• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontribusi Perilaku Agresif dengan Kebiasaan Menonton Tayangan Kekerasan berdasarkan Aspek Ketertarikan

Agresi Permusuhan

3) Kontribusi Perilaku Agresif dengan Kebiasaan Menonton Tayangan Kekerasan berdasarkan Aspek Ketertarikan

Tabel 4.12

Korelasi Perilaku Agresif dengan Kebiasaan Menonton Tayangan Kekerasan Berdasarkan Aspek Ketertarikan

AGRESIF KETERTARIKAN Spearman's rho AGRESIF Correlation Coefficient 1.000 .334** Sig. (1-tailed) . .000 N 140 140 KETERTARIKAN Correlation Coefficient .334** 1.000 Sig. (1-tailed) .000 . N 140 140

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Hipotesis awal dari perilaku agresif dengan kebiasaan menonton tayangan kekerasan berdasarkan aspek ketertarikan adalah berkorelasi positif.

H0: ρ=0

H1 > 0

Tolak H0 jika harga signifikansi lebih kecil dari α, dalam hal ini α = 0,05.

Dari hasil perhitungan diperoleh harga r = 0,334 dengan tingkat signifikansi p = 0,000, ternyata harga p < 0,05 sehingga H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa perilaku agresif berkorelasi rendah dengan ketertarikan dalam kebiasaan menonton tayangan kekerasan.

Besarnya kontribusi perilaku agresif terhadap ketertarikan untuk menonton tayangan kekerasan di televisi yaitu 0,111.

Desi Wulandari, 2015

KONTRIBUSI KEBIASAAN MENONTON TAYANGAN KEKERASAN DI MEDIA TELEVISI TERHADAP PERILAKU AGRESIF SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 4.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Berbagai teori psikologi sosial menyatakan bahwa kekerasan di televisi atau dalam film dapat meningkatkan agresi penontonnya. Berikut adalah pembahasan dari hasil penelitian kontribusi kebiasaan menonton tayangan kekerasan di media televisi terhadap perilaku agresif siswa SMP Negeri 29 Bandung Tahun Ajaran 2014/2015 yang akan di bahas setiap aspeknya.

1) Perilaku agresif tidak berkorelasi dengan waktu dalam kebiasaan menonton tayangan kekerasan di televisi, dengan kontribusi sebesar 0,016.

Sejauh ini, penelitian tentang waktu menonton tayangan kekerasan di televisi terhadap perilaku agresif masih kontroversial. Sebagian penelitian menunjukkan hasil yang mendukung terdapat korelasi, namun pada hasil penelitian lainnya tidak terbukti adanya korelasi.

Waktu menonton tayangan kekerasan di televisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah durasi dan frekuensi menonton tayangan yang mengandung unsur kekerasn di televisi. Berbagai faktor lain dianggap dapat mempengaruhi kaitan waktu menonton tayangan kekerasan di televisi terhadap perilaku agresif. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi lebih banyak dilakukan oleh laki-laki daripada perempuan, sedangkan dalam penelitian ini keduanya menjadi responden penelitian. Seperti yang diungkapkan oleh Milla (2005, hlm.4) bahwa terdapat beberapa faktor lain yang diidentifikasi dapat dijadikan sebagai prediktor dari efek media terhadap agresivitas adalah jenis kelamin, pendidikan orang tua dan prestasi akademik.

Selanjutnya, Bandura (dalam Susantyo, 2011, hlm. 190) beranggapan bahwa, „Perilaku agresif merupakan sesuatu yang dipelajari dan bukannya perilaku yang dibawa individu sejak lahir‟. Perilaku agresif ini dipelajari dari lingkungan sosial seperti interaksi dengan keluarga, interaksi dengan rekan sebaya dan media massa melalui modelling (melihat dan meniru).

