• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG PROSES PENCIPTAAN PENGETAHUAN ORGANISASI DI KOPERASI SUSU. Oleh WAHYU PURWANTO H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG PROSES PENCIPTAAN PENGETAHUAN ORGANISASI DI KOPERASI SUSU. Oleh WAHYU PURWANTO H"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

SUSU

Oleh

WAHYU PURWANTO

H24053152

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Penciptaan Pengetahuan Organisasi Di Koperasi Susu. Di bawah bimbingan Anggraini Sukmawati dan Dyah Utami Syafitri.

Sistem agribisnis pada komoditas susu segar yang terjadi di Indonesia menganut sistem kerja sama vertikal. Distribusi susu mengalir dari peternak ke koperasi dan langsung didistribusikan ke IPS (Industri Pengolahan Susu). Sistem ini dikenal dengan sistem cluster. Oleh karena itu keberadaan koperasi sangat berperan sekali dalam menunjang sistem cluster ini. Begitu pentingnya koperasi persusuan sebagai penyangga atau buffer antara peternak dan IPS, karena itu koperasi persusuan perlu dikembangkan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk pengembangan koperasi persusuan adalah dengan adanya inovasi. Penelitian ini dilakukan di enam koperasi susu, yaitu KPSBU, SAE, KUD Warga Mulya, KUD Jatinom, KUD Cepogo, dan KUD Musuk. Penelitian ini bertujuan (1) Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan organisasi pada koperasi susu di Indonesia, (2) Menganalisis faktor-faktor pendukung bagi proses penciptaan pengetahuan Koperasi Susu di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari kuesioner dan wawancara dengan karyawan enam koperasi. Data sekunder berasal dari data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer maupun oleh pihak lain. Selain itu data sekunder berasal dari studi pustaka yang berkaitan dengan bahasan penelitian seperti buku, jurnal, dan internet. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (visi bersama, pengelolaan percakapan, penyebaran pengetahuan internal, dan variabel dummy) terhadap variabel dependen (pengetahuan organisasi koperasi susu).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan (keseluruhan), Visi Bersama, Pengelolaan Percakapan, dan Penyebaran Pengetahuan Internal memiliki pengaruh nyata terhadap Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu (minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen). Namun secara parsial, ternyata hanya Pengelolaan Percakapan dan Penyebaran Pengetahuan Internal yang memiliki pengaruh nyata terhadap Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu. Variabel dummy D1 dan D4 juga berpengaruh nyata terhadap Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum tingkat pengetahuan organisasi Koperasi KPSBU dibandingkan dengan Koperasi SAE dan Koperasi Warga Mulya adalah lebih tinggi. Dan secara umum, karakteristik responden yang dilihat dari jenis kelamin, pengalaman, pendidikan, dan gaji tidak berpengaruh terhadap tingkat Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu. Untuk ukuran kebaikan model masih kurang bagus karena nilai Koefisien Determinasi (R2) = 29,7 persen yang artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor-faktor X dalam model regresi di atas hanya 29,7 persen sedangkan sisanya 70,3 persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

(3)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI

Pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh

WAHYU PURWANTO H24053152

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Pendukung Proses Penciptaan Pengetahuan Organisasi di Koperasi Susu

Nama : Wahyu Purwanto Nim : H24053152

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

(Ir. Anggraini Sukmawati, MM) (Utami Dyah Syafitri, M.Si) NIP : 196710201994032001 NIP : 197709172005012001

Mengetahui Ketua Departemen

(Dr. Ir. Jono Munandar, M.Sc ) NIP : 1961012319866011002

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1987 di Boyolali. Penulis bernama lengkap Wahyu Purwanto, merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Sudarto dan Paliyem.

Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanak Pertiwi, Kecamatan Ampel dan lulus pada Tahun 1993. Penulis melanjutkan pendidikan dasarnya di SD N Ampel 1 pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1999. Pada Tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikannya di SLTPN 1 Ampel dan lulus pada tahun 2002. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Boyolali pada tahun 2005, kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis awalnya diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian (mayor) namun pada semester enam, penulis pindah mayor ke Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen serta mengambil Supporting course.

Selama belajar di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, seperti menjadi Ketua Rohis Kelas B-23 TPB tahun 2005-2006, menjadi Ketua Rohis Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan tahun 2006-2007, mengikuti organisasi DPM TPB pada periode 2005-2006 sebagai Ketua Komisi Keuangan, LDK Al Hurriyyah pada periode 2005-2006 sebagai staf divisi PSDM, F-Mart Fateta sebagai Direktur tahun 2008, LDF Formasi Fem pada periode 2008-2009, dan OMDA FKMB dari tahun 2005-2010. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan lainnya di lingkungan Institut Pertanian Bogor.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, sang pemilik cinta yang memberikan kemudahan, inspirasi dan membelahkan ide-ide sehingga menggerakkan jasad, roh dan akal penulis untuk mencoba berkarya dengan penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Pendukung Proses Penciptaan Pengetahuan Organisasi di Koperasi Susu”. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan organisasi pada koperasi susu di Indonesia dan menganalisis faktor-faktor pendukung bagi proses penciptaan pengetahuan Koperasi Susu di Indonesia.

