• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kondisi Internal dan Eksternal

Dalam dokumen Dinamika Tata Pemerintahan Daerah Dalam (Halaman 85-95)

Bab III Dinamika Interaksi Stakeholders dalam

C. Pengaruh Kondisi Internal dan Eksternal

Proses-proses aktivitas manajemen kebijakan publik tidak- lah berlangsung di ruang yang hampa. Sangat besar pengaruh variabel lingkungan (policy environment) dalam aksentuasi atas lahirnya suatu produk kebijakan publik. Pada ranah praktis, pengaruh lingkungan eksternal dan internal dapat dianalisa baik oleh terhadap perilaku aktor institusional maupun perilaku aktor individual dalam delivery suatu kebijakan. Hal ini disebabkan teru tama karena pengaruh demokratisasi eksternal dan desen- tra lisasi internal dari kekuasaan pemerintah dan swasta yang masihcukup dominan, sehingga upaya-upaya konsolidasi inter- nal, khususnya dalam proses formulasi kebijakan, tidak selalu menyelesaikan semua masalah.

Dalam konteks pengesahan Ranperda RTRW Kota Makas- sar 2015-2034 terdapat beberapa variabel internal dan eksternal yang turut berperan penting dan menjadi pemicu dinamika relasional yang berujung situasi deadlock (buntu) atas perjalanan

proses formulasi kebijakan ini.

1. Kondisi Internal

Kondisi internal merupakan penggambaran atas kondisi- kondisi dasar yang diciptakan suatu institusi, yang memung- kinkan suatu sistem dan sumberdaya organisasi dapat bekerja dengan baik, dalam rangka pencapaian tujuan. Dinamika yang terjadi dalam interaksi pemerintah kota dan DPRD kota serta masing-masing koalisi pendukungnya setidaknya dipengaruhi oleh latar belakang kondisi-kondisi internal institusi yang mengakibatkan penggerakan sistem dan sumber daya yang ada. Beberapa kondisi yang bersifat internal dan dianggap memiliki pengaruh terhadap intensitas konflik gagasan dan kepentingan dalam formulasi kebijakan RTRW Kota Makassar 2015-2034, antara lain :

a. Kuasa Teknokrat dalam Perencanaan Partisipatif

Salah satu pilar good governance yang essensial untuk dicapai dalam aktivitas perencanaan adalah partisipasi. Tuntutan agar masyarakat menjadi subyek yang aktif dalam perencanaan

(planning by, not planning for) dan mitra atau partner pemerintah

dalam penataan ruang merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-undang. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 65 ayat 1 disebutkan bahwa penyelenggaraan penata an ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. Salah satunya adalah partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang (psl 65 ayat 2 huruf a).

Proses perencanaan tata ruang berbasis partisipasi tersebut harus dapat didesain sedemikian rupa agar dapat menjamin akses publik pada arena pengambilan keputusan sebagai wujud demokratisasi perencanaan. Pendekatan partisipatif diharapkan menjadi metode yang membuat penerimaan produk rencana tata ruang bisa semakin besar sehingga benar-benar akan menjadi pedoman bagi semua stakeholders dalam memanfaatkan ruang.

Partisipasi dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain perspektif sosial, politik, dan kewargaan. Partisipasi merupakan keikutsertaan dalam proses formulasi dan pengesahan kebijakan pemerintah yang dilakukan secara legal oleh warga perorangan atau kelompok warga yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan untuk mempengaruhi pilihan pejabat pemerintah dan/atau tindakan mereka. Selama ini pendekatan birokratis- administratif cenderung mendominasi kebijakan dan praktik pembangunan di daerah. Pendekatan ini bersifat kaku dan terjebak dalam rutinitas sehingga gagal menjawab persoalan. Pendekatan partisipatif, yang mengandung dimensi deliberasi

dan engagement, penting dikedepankan agar kebijakan,

perencanaan benar-benar efektif menyelesaikan persoalan publik.

Pendekatan teknokrasi dalam perencanaan tidak sesuai lagi spirit zaman. Teknokrasi (kekuasaan atau pemerintahan yang didasarkan pada ilmu atau keahlian) selama ini mengandung beberapa masalah. Dalam perencanaan teknokratis, yang diutamakan adalah pertimbangan teknis dan keilmuan dari pemerintah dalam membangun fondasi argumentatif strategi pembangunan. Model ini biasanya berafiliasi dengan pola top- down, di mana pemerintah berwenang mengatur masyarakat dan pemerintahan di bawahnya dengan pertimbangan dari pemerintah itu sendiri.

