pada ibu menyusui biasa terjadi karena besarnya energi yang dibutuhkan untuk produksi ASI sehingga jaringan lemak pada adiposa akan cepat diurai untuk memenuhi kebutuhan energi ibu menyusui yang mempercepat penurunan berat badan terutama bila asupan makanan tidak mencukupi kebutuhan dan aktivitas yang berat pada ibu menyusui. Asupan makanan dan aktivitas fisik merupakan faktor penting yang menentukan terhadap berat badan. Hal ini ditegaskan dalam studi jaringan adiposa pada ibu menyusui (Lafontan et al, 1979; Rebuffe Scrive et al. 1985 dalam ACC/SCN, 1991) yang menunjukkan adanya perubahan spesifik dalam metabolisme simpanan energi selama menyusui. Lipolisis (penguraian lemak) jaringan adiposa di perut secara nyata lebih besar pada ibu yang menyusui daripada ibu yang tidak menyusui. Brewer et al, (1989) dan Butte et al (1984) dalam ACC/SCN, (1991) menunjukkan adanya defisit energi 110 – 343 kkal/hari pada ibu menyusui 4 – 6 bulan yang tinggal di rumah dengan gizi baik, setara dengan penurunan berat badan 2,6 – 7,9 kg selama 6 bulan.

(7)

48.89 47.4 -1.48 51.03 51.37 0.33 49.91 49.46 -0.54 -10 0 10 20 30 40 50 60 BB Ibu (Kg)

perlakuan kontrol total

sebelum setelah selisih

Gambar 7. Berat Badan Ibu Sebelum dan

Setelah Intervensi

Butte (1981) mengemukakan adanya penurunan berat badan 5,5 kg pada ibu menyusui di Amerika setelah empat bulan melahirkan. Heinig et al (1990) dalam ACC/SCN (1991) mengemukakan adanya penurunan berat badan 3,5 kg pada ibu menyusui di Amerika setelah 6 bulan melahirkan. Studi lainnya Manning-Dalton dan Allen (1983) dalam ACC/SCN (1991) juga melaporkan hal yang sama yaitu adanya penurunan berat badan 2 kg pada ibu menyusui di Amerika setelah tiga bulan melahirkan.

Dari beberapa studi tersebut dapat dikatakan bahwa penurunan berat badan ibu menyusui dalam penelitian ini relatif kecil. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh pemberian mie instan pada ibu menyusui terhadap kebutuhan zat gizi makro yaitu kebutuhan energi sehingga defisit energi yang lazim terjadi saat menyusui dapat diperkecil dan penurunan berat badan ibu relatif rendah. Adanya penurunan berat badan pada kelompok perlakuan dan pertambahan berat badan pada kelompok kontrol disebabkan karena ibu yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian lebih banyak

(8)

pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Pekerjaan cuci pakaian merupakan aktivitas berat yang membutuhkan energi tinggi karena dilakukan disungai yang ditempuh dengan berjalan kaki sejauh ± 50 m dengan medan yang tidak rata. Aktivitas berat ini mempercepat penurunan berat badan. Pada kelompok perlakuan ibu yang tidak bekerja ada 20 orang dan bekerja sebagai buruh ada 5 orang sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang tidak bekerja ada 21 orang dan bekerja sebagai buruh ada 3 orang. Aktivitas rumahtangga yang dilakukan ibu sehari-hari, asupan pangan yang rendah, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, dan sanitasi yang buruk merupakan penyebab utama gizi kurang pada keluarga miskin sehingga ibu sangat rentan mengalami gizi kurang (World Bank, 2006).

Selain itu bila dihubungkan dengan status gizi berdasarkan IMT maka terlihat bahwa ibu yang mempunyai status gizi lebih (IMT > 25) lebih banyak dijumpai pada kelompok kontrol sehingga penurunan berat badan ibu lebih terlihat pada kelompok perlakuan sedangkan pada kelompok kontrol terlihat kenaikan berat badan. Disamping itu bila dihubungkan dengan frekuensi dan lama menyusui pada bayi maka frekuensi dan lama menyusui bayi pada kelompok perlakuan lebih besar daripada bayi kelompok kontrol sehingga lipolisis dan defisit energi lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol sehingga penurunan berat badan lebih besar pada kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan bayi yang menyusu lebih dari 8 kali dalam sehari ada sebanyak 96% dengan lama menyusui 8,35 jam. Pada kelompok kontrol bayi yang menyusu lebih dari 8 kali dalam sehari ada sebanyak 86% dengan lama menyusui 8,19 jam (Tabel 53). Hal ini juga terlihat dalam studi Manning-Dalton dan Allen (1983) dalam ACC/SCN (1991) yang menemukan 22% ibu menyusui bertambah berat badannya setelah 3 bulan melahirkan berkaitan dengan intensitas dan durasi penyusuan yang sangat rendah. Adanya pemberian mie instan ini berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan energi ibu sehingga ibu kelompok perlakuan hanya mengalami penurunan berat badan yang relatif rendah, bahkan pada ibu kelompok kontrol bertambah berat badan meskipun pertambahan berat badannya relatif kecil.

(9)

Status gizi dapat dinilai berdasarkan IMT

dengan rumus berat badan (kg) / tinggi badan (m)

2

yang dikategorikan menjadi status gizi kurang,

normal (baik), dan status gizi lebih yang disajikan

pada Tabel 31.

Tabel 31. Status Gizi Ibu berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh)

Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Total (n = 56) Status Gizi n % n % n % Sebelum Kurang ( IMT < 18 ) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Normal ( 18 < IMT < 25 ) 25 92,6 24 82,8 49 87,5 Lebih ( IMT > 25 ) 2 7,4 5 17,2 7 12,5 Rataan IMT ± SD 21,89 ± 2,76 22,93 ± 2,17 22,43 ± 2,51 Setelah Kurang ( IMT < 18 ) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 Normal ( 18 < IMT < 25 ) 25 92,6 21 72,4 46 82,2 Lebih ( IMT > 25 ) 2 7,4 8 27,6 10 17,9 Rataan IMT ± SD 21,22 ± 2,53 23,10 ± 2,73 22,18 ± 2,78

Berdasarkan IMT, status gizi ibu sebelum dan

setelah intervensi umumnya normal (18 < IMT < 25)

baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok

kontrol. Tidak ada ibu yang mempunyai status gizi

kurang pada kedua kelompok baik sebelum maupun

setelah intervensi. Ibu dengan status gizi lebih (IMT

> 25) lebih banyak dijumpai pada kelompok kontrol

(10)

daripada kelompok perlakuan sebelum dan setelah

intervensi. Rata-rata IMT ibu menyusui dalam

penelitian ini relatif sama dengan IMT ibu menyusui

di Jawa Barat dalam Dijkhuizen et al (2001) yaitu

21,2 dengan kisaran 19,7 – 23,0. Hal ini berarti

status gizi ibu menyusui berdasar IMT di Jawa

Barat umumnya baik (normal). Bila dibandingkan

dengan IMT ibu menyusui di negara maju maka

IMT ibu menyusui di Amerika setelah satu bulan

melahirkan lebih tinggi yaitu 23 ±

±

±

± 2,6 (Butte dan

Garza, 1986 dalam ACC/SCN, 1991).

3.2. Kadar Hemoglobin Darah Ibu Menyusui

Hemoglobin darah adalah salah satu indikator anemia yang ditetapkan WHO. Cut off anemia untuk wanita dewasa adalah < 12 g/dl. Kadar Hb ibu kedua kelompok sebelum intervensi sudah baik yaitu ≥ 12 g/dl. Kadar Hb ini lebih tinggi dibanding kadar Hb ibu menyusui di Kecamatan Parung kabupaten Bogor dalam studi Dahro, et al (1993) yaitu 11,9 ± 1,35. Dalam studi Dijkhuizen et al. (2001) di Kabupaten Bogor ditemukan kadar Hb ibu menyusui sebesar 11,7 ± 1,3 dengan prevalensi anemia 52% yang lebih tinggi daripada prevalensi anemia dalam penelitian ini. Kadar Hb penelitian ini pada awal intervensi lebih rendah dibanding dengan kadar Hb ibu hamil sebelum suplementasi biskuit multi gizi dalam penelitian Nasution, A (2003) yaitu 12,5 g/dl dan kadar Hb ibu menyusui di Meksiko setelah satu bulan melahirkan yaitu 12,7 ± 1,7 (Villalpando, et al, 2003). Kadar Hb darah disajikan pada Tabel 32.