Jika kita cermati pernyataan yang diungkapkan oleh Bandura maka kecenderungan perilaku agresif pada seseorang bukan hanya ditimbulkan oleh media massa, namun lingkungan keluarga yang disfungsional dan lingkungan

79

Desi Wulandari, 2015

KONTRIBUSI KEBIASAAN MENONTON TAYANGAN KEKERASAN DI MEDIA TELEVISI TERHADAP PERILAKU AGRESIF SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

teman sebaya juga mempunyai pengaruh terhadap perilaku agresif. Seperti yang diungkapkan oleh Ormrod (2009, hlm. 296) bahwa “Banyak remaja agresif hidup dalam lingkungan rumah tangga yang disfungsional, di mana konflik, amarah hukuman, kekerasan, kurangnya kasih sayang, dan perilaku sosial yang tidak tepat menjadi hal yang umum dalam keluarga”, sehingga terbentuknya perilaku agresif pada individu dikarenakan individu tersebut sering melihat bentuk kekerasan di antara orang tua atau bahkan menjadi korban kekerasan yang diberikan orang tua. Selanjutnya, Krahe (2005, hlm. 89) mengungkapkan bahwa „Hubungan dengan teman sebaya merupakan sumber pengaruh sosial lain yang sangat relevan dengan agresi‟. Hal ini terjadi karena salah satu perkembangan remaja ditandai dengan berkembanganya sikap konformitas yaitu kecenderungan untuk meniru dan mengikuti kelompoknya.

Faktor lainnya juga dapat dilihat dari cara seseorang menonton tayangan televisi, karena setiap orang berbeda dalam meluangkan waktunya di depan televisi. Heath (dalam Hutapea, 2010, hlm.3) membagi kelompok penonton berdasarkan cara orang meluangkan waktunya untuk menonton televisi, yaitu: 1)

Average Viewer, orang yang menonton televisi untuk menghabiskan waktu

luangnya.. 2).Selective Viewer, tipe penonton seperti ini lebih peduli pada acara-acara televisi. 3).Addict, tipe penonton seperti ini memiliki kebutuhan kompulsif untuk menonton acara apa saja yang ada di televisi. Dalam penelitian ini tidak mengelompokkan tipe penonton, sehingga tidak tergambarkan secara jelas responden termasuk ke dalam kelompok penonton tertentu.

Desi Wulandari, 2015

KONTRIBUSI KEBIASAAN MENONTON TAYANGAN KEKERASAN DI MEDIA TELEVISI TERHADAP PERILAKU AGRESIF SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2) Perilaku agresif berkorelasi rendah dengan pemilihan program acara dalam kebiasaan menonton tayangan kekerasan dengan kontribusi sebesar 0,112.

Televisi adalah media yang sangat potensial, berbagai program acara ditayangkan di televisi yang dapat mempengaruhi seseorang, mulai dari tindakan fisik sederhana, sikap, dan pandangan. Namun, disamping memberikan dampak positif, televisi juga memberikan dampak negatif bagi penontonnya, Rakhmat (2012, hlm. 240) menjelaskan bahwa “Televisi sering menyajikan adegan pembunuhan, pemerkosaan, perusakan”. Tayangan kekerasan di televisi muncul secara fisik maupun verbal, secara rinci Sunarto (dalam Muthmainah, 2012, hlm. 15) mengungkapkan bahwa „Tayangan kekerasan adalah tayangan yang menempatkan tema anti sosial, seksualitas, atau tema supranatural, tayangan yang menggunakan bahasa yang tidak pantas diucapkan dan didengar, dan tayangan yang tidak memperlihatlan batasan yang jelas antara yang baik dan buruk dan mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan‟.