Di masa lalu, kombinasi kekuasaan yang otokratis dan tekno kratis sangat menonjol selalu mengabaikan dimensi parti- si pasi masyarakat. Kekuasaan yang otokratis dengan cepat dan mudah memerintahkan kepada para ahli untuk menyusun

master plan berbagai proyek besar, tanpa harus memperhatikan

dampak sosial. Tidak perlu pula ada pembicaraan dengan masyarakat yang bakal terkena risiko pembangunan. Ada banyak pengalaman menunjukkan bahwa proyek-proyek tekno- kratis cenderung menimbulkan konflik dan gugatan masya-

rakat, sebagaimana terjadi pada kasus pembangunan Waduk Kedungombo.

Dalam konteks penyusunan Ranperda RTRW Kota Makas- sar 2015-2034 pendekatan teknokrasi kembali di lakukan oleh Tim Penyusun Eksekutif. Pola penyusunan draft (rancangan) rencana dilakukan dengan memanfaatkan kompetensi Konsultan Perencana yang dibantu oleh kuasa para ahli (pakar) yang selama ini memiliki akses terhadap kekuasaan. Kolaborasi antara Tim Teknis yang di pimpin BAPPEDA, Tim Ahli Pemerintah Kota dan Konsultan Perencana Profesional menjadi pihak yang paling dominan dalam upaya penyusunan rencana.

Praktek perencanaan yang meniscayakan hadirnya parti- sipasi masyarakat di reduksi dalam bentuk forum-forum semi- nar formal yang untuk sosialisasi draft (rancangan) rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Menurut informan dari BAPPEDA Kota Makassar:

“Kalau pendekatan perencanaan yang dipakai sebenarnya lebih mengacu pada pedoman yang ada pada Permen PU (No. 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota) tahapan-tahapannya. Tahapannya : survei - analisis-rencana (setelah diajukan oleh konsultan) meliputi; pembuatan draft, laporan

pendahuluan, laporan antara hingga laporan final”.

(Hasil Wawancara, MMT, Kepala Bidang Fisik & Prasarana BAPPEDA Kota Makassar, 11 November 2012)

Dengan keberadaan pedoman penyusunan rencana tata ruang dalam bentuk Peraturan Menteri PU No.17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, maka tahapan-tahapan dan model pendekatan yang diguna kan hanya merupakan penjabaran dari peraturan ter- sebut. Ketika disampaikan tentang pendekatan (perencanaan) lain, maka tanggapan informan:

“Kalau pendekatan atau model advocacy planning saya kira belum bisa (diterapkan), kendalanya akan memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Bayangkan kalau semua aspirasi dari seluruh wilayah harus ditampung hingga ke tahapan detail dan teknis sementara wawasan, pengalaman dan tingkat pendidikan masyarakat masih

terbatas”

(Hasil Wawancara, MMT, Kepala Bidang Fisik & Prasarana BAPPEDA Kota Makassar, 11 Nov. 2012)

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pen de katan teknokrasi yang melalui prosedur konvensional masih menjadi pilihan di era demokratisasi sekarang ini. Kola- borasi kekuasaan dan keahlian yang masing-masing diwakili oleh institusi BAPPEDA bersama jajaran staf ahli dan Konsul- tan Perencana menjadi kelompok otoritas kompeten dalam menyusun draft rencana. Terlihat betul bahwa kuasa keahlian (teknis) yang dimiliki konsultan masih alat kuasa yang mengarahkan proses penyusunan rencana. Pendekatan advocacy

planning, dengan berbagai model praktis partispatifnya, layak

untuk dikedepankan sebab aspirasi lokalitas mendapat ruang untuk diwadahi.

b. Rendahnya Kapasitas Legislasi DPRD Kota Makassar

Berakhirnya sentralisme kekuasaan menjadi “berkah” se- kaligus tantangan bagi daerah. Di satu sisi, memungkinkan munculnya prakarsa, aspirasi, serta inisiatif pemerintah dan masyarakat daerah untuk mengelola dan kemajemukan daerah- nya masing-masing. Di sisi lain, implementasi otonomi sering- kali memunculkan beragam masalah. Terbitnya perda-perda “bermasalah”, tuntutan pemekaran wilayah yang tak terkendali, atau menguatnya fanatisme daerah adalah sejumlah kasus yang mengemuka akhir-akhir ini. Kuat sekali kesan bahwa daerah seakan “kebablasan” dalam memaknai kewenangan yang dimilikinya.

Tentu meletakkan generalisasi di sini juga tidak tepat, sebab di banyak tempat, otonomi terlaksana secara wajar. Itulah sebabnya pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana kesiapan daerah untuk memaknai otonomi. Di titik inilah kapasitas unsur pemerintahan daerah, termasuk DPRD menjadi vital. Mengingat fungsi DPRD sebagai pengetok palu terakhir dalam pembuatan peraturan daerah. Lembaga ini punya peran besar dalam menentukan kearah otonomi dilaksanakan di daerahnya.