(11)

Tabel 32. Sebaran Ibu menurut Kadar HB Darah (g/dl)

Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Total (n = 56) Kadar Hb n % n % n % Sebelum Rendah ( < 12 g / dl ) 9 33,3 10 34,5 19 33,9 Normal ( ≥ 12 g / dl ) 18 66,7 19 65,5 37 66,1 Total 27 100 29 100 56 100 Rataan Hb ± SD 12,07 ± 1,68 12,38 ± 1,69 12,23 ± 1,68 Setelah Rendah ( < 12 g / dl ) 10 37,0 10 34,5 20 35,7 Normal ( ≥ 12 g / dl ) 17 63,0 19 65,5 36 64,3 Total 27 100 29 100 56 100 Rataan Hb ± SD 12,44 ± 1,46 12,63 ± 1,47 12,54 ± 1,46 Selisih Rataan Hb ± SD 0,36 ± 1,69 0,25 ± 1,59 0,31 ± 1,63

Setelah intervensi terlihat adanya kenaikan kadar Hb pada kedua kelompok tetapi kenaikan terbesar terdapat pada kelompok perlakuan yaitu 0,36 ± 1,69 pada kelompok perlakuan dan 0,25 ± 1,59 pada kelompok kontrol. Kenaikan Hb ini disebabkan adanya mie instan yang mengandung zat besi pada ibu perlakuan dimana besi membentuk hemoglobin dalam sel darah merah, sebaliknya pada ibu kontrol tidak demikian. Rata-rata kadar Hb ibu kedua kelompok sebelum dan setelah intervensi masih tergolong normal yaitu pada kelompok perlakuan 12,07 ± 1,68 g/dl sebelum intervensi dan 12,44 ± 1,46 g/dl setelah intervensi. Pada kelompok kontrol rata-rata kadar Hb sebelum intervensi 12,38 ± 1,69 g/dl dan setelah intervensi 12,63 ± 1,47 g/dl. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar Hb sebelum dan setelah intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0,05).

Adanya pengaruh fortifikasi atau suplementasi terhadap kenaikan kadar Hb didapati pada beberapa studi seperti Saidin M, et al (1995) mengemukakan fortifikasi mie instan dengan Fe 10 mg/100 g yang diberikan 3 kali seminggu 1 bungkus mie selama 14 minggu pada ibu hamil trimester II di Kabupaten Cianjur dapat meningkatkan kadar Hb 0,47 dan menurunkan anemia 5,2%. Pada penelitian lainnya Saidin. M, et al (1997) mengemukakan suplementasi besi (100 mg besi

(12)

elemental dan 0,25 mg asam folat) pada ibu hamil selama 3 bulan meningkatkan kadar Hb 0,4 g/dl dimana prevalensi anemia sebelum suplementasi 53,5%. Sumarmo, et al (1996) juga mengemukakan suplementasi besi 60 mg, folat 2 mg dan vitamin C pada ibu hamil yang anemia meningkatkan kadar Hb 1,6 g/dl. Dari beberapa penelitian ini diketahui bahwa suplementasi besi pada ibu yang dilakukan dengan pil ataupun makanan dapat meningkatkan Hb sekitar 0,3 sampai 1,6 g/dl. Kenaikan Hb ibu setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 8. 2.98 2.02 2.53 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 kenaikan Hb Ibu (%)

perlakuan kontrol total

perlakuan kontrol total

Gambar 8. Kenaikan Hb Ibu setelah Intervensi (%)

Bila dianalisa kecilnya kenaikan kadar Hb setelah intervensi dapat dikatakan hal ini terjadi karena sebelum intervensi kadar Hb sudah baik sehingga absorpsi besi dari mie yang difortifikasi besi menjadi kurang efisien. Hal ini dijelaskan oleh Yip dan Dalman (1996) dimana pada orang anemia (Hb < 12 g/dl) absorpsi besi lebih efisien dibanding orang yang tidak anemia (Hb ≥ 12 g/dl). Selain itu kecilnya kenaikan kadar Hb disebabkan konsumsi pangan sumber besi yang rendah. Tingkat kecukupan besi yang berasal dari pangan dan mie instan setelah intervensi pada kelompok perlakuan adalah 78% dan pada kelompok kontrol adalah 53% (Tabel 52 ). Pemenuhan kebutuhan zat besi tidak dapat diharapkan hanya dari mie instan

(13)

fortifikasi saja karena mie instan bukan merupakan pangan pengganti (substitusi) melainkan sebagai pangan pelengkap (complementary) yang melengkapi kebutuhan zat besi sehingga pemenuhan zat besi utama tetap diharapkan berasal dari konsumsi pangan.

3.3. Kadar Feritin Darah Ibu Menyusui

Kadar feritin darah menggambarkan tingkat simpanan (cadangan) besi didalam hati. Kadar feritin darah lebih akurat menggambarkan status besi dibanding kadar Hb. Bila kadar Hb diketahui normal sedangkan kadar feritin rendah maka sangat beresiko terhadap terjadinya anemia. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa sebelum intervensi, sebanyak 18,5% ibu kelompok perlakuan dan 17,2% ibu kelompok kontrol mempunyai kadar feritin darah rendah. Setelah intervensi terdapat penurunan jumlah ibu yang mempunyai kadar feritin rendah yaitu penurunan 11,1% pada ibu kelompok perlakuan sedangkan pada ibu kelompok kontrol penurunannya lebih kecil yaitu 6,9%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar feritin darah sebelum dan setelah intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0,05). Kadar feritin darah disajikan pada Tabel 33.

Tabel 33. Sebaran Ibu menurut Kadar Feritin Darah

Ibu Perlakuan (n = 27) Ibu Kontrol (n = 29) Total (n = 56) Kadar Feritin n % n % n % Sebelum Rendah ( < 12 µg / L ) 5 18,5 5 17,2 10 17,9 Normal ( ≥ 12 µg / L ) 22 81,5 24 82,8 46 82,1 Total 27 100 29 100 56 100 Rataan Feritin ± SD 38,89 ± 31,57 40,14 ± 33,24 39,54 ± 32,16 Setelah Rendah ( < 12 µg / L ) 2 7,4 3 10,3 5 8,9 Normal ( ≥ 12 µg / L ) 25 92,6 26 89,7 51 91,1 Total 27 100 29 100 56 100 Rataan Feritin ± SD 43,38 ± 33,59 41,49 ± 32,82 42,40 ± 2,9 Selisih Rataan Feritin ± SD 4,48 ± 10,98 1,36 ± 6,18 2,87 ± 8,88

Kadar feritin ibu menyusui ini lebih tinggi daripada kadar feritin ibu menyusui di Kabupaten Bogor yaitu 20,36 ± 12,6 (Dahro, et al, 1993) dan feritin

(14)

ibu menyusui di Kabupaten Tangerang yaitu 22,2 ± 10,1 (Dahro, et al, 1994). Selain itu Dijkhuizen et al (2001) juga menemukan rata-rata kadar feritin ibu menyusui di Kabupaten Bogor adalah 13,9 µg/L dan proporsi ibu menyusui yang defisiensi besi berdasar feritin adalah 29%. Prevalensi anemia berdasar feritin pada ibu menyusui 0 – 4 bulan di Honduras juga tinggi yaitu 32% (Domeklof. M, et al, 2004). Dari berbagai studi kadar feritin tersebut dapat disimpulkan bahwa simpanan besi di dalam hati sebelum intervensi lebih tinggi pada ibu menyusui dalam penelitian ini. Sebaliknya bila dibandingkan prevalensi anemia (feritin < 12 µg/L) di Swedia pada ibu menyusui 0 – 4 bulan dengan prevalensi anemia pada penelitian ini maka prevalensi anemia di Swedia lebih rendah yaitu 12% (Domeklof. M, et al, 2004). Kenaikan feritin setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 9. 11.52 3.39 7.26

0

2

4

6

8

10

12

kenaikan feritin (%)

perlakuan kontrol total

perlakuan kontrol total

Gambar 9. Kenaikan Feritin Darah Ibu

Setelah Intervensi (%)

Pemberian mie instan fortifikasi selama 4 bulan menaikkan kadar feritin dengan kenaikan terbesar pada kelompok perlakuan yaitu 4,48 µg / L, sedangkan

(15)

pada kelompok kontrol 1,36 µg / L . Kenaikan feritin disebabkan adanya mie instan yang mengandung zat besi yang akan mengisi simpanan besi dalam hati terutama bila kadar Hb sudah cukup. Hal ini seperti terlihat pada kadar Hb awal intervensi yang sudah normal (≥ 12 g/dl) sehingga adanya fortifikasi lebih ditujukan pada pengisian simpanan besi daripada meningkatkan kadar Hb. Peningkatan ini lebih besar pada kelompok perlakuan karena adanya fortifikasi besi dalam mie instan.

Pengaruh fortifikasi besi terhadap kenaikan feritin ini juga dibuktikan pada beberapa studi seperti Saidin, et al (1995) yang mengemukakan bahwa fortifikasi mie instan dengan Fe 10 mg/100 gr pada ibu hamil 3 kali seminggu 1 bungkus mie instan selama 14 minggu di Kabupaten Cianjur meningkatkan kadar feritin 0,43 µg/L dan menurunkan prevalensi anemia 5,2% yang sebelumnya 48,5%. Studi Saidin. M dkk (1997) lainnya juga mengemukakan bahwa suplementasi besi (100 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat) pada ibu hamil selama 3 bulan di Kabupaten Cianjur meningkatkan kadar feritin 1,25 µg/L.

