• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Analisis Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan Baja

5.2.2. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia

Kontribusi industri besi baja Indonesia terhadap industri manufaktur dapat dilihat pada Tabel 5.3. Kinerja suatu industri dapat dilihat juga dari berapa besar kontribusinya dalam pembentukan PDB. Industri logam dasar besi baja merupakan salah satu industri manufaktur, untuk itu dalam penelitian ini melihat kinerja industri besi baja dari kontribusi yang diberikannya kepada industri manufaktur yang secara tidak langsung juga memberikan sumbangan terhadap PDB Indonesia.

Tabel 5.3. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur 1995-2004 (persen)

Nilai Tambah Tenaga kerja Unit Usaha Tahun 27101 27102 27103 Rata2 27101 27102 27103 Rata2 27101 27102 27103 Rata2 1995 0,35 5,82 0,72 1,91 0.091 0.595 0.363 0.350 0,074 0,274 0,288 0,212 1996 0,32 8,92 0,80 2,12 0.093 0.589 0.361 0.348 0,052 0,246 0,265 0,188 1997 0,34 3,92 0,57 1,73 0.103 0.632 0.311 0.349 0,076 0,268 0,246 0,197 1998 0,88 1,54 0,19 1,22 0.313 0.325 0.116 0.252 0,126 0,219 0,149 0,165 1999 0,41 1,51 0,24 1,06 0.170 0.378 0.176 0.241 0,095 0,218 0,172 0,162 2000 0,56 1,30 0,23 0,99 0.168 0.369 0.165 0.234 0,072 0,198 0,072 0,114 2001 0,40 2,17 1,42 1,71 0.108 0.471 0.279 0.286 0,103 0,290 0,206 0,199 2002 0,23 1,80 1,33 1,26 0.010 0.505 0.309 0.305 0,076 0,255 0,232 0,188 2003 0,09 1,09 1,30 1,57 0.113 0.433 0.317 0.288 0,094 0,236 0,207 0,179 2004 0,04 1,32 0,95 1,71 0.065 0.495 0.310 0.290 0,116 0,242 0,218 0,192 Total 0,36 2,94 0,77 1,36 0,132 0,479 0,271 0,294 0,088 0,245 0,205 0,179 Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004

Besarnya kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri manufaktur dari tahun 1995 sampai tahun 2004 sebesar 1,36 persen. Pada tahun 2004, kontribusi nilai tambah yang diberikan industri besi baja nasional sebesar 1,71 persen. Tahun 1996 merupakan kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi, kontribusi yang diberikan industri besi baja cukup besar yaitu sebesar 2,12 persen kepada industri manufaktur. Namun, setelah terjadi krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 sampai 1999 kontribusi nilai tambahnya mengalami penurunan yang cukup besar. Hal ini karena pada saat krisis ekonomi, terjadi kenaikan harga bahan baku besi baja yang diimpor sehingga menyebabkan naiknya biaya-biaya input produksinya. Banyak perusahaan terutama perusahaan berskala kecil terpaksa menghentikan proses produksinya, sedangkan perusahaan berskala besar yang masih bertahan terpaksa juga harus menurunkan kapasitas produksinya. Hal ini mengakibatkan terjadi penurunan nilai tambah industrinya sehingga mengurangi kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri manufaktur.

Rata-rata kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri manufaktur paling besar disumbangkan oleh subsektor industri penggilingan baja

yaitu sebesar 2,94 persen. Hal ini karena nilai tambah yang dihasilkan oleh industri penggilingan baja cukup besar tetapi belum mampu memberikan kontribusi nilai tambah yang menyamai atau melebihi kontribusi pada saat sebelum krisis ekonomi yaitu sebesar 8,92 persen kepada industri manufaktur. Kontribusi nilai tambah terendah diberikan oleh subsektor industri besi dan baja dasar. Rata-rata industri ini memberikan kontribusi sebesar 0,36 persen dari tahun 1995 sampai 2004. Hal ini karena jumlah unit usaha yang terdapat pada subsektor ini masih relatif lebih sedikit dibandingkan jumlah unit usaha dari subsektor industri besi baja yang lain sehingga nilai tambah yang dihasilkan rendah tetapi industri ini mampu menciptakan pangsa pasar terbesar pada industri besi baja di Indonesia.

Dampak dari krisis ekonomi ini menyebabkan industri logam dasar besi dan baja sulit untuk memperbaiki bahkan meningkatkan produksinya sehingga mengakibatkan pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Sejak krisis ekonomi tahun 1997, kinerja industri logam dasar besi dan baja mengalami penurunan dari tahun ke tahun dalam memberikan sumbangan nilai tambah terhadap total industri manufaktur di Indonesia.