Selanjutnya, Tamburaka (2013, hlm. 188) menambahkan bahwa “Tayangan kekerasan muncul secara fisik maupun verbal di televisi. Mulai adegan kekerasan memukul, menendang, hingga dalam bentuk kata-kata kasar dan makian merupakan konstruksi kekerasan media massa. Kekerasan kadang menunjukkan kekerasan pada diri sendiri, kekerasan kepada orang lain, dan kekerasan kolektif”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tayangan kekerasan adalah tayangan yang mengandung unsur kekerasan yang muncul secara fisik maupun verbal seperti kekerasan pada diri sendiri, kekerasan pada orang lain, kekerasan kolektif, tayangan yang bertema seksualitas, dan tema supranatural.

Seorang individu akan terstimulus dan memiliki perasaan bermusuhan yang lebih besar setelah menonton tayangan yang mengandung kekerasan dibandingkan dengan tayangan yang bersifat menghibur. Seperti yang diungkapkan oleh Myers (2012, hlm. 96) bahwa “Semakin berisi kekerasan acara

televisi yang ditonton anak, maka semakin agresif anak tersebut”. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bandura (dalam Koeswara, 1988, hlm. 43) bahwa „Agresi

81

Desi Wulandari, 2015

KONTRIBUSI KEBIASAAN MENONTON TAYANGAN KEKERASAN DI MEDIA TELEVISI TERHADAP PERILAKU AGRESIF SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

yang tampil dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam tontonan berpengaruh terhadap pembentukan agresi dikalangan individu-individu pengamat atau penonton terutama yang masih kanak-kanak atau berusia muda‟.

Selain itu, terdapat kecenderungan respon agresif dan emosional yang terganggu karena terpengaruh oleh tayangan yang mengandung kekerasan di media televisi. Bushman (dalam Krahe, 2005, hlm. 163) memaparkan bahwa „Ciri sifat agresif yang tinggi berkaitan dengan kebiasaan yang lebih tinggi dan preferensi yang lebih kuat untuk menonton tayangan media yang mengandung kekerasan‟. Kembali Bushman (dalam Krahe, 2005, hlm. 164) mengungkapkan bahwa „individu yang agresif lebih menyukai acara-acara yang mengandung kekerasan, yang kemudian menguatkan kecenderungan agresif mereka‟. Sebagai daya tarik biasanya tayangan televisi menayangkan adegan-adegan seperti kekerasan fisik, seksual, dan mental agar dapat membangkitkan emosi penonton karena dapat menjadi daya tarik untuk menonton tayangan yang sama.

Saat ini banyak kasus ditemukan bahwa tayangan televisi mengandung unsur kekerasan, mulai dari iklan, kartun, film, sinetron, horror, komedi, dan reality show seperti yang dilaporkan dalam situs berita Tempo Interaktif.com 11 Mei 2007, mengangkat judul “media massa penyumbang utama kekerasan anak”. Dalam laporan tersebut diungkap, Sekretaris Jendral Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan beberapa stasiun televisi, sekitar 62% menyajikan kekerasan (dalam Sumarjo, 2011, hlm. 104). Terkait hal tersebut, diharapkan orang tua dapat menemani dan membimbing anak-anak ketika sedang menonton televisi, dengan cara tersebut dapat membantu anak untuk memilih tayangan yang sesuai dengan umurnya.

Desi Wulandari, 2015

KONTRIBUSI KEBIASAAN MENONTON TAYANGAN KEKERASAN DI MEDIA TELEVISI TERHADAP PERILAKU AGRESIF SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

3) Perilaku agresif berkorelasi rendah dengan ketertarikan dalam kebiasaan menonton tayangan kekerasan, dengan kontribusi sebesar 0,111.

Individu akan mengamati dan mengungkapkan atau mencontoh tingkah laku yang ada dalam tayangan televisi apabila tayangan tersebut memiliki daya tarik serta isi dari tayangan memiliki efek yang menyenangkan. Pembentukan perilaku agresi salah satunya melalui belajar observasional yang memiliki asumsi bahwa sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan (observasi) atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model. Dalam belajar observasional, menurut Bandura (dalam Koeswara, E., 1988, hlm. 41), terdapat empat proses yaitu proses atensional, proses retensi, proses reproduksi, dan proses motivasional.