3.4. Morbiditas Ibu Menyusui

Morbiditas adalah gambaran angka kesakitan yang diderita seseorang dalam suatu waktu tertentu. Untuk mengetahui morbiditas dilakukan skor morbiditas yang dihitung berdasarkan skor penyakit dikalikan dengan frekuensi dan lama penyakit. Untuk mengetahui besaran resiko suatu penyakit digunakan skor yang dibuat berdasarkan hasil wawancara dokter dengan kisaran skor 10 untuk penyakit yang tidak beresiko fatal seperti penyakit kulit, mata, dan sariawan. Skor 50 untuk penyakit bronchitis, asma, ISPA (batuk, pilek, sakit kepala, dan panas). Skor 70 untuk penyakit campak dan skor 80 untuk diare, batuk berdarah, kejang, dan muntaber yang dinilai beresiko fatal. Skor morbiditas ibu disajikan pada Tabel 34.

Tabel 34. Skor Morbiditas Ibu menurut Kelompok

Pengamatan Perlakuan (n =27) Kontrol (n = 29) Total (n = 56) Sig Sebelum 152,22 ± 257,16 208,97 ± 373,83 181,61 ± 321,29 0,51 Setelah 66,67 ± 160,53 100,34 ± 203,93 84,11 ± 183,42 0,49 Selisih 85,55 ± 112,37 108,63 ± 186,46 97,50 ± 106,41 0,45

(16)

Dari Tabel 34 terlihat bahwa morbiditas ibu perlakuan lebih baik daripada ibu kontrol baik sebelum dan setelah intervensi dimana skor morbiditas ibu perlakuan lebih rendah daripada skor morbiditas ibu kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan kesehatan ibu perlakuan lebih baik daripada keadaan kesehatan ibu kontrol yang berarti ibu pada kelompok perlakuan relatif lebih jarang sakit dan mempunyai lama sakit yang lebih rendah daripada ibu pada kelompok kontrol. Penyakit yang sering diderita ibu adalah sakit kepala, demam, batuk , dan flu dengan frekuensi sakit rata-rata 2-3 kali dalam satu bulan dan lama sakit 2-6 hari. Frekuensi sakit kepala yang sering ini diduga disebabkan karena anemia karena berdasarkan pemeriksaan tekanan darah adalah normal. Demam, batuk, dan flu sering diderita diduga disebabkan keadaan rumah dan lingkungan sekitar yang kurang sehat. Sebahagian rumah yang ditemukan masih berlantai tanah, mempunyai ventilasi cahaya dan udara yang buruk, serta dekatnya jarak kandang hewan kerumah dengan kondisi kandang yang sangat kotor sehingga beresiko terhadap paparan patogen yang menimbulkan penyakit. Disamping itu perawatan kesehatan dan asupan pangan yang kurang baik berpotensi terhadap timbulnya penyakit. Pengobatan yang dilakukan saat sakit cenderung dengan membeli obat secara bebas di warung ataupun ke dukun daripada puskesmas. Pada akhir intervensi frekuensi sakit berkurang dibanding sebelum intervensi. World Bank (2006) mengemukakan bahwa pada keluarga berpenghasilan rendah, penyebab utama gizi kurang adalah rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan buruknya sanitasi disamping asupan pangan yang kurang.

Bila dibandingkan morbiditas sebelum dan setelah intervensi terlihat bahwa terjadi penurunan morbiditas setelah intervensi dengan skor morbiditas paling rendah terdapat pada kelompok perlakuan. Hal ini dapat terjadi karena adanya mie instan yang difortifikasi dengan berbagai vitamin dan mineral seperti zink dan besi yang berperan dalam imunitas tubuh sehingga dapat menurunkan morbiditas ibu. Defisiensi besi dapat menyebabkan kerusakan respon imunitas dan penurunan produksi antibodi (Walter, 2003). Hal ini diperkuat dalam berbagai studi seperti Black. R (2001) yang mendapati adanya penurunan insiden dan durasi diare pada anak yang mendapat suplementasi zink. Salgueiro et al (2002) juga mendapati

(17)

bahwa suplementasi zink di India, Jamaika, Peru dan Vietnam dapat menurunkan 41% insiden penyakit pneumonia pada anak-anak.

Morbiditas yang lebih rendah pada ibu kelompok perlakuan dapat dihubungkan dengan status gizi ibu. Hubungan status gizi dan morbiditas merupakan hubungan timbal balik dimana morbiditas yang tinggi akan mengganggu metabolisme zat gizi sehingga mempengaruhi status gizi. Sebaliknya status gizi yang buruk akan menurunkan imunitas tubuh sehingga rawan terhadap berbagai penyakit. Studi pada 23 ibu menyusui gizi baik dan gizi kurang di Columbia menemukan bahwa kadar albumin, IgA, dan IgG lebih rendah pada ibu gizi kurang daripada ibu gizi baik (ACC/SCN, 1991). Hal ini menunjukkan bahwa pada ibu gizi kurang, respon imunitas dan produksi antibodi lebih rendah daripada ibu yang gizi baik. Meskipun hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) antar kelompok baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi tetapi adanya mie instan fortifikasi sudah menunjukkan kecenderungan penurunan morbiditas ibu. Penurunan skor morbiditas ibu setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Penurunan Skor Morbiditas Ibu setelah Intervensi (%) 56.2 51.98 53.69 49 50 51 52 53 54 55 56 57 penurunan morbiditas (%)

perlakuan kontrol total

perlakuan kontrol total

(18)
(19)

4. Pertumbuhan dan Morbiditas Bayi

4.1. Pertumbuhan berdasarkan Berat Badan Bayi

Pertumbuhan adalah salah satu dasar untuk menilai kecukupan gizi bayi yang berdampak terhadap aspek fisik sehingga pengukuran antropometri yang terdiri dari berat badan menurut umur dan panjang badan menurut umur digunakan sebagai penilaian pertumbuhan fisik (WHO, 2003). Pengukuran antropometri sering

digunakan karena mudah, praktis, dan cepat memberi informasi status gizi dan kesehatan anak secara fisik (Soetjiningsih, 1995). Berat lahir bayi berdasarkan keterangan ibu relatif sama antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol yaitu 3,24 ± 0,49 kg pada kelompok perlakuan dan 3,28 ± 0,41 kg pada kelompok kontrol, sedangkan panjang lahir kebanyakan ibu tidak mengetahuinya karena pengukuran saat lahir oleh penolong persalinan umumnya hanya berat badan lahir saja. Umur bayi pada kelompok perlakuan adalah 2,41 ± 1,19 bulan dan pada kelompok kontrol adalah 2,31 ± 1,11 bulan. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p < 0,05) berat badan awal intervensi dan panjang badan awal intervensi. Pada kelompok perlakuan bayi laki-laki ada 12 orang dan bayi perempuan 15 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol bayi laki-laki ada 13 orang dan bayi perempuan 16 orang. Penimbangan berat badan menurut umur pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 35, sedangkan penimbangan berat badan menurut umur yang diukur setiap bulan selama 4 bulan intervensi disajikan pada Lampiran 9.

Tabel 35. Berat Badan Bayi menurut Kelompok (Kg)

Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Sebelum 5,17 ± 1,28 5,14 ± 1,19 5,16 ± 1,22 Setelah 7,49 ± 1,12 7,43 ± 0,71 7,46 ± 0,91 Laki-laki Selisih 2,32 ± 0,96 2,29 ± 0,32 2,30 ± 0,16 Sebelum 4,89 ± 1,23 4,83 ± 1,01 4,86 ± 1,09 Setelah 7,23 ± 0,95 6,81 ± 0,80 7,01 ± 0,89 Perempuan Selisih 2,34 ± 0,14 1,98 ± 0,21 2,15 ± 0,15 Sebelum 5,04 ± 1,24 5,00 ± 1,11 5,02 ± 1,16 Setelah 7,37 ± 1,04 7,15 ± 0,80 7,26 ± 0,92 Total Selisih 2,32 ± 0,82 2,28 ± 1,13 2,30 ± 0,97

(20)

Berat badan menurut umur (BB/U) bayi laki-laki dan bayi perempuan pada awal intervensi antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol relatif sama. Pada akhir intervensi terdapat perbedaan pertambahan berat badan bayi laki-laki dan bayi perempuan dimana pertambahan berat badan lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh pemberian mie instan fortifikasi pada ibu menyusui, yaitu kontribusi energi dalam mie instan untuk memenuhi tingkat kecukupan energi ibu sehingga mampu menghasilkan ASI yang cukup bagi pertumbuhan khususnya pertambahan berat badan bayi. Perbedaan pertambahan berat badan bayi yang relatif kecil antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol disebabkan bayi pada kedua kelompok masih mengkonsumsi ASI. Lebih besarnya pertambahan berat badan pada kelompok perlakuan juga dapat disebabkan kadar besi ASI yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan sehingga menyebabkan lebih baiknya respon imunitas dan produksi antibodi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan. Morbiditas bayi juga berperan dalam pertumbuhan bayi dimana morbiditas bayi kelompok perlakuan lebih rendah daripada morbiditas bayi kelompok kontrol sehingga pertambahan berat badan bayi lebih besar pada bayi kelompok perlakuan.