Bila dilihat dari kontribusi yang diberikan industri logam dasar besi dan baja Indonesia terhadap industri manufaktur dari sisi penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa sektor ini merupakan industri yang padat modal karena penyerapan tenaga kerja industri ini rendah. Rata-rata kontribusi total penyerapan tenaga kerja terhadap industri manufaktur selama periode tahun 1995 sampai tahun 2004 hanya sebesar 0,294 persen. Angka ini sangat rendah bila

dibandingkan dengan kontribusi sektor industri manufaktur lainnya, seperti industri rokok kretek. Pada tahun 1999, kontribusi penyerapan tenaga kerja industri rokok kretek terhadap industri manufaktur sebesar 4,65 persen (Sumarno dan Kuncoro, 2003) sedangkan untuk tahun yang sama kontribusi penyerapan tenaga kerja industri logam dasar besi dan baja hanya sebesar 0,291 persen. Besarnya penyerapan tenaga kerja industri rokok kretek dikarenakan industri tersebut merupakan industri yang padat karya atau padat tenaga kerja sehingga total penyerapan tenaga kerjanya pun cukup besar.

Industri yang padat modal cenderung pada penggunaan mesin-mesin berteknologi tinggi sehingga penyerapan tenaga kerjanya cenderung pada tenaga kerja yang terampil dan terdidik yang menguasai teknologi produksi besi dan baja. Berbeda dengan industri yang padat modal, industri padat tenaga kerja memberikan kinerja yang baik dalam penyerapan tenaga kerja industrinya sehingga memberikan peluang kesempatan kerja yang banyak untuk para pekerja. Hal ini dapat membantu mengatasi masalah pengangguran yang banyak diperbincangkan.

Kontribusi industri logam dasar besi dan baja terhadap total industri manufaktur Indonesia dilihat dari sisi kontribusi jumlah unit usaha dari tahun 1995 sampai tahun 2004 secara rata-rata yaitu sebesar 0,179 persen. Nilai kontribusinya rendah karena jumlah unit usaha pada industri logam dasar besi dan baja Indonesia sangat sedikit dibandingkan industri-industri lain yang termasuk dalam industri manufaktur. Selama sepuluh tahun terakhir mulai dari tahun 1995 hingga tahun 2004, rata-rata kontribusi jumlah unit usaha terhadap industri

manufaktur untuk industri besi dan baja dasar hanya sebesar 0,088 persen, industri penggilingan baja memberikan kontribusi sebesar 0,245 persen, sedangkan industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja memberikan kontribusi sebesar 0,205 persen. Kontribusi jumlah unit usaha terendah adalah industri besi dan baja dasar. Pengaruh dari krisis ekonomi memberikan kontribusi unit usaha industri besi baja terhadap industri manufaktur semakin rendah karena saat krisis banyak unit usaha yang menutup usahanya.

Fluktuasi nilai mata uang rupiah terhadap dolar yang berlebihan pada masa krisis ekonomi, yang diikuti oleh peningkatan harga-harga yang sangat tinggi telah membawa kinerja yang kurang baik pada dunia usaha terutama juga yang dialami oleh industri logam dasar besi dan baja. Adanya krisis ekonomi menyebabkan banyak dunia usaha dalam industri ini tidak mampu mempertahankan proses produksinya sehingga banyak unit usaha yang terpaksa tutup akibat fluktuasi harga tersebut. Fluktuasi harga yang tajam ini menyebabkan harga bahan baku yang di impor mengalami peningkatan harga yang cukup tinggi. Kondisi setelah terjadi krisis ekonomi, juga mengancam bahkan mematikan unit usaha besi baja nasional yaitu karena masuknya produk-produk baja impor yang menggunakan harga dumping atau bahkan merupakan produk baja ilegal.

5.2.3. Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia

Salah satu indikator yang juga digunakan untuk melihat kinerja suatu industri adalah dari tingkat efisiensi yang dihasilkan oleh industri tersebut. Efisiensi menunjukkan kemampuan suatu perusahaan atau industri untuk

meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan. Tabel 5.4 menunjukkan tingkat efisiensi industri logam dasar besi baja di Indonesia.

Tabel 5.4. Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia Tahun 1995-2004 (persen)

Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Tahun

ISIC 27101 ISIC 27102 ISIC 27103 ISIC 271

1995 44,34 94,09 58,14 83,86 1996 40,98 195,05 63,76 151,86 1997 47,25 55,43 56,81 54,92 1998 15,45 107,41 38,71 34,27 1999 81,38 30,91 40,94 36,15 2000 86,02 28,86 37,81 35,81 2001 24,34 32,90 90,12 40,63 2002 107,45 44,10 42,78 45,36 2003 27,48 16,58 47,63 25,72 2004 26,50 14,09 42,51 19,65 Total 50,12 61,94 51,92 52,82

Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004

Kemampuan industri besi baja Indonesia meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 1995 sampai 2004 yaitu sebesar 52,82 persen. Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi yaitu di tahun 1996 menunjukkan bahwa tingkat efisiensi industri besi baja nasional cukup besar yaitu sebesar 151,86 persen. Hal ini berarti bahwa sebelum krisis ekonomi, kemampuan industri besi baja dalam menekan biaya produksi sangat baik sehingga menunjukkan industri besi baja berproduksi secara efisien dan memberikan kinerja industri yang cukup baik pula. Dengan demikian, industri besi baja mampu memberikan keuntungan yang besar. Hal ini juga dapat dilihat dari besarnya rasio konsentrasi yang dimiliki industri besi baja pada saat sebelum krisis ekonomi.

