Bab III Dinamika Interaksi Stakeholders dalam
A. Konteks Historis Kebijakan RTRW Kota Makassar
Kota Makassar dalam perjalanan pembangunan wilayahnya telah lama memiliki rencana induk kota (master plan). Keberadaan
master plan ini mulai disusun pada masa kepemimpinan Wali-
kota H.M. Daeng Patompo. Pada awalnya, master plan tersebut dirintis sebagai instrumen arahan dalam menjalankan program pengembangan kota yang dinamakannya memakai “sistem mar tabak” atau “makin dibanting makin melebar”. Pada masa ini terjadi perluasan wilayah admnistratif kota akibat peme karan, dari 21 Km2 menjadi 175 Km2, -sejak saat ini pula
Makassar berganti nama menjadi Ujung Pandang - suatu situasi
BAB III
DINAMIKA INTERAKSI STAKEHOLDERS
DALAM FORMULASI KEBIJAKAN RTRW
yang membuat HM. Daeng Patompo merasa perlu membenahi orientasi pembangunan kota dengan mengedepankan kaidah planologis yang memadai.
Dengan dasar pengalaman dari kunjungan pada berbagai kota-kota besar di dunia untuk benchmarking, maka H.M. Daeng Patompo kemudian semakin mengintensifkan kegiatan seminar perkotaan dengan menghadirkan berbagai ahli untuk merencanakan penataan kota. Mr. Anderson, merupakan salah satu ahli perkotaan dari Amerika Serikat yang menjadi tamu, kemudian ditugaskan membuat rencana pengembangan wilayah dengan memobilisasi sumber daya untuk pembangunan “Kota 5 Dimensi” (Kota Dagang, Kota Budaya, Kota Industri, Kota Akademi, Kota Pariwisata). Setelah beberapa lama tinggal di Ujung Pandang, dengan mengamati peta udara dan meneliti semua literatur perkotaan peninggalan Belanda, maka akhirnya Mr. Anderson berhasil menyusun hasil studi perkotaan berupa
out-line plan untuk pembuatan Rencana Induk Kota (RIK)
Kotamadya Ujung Pandang. Ahli perkotaan ini kemudian mengkongkritkan dukungannya untuk pengembangan kota madya Ujung Pandang menjadi kota metropolitan.
Rumusan hasil studi ini kemudian ditindak lanjuti dengan bergabungnya Tim Unhas dan Tim ITB pada tahun 1967 dalam rangka meletakkan rencana dasar bagi terwujudnya master plan
pembangunan kota. Bantuan lain juga datang dari Pangdam III untuk foto udara dengan skala yang lebih jelas serta bantuan teknis dari Menteri PUTL Ir. Sutami melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya. Hasil studi ahli perkotaan dari AS, rencana dasar dari Tim Unhas dan ITB serta bantuan dan bimbingan teknis dari Menteri PUTL dan PU Cipta Karya pada tahun 1972 menjadi proses penting yang mengantar lahirnya master plan
pembangunan Kotamadya Ujung Pandang.
Untuk mendukung pelaksanaan masterplan tersebut secara hukum, maka lahirlah Perda No. 2 Tahun1971 Tentang
Perancanaan Fisik, Sosial, Ekonomi Kota Secara Terkoordinasi Serta Penyesuaian Berbagai Penggunaan Tanah (zoning). Perda tersebut memuat perencanaan secara lengkap dan menyeluruh berkaitan dengan tata ruang perkotaan. Selanjutnya Kotamadya Ujung Pandang di bagi kedalam 5 kawasan, masing-masing:
1. Kawasan kota lama sebagai kawasan perdagangan
2. Kawasan Panakukkang sebagai kawasan perkantoran dan pemukiman (Panakukkang Garden City)
3. Kawasan Biringkanaya Timur sebagai kawasan pendidikan 4. Kawasan Biringkanaya Utara sebagai kawasan industri 5. Kawasan Mariso (Selatan Kota) dan pulau-pulau disekitar
Selat Makassar sebagai kawasan pariwisata.