Bila dibandingkan berat badan bayi laki-laki dengan berat badan bayi perempuan dapat dilihat bahwa bayi laki-laki mempunyai berat badan yang lebih tinggi daripada bayi perempuan baik pada awal intervensi maupun pada akhir intervensi. Perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan massa pembentuk tubuh dimana laki-laki lebih berotot dan mempunyai tulang yang besar sehingga relatif lebih berat. Pertambahan berat badan bayi pada akhir intervensi disajikan pada Gambar 11.

(21)

0 1 2 3 4 5 6 7 8

laki-laki perempuan total

b e ra t b a d a n ( K g ) perlakuan sblm perlakuan stlh perlakuan beda kontrol sblm kontrol stlh kontrol beda

Gambar 11. Berat Badan Bayi Sebelum dan Setelah Intervensi berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok

Pertambahan berat badan bayi dalam studi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertambahan berat badan bayi 0-4 bulan yang mendapat ASI eksklusif yaitu 3,79 ± 0,46 kg ataupun bayi 0-4 bulan yang mendapat ASI + MPASI yaitu 3,43 ± 0,58 kg dalam studi Widodo Y (2004). Hal ini diduga karena bayi dalam penelitian ini sudah mendapat makanan lain (MPASI) sebelum umur 1 bulan. Pemberian MPASI akan menurunkan bioavailabilitas zat gizi dan faktor penting lain dalam ASI sehingga mempengaruhi pertumbuhan. Herawati (2003) juga mendapati pertumbuhan panjang badan dan berat badan bayi laki-laki dan perempuan yang mendapat ASI eksklusif lebih tinggi daripada ASI non eksklusif. World Bank (2006) menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya malnutrisi pada bayi baik pada keluarga berpenghasilan rendah maupun keluarga berpenghasilan tinggi adalah pemberian makanan selain ASI sebelum bayi berusia 6 bulan.

(22)

Tabel 36. Pertambahan BB/U Bayi menurut Jenis Kelamin dan Kelompok (Kg) Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total

Bulan Ke 1 0,45 ± 0,40 0,77 ± 0,64 0,61 ± 0,55 Bulan Ke 2 0,64 ± 0,48 0,51 ± 0,37 0,57 ± 0,43 Bulan Ke 3 0,57 ± 0,32 0,45 ± 0,26 0,51 ± 0,29 Laki-laki Bulan Ke 4 0,66 ± 0,41 0,55 ± 0,41 0,61 ± 0,41 Bulan Ke 1 0,32 ± 0,53 0,63 ± 0,47 0,48 ± 0,51 Bulan Ke 2 0,99 ± 0,34 0,35 ± 0,38 0,66 ± 0,48 Bulan Ke 3 0,56 ± 0,44 0,35 ± 0,18 0,45 ± 0,34 Perempuan Bulan Ke 4 0,48 ± 0,29 0,65 ± 0,45 0,56 ± 0,39 Bulan Ke 1 0,39 ± 0,46 0,71 ± 0,56 0,55 ± 0,53 Bulan Ke 2 0,79 ± 0,45 0,44 ± 0,38 0,61 ± 0,45 Bulan Ke 3 0,57 ± 0,37 0,40 ± 0,23 0,48 ± 0,32 Total Bulan Ke 4 0,58 ± 0,37 0,59 ± 0,42 0,59 ± 0,40

Pemberian MPASI yang umumnya terdiri dari sereal, pati dan umbi-umbian mengandung serat dan pitat tinggi yang mengganggu penyerapan zat gizi mikro seperti zink dan besi sehingga berpotensi mengakibatkan defisiensi gizi mikro pada bayi yang akan mempengaruhi pertumbuhannya (Dewey, 2000). Jika dibandingkan pertambahan berat badan bayi usia 1-4 bulan dengan pertambahan berat badan bayi usia 6-12 bulan yang sama-sama mendapat suplementasi zink dan besi dapat disimpulkan bahwa pertambahan berat badan bayi yang lebih tinggi terdapat pada bayi yang usianya lebih muda. Hal ini dibuktikan dalam berbagai studi pertambahan berat badan bayi berdasarkan umur. Dalam studi ini pertambahan berat badan bayi usia 1-4 bulan adalah 1,98 – 2,34 kg. Studi Lind T (2003) pertambahan berat badan bayi usia 6-12 bulan adalah 1,10 kg dengan suplementasi 10 mg zink sulfat dan 10 mg fero sulfat. Studi Riyadi H (2002) pertambahan berat badan bayi usia 6-24 bulan adalah 1,9 ± 0,7 kg dengan suplementasi 15 mg zink sulfat dan 15 mg fero sulfat. Hal ini juga didukung hasil penelitian Victora. C.G, et al (1998) yang mengamati pertambahan berat badan bayi dari lahir sampai usia 12 bulan dimana pertambahan berat badan bayi 0-6 bulan lebih besar daripada pertambahan berat badan bayi 6-12 bulan.

4.2. Pertumbuhan berdasarkan Panjang Badan Bayi

Pengukuran panjang badan menurut umur pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 37, sedangkan pengukuran panjang badan menurut umur yang diukur setiap bulan selama 4 bulan intervensi disajikan pada Lampiran 9.

(23)

Tabel 37. Panjang Badan Bayi menurut Kelompok (cm)

Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Sebelum 57,56 ± 4,50 58,93 ± 3,74 58,27 ± 4,12 Setelah 67,29 ± 3,67 66,56 ± 2,96 66,91 ± 3,28 Laki-laki Selisih 9,73 ± 2,14 7,63 ± 1,25 8,64 ± 0,23 Sebelum 58,73 ± 3,46 58,35 ± 3,14 58,53 ± 3,23 Setelah 66,61 ± 2,98 64,85 ± 2,35 65,69 ± 2,77 Perempuan Selisih 7,88 ± 1,61 6,50 ± 0,36 7,16 ± 1,02 Sebelum 58,08 ± 4,04 58,67 ± 3,43 58,38 ± 3,72 Setelah 66,99 ± 3,33 65,79 ± 2,80 66,37 ± 3,10 Total Selisih 8,90 ± 3,02 7,12 ± 2,47 7,98 ± 2,87

Dari Tabel 37 terlihat bahwa panjang badan bayi laki-laki dan bayi perempuan relatif sama pada awal intervensi sedangkan pada akhir intervensi panjang badan dan pertambahan panjang badan bayi laki-laki lebih tinggi daripada bayi perempuan. Pertambahan panjang badan bayi disajikan pada Gambar 12.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

laki-laki perempuan total

P a n ja n g B a d a n ( C m ) perlakuan sblm perlakuan stlh perlakuan beda kontrol sblm kontrol stlh kontrol beda

Gambar 12. Panjang Badan Bayi Sebelum dan Setelah Intervesi berdasarkan

Jenis Kelamin dan Kelompok

Dari Gambar 12 terlihat bahwa pertambahan panjang badan kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol baik pada bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh pemberian mie instan yang

(24)

difortifikasi zink, besi, kalsium, dan vitamin A. Zink berinteraksi dengan hormon somatomedin C osteocalcin, testosteron, tiroid dan insulin yang berperan penting dalam pertumbuhan tulang sehingga berperan positif dalam pertumbuhan. Selain itu zink meningkatkan imunitas seluler dan sekresi antibodi sehingga dapat menurunkan morbiditas. Berkurangnya morbiditas berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat dari morbiditas bayi kelompok perlakuan yang lebih rendah daripada morbiditas bayi kelompok kontrol (Tabel 43). Selain itu kalsium merupakan komponen utama pembentukan tulang sehingga berperan penting dalam pertumbuhan linier. Vitamin A juga berperan dalam pembentukan osteoclast dan osteoblast sebagai bagian dari proses pembentukan tulang sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan linier (Sinclair, 1991). Pertambahan panjang badan bayi setiap bulan disajikan pada Tabel 38.

Tabel 38. Pertambahan PB/U Bayi menurut Jenis Kelamin dan Kelompok (cm) Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total

Bulan Ke 1 3,49 ± 2,51 2,61 ± 1,40 3,04 ± 2,03 Bulan Ke 2 2,15 ± 1,24 2,01 ± 0,79 2,07 ± 1,01 Bulan Ke 3 1,99 ± 1,07 1,46 ± 0,82 1,71 ± 0,97 Laki-laki Bulan Ke 4 2,11 ± 1,46 1,56 ± 1,59 1,83 ± 1,53 Bulan Ke 1 3,28 ± 1,54 2,52 ± 1,54 2,88 ± 1,56 Bulan Ke 2 1,65 ± 0,99 1,50 ± 0,81 1,57 ± 0,89 Bulan Ke 3 1,06 ± 0,63 1,31 ± 0,60 1,19 ± 0,62 Perempuan Bulan Ke 4 1,88 ± 1,42 1,18 ± 0,59 1,52 ± 1,11 Bulan Ke 1 3,39 ± 2,10 2,57 ± 1,44 2,97 ± 1,80 Bulan Ke 2 1,93 ± 1,15 1,78 ± 0,83 1,85 ± 0,99 Bulan Ke 3 1,57 ± 1,00 1,39 ± 0,72 1,48 ± 0,86 Total Bulan Ke 4 2,01 ± 1,42 1,39 ± 1,24 1,69 ± 1,36

Dari Tabel 38 terlihat bahwa pertambahan PB/U bayi setiap bulan selama intervensi selalu lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan dengan adanya mie instan fortifikasi dapat mengurangi penurunan persentase pertambahan panjang badan.