Peran dan fungsi DPRD sangat penting dalam mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan publik yang partisipatif, demo- kratis, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Dengan demikian, anggota DPRD kota dituntut memiliki kapasitas yang kuat dalam memahami isu-isu demokratisasi, kemampuan teknik legislasi, budgeting, politik lokal, dan pemasaran politik.

Terkait dengan “kegagalan” pengesahan terhadap Ran- perda RTRW Kota Makassar 2015-2034 pada tahun 2012, maka kapasitas legislasi DPRD Kota Makassar layak di eksplorasi lebih jauh. Bagaimana sebenarnya kinerja institusi DPRD ini dalam menghasilkan produk Perarutan Daerah yang menjadi salah satu fungsi pokoknya. Menurut infromasi dari Ketua Badan Legislatif DPRD Kota Makassar :

“dari sembilan ranperda yang belum dibahas, tiga di antaranya dari eksekutif. Sedangkan sisanya merupkan inisiatif dewan, seperti Ranperda tentang RTH, Pengen- dalian Menara Telekomunikasi, perlindungan cagar budaya, kawasan bebas asap rokok, perlindungan pemanfaatan asset, dan pengendalian minuman beralkohol. Sementara, regulasi dari Pemerintah Kota Makassar yakni RTRW, penyertaan modal pasar tradisional, dan penyandang

disabilitas”

(Komentar, ANW, Ketua Badan Legislasi DPRD Kota

jurnal-makassar/3560-produk-legislasi-daerah-prolegda- di-kota-makassar-sepanjang-2012-masih-lemah.html, 03 Januari 2013)

Berdasarkan penjelasan Ketua Badan Legislatif tersebut, maka terlihat secara jelas begitu memprihatinkan kapasitas anggota DPRD untuk memproduk sebuah Peraturan Daerah, bahkan termasuk bagi Ranperda yang menjadi inisiatifnya sendiri. Secara umum, prosedur-prosedur untuk sampai pada tahap pengesahan Perda yang begitu kompleks dan membutuhkan dukungan politik yang memadai menjadi problem internal tersendiri yang melekat pada institusi DPRD Kabupaten/Kota. Untuk itu “perjalanan nasib” Ranperda RTRW Kota Makassar ini bisa dipastikan tidak akan berjakan mulus dan segera tuntas sebagaimana Ranperda usulan pihak eksekutif lainnya.

2. Kondisi Eksternal

Perlu menjadi kesadaran bersama bahwa pembangunan kota ataupun tata ruang secara luas tidak lepas dari persoalan politik. Dengan kata lain, penataan ruang itu sendiri merupakan satu proses dan permainan politik, dalam pengertian bahwa ia tidak lepas dari hubungan-hubungan kekuasaan yang terjadi disekitarnya. Dengan konsep ini, dapat kita pahami bahwa peren canaan adalah suatu proses negosiasi atau pembentukan kesepakatan antara multi (banyak) aktor yang terlibat dalam pengembangan suatu kawasan atau kota.

Proses pembentukan hukum (termasuk Peraturan Daerah) dalam prateknya seringkali ditentukan situasi dan struktur kekuasaan politik yang berlaku di tengah masyarakat. Selalu ada suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Institusi politik lokal secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan. Untuk itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.

Kekuatan- kekuatan politik lokal dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan formal pemerintahan daerah, seperti Gubernur, Bupati, Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.

Dalam konteks ini, proses pembentukan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar tidak terlepas dari pengaruh kontestasi kekuatan-kekuatan politik termasuk momentum perubahan ketentuan sektoral yang mempengaruhi konstelasi ketententuan umum rencana.

a. Kontestasi Pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013

Momentum Pemilihan Gubernur & Wakil Gubernur (Selan- jut nya di sebut Pilgub), merupakan arena yang paling nyata jeja- ring partai poltik untuk merebut kekuasaan politik lokal. Pada situasi ini polarisasi dukungan politik di level Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Provinsi akan di respons seluruh kelembagaan pada struktur partai untuk bekerja demi kemenangan sang kandidat yang di usung partai yang bersangkutan. Arena Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) menjadi ruang pertaruhan loyalitas, dedikasi, dan soliditas kader partai politik yang harus “di bayar” dalam bentuk pengorbanan waktu, biaya dan materi. Kader-kader partai politik akan di tugaskan untuk fokus memenangkan kandidat yang di usung oleh masing-masing partai politik.