Penetapan zonasi wilayah tersebut dilakukan dengan mengalihkan pembangunan ke wilayah/kawasan baru. Pem- bagian fungsi kawasan juga mentikberatkan keserasian pem ba- ngunan kota dengan wilayah pengaruh (hinterland) di sekitar- nya, demikian pula dalam rangka pengendalian program pembangunan sektoral dan daerah. Pada titik inilah tapak spasial untuk pembangunan kota mulai terbentuk.
Pelaksanaan program pembangunan kota dengan kaidah- kaidah planologis yang memadai, menjadikan Ujung Pan- dang dimasa era-bakti HM. Daeng Patompo mulai menjadi
larger primate city (kota utama yang besar) di Kawasan Timur
Indonesia. Persoalan menjadi lain ketika era-bakti HM. Daeng Patompo sebagai Walikota selama 13 tahun (1965-1978) telah berakhir, penerus pertama beliau adalah Walikota Abustam mulai mengutak-atik rencana struktur tata ruang kota yang diwariskan oleh HM. Daeng Patompo.
Pada masa kepemimpinan Walikota Abustam, “Kota 5 Dimensi” mulai digeser dengan menerapkan model pemba- ngunan lain yaitu pengembangan model tradisonal yang akan membentuk wajah kota yang menurut wajah Indonesia di Ujung Pandang dengan berpijak pada nilai-nilai luhur kebudayaan.
Secara anatomis, model ini menetapkan 3 lini atas bagian-bagian kota, yaitu:
1. Bagian inti kota secara keseluruhan 2. Bagian kota lama dan pinggiran 3. Bagian kota baru
Pembangunan metropolis dilakukan dibagian inti kota sementara kawasan pinggiran dialternatifkan untuk pengem- bangan tradisional. Pembangunan modern dijauhkan dari kawasan pinggiran, terutama kawasan hasiil perluasan kota tahun 1971, sebab dianggap memerosotkan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Suatu pilihan kebijakan tata ruang yang mem- buka jalan untuk disparitas wilayah.
Pada kondisi semakin semrawutnya penataan kota dan tudingan bahwa Kotamadya Ujung Pandang tidak memiliki
master plan, maka pada sekitar tahun 1983 (5 tahun setelah
meninggalkan Balai Kota), H.M. Daeng Patompo kemudian mengajukan surat yang bernada “gugatan” kepada DPRD dan Pemerintah Kota yang bertujuan mengklarifikasi keberadaan
master plan di masa kepemimpinannya. H.M. Daeng Patompo
kemudian menggugat bahwa dengan tidak dimanfaatkannya
master plan oleh walikota yang menggantikannya merupakan
suatu tindakan “tindakan kriminal”.
Babak baru dalam episode kebijakan tata ruang Kota Ujung Pandang dimulai lagi pada tahun 1984, dengan dibuatnya Rencana Induk Kota (RIK) yang disusun berdasarkan Permendagri No. 4 Tahun 1980 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Pada tahun 1987 istilah RIK diganti dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RURTK) berdasarkan Permendagri No. 2 Tahun 1986 yang merupakan penyesuaian aturan sebelumnya dan RURTK ini kemudian disahkan menjadi Perda No. 2 Tahun 1987 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota tahun 2004. Dengan terbitnya UU. No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, maka RUTRK kemudian berganti nama menjadi RURTW Kabupaten/Kota.
Perda ini kemudian menjadi acuan pengembangn tata ruang pada masa kepemimpinan Walikota Jancy Raib, Suwahyo, Malik B. Masry, HB. Amiruddin Maula bahkan hingga kini oleh Walikota Ilham Arief Sirajuddin. Meskipun secara normatif menjadi acuan tetapi tingkat pelaksanaanya sebagai pedoman untuk aktivitas pembangunan ekonomi kota masih dipertanyakan. Kebijakan RURTW ini dianggap bersifat abstrak dan makro, sehingga pada masa kepemimpinan Walikota Malik B. Masry dibuatkan perencanaan turunan yang lebih detail, yaitu dengan keluarnya SK. No. 6223 Tahun 1997 Tentang Peruntukan Tanah Dan Penataan Bangunan Pada Masing-Masing Bagian Wilayah Kota (BWK) Di Daerah Tingkat II Ujung Pandang, tetapi belakangan aturan detail inipun dianggap oleh Walikota penerusnya, yaitu HB. Amiruddin Maula dan Ilham Arief Sirajuddin, membuat pemerintah dalam posisi dilematis, antara keinginan untuk mengedapankan aspek line use dengan tuntuan masyarakat yang cenderung pragmatis apalagi jika sebelumnya memang telah terjadi pelanggaran akibat toleransi yang bertumpu pada adanya praktek kolusi dengan oknum-oknum aparat.