(25)

Z Skor adalah nilai tingkat pertumbuhan yang dibakukan dengan posisinya dari nilai rujukan. Nilai z skor pencapaian pertumbuhan bayi disajikan pada Tabel 39.

Tabel 39. Rerata Z Skor BB/U Bayi menurut Kelompok

Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Sebelum 0,04 ± 1,08 0,39 ± 0,98 0,23 ± 1,03 Setelah 0,07 ± 1,07 0,17 ± 0,95 0,09 ± 0,99 Laki-laki Selisih 0,03 ± 0,82 -0,22 ± 1,23 -0,13 ± 1,04 Sebelum 0,09 ± 1,08 -0,28 ± 0,96 -0,10 ± 1,01 Setelah -0,22 ± 1,48 -0,67 ± 0,75 -0,37 ± 0,92 Perempuan Selisih -0,13 ± 1,23 -0,39 ± 0,84 -0,27 ± 1,03 Sebelum 0,06 ± 1,06 0,09 ± 1,01 0,07 ± 1,03 Setelah 0,02 ± 1,02 -0,20 ± 0,95 -0,11 ± 0,98 Total Selisih -0,04 ± 1,00 -0,29 ± 1,05 -0,19 ± 1,03

Dari Tabel 39 terlihat bahwa nilai z skor BB/U bayi pada awal intervensi cukup baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Setelah intervensi terlihat bahwa z skor BB/U mengalami penurunan dengan penurunan terbesar pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa adanya intervensi mie berperan dalam mencegah tingkat penurunan z skor BB/U. Rerata z skor BB/U bayi pada setiap pengamatan disajikan pada Tabel 40.

Tabel 40. Rerata Z Skor BB/U Bayi Setiap Pengamatan

Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Bulan Ke 1 0,05 ± 1,08 0,39 ± 0,98 Bulan Ke 2 -0,23 ± 0,96 0,51 ± 0,81 Bulan Ke 3 -0,16 ± 0,97 0,34 ± 0,88 Bulan Ke 4 -0,16 ± 0,85 0,17 ± 0,95 Laki-laki Bulan Ke 5 -0,02 ± 1,02 -0,20 ± 0,95 Bulan Ke 1 0,08 ± 1,08 -0,28 ± 0,96 Bulan Ke 2 -0,40 ± 0,92 -0,27 ± 0,68 Bulan Ke 3 0,05 ± 1,00 -0,62 ± 0,46 Bulan Ke 4 0,05 ± 1,00 -0,85 ± 0,54 Perempuan Bulan Ke 5 0,03 ± 0,08 -0,98 ± 0,33 Bulan Ke 1 0,06 ± 1,06 0,09 ± 1,01 Bulan Ke 2 -0,30 ± 0,92 0,16 ± 0,84 Bulan Ke 3 -0,07 ± 0,97 -0,09 ± 0,86 Bulan Ke 4 -0,06 ± 0,92 -0,29 ± 0,94 Total Bulan Ke 5 0,02 ± 1,02 -0,20 ± 0,95

(26)

Pada kelompok perlakuan penyimpangan z skor BB/U dari titik nol sudah mulai terjadi pada pengamatan bulan ke 2 (satu bulan intervensi) tetapi pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, dan bulan ke 5 penyimpangan ini menjadi lebih kecil. Sebaliknya pada kelompok kontrol meskipun z skor BB/U pengamatan bulan ke 2 meningkat tetapi pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, dan bulan ke 5 z skor BB/U mengalami penurunan yang semakin jauh dari titik nol. Penyimpangan z skor dari titik nol lebih besar pada akhir intervensi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa gagal tumbuh (growth faltering) yang terjadi pada akhir intervensi lebih besar pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Adanya pemberian mie instan fortifikasi berarti berperan dalam mencegah penyimpangan z skor BB/U yang lebih jauh dari titik nol. Gangguan pertumbuhan yang terjadi diduga dipicu oleh pemberian MPASI yang terlalu dini sehingga pemberian ASI menjadi tidak maksimal. Hal ini akan mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan gizi bayi karena MPASI yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan gizi bayi.

Penyimpangan z skor BB/U yang terjadi pada akhir intervensi yaitu pada saat bayi berusia 5 – 9 bulan sama dengan hasil analisis penilaian status gizi balita yang dilakukan oleh Atmarita (1999) dalam Depkes (2003) dimana gagal tumbuh mulai terjadi pada usia 4 bulan. Hal ini ditegaskan oleh penemuan Unicef (1999) yang mengemukakan bahwa praktek pemberian MPASI yang buruk biasa terjadi di negara berkembang dan merupakan penyebab buruknya status gizi pada balita. Selain itu Gibson, et al (1997) juga melaporkan bahwa pemberian makanan pada usia dini menyebabkan berkurangnya intik ASI sehingga rawan terhadap terpenuhinya kebutuhan gizi bayi. Berdasarkan hal ini perlu untuk menggalakkan kembali pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan pemberian MPASI yang baik pada waktu yang tepat. Hal ini seperti dikemukakan oleh World Bank (2006) bahwa kebutuhan gizi bayi yang tidak terpenuhi sampai usia dua tahun tidak saja berdampak terhadap pertumbuhan fisik bayi tetapi juga berdampak terhadap kesehatan bayi, perkembangan otak, inteligensi, dan produktivitas; dimana dampak ini sebagian besar tidak dapat diperbaiki (irreversible).

Pada bayi laki-laki penyimpangan z skor dari titik nol lebih besar pada akhir intervensi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Pada bayi

(27)

perempuan kelompok perlakuan penyimpangan z skor BB/U yang terjadi pada pengamatan bulan ke 2 diperbaiki pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, bulan ke 5. Sebaliknya pada kelompok kontrol penyimpangan z skor BB/U pada pengamatan bulan ke 2 menjadi semakin jauh dari titik nol pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, dan bulan ke 5. Hal ini berarti bahwa pemberian mie instan fortifikasi berpengaruh dalam mencegah penyimpangan z skor BB/U yang semakin jauh dari titik nol. Oleh karena BB/U merupakan gambaran status gizi saat ini yang sangat sensitif terhadap perubahan berat badan maka lebih baiknya status gizi pada kelompok perlakuan disebabkan karena lebih baiknya kecukupan gizi dan morbiditas yang lebih rendah daripada bayi kelompok kontrol. Adanya penyakit akan menurunkan selera makan (appetite) sehingga mengakibatkan penurunan berat badan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Gibson, et al (1997) bahwa morbiditas dapat menurunkan fungsi zat gizi dalam tubuh sehingga mempengaruhi pertumbuhan terutama berat badan

4.4. Pertumbuhan berdasarkan Z Skor PB/U Nilai z skor PB/U bayi disajikan pada Tabel 41

Tabel 41. Rerata Z Skor PB/U Bayi

Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Sebelum - 0,22 ± 1,48 0,76 ± 0,84 0,28 ± 1,28 Setelah 0,18 ± 1,17 0,15 ± 0,95 0,16 ± 1,04 Laki-laki Selisih 0,40 ± 1,35 -0,61 ± 0,75 -0,12 ± 1,18 Sebelum 0,71 ± 1,04 0,23 ± 0,89 0,46 ± 0,98 Setelah 0,18 ± 0,91 -0,66 ± 0,76 -0,26 ± 0,92 Perempuan Selisih -0,53 ± 0,76 -0,89 ± 0,89 -0,72 ± 0,83 Sebelum 0,19 ± 1,37 0,52 ± 0,89 0,36 ± 1,15 Setelah -0,18 ± 1,04 -0,21 ± 0,95 -0,02 ± 1,01 Total Selisih -0,02 ± 1,20 -0,74 ± 0,81 -0,39 ± 1,07

Dari Tabel 41 terlihat bahwa nilai z skor PB/U bayi pada awal intervensi cukup baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Setelah intervensi terlihat bahwa z skor PB/U mengalami penurunan dengan penurunan terbesar pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa adanya intervensi mie berperan

(28)

dalam mencegah tingkat penurunan z skor PB/U. Rerata z skor PB/U bayi pada setiap pengamatan disajikan pada Tabel 42.