Pada titik ini, maka fokus pekerjaan dan tugas anggota DPRD akan terganggu oleh padatnya tugas-tugas kepartaian. Dampaknya kemudian adalah agenda-agenda institusional DPRD akan menjadi terbengkalai. Proses-proses pembahasan

Ranperda akan membutuhkan waktu semakin panjang sebab situasi quorum persidangan akan sulit untuk tercapai. Peta kekuatan politik di DPRD juga telah terpengaruh oleh situasi pemihakan partai politik terhadap masing-masing kandidat. Kompromi di antara partai politik berbeda kandidat juga menjadi semakin sulit.

Hal inilah yang kemudian dialami dalam tahap pembahasan Ranperda RTRW Kota Makassar. Fokus anggota legislatif untuk mengurus agenda-agenda kepartaian dan menegasi agenda- agenda institusional yang dimanahkan oleh rakyat, telah menjadi hal yang lumrah dalam perilaku anggota DPRD Kota Makassar. Tentang situasi ini, salah satu unsur pimpinan menjelaskan :

Kita memang memaklumi kondisi sekarang ini, dimana anggota dewan yang juga politisi ikut bersama partainya menjagokan calonnya di Pilgub. Insya Allah setelah Pilgub kami akan bentuk Tim Pansus”

(Komentar BSA, Ketua Badan Musyawarah DPRD Kota Makassar, http://www.beritakotamakassar.com/index. php/ metro-makassar/2455-rtrw-terkendala-di-pansus. html, 23 Januari 2013)

Penjelasan ini tentu tidak dapat dibenarkan dari sisi etika publik. Perliaku anggota DPRD yang di lebih mengutamakan tugas partai politik tentu merugikan seluruh stakeholders tata ruang, yang telah lama menanti hadirnya suatu arahan baru untuk pembangunan kota. Pembahasan Ranperda RTRW akan menjadi semakin terbengkalai akibat rendah komitmen partai politik untuk mengirim anggota Fraksi pada pembentukan Panitia Khusus (Pansus).

b. Terbitnya Perpres No. 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau­Pulau Kecil

Pada situasi pembahasan Ranperda RTRW pasca Pil- gub 2013, terdapat konstelasi baru yang bersifat eksternal dan kemudian turut mempengaruhi kinerja Panitia Khusus

(Ranperda) RTRW Kota Makassar. Akibat terlalu panjangnya waktu pembahasan, maka peraturan-peraturan yang secara hierarkis memiliki kedudukan hukum lebih tinggi kemudian lahir. Perarturan tersebut adalah Perpres No. 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, dalam terdapat ketentuan zonasi wilayah untuk melarang aktivitas reklamasi pada pemanfaatan ruang pesisir. Sementara pada content (isi) Ranperda RTRW yang dibahas, cenderung membolehkan tindakan reklamasi pada pembangunan wilayah pesisir yang di orientasikan menjadi pusat bisnis berskala global.

Kontestasi gagasan dan kepentingan antara Pemerintah Kota dan DPRD Kota kemudian berlanjut pada situasi pem- bahasan Ranperda RTRW, khususnya dalam konteks rencana pemanfaatan ruang pesisir. Pembahasan di Panitia Khusus pun kembali mengalami kebuntuan sebab “benturan” kepentingan pihak eksekutif kemudian direspon secara berbeda oleh pihak legislatif. Pihak legislatif merasa membutuhkan waktu untuk menadalami problem pemanfaatan wilayah pesisir.

Situasi ini dijelaskan oleh salah seorang anggota Pansus Ranperda RTRW sebagai berikut :

“kita ingin bedah secara mendalam, Terutama gagasan Reklamasi yang menjadi tema utama penyusunan RTRW ini. Kita tidak ingin Perda RTRW ini nantinya hanya akan melegalkan tindakan penimbunan laut (reklamasi), yang tentu juga bertentangan dengan aturan (Perpres No. 122 Tahun 2012)

(Hasil Wawancara, BBT, Anggota Pansus Ranperda RTRW, 07 Juni 2013).

Kehadiran pasal-pasal pada Ranperda RTRW yang memung- kinkan legalisasi aktivitas reklamasi dalam pembangunan wila yah pesisir menjadi perhatian tersendiri dalam konflik kepentingan eksekutif dan legislatif. Pihak legislatif merasa perlu mendalami persoalan ini secara seksama, sebab pada situasi

yang lain secara eksisting sudah terjadi aktivitas pengkavlingan dan penimbunan wilayah laut (reklamasi) pesisir Kota makassar secara intensif oleh kalangan pemburu rente (investor besar), yang telah memperoleh izin dari pihak pemerintah kota.

D. Posisi dan Peran Stakeholders dalam Proses

Dalam dokumen Dinamika Tata Pemerintahan Daerah Dalam (Halaman 85-95)

Dokumen terkait