RUTRW/RIK kota Makassar yang mempunyai dimensi waktu yang keberlakuan selama 20 tahun (1984-2004) telah mengalami tahap peninjauan atau review sebanyak 2 kali, yaitu pada tahun 1992 dan tahun 1998. Hasil review tahun 1992 menyimpulkan bahwa selama 5 tahun pertama operasionalisasi RUTRW (1987-1992) terjadi deviasi ±40 %, sehingga RUTRW masih dapat dilanjutkan. Hasil review II tahun 1998 menyimpulkan bahwa setlah 5 tahun kedua operasionalisasi dijumpai diviasi perencanaan dilapangan ±50 % sehingga dianggap perlu melakukan revisi.
Berdasarkan review tahun 1998 maka pada Tahun Anggaran 1999/2000 pemerintah kota memprioritaskan revisi RUTRW Kota Makassar dengan dimensi waktu selama 10 tahun (1999/2000 – 2009/2010). Meskipun telah direvisi namun hasil
rancangan revisi ini tidak disahkan kedalam Perda sehingga status hukumnya tidak jelas, terlebih lagi materi revisi juga tidak jelas atau berwujud peta-peta spasial yang sulit dijabarkan secara operasional dilapangan. Dengan tidak disahkan revisi Perda No. 2 tahun 1987, maka arahan pemanfaatan ruang praktis hanya berdasarkan pada SK Walikotamadya No. 6223 Tahun 1997 yang merupakan perencanaan turunan RUTRW sebelumnya.
Perubahan yang lahir dari peristiwa reformasi politik membawa dampak pada kontelasi pembangunan kota. Sebagai wujud desentralisasi pemerintahan daerah dalam mengatur
local resources yang tersedia, maka kewenangan penataan ruang
perkotaan telah dilimpahkan kepada otoritas pemerintah kota, berdasarkan prinsip-prinsip good urban governance. Segala norma dan aturan hukum yang bertentangan dengan semangat otonomi daerah tidak lagi menjadi acuan dalam formulasi kebijakan publik.
Berkaitan dengan hal tersebut, penyusunan kembali ren- cana tata ruang Kota Makassar juga dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk mensinergikan kembali semua arahan-arahan perencanaan kota ke dalam satu sinegisitas baru yang disebut Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar Tahun 2005- 2015. Secara garis besar rencana tata ruang tersebut tetap akan menjadikan rujukan perencanaan diatasnya seperti Rencana Tata Ruang Pulau Sulawesi, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan 1999-2014, dan Rencana Tata Ruang Metropolitan Mamminasata sebagai referensi dalam penyusunan rencana tata ruang, dimana kemudian ide dasar dari perencanaan tersebut akan menjadi ide awal bagi perencanaan tata ruang Kota Makassar.
Perencanaan tata ruang Kota Makassar secara filosofi akan dikembangkan menurut dasar perencanaan tata ruang yang sebenarnya dengan konsentrasi perencanaannya akan mengacu pada pencapaian visi Kota Makassar, yaitu bagaimana
menjadikan Kota Makassar tumbuh dan berkembang sebagai
“Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa”.
Adapun latar belakang dilakukannya penyusunan rencana tata ruang ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
• Dari sejumlah produk tata ruang yang telah dibuat selama ini, hanya produk RUTRK tahun 1984 yang memiliki legali sasi hukum yang sah yang di”Perda”kan pada tahun 1987. Untuk itu, selama belum ada peraturan daerah yang merevisi Perda tersebut sejauh itu pula RUTRK 1984 tetap menjadi bahan rujukan perencanaan yang sah. Sebagai- mana terlihat dari arahan penggunaan lahan tahun 1984 dan tingkat realisasinya pada tahun 1989.
• Secara Produk, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar yang terakhir adalah RUTR Kota Makassar tahun 2001. Dari hasil evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa telah terjadi deviasi diatas 60% dari kondisi Das Sein dan
Das Sollen.