Tabel 42. Rerata Z Skor PB/U Bayi pada Setiap Bulan Pengamatan Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol

Bulan Ke 1 -0,22 ± 1,48 0,76 ± 0,84 Bulan Ke 2 0,11 ± 1,45 0,68 ± 0,99 Bulan Ke 3 0,06 ± 1,47 0,51 ± 0,97 Bulan Ke 4 0,06 ± 1,41 0,26 ± 0,99 Laki-laki Bulan Ke 5 0,18 ± 1,17 0,15 ± 0,95 Bulan Ke 1 0,71 ± 1,04 0,23 ± 0,89 Bulan Ke 2 0,89 ± 0,69 0,16 ± 0,86 Bulan Ke 3 0,58 ± 0,87 -0,16 ± 0,87 Bulan Ke 4 0,16 ± 0,90 -0,43 ± 0,76 Perempuan Bulan Ke 5 0,18 ± 0,91 -0,66 ± 0,76 Bulan Ke 1 0,19 ± 1,37 0,52 ± 0,89 Bulan Ke 2 0,46 ± 1,22 0,45 ± 0,96 Bulan Ke 3 0,29 ± 1,25 0,21 ± 0,97 Bulan Ke 4 0,11 ± 1,19 -0,05 ± 0,95 Total Bulan Ke 5 0,18 ± 1,04 -0,21 ± 0,95

Oleh karena panjang badan menggambarkan status gizi masa lalu maka perbaikan yang terjadi pada bayi kelompok perlakuan selain disebabkan asupan gizi yang cukup dari makanan, juga dapat disebabkan asupan gizi yang cukup saat dalam kandungan ataupun karena faktor genetik.

Dari Tabel 42 terlihat bahwa z skor PB/U kelompok perlakuan sudah mengalami penurunan mulai pengamatan bulan ke 3, dan pengamatan bulan ke 4; sedangkan pada pengamatan bulan ke 5 (akhir intervensi) z skor PB/U mengalami peningkatan. Sebaliknya pada kelompok kontrol mulai pengamatan bulan ke 2, bulan ke 3, bulan ke 4, dan pengamatan bulan ke 5, z skor terus mengalami penurunan yang semakin rendah (semakin jauh dari titik nol). Hal ini berarti bahwa mie instan fortifikasi berpengaruh dalam mencegah penyimpangan z skor PB/U semakin jauh dari titik nol. Pada bayi laki-laki kelompok perlakuan terlihat bahwa z skor PB/U cenderung mengalami kenaikan z skor mulai pengamatan bulan ke 2 sampai pengamatan bulan ke 5 (akhir intervensi). Sebaliknya pada kelompok kontrol z skor PB/U cenderung mengalami penurunan mulai pengamatan bulan ke 2 sampai pengamatan bulan ke 5 (akhir intervensi).

(29)

Pada bayi perempuan meskipun z skor PB/U kelompok perlakuan dan z skor PB/U kelompok kontrol cenderung mengalami penurunan tetapi penurunan z skor terlihat lebih besar pada kelompok kontrol. Oleh karena z skor PB/U menggambarkan status gizi masa lalu maka penurunan yang terjadi selain disebabkan asupan gizi yang kurang saat ini juga diduga disebabkan asupan gizi yang kurang saat dalam kandungan ataupun karena faktor genetik. Dari nilai z skor BB/U dan z skor PB/U dapat disimpulkan bahwa bayi pada akhir intervensi mengalami penurunan status gizi baik pada bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Penyimpangan Z skor yang semakin jauh dari titik nol didapati lebih besar pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan yang menunjukkan adanya pengaruh dari pemberian mie instan fortifikasi. Meskipun penyimpangan z skor masih belum terlalu jauh dari titik nol, penyimpangan ini harus diwaspadai karena bila tidak diperbaiki kecepatan pertumbuhan (growth spurt) yang menuntut besarnya kebutuhan gizi pada usia bayi akan mengakibatkan penyimpangan yang semakin besar sehingga susah untuk mengejar pacu tumbuhnya (catch up growth). World Bank (2006) mengemukakan bahwa upaya-upaya perbaikan gizi yang dilakukan setelah usia dua tahun tidak mampu memperbaiki kerusakan atau dampak kurang gizi yang terjadi pada usia dibawah dua tahun. Perbaikan gizi yang dilakukan pada usia dibawah dua tahun tidak saja berdampak terhadap pertumbuhan anak tetapi juga terhadap perkembangan otak, kecerdasan, dan produktivitas. Disamping itu perbaikan gizi juga berkaitan dengan ekonomi dimana adanya investasi dibidang gizi memberi pengembalian manfaat ekonomi yang tinggi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan kemiskinan.

4.5. Morbiditas Bayi

Morbiditas bayi dinilai berdasarkan skor morbiditas seperti pada morbiditas ibu yang dihitung berdasarkan skor penyakit dikalikan dengan frekuensi dan lama sakit. Skor penyakit ditentukan berdasarkan besar kecilnya resiko yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut dimana penyakit beresiko tinggi mempunyai skor tinggi dan sebaliknya penyakit beresiko rendah mempunyai skor rendah. Untuk menentukan

(30)

besar kecilnya resiko suatu penyakit didasarkan pada hasil wawancara dengan dokter. Skor morbiditas bayi disajikan pada Tabel 43.

(31)

Tabel 43. Skor Morbiditas Bayi menurut Kelompok

Waktu Pengamatan

Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Total (n =56) Sig Sebelum 187,04 ± 250,66 214,48 ± 253,70 201,25 ± 250,32 0,67 Setelah 132,22 ± 242,02 163,79 ± 310,21 148,57 ± 277,37 0,69 Selisih 54,82 ± 167,31 50,69 ± 111,87 52,68 ± 102,46 0,67

Dari Tabel 43 terlihat bahwa skor morbiditas kelompok perlakuan lebih rendah daripada skor morbiditas kelompok kontrol baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan kesehatan bayi kelompok perlakuan lebih baik daripada keadaan kesehatan bayi kelompok kontrol. Bila dibandingkan morbiditas sebelum intervensi dengan morbiditas setelah intervensi terlihat bahwa terjadi penurunan morbiditas setelah intervensi dimana skor morbiditas paling rendah terdapat pada kelompok perlakuan. Hal ini dapat terjadi karena kondisi kesehatan ibu kelompok perlakuan lebih baik daripada ibu kelompok kontrol yang dilihat dari skor morbiditas ibu (Tabel 34). Kondisi kesehatan yang baik ini akan memampukan ibu untuk menghasilkan ASI yang lebih baik dari segi volume dan kualitas gizinya untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. ASI yang dikonsumsi anak ini berperan dalam kekebalan terhadap pencegahan kuman penyakit. Morbiditas bayi yang rendah pada kelompok perlakuan ini juga dapat disebabkan karena volume ASI yang dikonsumsi bayi kelompok perlakuan lebih banyak daripada volume ASI yang dikonsumsi bayi kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan gizi bayi lebih baik pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Disamping itu adanya zat kekebalan dalam ASI seperti laktoferin, lisozim, dan imunoglobulin mengakibatkan respon imunitas dan produksi antibodi lebih baik pada bayi kelompok perlakuan daripada bayi kelompok kontrol. (Suharyono, 1990). Berdasarkan hal ini maka morbiditas bayi dapat menurun. Faktor lainnya adalah bahwa tingkat kecukupan gizi bayi kelompok perlakuan juga relatif lebih tinggi daripada tingkat kecukupan gizi bayi kelompok kontrol yang terlihat pada Tabel 59 sehingga dapat berkontribusi terhadap morbiditas yang lebih rendah pada bayi kelompok perlakuan. Penurunan morbiditas bayi setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 13.

(32)

29.31 23.63 26.18 0 5 10 15 20 25 30 penurunan morbiditas (%)

perlakuan kontrol total

perlakuan kontrol total

Gambar 13. Penurunan Skor Morbiditas Bayi setelah Intervensi (%)

Dari Gambar 13 terlihat bahwa meskipun penurunan morbiditas bayi kelompok perlakuan lebih tinggi daripada penurunan morbiditas bayi kelompok kontrol namun morbiditas bayi masih relatif tinggi. Penyakit yang banyak diderita bayi baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol adalah batuk, demam, dan flu yang tergolong pada penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas), serta diare dengan durasi 4-6 hari. Jenis penyakit ini sama dengan jenis penyakit peringkat utama terjadinya morbiditas yang dikemukakan HKI (2000) dan Unicef (2001) yaitu ISPA dan diare.

