• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konteks Sosial dan Latar Belakang Penafsiran

BAB III PAPARAN TEMUAN DATA

A. Bint asy-Syati’

2. Konteks Sosial dan Latar Belakang Penafsiran

Menurut Bint asy-Syati‟ hal ini perlu disampaikan karena perbadaan zaman yang begitu jauh antara dahulu dan sekarang. Pada zaman tersebut mereka belum mengenal ilmu pengetahuan modern seperti biologi, Geologi, Kimia, dan Antropologi.9

d. Al-Qur‟ān wa al-Qadhāya al-Insān: Dirāsah Qur‟āniyyah

Karya ini sebenarnya merupakan edisi cetak ulang serta ringkasan dari kedua karya sebelumnya. Kecuali yang terdapat pada tiga sub bab terakhir yang merupakan hal baru, belum pernah di jelaskan pada dua karya sebelumnya. Pada buku ini juga terdapat dua bagian, pertama berisi ringkasan dari Maqāl fī al-Insān: Dirāsah Qur‟āniyyah dan bagian kedua berisi ringkasan dari Al Qur‟an wa at-Tafsīr al-„Asrī.10

1962 socialist Charter for National Action, pada hal ini Nasser mendukung adanya kesetaraan Gender dak hak semua warga negara untuk mendapat akses kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Nasser mencoba untuk menciptakan ruang politik dan ekonomi yang baru bagi perempuan.

Walaupun rezim Nasser telah membuka peluang wanita untuk kemajuan publik, rezim ini masih belum mempersoalkan struktur keluarga, kekuasaan dan budaya patriaki, atau hukum agam tentang keluarga. Jadi laki-laki masih mendominasi didalam keluarga, tempat kerja, dan pemerintahan.11

Pada rezim Anwar Sadat, eksistensi wanita juga mulai berkembang di ruang publik dan dunia intelektual, kehidupan sosial, dan pengalaman profesonal untuk melanjutkan aktivisme mereka. Akan tetapi pada konstitusi 1971 di era Anwar Sadat, konstitusi Mesir membatalkan hukum kesetaraan perempuan yang telah dijamin di bawah rezim Nasser, dan keseteraan Gender akan memungkinkan terjadi hanya jika hal tersebut tidak bertentangan dengan aturan hukum Syariah. Konstitusi 1971 menyatakan:

“Negara menjamin keseimbangan dan kesepakatan antara tugas wanita terhadap keluarganya, di satu sisi dan terhadap pekerjaannya dalam masyarakat dan kesetaraannya dengan pria di bidang politik, sosial, dan budaya, di sisi lain tanpa melanggar aturan hukum Syariah.”12 Pada masa ini Bint asy-Syati‟ sudah dipromosikan dan selebihnya pula sudah menjadi

11 Aat Rif‟ati Zulfa, “Upaya United Nations Women dalam Penghapusan Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan Di Mesir Pasca Revolusi Messir”, (Skripsi, Jurusan Ilmu Hubungan International Fakulats Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, 2017), 42-43

12 Ibid, 43

professor. Hal ini juga tentu tidak terlepas dari peran kebijakan Nasser atas kesetaraan gender saat itu di Mesir.

Pendekatan yang digunakan pada penafsirannya ialah pendekatan bahasa dan sastra, sehingga secara eksterbal tidak dapat dilepaskan dari aspek kultural dan historisitas teksnya. Meluapnya sisi subyektif yang dominan dalam penafsiran al-Dluha> menggungah respon dari Bint asy-Syati‟ untuk menafsirkan surat tersebut. Menurutnya, banyak mufassir dalam menafsirkan surat al-Dluha> memiliki kecenderungan tertentu seperti Israiliyat, Teologis, Sufistik, filosofis, dan yang disebut dengan pendekatan ilmiah (tafsir ilmi).13

Atas respon tersebut, Bint asy-Syati‟ merumuskan metodologi penafsiran baru yang berusaha mencari makna obyektif penafsiran surat al-Dluha> . Beliau secara terang-terangan menerapkan dan mengembangkan metodologi yang telah digagas oleh suaminya, Amin al-Khuli. Dengan metode tersebut penafsirannya dalam surat al-Dluha> tampak berbeda dengan mufassir yang lain.14

Untuk latar belakang penulisan tafsir al-Bayan sendiri penulis mendapati alasan penulisan yang ditorehkan oleh Bint asy-Syati‟ pada kata pengantar. Menurutnya sudah banyak sekali bahasa kata indah yang ditemui selama berkecimpung dalam dunia sastra dan bahasa Arab seperti bahasa ukuran, bahasa pembicaraan, bahasa pujian, dan lain-lain. Menurut beliau

13 Nirwan Nuraripin, “Konstruksi Epistimologi Penafsiran Bint asy-Syati‟ dalam Surat ad-Duha”, (skripsi, Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikir Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015), 4-5

