• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem agribisnis pada komoditas susu segar yang terjadi di Indonesia menganut sistem kerja sama vertikal. Distribusi susu mengalir dari peternak ke koperasi dan langsung didistribusikan ke IPS. Sebagian besar produksi susu segar yang dihasilkan berasal dari peternakan rakyat sedangkan koperasi hanya sebagai pengumpul, pemberi layanan input produksi, dan mendistribusikan susu tersebut kepada IPS. Sistem ini dikenal dengan sistem cluster. Oleh karena itu keberadaan koperasi sangat berperan sekali dalam menunjang sistem cluster ini. Keterbentukan koperasi seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia. Koperasi merupakan wadah yang digunakan oleh para peternak untuk meningkatkan kesejahteraannya, di mana koperasi tersebut bertugas memberikan

suplai input produksi berupa konsentrat, inseminasi buatan, dan sebagainya dan sekaligus menampung susu dari peternak untuk dijual ke IPS.

Koperasi/KUD susu mengalami zaman keemasan pada saat impor sapi perah secara besar-besaran antara tahun 1980-1990-an, kini perannya seolah berkurang bahkan cenderung tidak dipercaya anggotanya. Persaingan usaha antar koperasi dan posisi tawar peternak sapi perah yang lemah merupakan indikasi ketidakmampuan koperasi/KUD susu mengendalikan bisnis persusuan di era pasar bebas. Sejak Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) terbentuk pada akhir tahun 1970-an hingga kini, produktivitas usaha ternak sapi perah rakyat masih tetap rendah, seolah bisnis ini jalan di tempat. Kondisi tersebut dikarenakan manajemen usaha ternak, kualitas pakan dan bibit sapi yang tersedia sangat tidak memadai. Memperbaiki manajemen peternakan rakyat merupakan problema yang cukup komplek, tidak hanya merubah sikap peternak tetapi juga bagaimana menyediakan stok bibit yang baik dan bahan baku pakan yang berkualitas dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan. Dampak lemahnya usaha ini terlihat pada rendahnya produksi dan kualitas susu. Kesemuanya sebagai akibat dari sistem manajemen usaha yang tradisional, sehingga harga susu yang terbentuk di tingkat peternak menjadi rendah. (Firman, 2007)

Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Budiman (2003) yang dikutip Firman (2007), menunjukkan bahwa jumlah koperasi persusuan yang ada di Indonesia mengalami peningkatan dari 27 koperasi pada tahun 1979 menjadi 231 koperasi tahun 2002. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan koperasi sangat dibutuhkan oleh peternak sapi perah. Adapun jumlah kepemilikan sapi perah per koperasi/KUD adalah sebagai berikut : pada tahun 1979 populasi sapi perah sebanyak 5.987 ekor sedangkan pada tahun 2002 mencapai 279.652 ekor yang berada di bawah koordinasi koperasi. Jumlah produksi susu yang dihasilkan sebanyak 12,61 ribu ton susu segar pada tahun 1979 menjadi 451,33 ribu ton susu segar pada tahun 2002. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Koperasi Persusuan di Indonesia

Keterangan Tahun

1979 1984 1989 1994 1999 2002

Jumlah koperasi 27 128 198 204 231 231

Populasi sapi perah KUD (ekor)

5.987 131.997 235.188 320.262 254.326 279.652 Produksi susu (ribu

ton)

12,61 61,84 279,15 361,69 402,47 451,33 Serapan tenaga kerja

peternak (orang)

1.497 32.999 58.797 79.426 83.420 85.999 Sumber : Supodo budiman (2003)

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia, pada awalnya hanya berupa usaha rumah tangga, banyak di antaranya merupakan penerusan kerja dari era pekerja di perusahaan sapi perah milik Belanda.

Pada tahun 1949, berdiri koperasi susu pertama di Indonesia, yaitu Gabungan Petani Peternak Sapi Perah Pengalengan (GAPPSIP) yang diprakarsai oleh Drh. Soejonodan dan Drh. Y. Hutabarat

Tahun 1962, berdiri koperasi peternak bernama SAE Pujon di Malang yang digerakkan oleh Drh. Memet Adinata

Tahun 1963, GAPPSIP terpaksa tutup karena buruknya situasi sosial ekonomi dan politik saat itu

Baru pada tahun 1969, di tempat yang sama kembali berdiri koperasi susu dengan nama Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS). Pendirian koperasi ini juga diprakarsai oleh seorang dokter hewan yaitu Drh. Daman Danuwijaya

Sampai dengan tahun 1978, di Provinsi Jawa Timur terdapat beberapa koperasi susu selain SAE Pujon, yaitu KUD Batu, Koperasi Setia Kawan di Nongkojar dan Koperasi Suka Makmur di Grati.

Namun demikian, produksi susu nasional antara tahun 1969-1978 berkembang dengan sangat lambat, dari total 28.900 ton hanya naik menjadi 62.300 ton (Bagdja, 2005; Sunaryo, 2004). Perjalanan koperasi persusuan di Indonesia jatuh dan bangun dihantam berbagai permasalahan, khususnya terkait dengan masalah pemasaran susu kepada Industri Pengolahan Susu (IPS). Koperasi susu memiliki posisi rebut tawar yang sangat lemah berhadapan dengan IPS, baik

dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, serta harga yang diperoleh. Masalah ini muncul dikarenakan IPS menggunakan susu impor sebagai bahan baku dan tidak mau menyerap susu domestik. Peternak yang telah berhasil diarahkan untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri menjadi sangat kecewa karena banyak susu yang rusak dan harus dibuang.

Titik balik perkembangan koperasi susu di Indonesia dimulai pada tahun 1978, berkat peranan dari Bustanil Arifin yang ditugaskan melihat koperasi persusuan di India, sehingga terbentuk Badan koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI) yang merupakan cikal bakal GKSI yang dibentuk setahun berikutnya. Dengan kelembagaan koperasi persusuan di level nasional, komunikasi antara gerakan koperasi persusuan dengan pemerintah berjalan lebih baik sehingga memungkinkan berperannya subsistem penunjang agribisnis susu di Indonesia. Beberapa permasalahan yang dihadapi koperasi susu sedikit demi sedikit dapat diatasi dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah, seperti halnya penetapan kouta impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan ternak serta impor sapi perah berkualitas. Baiknya komunikasi GKSI dengan pemerintah, dipertegas dengan terbentuknya Tim Koordinasi Persusuan Nasional (TKPN) yang melibatkan tujuh instansi pemerintah. TKPN bertugas memantau perkembangan produksi dan konsumsi susu di Indonesia. (Tawaf, 2010)

Jika kita ingin membangun koperasi persusuan yang berdaya saing di era globalisasi saat ini, beberapa langkah yang diperlukan adalah : pengurus koperasi sudah harus merubah berbagai kebijakan dan paradigmanya untuk lebih kepada untuk (for) anggota, bukan lagi hanya berpihak (pro) kepada anggota. Selain itu, perlunya menghindari in-side trader di dalam sistem manajemen koperasi, serta mengimplementasikan konsep rantai pasok dengan pendekatan sistem kawasan. (Tawaf, 2009)

Dokumen terkait