Terjadinya morbiditas pada bayi dalam studi ini dipicu oleh pemberian MPASI yang terlalu dini dan perawatan kesehatan baik higiene dan sanitasi yang kurang baik. Beberapa rumah yang dijumpai tidak memenuhi syarat kesehatan seperti lantai rumah masih tanah, kurangnya ventilasi baik cahaya maupun udara, dan banyaknya kotoran hewan seperti kambing karena letak kandang langsung disamping rumah. Kondisi seperti ini sangat beresiko terhadap paparan patogen yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan serta kemampuan ekonomi mengakibatkan cara pengobatan

(33)

terhadap bayi juga kurang baik dimana bila bayi sakit, ibu lebih cenderung membawa ke dukun atau membeli obat di warung daripada membawa ke puskesmas. Pada studi ini sangat disayangkan semua bayi sudah diberi makanan selain ASI sebelum berumur satu bulan karena berdasarkan riset yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan disimpulkan bahwa pemberian ASI eksklusif sampai umur empat bulan dapat menurunkan morbiditas bayi 10 sampai 20 kali dan kematian bayi 1 sampai 7 kali (Depkes, 2001). World Bank menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya malnutrisi pada bayi adalah rendahnya pengetahuan ibu tentang manfaat ASI eksklusif dan praktek pemberian MPASI, kurangnya waktu ibu untuk mengasuh anaknya secara baik, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, dan buruknya sanitasi. Praktek pemberian ASI eksklusif 6 bulan sampai saat ini masih sulit untuk dilaksanakan dan pemberian MPASI juga dilakukan secara tidak benar. Penelitian Herawati (2003) mendapati bahwa mulai umur 2,78 bulan bayi sudah diberi makanan selain ASI. Studi Sunaryo. E (2004) menemukan bahwa hanya 8,5% bayi mendapat ASI eksklusif 4 bulan dan hanya 2,1% bayi yang mendapat ASI eksklusif 5 bulan dan 6 bulan. Studi Riyadi. H (2002) menemukan bahwa lebih dari 90% bayi sudah mendapat MPASI sebelum berusia 4 bulan. Berdasarkan hal ini berbagai pihak harus bekerjasama untuk sosialisasi ASI dan MPASI menggunakan berbagai metode pendidikan gizi dan teknologi modern dalam mengatasi berbagai masalah gizi. Hal ini menuntut peran aktif tenaga gizi dalam program perbaikan gizi bayi tidak hanya dikota besar tetapi juga di pedesaan terpencil. Selain itu juga revitalisasi posyandu dan upaya mengatasi drop out kader harus dipikirkan dalam program perbaikan gizi mengingat peran penting posyandu dan kader dalam memantau pertumbuhan bayi dan anak balita. Meskipun uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) antar kelompok baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi tetapi adanya pemberian mie instan fortifikasi sudah menunjukkan kecenderungan penurunan morbiditas anak.

(34)

5. Kadar Zink dan Besi ASI

5.1. Kadar Zink ASI

ASI merupakan cairan kompleks yang mengandung berbagai unsur penting yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin larut air, vitamin larut lemak, mineral dan sel-sel epitel. Konsentrasi (kadar) zat gizi dalam berbagai penelitian yang dikumpulkan oleh Committee on Nutrition (1985) menyatakan adanya variasi kadar gizi ASI. Perbedaan-perbedaan yang mempengaruhi kadar gizi ASI antara lain perbedaan lama kehamilan, intik pangan, cadangan gizi dan perubahan penggunaan zat gizi berdasarkan karakteristik hormon saat menyusui. Secara umum kadar gizi ASI tinggi saat lahir dan akan berkurang selama periode laktasi. Kadar zink dalam ASI ibu menyusui disajikan pada Tabel 44.

Tabel 44. Kadar Zink ASI pada Ibu Menyusui (mg/L) Waktu

Pengamatan

Perlakuan (n = 27) Kontrol (n =29) Total (n =56) Sig Sebelum 2,19 ± 1,44 2,32 ± 1,75 2,26 ± 1,59 0,75 Setelah 3,81 ± 1,95 4,41 ± 2,74 4,12 ± 2,39 0,35 Selisih 1,62 ± 2,87 2,09 ± 3,24 1,86 ± 3,05 0,57

Dari Tabel 44 terlihat bahwa secara umum kadar zink ASI sebelum intervensi relatif sama antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yaitu berada pada kisaran 2,19 ± 1,44 mg/L sampai dengan 2,32 ± 1,75 mg/L dengan rata-rata 2,26 ± 1,59 mg/L. Kadar ini relatif sama dengan zink ASI ibu yang mendapat biskuit fortifikasi zink ketika hamil yaitu berkisar 2,11 - 2,18 mg/L dalam studi Nasution. A, (2003) dan studi Fung. E, et al (1997) pada ibu yang menyusui eksklusif di California yaitu 2,20 mg/L. Kadar zink ASI dalam penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan rata-rata zink ASI yang dikemukakan Committee on Nutrition (1985) yaitu 1,2 ± 0,2 mg/L dan yang dikemukakan oleh Suharyono (1990) yaitu 1,59 ± 0,84 µg/ml pada ibu menyusui di Indonesia. Hasil uji statistik kadar

(35)

zink ASI sebelum dan setelah intervensi menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p<0,05).

Beberapa studi yang menunjukkan kadar zink ASI yang lebih rendah dibanding kadar zink ASI sebelum intervensi dalam penelitian ini adalah studi Dorea. J.G (2002) yaitu 1 mg/L pada ibu di Amerika dengan umur penyusuan 6 bulan, studi Krebs. N (1998) yaitu 1 mg/L pada ibu menyusui di Amerika dengan umur penyusuan 2 – 3 bulan, studi Pambudi. J, et al (1999) pada ibu menyusui di Kabupaten Bogor dan Sukabumi yaitu 0,91 – 1,07 µg/ml, dan studi Casey et al (1989) dalam ACC/SCN (1991) yaitu 1 – 1,5 mg/L dengan umur penyusuan 3 bulan. Sebaliknya studi yang menunjukkan kadar zink ASI yang lebih tinggi dibanding kadar zink ASI dalam penelitian ini adalah studi Awadi Al (2000) di Kuwait yang mendapati kadar zink ASI pada ibu dengan umur penyusuan 0 – 6 bulan adalah 3,2 ± 0,12 mg/L, studi Walraven, et al (2002) dan Krebs (2002) yaitu kadar zink ASI 2 - 3 mg pada umur penyusuan 2-3 bulan. Dari beberapa studi ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kadar zink ASI pada ibu menyusui.

Kadar zink ASI pada saat melahirkan tinggi dan semakin menurun dengan bertambahnya umur penyusuan (Lonnerdal, 2003). Adanya suplementasi zink dapat memberikan pengaruh yang bervariasi. Dalam penelitian ini fortifikasi zink pada mie instan selama 4 bulan meningkatkan kadar zink ASI. Krebs et al (1985) dalam ACC/SCN (1991) juga menemukan bahwa suplementasi zink 13 mg/hari berpengaruh terhadap kadar zink ASI setelah 6 bulan. Karra et al (1989) dalam ACC/SCN (1991) juga mengemukakan adanya pengaruh suplementasi Zn 50 mg/hari terhadap zink ASI setelah 34 hari. Kenaikan kadar zink ASI setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 14.

(36)

73.97 90.09 82.3 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 kenaikan kadar Zn ASI (%)

perlakuan kontrol total

perlakuan kontrol total

Gambar 14. Kenaikan Kadar Zink ASI Ibu Setelah Intervensi (%)

Dari Gambar 14 terlihat bahwa kenaikan kadar zink ASI lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Kenaikan kadar zink ASI yang lebih tinggi pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan disebabkan lebih baiknya konsumsi pangan sumber protein dan sumber zink pada ibu kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan (Tabel 46 dan 48). Pada kelompok kontrol konsumsi zink yang berasal dari pangan diluar mie instan pada awal intervensi adalah 6,1 ± 1,4 mg/hari (42 % AKG) sedangkan kelompok perlakuan 4,8 ± 1,6 mg/hari (34% AKG); pada akhir intervensi konsumsi zink pangan pada kelompok kontrol adalah 6,7 ± 2,0 mg/hari (48% AKG) dan kelompok perlakuan 6,5 ± 1,4 mg/hari (45% AKG). Selain konsumsi zink pangan yang lebih tinggi pada kelompok kontrol, konsumsi pitat yang menghambat absorpsi zink juga lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol sehingga jumlah zink terabsorpsi yang berasal dari pangan diluar mie instan lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Zink terabsorpsi awal intervensi pada kelompok kontrol adalah 2,08 mg dan akhir intervensi 2,86 mg; sedangkan pada kelompok perlakuan awal intervensi 1,58 mg dan akhir intervensi 2,25 mg (Tabel 47). Konsumsi pitat yang menghambat absorpsi zink berasal dari biji-bijian, kacang-kacangan dan serealia.

(37)

Bentuk kimia senyawa zink dalam mie instan adalah zink oksida yang bersifat tidak larut dalam air sehingga bioavailabilitas dan absorpsinya rendah. Adanya fortifikasi zink dengan senyawa zink oksida pada mie instan mengakibatkan absorpsi zink pada kelompok perlakuan relatif rendah. Disamping itu intik zink yang berasal dari pangan diluar mie instan lebih besar pada kelompok kontrol sehingga kadar zink ASI lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada zink ASI kelompok perlakuan.