14 Ibid, 5

dari semua bahasa yang ditemuinya tersebut, tidak ada yang lebih mulia dari bahasa al-Qur‟an. Maka dari itu menurut Bint asy-Syati‟ seharusnya orang Arab juga harus mengerti akan bahasa al-Qur‟an tersebut dengan pengertian yang sungguh-sungguh pula. Karena menurut beliau bahasa al-Qur‟an tersebut memiliki rahasia serta memiliki khasiat menyembuhkan. Dari beberapa aspek tersebutlah beliau menulis tafsir al-Bayan ini, untuk mengungkap rahasia bahasanya yang di nilai sangat mulia tersebut.15

3. Tafsir Surat al-Dluha> Bint asy-Syati’

Surat Ad-Dhuha merupakan surat Makiyyah tanpa ada ikhtilaf. Yang dikenal Surat ke 11 dari runtutan turunnya Ayat dan diturunkan setelah fajar. Para ahli tafsir bersepakat bahwa Asbab Nuzulnya yaitu, melambatnya wahyu yang diterima Nabi Muhammad SAW. pada awalnya sehingga ayat tersebut dapat menjawab isu yang mana telah dikatakan bahwa: Tuhan telah meninggalkan Muhammad dan membencinya.

ىَحُّضلاَو ىَجَس اَذِإ ِلْيَّللاَو

Nampak surat tersebut terdapat sumpah dengan menggunakan huruf

“wawu”. Pendapat agung dari pada pendahulu yaitu: Sesungguhnya Sumpah al-Qur‟any ini mengandung makna mengagungkan Dzat yang bersumpah. Ibnu qoyyim Al-Jauziyyah berkata: “Sumpah Allah SWT pada sebagian makhluk-makhlukNya menunjukkan bahwa makhluk tersebut termasuk dalam tanda kekuasaan-Nya yang Agung.” Pendapat ini sudah

15 Aisyah Abdurrahman, at-tafsi>r al-Ba>ya>ni li> al-Qur‟an al-Kari>m Vol I, (TT: Dar al-Ma‟arif ,1990), 13

masyhur yang mengarahkan bahwa setiap perkara yang dipakai sumpah dengan menggunakan wawu di dalam Al-Qur‟an menunjukkan keagungan perkara tersebut.

Setelah bertadabur dan berangan-angan, Bint asy-Syati‟ meyakini bahwa qasam yang ada dalam surat al-Dluha> ini keluar dari konteks asli sumpah secara bahasa untuk mengagungkan. Dan dialihkan pada makna bayan seperti keluarnya konteks struktur amr, dan nahi dan istifham dari makna aslinya yang ada pada struktur kalimat. Dalam pengamatan bahasa menurutnya, maka “wawu” dalam susunan ini mengarah kuat pada panca indera yang dapat dirasakan yang tidak asing yang akan menjelaskan pada makna-makna atau perkara yang samar yang tidak akan dirasakan oleh panca indera.

Sumpah menggunakan “wawu” dalam contoh (

ىَحُّضلاَو

) Wad-Dhuha

umumnya merupakan struktur balaghoh untuk menjelaskan makna ma‟ani dengan menampakkan perasaan. Dan tidak diisyaratkan untuk pengaguman. Sesungguhnya dimaksudkan pada kuatnya memalingkan.

Pemilihan sesuatu yang dijadikan sumpah mempertimbangkan sifat yang sesuai dengan kondisi. Jika di teliti sumpah-sumpah di dalam Al-Qur‟an seperti dalam surat al-Dluha>, kita menemukan pemalingan makna pada sebuah bentuk materi yang terlihat dan kenyataannya dapat disaksikan. Dan dihadapkan dengan penjelasan dengan bentuk lain yang bersifat maknawi yang sepadan namun tidak dapat disaksikan juga tidak dapat dilihat. Terjadi

perdebatan: Di dalam Al-Qur‟an terdapat sumpah “حبصلاب” (Demi subuh) saat memerah, saat terbit, dan “راهنلاو” (demi siang) saat Nampak jelas.

Dan “ليللاو” saat gelap, saat menyelimuti, saat berlalu. Maka jelaslah mana makna-makna petunjuk dan kebenaran. Atau kesesatan dan kebatilan dengan tanda cahaya dan kegelapan. Keterangan ini adalah keterangan maknawi yang dapat dirasakan. Yaitu memungkinkan untuk dijadikan sumpah dalam AL-Qur‟an dengan menggunakan huruf qosam “wawu”.

Maka dapat diterima tanpa ada beban maupun paksaan dalam merenunginya.

Penjelasan ini sesuai dengan perincian dan penggalian referensi serta dalil-dalil dari penelitian yang khusus, tunggal, dan meluas mengenai

“Sumpah di dalam AL-Qur‟an” Namun disini – Aspek penelitian terbatas dengan tema- Dan terkadang cukup Sumpah-Sumpah Al-Qur‟an dari Surat-surat yang kita pilih. Agar kita dapat menjelaskan gagasan dan menerangkan pengamatan.

Sesuatu yang dijadikan sumpah dalam surat al-Dluha> merupakan bentuk materi dan kejadian yang dapat dirasakan. Dapat disaksikan oleh manusia setiap hari yaitu sinar yang bercahaya di waktu pagi hari.