Penulis menyadari dalam penulisan ini, banyak pihak yang telah memberikan saran, bimbingan, bantuan dan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung sejak awal penulisan sampai akhirnya skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih pada :

1. Ir. Anggraini Sukmawati, MM dan Utami Dyah Syafitri, M. Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan, motivasi dan bimbingan kepada penulis selama penelitian hingga akhirnya skripsi ini terselesaikan.

2. Dr. Ir. Muhammad Syamsun, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis dalam membuat skripsi ini.

3. Seluruh dosen dan staf FEM, khususnya Departemen Manajemen yang telah membimbing dan membantu penulis selama menyelesaikan studi di FEM IPB 4. Ibu, Bapak, adik, dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan

semangat tiada henti kepada penulis, yang telah memberikan kasih sayang tiada batas kepada penulis.

5. Windry, Irma, Ani, Windarti, Aa, dan Fifin sebagai teman-teman satu bimbingan. Terima kasih atas kekompakan, dukungan dan bantuan kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan.

(7)

6. Seluruh teman seperjuangan Manajemen 42, 43, dan 44 serta teman-teman Ilmu dan Teknologi Pangan 42 yang telah membantu dan memberikan semangat serta rasa persaudaraan kepada penulis selama studi di IPB.

7. Ustadz dan saudara-saudaraku di PPM Al Inayah yang telah memberikan ilmu, bantuan dan dukungan semangat kepada penulis.

8. Sahabat-sahabatku (Nazrul, Syafrul, PT, Adit dll). Terima kasih atas kebersamaan dan persahabatan yang telah diberikan kepada penulis.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk dijadikan bahan perbaikan serta memberikan arah yang lebih jelas dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya.

Bogor, Mei 2010

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1 1.2.Perumusan Masalah ... 5 1.3.Tujuan Penelitian ... 6 1.4.Manfaat Penelitian ... 6

1.5.Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Pengetahuan ... 8

2.2. Peran Manajemen Pengetahuan ... 10

2.3. Penciptaan Pengetahuan dalam Organisasi ... 11

2.4. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Koperasi ... 18

2.5. Jenis dan Bentuk Koperasi ... 20

2.6. Koperasi Susu di Indonesia ... 22

2.7. Gabungan Koperasi Susu Indonesia ... 25

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran ... 27

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 28

3.4. Metode Pengumpulan Data... 29

3.5. Metode Sampling ... 29

3.6. Pengolahan dan Analisis Data ... 30

3.6.1. Skala Likert ... 30

3.6.2. Uji Validitas ... 31

3.6.3. Uji Reliabilitas ... 31

3.6.4. Analisis Regresi Linier Berganda ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Koperasi Susu ... 36

4.2. Karakteristik Responden ... 48

4.3. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda ... 63

4.4. Implikasi Manajerial ... 66

(9)

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 69 2. Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN ... 73 viii

(10)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Perkembangan Koperasi Persusuan di Indonesia ... 24

2. Variabel dan Indikatornya ... 34

3. Variabel Dummy Enam Koperasi ... 35

4. Variabel Dummy Karakteristik Responden ... 35

5. Komposisi Modal Koperasi SAE, 2001-2005 ... 43

6. Perkembangan Anggota………... ... 44

7. Perkembangan Usaha (dalam juta) ... 46

8. Aktiva dan Passiva Tahun 2004-2005 ... 47

9. Koperasi yang Diteliti dan Alamatnya ... 48

10. Uji F untuk Melihat Pengaruh Visi, PP, PPI, dan Variabel Dummy Terhadap PPO Secara Simultan ... 63

11. Model Regresi Linier Berganda (Pengaruh Visi Bersama, Pengelolaan Percakapan, Penyebaran Pengetahuan Internal dan Variabel Dummy Terhadap Pengetahuan Organisasi Koperasi Susu) ... 64