Pada masa krisis ekonomi yang terjadi dipertengahan tahun 1997, efisiensi yang dihasilkan oleh industri besi baja semakin menurun dibandingkan sebelum

terjadi krisis ekonomi. Hal ini karena banyak perusahaan pada industri besi baja yang berproduksi kurang efisien karena adanya kenaikan harga-harga bahan baku besi baja yang sangat tinggi. Di tahun 1998, industri penggilingan baja mempunyai efisiensi yang besar yaitu sebesar 107,41 persen. Ini karena ada sebagian wilayah tempat berproduksinya industri tersebut, mampu menekan biaya input produksinya sehingga perusahaan tersebut efisien dalam berproduksi. Hal inilah yang menyebabkan tingkat efisiensi industri penggilingan baja secara keseluruhan cukup besar. Wilayah yang mampu meminimumkan biaya produksi yaitu industri penggilingan baja yang terletak di kabupaten Surabaya, Bekasi, Serang, dan Jakarta Utara (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Efisiensi Industri Penggilingan Baja Indonesia, Tahun 1998

Kabupaten Nilai Tambah

(ribu rupiah) Nilai Input (ribu rupiah) Efisiensi (persen) Medan 24198609 45558501 53,12 Jaktim 100335769 130319203 76,99 Jakut 54046981 42856109 126,11 Bogor 86565 20586512 0,42 Karawang 716659 4778378 14,99 Bekasi 109109369 83168959 131,19 Tanggerang 2920088 12486954 23,39 Serang 18361749 7940793 231,23 Semarang 49878726 164460567 30,33 Sidoarjo 131180054 132809098 98,77 Gresik 2475458 9989607 24,78 Surabaya 639801121 360372798 177,54 Pontianak 7471640 16126604 46,33 Ujung Pandang 4652844 34763301 13,38

Sumber : Diolah dari data BPS, 1998

Saat terjadinya kelangkaan bahan baku baja di tahun 2003 akibat meningkatnya permintaan baja oleh negara-negara yang sedang melakukan proyek pembangunan besar-besaran yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku baja di pasar dunia, juga mempengaruhi kinerja industri besi baja di

Indonesia sehingga industri besi baja nasional memiliki efisiensi produksi yang rendah. Di tahun 2003 tersebut, nilai efisiensinya hanya sebesar 25,72 persen dan efisiensi terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu dengan nilai efisiensi sebesar 19,65 persen.

Adanya kelangkaan bahan baku baja menyebabkan kenaikan harga bahan baku baja di pasar internasional sehingga mempengaruhi efisiensi produksi bagi ketiga subsektor industri besi baja nasional. Hal tersebut memberikan pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Ini berarti bahwa adanya ketergantungan impor bahan baku yang sangat besar untuk industri besi baja Indonesia menjadikan industri besi baja Indonesia sangat tergantung atau terpengaruh dari kondisi yang terjadi di pasar internasionalnya sehingga berdampak kurang baik bagi kinerja industri besi baja Indonesia.

Dalam teori ekonomi industri, dinyatakan bahwa semakin tinggi rasio konsentrasi maka dapat menyebabkan semakin tidak efisien industri tersebut berproduksi karena tingginya rasio konsentrasi menunjukkan perusahan dalam industri tersebut tidak bersaing sempurna. Perusahaan pada pasar persaingan sempurna cenderung efisien dalam mengalokasikan sumber dayanya. Namun, kondisi tersebut berbeda dengan yang terjadi pada industri logam dasar besi baja. Misalnya, walaupun industri besi baja mempunyai konsentrasi rasio yang cukup besar saat sebelum terjadi krisis ekonomi tetapi industri ini menunjukkan tingkat efisiensi yang cukup besar. Akan tetapi, setelah terjadi krisis ekonomi mengakibatkan ada sebagian besar perusahaan pada industri ini berproduksi kurang efisien sehingga memberikan rasio konsentrasi yang menurun. Oleh

karena itu, tingginya rasio konsentrasi tidak selalu berpengaruh buruk atau merugikan karena ada industri yang harus berproduksi dengan skala ekonomi yang besar atau membutuhkan modal yang sangat besar untuk berproduksi dengan efisien. Bila industri tersebut dipaksa untuk mengurangi atau menurunkan rasio konsentrasinya justru akan membuat perusahaan tersebut kurang efisien.

Besarnya rasio konsentrasi sering diidentikkan dengan tingkat persaingan yang rendah. Untuk industri besi baja, tingginya rasio konsentrasi yang dihasilkan bukan karena tidak ada persaingan diantara perusahaannya tetapi karena adanya kemampuan perusahaan untuk meminimumkan biaya input untuk menghasilkan output yang optimal. Persaingan yang ada pada industri ini cukup besar, baik persaingan antar perusahaan di dalam industri tersebut ataupun persaingan dengan produk-produk baja impor.