Zink dilepaskan dari makanan sebagai ion bebas pada proses pencernaan dan diangkut ke membran basolateral enterocyt menuju sirkulasi darah portal. Sistem portal ini membawa zink yang diabsorpsi ke hati dan dari hati dibagi ke berbagai jaringan. Pengangkut utama zink dalam plasma adalah albumin dan α2 macroglobulin sehingga protein sangat mempengaruhi transport zink. Mekanisme pengaturan kadar zink dalam ASI yaitu zink yang berasal dari serum ibu akan dibawa ke kelenjar payudara untuk selanjutnya disintesis bersama dengan pembentukan air susu ibu. Sekresi zink dalam ASI sangat kompleks dan berhubungan dengan protein susu tertentu. Transporter ZnT-4 di kelenjar payudara berhubungan dengan sekresi zink ke ASI. Adaptasi ibu terhadap kebutuhan zink yang tinggi selama laktasi yaitu pada saat keluarnya zink endogenus dari usus dan ginjal, mobilisasi dan redistribusi dari pool zink tubuh mempengaruhi kadar zink dalam ASI. Intik kalsium pangan yang umumnya rendah di negara berkembang juga dapat mempengaruhi ketersediaan zink untuk disekresi dalam ASI. Zink di uptake oleh kelenjar payudara melalui ZTL1, Z1P1 dan Z1P4, sedangkan pengiriman ke ASI diatur oleh ZnT2 dan ZnT4 (Domeklof, 2004). Rendahnya kadar zink dalam ASI juga dapat disebabkan gangguan dalam transfer zink dari serum ibu ke payudara karena terganggunya pengangkut zink. Pada keadaan defisiensi zink berat terjadi mutasi dalam ZnT-4 yang dihasilkan kelenjar payudara. Mutasi ZnT-4 dapat mengakibatkan kadar zink ASI menjadi rendah (Krebs et al, 1994).

Sejumlah studi cross sectional dan longitudinal menunjukkan tidak konsistennya korelasi antara intik zink pangan ibu dengan kadar zink ASI. Pemberian zink suplemen pada ibu di Peru setiap hari selama hamil dan minggu pertama laktasi menunjukkan tidak ada pengaruhnya terhadap zink kolostrum atau zink pada ASI 1 bulan atau ASI 3 bulan. Sementara hasil studi di Honduras dan

(38)

Swedia pada ibu menyusui menunjukkan bahwa perbedaan kadar zink ASI lebih disebabkan oleh perbedaan volume ASI daripada perbedaan zink plasma ibu (Domeklof, 2004). Selain itu pengamatan kadar zink ASI dan status zink ibu pada ibu gizi kurang dengan ibu gizi baik mengemukakan tidak ada perbedaan signifikan kadar zink ASI antara ibu gizi kurang dengan ibu gizi baik (Krebs N, 1998). Dalam penelitian ini juga terlihat tidak ada pengaruh mie instan fortifikasi terhadap kadar zink ASI dimana setelah intervensi peningkatan kadar zink terbesar terdapat pada kelompok kontrol yaitu 2,09 ± 3,24 mg/l, sedangkan pada kelompok perlakuan hanya 1,62 ± 2,87 mg/l. Berdasarkan konsumsi zink pangan, zink terabsorpsi, konsumsi protein yang lebih tinggi pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan, dan bentuk kimia senyawa zink dalam mie instan maka jelas mengapa kadar zink ASI pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok perlakuan.

5.2. Kadar Besi ASI

ASI adalah sumber utama zat gizi pada bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan sehingga kadar zat gizi dalam ASI secara nyata berpengaruh. Perubahan komposisi zat gizi ASI terjadi pada minggu pertama. Kolostrum adalah cairan yang disekresi kelenjar payudara segera setelah lahir. Setelah periode kolostrum yaitu 4 –7 hari kadar lemak dan laktosa meningkat sedangkan kadar protein dan mineral menurun. Kadar besi dalam ASI tinggi saat lahir. Kadar besi dalam ASI matang adalah 0,2 – 0,9 mg/L (ACC/SCN, 1991). Kadar besi ASI disajikan pada Tabel 45.

Tabel 45. Kadar Besi ASI pada Ibu Menyusui (mg/L) Waktu

Pengamatan

Perlakuan (n =27) Kontrol (n =29) Total (n = 56) Sig Sebelum 3,95 ± 2,55 5,82 ± 2,96 4,92 ± 2,90 0,20 Setelah 6,76 ± 4,25 6,57 ± 6,21 6,66 ± 5,31 0,02*

Selisih 2,81 ± 4,39 0,75 ± 7,19 1,74 ± 6,04 0,71

(39)

Dari Tabel 45 terlihat bahwa kadar besi ASI pada awal intervensi berada pada kisaran 3,95 ± 2,55 mg/L sampai dengan 5,82 ± 2,96 mg/L dengan rata-rata 4,92 ± 2,90 mg/L. Kadar besi ASI dalam penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan rata-rata besi ASI yang dikemukakan Committee on Nutrition (1985) yaitu 0,3 ± 0,1 mg/l dan yang dinyatakan oleh Suharyono (1990) yaitu 0,1 – 1,6 µg/ml.

Studi Awadi Al (2000) pada ibu menyusui di Kuwait dengan umur penyusuan 0 – 6 bulan juga menunjukkan kadar besi ASI dalam penelitian ini lebih tinggi daripada kadar besi ASI di Kuwait yaitu 0,43 ± 0,04 mg/l. Pengamatan kadar besi ASI dengan status besi kurang dan status besi normal memberikan hasil yang berbeda. Pada ibu di Nigeria dengan status besi defisien, dan status besi normal atau lebih (Hb > 12 gr/dl) tidak ada perbedaan kadar besi ASI. Studi pada ibu di Peru juga menunjukkan kadar besi dan laktoferin dalam kolostrum yang sama antara ibu yang anemia dengan ibu yang tidak anemia yang berarti kadar besi ASI tidak berhubungan dengan status besi ibu.

Lonnerdal (2003) juga mengemukakan status besi ibu yang dinilai dengan Hb, feritin, dan transferin tidak berhubungan kadar besi ASI pada ibu menyusui di Swiss. Selain itu tidak adanya hubungan kadar besi ASI dengan konsumsi besi pangan ini juga diamati oleh Villalpando et al (2003) yang menunjukkan konsumsi besi pangan kurang dari 11 mg/hari mempunyai kadar besi ASI 6,8 µmol/L, sedangkan konsumsi besi pangan 14-18 mg/hari mempunyai kadar besi ASI 6,8 - 8,5 µmol/L, dan konsumsi besi pangan lebih dari 19 mg/hari mempunyai kadar besi ASI 6,5 µmol/L. Hasil studi di Honduras dan Swedia pada ibu menyusui menunjukkan bahwa perbedaan kadar besi ASI lebih disebabkan oleh perbedaan volume ASI daripada perbedaan status besi ASI (Domeklof, 2004). Studi di India menunjukkan adanya dampak positif defisiensi besi terhadap kadar besi ASI. Pada ibu yang anemia berat secara nyata mempunyai kadar besi ASI lebih tinggi daripada ibu yang tidak anemia dimana konsentrasi laktoferin (protein pengikat besi) dalam ASI juga lebih tinggi pada ibu yang anemia (Lonnerdal, 2003).

Hal sebaliknya ditemukan pada ibu defisiensi folat berat yang ditandai dengan anemia megaloblastik menunjukkan kadar folat ASI yang rendah dibanding ibu dengan gizi baik (Villalpando et al, 2003). Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam Lonnerdal (2000) yaitu adanya suplementasi Fe 100 mg/hari pada ibu

Gambar

Tabel 32. Sebaran Ibu menurut Kadar HB Darah (g/dl)
Gambar  9.  Kenaikan  Feritin  Darah  Ibu  Setelah Intervensi (%)
Tabel  34.  Skor Morbiditas Ibu menurut Kelompok
Gambar 10. Penurunan Skor Morbiditas Ibu setelah Intervensi (%) 56.251.9853.69495051525354555657penurunan morbiditas (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Latihan ROM Terhadap Derajat Rentang Gerak Sendi Pasien Stroke Di Ruang Rawat Inap RSUD

Dehidrasi merupakan metode yang digunakan untuk mengeluarkan seluruh cairan yang terdapat dalam jaringan setelah dilakukan proses fiksasi sehingga nantinya dapat diisi dengan

Dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif, karena penulis akan menjelaskan dan menggambarkan objek yang akan diteliti berupa masalah-masalah yang timbul di

Namun demikian pengertian terbaru mengenai Usaha Kecil menurut Undang- Undang Nomor 20 tahun 2008 adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

STUDI KOMPARASI HASIL BELAJAR AL- QUR'AN HADITS ANTARA SISWA YANG BELAJAR DI TAMAN PENDIDIKAN AL QUR'AN (TPQ) DAN SISWA YANG TIDAK BELAJAR DI TAMAN PENDIDIKAN AL QUR'AN (TPQ) DI

160421115150 AULIA RIZKI Nanggroe Aceh Darussalam UIN SUNAN GUNUNG DJATI TASAWUF PSIKOTERAPI Ruhul Islam Anak Bangsa Jalan Pintu Air Gue Gajah RUHUL ISLAM ANAK BANGSA 160418342464

Pada penelitian ini triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, yaitu dengan mengecek kredibilitas data melalui metode wawancara ke beberapa informan

Disain ini diharapkan akan memberikan distribusi panas yang seragam kepada sampel selama proses HMT sehingga pengaruh kondisi proses (suhu, waktu dan kadar air)