Empat proses satu sama lain saling berkaitan karena dalam proses atensional terdapat model berperilaku agresif yang menjadi daya tarik individu, model tersebut biasanya sering tampil dan memiliki karakteristik sehingga dapat berpengaruh pada individu tersebut, selanjutnya proses retensi yang dilakukan individu untuk menyimpan tingkah laku model berperilaku agresif berupa kode verbal atau kode imajinal di dalam memori, beralih pada proses selanjutnya yaitu proses reproduksi yang di dalamnya terdapat proses pengulangan tingkah laku model yang pada mulanya bersifat kaku, namun dengan adanya pengulangan yang terus menerus maka individu mampu meniru tingkah laku agresif dari model dengan sempurna. Proses terakhir yaitu dengan adanya motivasi dan perkuatan maka individu tertarik untuk melihat dan mencontoh perilaku agresif apa yang dilakukan oleh model.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tayangan-tayangan yang disajikan televisi yang bertemakan atau berisi adegan-adegan kekerasan memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan dan atau peningkatan agresivitas pada penonton dari kalangan anak-anak dan remaja. Sama halnya yang diungkapkan oleh Robinson dan Bachman (dalam Koeswara, 1988, hlm. 47) penelitiannya mengungkapkan bahwa „Anak-anak yang sering menyaksikan film-film kekerasan yang disajikan oleh televisi, rata-rata memiliki agresivitas yang lebih tinggi

83

Desi Wulandari, 2015

KONTRIBUSI KEBIASAAN MENONTON TAYANGAN KEKERASAN DI MEDIA TELEVISI TERHADAP PERILAKU AGRESIF SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dibandingkan dengan anak-anak yang tidak suka atau jarang menyaksikan film-film kekerasan‟.

Banyak teori yang telah dipaparkan mengenai adanya kontribusi dari kebiasaan menonton tayangan kekerasan di televisi terhadap perilaku agresif. Menurut Krahe (2005, hlm. 179) adanya proses meningkatnya perilaku agresif pada individu setelah menyaksikan tayangan kekerasan di televisi yaitu Pertama, munculnya sebuah rangsangan agresif yang memfasilitasi individu untuk mengobservasi peristiwa kekerasan yang ditayangkan di televisi. Kedua, menonton tayangan kekerasan di televisi dapat meningkatkan kemudahan untuk mengakses pikiran agresif dan perasaan agresif. Ketiga, seorang individu menonton tayangan kekerasan maka dapat mendorong proses belajar sosial dan mengakibatkan didapatkannya bentuk perilaku agresif yang baru. Keempat, intensitas yang tinggi menonton tayangan kekerasan dapat melemahkan hambatam penonton terhadap agresi sehingga agresi terlihat lumrah dan dapat diterima dalam interaksi sosial. Kelima, terjadinya proses habituasi atau pembiasaan yang disebabkan berulang kali menyaksikan tayangan kekerasan di televisi sehingga mengurangi sensitivitas terhadap penderitaan korban. Keenam, dampak ditayangkannya tayangan kekerasan di televisi juga dapat mempengaruhi persepsi penontonnya bahwa dunia adalah tempat yang jahat dan penuh kekerasan, Parkes, dkk.(2013, hlm.341) mengungkapkan “Violent content may

also increase children’s perceptions that the world is a scary place, resulting in

trauma symptoms including depression and anxiety”. Terakhir, jika seorang individu memiliki kebiasaan menonton tayangan kekerasan di televisi, maka perilaku agresif yang dimiliki oleh individu tersebut akan meningkat.

Desi Wulandari, 2015

KONTRIBUSI KEBIASAAN MENONTON TAYANGAN KEKERASAN DI MEDIA TELEVISI TERHADAP PERILAKU AGRESIF SISWA

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 4.3. Rancangan Pemberian Layanan Dasar

RENCANA PELAKSANAAN LAYANAN