Kemudian menghilangnya malam saat sunyi dan tenang. Tanpa adanya kekacauan alam atau tanpa dorongan untuk mengingkarinya saat datangnya dua kondisi tersebut. Bahkan tiada yang merisaukan hati seseorang bahwa langit telah meninggalkan bumi dan menyelamatkannya dari kegelapan dan kesedihan setelah bersinarnya cahaya di pagi hari (waktu Dluha>). Maka apa

yang membuat kagum saat kehadirannya, setelah datangnya keramahan wahyu yang kemudian cahayanya meninggal Rosulullah SAW. Maka dalam diam wahyu itu datang kembali untuk menenangkan. Hal itu dapat kita analogikan dengan sesuatu yang kita saksikan saat sunyinya malam menjadi sempurna setelah terpancarnya waktu dhuha.

Setelah menjelaskan al-Dluha> dari sisi Qasam dengan Bayan dan Balaghohnya, beliau memaparkan beberapa penafsiran “Wal-Dluha Wallaili idza saja”. menurut beberapa Mufassir, seperti Fakhruddin Al-Razi, Muhammad Abduh, Ibnu Jurair Ath-Thabary, Al-Zamkhsyari. Dari beberapa pendapat mufassir tersebut, yang menyebabkan perbedaan penafsiran al-Dluha> adalah dari segi lafadz. Apabila lafadz tersebut ditinjau secara lafadz, maka memungkinkan untuk mengandung banyak makna sebagaimana yang mereka sebutkan dalam memaknai al-Dluha> dan saja.

maka dalam tinjauan Balaghah hanya diperkenankan satu makna dalam satu tempat yang ditempati intisari dari lafadz. Dan tidak dapat ditempati makna lain.

Karena memiliki metode yang berbeda, pada penafsirannya Bint asy-Syati‟ tidak menggunakan sumber seperti mufassir lainnya, yaitu bi-al-Ma’tsur dan bi al-ra’yi, karena dalam menafsirkan surat al-Dluha> , beliau menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Berikut salah satu contoh penafsiran beliau dalam surat al-Dluha> dalam ayat ke-3 :

ىَلَ ق اَمَو َكُّبَر َكَعَّدَو اَم

Bacaan yang masyhur adalah huruf dal dibaca tasydid dan sebagian ulama membaca

( كعَدَو ام

) dengan tanpa tasydid. Hal yang memperbolehkannya adalah karena orang Arab tidak membutuhkan kefasihan kalam dalam menuturkan (

رْزو

-

عْدو – رزو – عدو )

Imam

Zmakhsyari menyebutkan sebuah syahid dari Syi‟ir milik abu aswad ad-Duali:

“ تىح بلحا في ولاغ # يذلا ام يليلخ نم يرعش تيل وعَدو

Dan dalam syi‟ir lainnya:

رمسلا ةفقثلما فارطأ سئارف # رماعو ورمع لآ انعَدو ثمو"

Namun Imam Jauhari dalam kitab As-Sihhah memperbolehkan hal tersebut karena munkin karena Darurat Syi‟ir. Seperti dalam syi‟irnya Khufaf bin Nadbah:

وىو ىرج # وئاسم نم وضرأ تمحتسا ام اذإ عودوم

قدصم دعاوو

Atau

كوترم

(tertinggal) dan beliau berkata

اذ عد

(tinggalkan itu) atau

وكرتا

(tinggalkanlah) aslinya adalah

عدي – عدو

dan madhinya dibaca sukun ainnya tidak dibaca

وعَدو

dan tetap bermakna

وكرت

(meninggalkannya)

Imam Muhasysya Al-Qomus menentang dalam Qoulnya “ Madhinya lafadz

عدو

dapat dibaca sukun namun penentangan ini tidak

dapat mengkaunter pendapat Abu Hayyan bahwa Orang Arab tidak membutuhkan kefasihan kalam dalam mengatakan

عّدو

.

كترلا : عدولا

(meninggalkan)

Lafad tersebut secara bahasa digunakan dalam lafdz “

ةعيدولا

(titipan) yaitu sesuatu yang ditinggalkan pada suatu tempat berharap kepada yang dipercayainya untuk menjaganya. Dan lafadz “

عيدوت

” yaitu

meninggalkan untuk perpisahan. Imam Zamakhsyari berkata

عيدوتلا

merupakan shiqhot mubalaghoh dari lafadz

دعولا

karena siapapun yang

meninggalkanmu untuk berpisah denganmu maka dia benar-benar meninggalkanmu. Hal tersebut menjadi landasan hukum kaidah orang-orang Arab. Seandainya orang-orang-orang-orang Arab tidak membutuhkan dari fi‟il sulatsinya lafadz عدو dalam kefasihan kalam mereka. Di dalam Al-Qur‟an tidak akan dijumpai kata-kata عدو dalam shighot fiil madhi kecuali dalam surat al-Dluha>. Dan juga dalam AL-Qur‟an menggunakan sighot fi‟il amar yaitu surat Al-Ahzab ayat 48:

Dokumen terkait