12. Model Summary ... 65

(11)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 28

2. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KPSBU ... 49

3. Pengalaman Bekerja Responden KPSBU Pada Koperasi Lain ... 50

4. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KPSBU ... 51

5. Perbandingan Gaji yang Diterima Responden KPSBU ... 51

6. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di SAE... 52

7. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden SAE ... 53

8. Perbandingan Gaji yang Diterima Responden SAE ... 53

9. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Jatinom ... 54

10. Pengalaman Bekerja Responden KUD Jatinom Pada Koperasi Lain ……… 55

11. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Jatinom ... 55

12. Perbandingan Gaji yang Diterima Responden KUD Jatinom ... 56

13. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Cepogo... 57

14. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Cepogo ... 58

15. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Warga Mulya .. 59

16. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Warga Mulya ... 60

17. Perbandingan Gaji yang Diterima Responden KUD Warga Mulya ... 60

18. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KUD Musuk ... 61

19. Pengalaman Bekerja Responden KUD Musuk Pada Koperasi Lain ... 62

20. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KUD Musuk... 62

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Uji Validitas ... 73

2. Uji Reliabilitas………. 77

3. Uji Regresi Linier Berganda Untuk Visi, PP, PPI, dan

Variabel Dummy Terhadap PPO………. 79 4. Uji Regresi Linier Berganda Untuk Visi, PP, PPI, dan

Variabel Dummy Terhadap PPO Menggunakan Data

Interval ………... 81

5. Uji Regresi Linier Berganda Untuk Karakteristik

Responden……… 83

(13)

1.1. Latar Belakang

Negara-negara yang berhasil dalam ekonomi dunia baru ini adalah mereka yang menerapkan prinsip-prinsip ekonomi berbasis pengetahuan. Nonaka yang dikutip Sangkala (2007) mengatakan bahwa di dalam ekonomi yang pasti hanya ketidakpastian, maka salah satu sumber daya saing yang pasti adalah pengetahuan. Karenanya adalah sangat penting bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk matang sebagai bangsa memasuki masyarakat pengetahuan serta mengupayakan berbagai jalan dan cara yang dapat mentranformasikan dirinya ke dalam organisasi berbasis pengetahuan. Apalagi perkembangan pesat perekonomian dunia didorong oleh dua penggerak utama yaitu globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Era globalisasi yang diwarnai dengan maraknya inovasi ditandai juga dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menyadari akan persaingan yang semakin berat, maka diperlukan perubahan paradigma dari yang semula mengandalkan pada resource-based

menjadi knowledge based yang bertumpu pada analisis bidang ilmu pengetahuan tertentu.

Kualitas SDM (sumber daya manusia) harus membawa penyadaran untuk mengantisipasi kesiapan membangun masyarakat berbasis pengetahuan

(knowledge based society) yang menjadi prasyarat keunggulan persaingan abad 21 ini. Saat ini Indonesia sedang bergerak dari suatu masyarakat industrial (industrial society) ke suatu masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Dimana sumber kekayaan bergeser dari modal ke knowledge (pengetahuan) dan jenis organisasi dari hierarki yang tajam (step hierarchy) menuju ke jaringan manusia (human networking).

Pergeseran paradigma tentang sumber daya apa yang memiliki potensi menggerakkan perusahaan agar lebih cerdas dan inovatif, dewasa ini telah ditemukan seiring dengan semakin tumbuhnya kesadaran dari para pelaku bisnis maupun akademisi bahwa aset pengetahuan yang tergolong sebagai aset tak berwujud (intangible asset) lebih penting dari sumber daya perusahaan yang selama ini dipahami seperti sumber daya finansial, bangunan, tanah, teknologi,

(14)

posisi pasar, dan aset berwujud (tangible assets) lainnya. Posisi pengetahuan sedemikian sentralnya sehingga Brown dan Duguid (2002) yang dikutip Sangkala (2007) dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya esensi perusahaan adalah organisasi pengetahuan.

Dua alasan utama pentingnya penerapan knowledge management

(manajemen pengetahuan) di organisasi adalah (i) terabaikannya dan kurangnya proses pengambilan keputusan di suatu organisasi berbasis pengetahuan yang memadai, (ii) kelambatan dalam diseminasi informasi dan pengetahuan di suatu organisasi, serta tiadanya real timeness dari penyerapan informasi dan pengetahuan oleh pengambil keputusan di suatu organisasi. Ikujiro Nonaka, Professor Institute of Business Research, Hitotsubashi University Tokyo, Japan dalam “Management Dynamism and Managerial Productivity”, Juni 1991 muncul

dengan pandangan mengenai inovasi sebagai esensi suatu proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi (organizational knowledge-creation). Nonaka (1991) yang dikutip Setiarso et al (2009) menekankan pentingnya interaksi dalam organisasi antara tingkatan puncak, menengah dan bawahan, sekaligus peranan manajemen menengah yang berkompetisi dalam penciptaan pengetahuan. Untuk mencapai organisasi yang inovatif maka perlu dibangun budaya knowledge sharing (berbagi pengetahuan).