• Bertambah beratnya masalah-masalah kota yang semakin kronis dan tidak terkendali diantaranya:
• Pertumbuhan dan Perkembangan Ruko & Rukan yang tumbuh semakin agresif;
• Pertumbuhan Kawasan Kumuh • Kemacetan Lalu Lintas
• Intensitas “gejolak sosial” (social turbulance) yang cukup tinggi di Makassar dengan “sensitifitas” masyarakat yang sangat “reaktif” adalah suatu gejala nyata tentang kondisi ruang kota yang semakin tidak manusiawi.
• Adanya pengembangan kota-kota baru baik yang terencana (Tanjung Bunga & Panakukang Mas) maupun yang tum- buh secara alamiah (Daya, Tamalanrea & Manggala) akan merubah pola dan struktur pemanfaatan ruang Kota Makassar.
“metropolitan” ditandai dengan kepadatan penduduk sudah diatas 1 (satu) juta jiwa menciptakan “komunitas metropolitan” yang menuntut kebutuhan ruang kota dengan dimensi global.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar Tahun 2005 – 2015 merupakan produk ”baru” dari rencana tata ruang Kota Makassar. Menjadi sesuatu yang ”baru” karena didalamnya berisi uraian-uraian perencanaan yang mengkoreksi dan merevisi hasil produk RUTRK Makassar tahun 2001 yang memiliki tingkat deviasi lebih dari 60 persen dari keadaan di lapangan.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar Tahun 2005 –2015 kemudian dilegalisasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) No. 6 tahun 2006 Tentang RTRW Kota Makassar, dengan mengedepankan arti dan nilai-nilai ”esensial” dari nilai- nilai keunikan dan keunggulan lokal dalam nilai perencanaannya. Dalam Perda No. 6 tahun 2006 Tentang RTRW Kota Makassar 2005-2015 ini, kebijakan pengembangan penataan ruang Kota diarahkan untuk :
1. Memantapkan fungsi Kota Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga, Pendidikan, Budaya dan Jasa berskala Nasional dan Internasional;
2. Memprioritaskan arah pengembangan kota ke arah koridor Timur, Selatan, Utara, dan membatasi pengembangan ke arah Barat agar tercapai keseimbangan ekosistem;
3. Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam penataan ruang dengan mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
4. Mengembangkan sistem prasarana dan sarana kota yang berintegrasi dengan sistem regional, nasional dan inter- nasional;
Arahan kebijakan penataan ruang di Kota Makassar pasca diterbitkannya Perda No. 6 Tahun 2006 tentang RTRW Kota Makassar Tahun 2005–2015, mengalami persoalan dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Persoalan itu terlihat pada pertentangan isi (content) Perda No. 6 Tahun 2006 dengan UU No. 26 tahun 2007 pada 2 (dua) hal, yakni satu, pada dimensi waktu rencana, yang menurut UU No. 26 tahun 2007 berjangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan
kedua, ketentuan penyediaan ruang terbuka hijau yang minimal
berjumlah 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, dengan proporsi minimal 20 (dua puluh) persen ruang terbuka hijau publik.
Pada titik inilah maka revisi atau perubahan kebijakan RTRW Kota Makassar Tahun 2005-2015 merupakan keniscayaan. Langkah untuk mengadaptasi ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pun di mulai, seperti penjelasan dari informan :
“berdasarkan ketentuan UU (UU. No. 26/2007) maka sejak tahun 2009, pemerintah Kota Makassar memulai melakukan langkah untuk perubahan Perda RTRW. Duku ngan anggaran dan masukan stakeholders menjadi penyemangat di masa-masa awal peninjauan ulang (review) Perda RTRW (Perda No. 6 tahun 2006)”
(Hasil Wawancara, MT, Kepala Bidang Fisik & Prasarana BAPPEDA Kota Makassar, 11 Nov. 2012)
Berdasarkan informasi tersebut, maka komitmen pemerintah kota untuk mengadaptasi ketentuan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang cukup tinggi. Kondisi tersebut membawa dampak bahwa sejak tahun 2009, arahan perencanaan tata ruang kota Makassar berada pada situasi transisi. Dalam ketiadaan pedoman yang menjadi arahan pemanfaatan ruang kota, justru pembangunan pusat-pusat perekonomian kota berlangsung pesat.