Teori manajemen pengetahuan pada dasarnya muncul untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya mengelola pengetahuan. Guna menjawab pertanyaan tersebut, hal utama yang harus dilakukan adalah memahami bagaimana dan kapan penciptaan pengetahuan harus didukung dan bagaimana menggunakan akumulasi pengetahuan yang sudah tercipta sehingga dapat meningkatkan produktivitas organisasi. Pada tingkatan yang paling dasar, pengetahuan sebenarnya diciptakan oleh individu yang ada dalam organisasi. Organisasi pada dasarnya tidak dapat menciptakan pengetahuan tanpa individu-individu yang ada dalam organisasi. Fungsi organisasi adalah memberi dukungan kepada kreativitas individu yang ada dalam organisasi atau menyediakan suatu konteks bagi individu untuk menciptakan pengetahuan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian yang mengkaji tentang bagaimana peran faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan dalam sebuah organisasi.

(15)

Dalam terminologi ilmu manajemen, sudah sering dihembuskan bahwa koperasi merupakan salah satu tipe organisasi modern yang di dalamnya terdapat unsur-unsur organisasi yang telah terstruktur di dalam koperasi dan tunduk pada prinsip-prinsip manajemen dalam menjalankan fungsinya. Di sisi lain ditemukan pula keunikan dalam pengertian koperasi, ia selaku organisasi kumpulan sejumlah orang yang tidak atas dasar kumpulan modal dan sekaligus juga sebagai organisasi bisnis yang mempunyai peran sebagai pelaku usaha. Selaku kumpulan orang, dalam tubuh koperasi tentu sarat pula dengan nilai-nilai kemanusiaan, baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus. Selaku organisasi bisnis tentu sarat pula dengan indikator-indikator manajemen bisnis, teknologi, legalitas, dan pengetahuan tentang kondisi atau peluang-peluang usaha yang prospektif.

Secara naluri diperkirakan masih terdapat banyak orang yang menghendaki dan meyakini bahwa koperasi masih layak dipertahankan dan ditumbuhkembangkan, dimana koperasi telah berperan aktif dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Di sisi lain stereotipe terhadap keberadaan lembaga koperasi masih berkumandang di berbagai kalangan. koperasi dinilai sebagai lembaga ekonomi yang hampir gagal, tidak efisien dan tidak bisa bersaing. Koperasi juga dinilai sebagai sarang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Jika menoleh pada kisah perkembangan koperasi di Indonesia sejak era penjajahan hingga era kemerdekaan, dapat disimpulkan bahwa perjalanan hidup ekonomi rakyat melalui koperasi mengalami pasang surut mulai dari kondisi bangsa yang terjajah, lalu ke kondisi ekonomi yang diwarnai proteksi hingga fase ekonomi pasar bebas. Adalah tidak mudah menghadapi perubahan lingkungan bisnis tersebut, terlebih bagi lembaga perkoperasian dengan skala usaha ekonomi serba terbatas. Maka, wajar jika eksistensi koperasi dapat pula terkena imbas yang dahsyat.

Namun demikian, berdasarkan pengalaman empirik, sekelompok masyarakat masih teguh bergabung dalam koperasi, baik di perkotaan, pedesaan, bahkan sampai daerah terpencil. Data yang dihimpun Biro Perencanaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM per tahun 2006 terdapat 141.314 koperasi di Indonesia dengan jumlah anggota 27. 907. 441 orang. Secara umum koperasi telah berperan dalam masyarakat antara lain berupa : (1) meningkatkan

(16)

skala usaha anggota dan efisiensi, (2) meningkatkan bargaining position terhadap pasar, (3) manfaat sosial.

Untuk dapat menopang koperasi sebagai unit bisnis dan gerakan ekonomi masyarakat, diperlukan inovasi baru yang dapat diperoleh melalui pendekatan-pendekatan yang melibatkan multidisiplin ilmu seperti ilmu ekonomi, manajemen bisnis, sosial budaya, psikologi, manajemen organisasi koperasi, dan ilmu hukum. (Tim penyusun dalam Sinaga et al, 2008)

Sistem agribisnis pada komoditas susu segar yang terjadi di Indonesia menganut sistem kerja sama vertikal. Distribusi susu mengalir dari peternak ke koperasi dan langsung didistribusikan ke IPS (Industri Pengolahan Susu). Sebagian besar produksi susu segar yang dihasilkan berasal dari peternakan rakyat sedangkan koperasi sebagai pengumpul dan pengolah, pemberi layanan input produksi, dan mendistribusikan susu tersebut kepada IPS. Sistem ini dikenal dengan sistem cluster. Oleh karena itu keberadaan koperasi sangat berperan sekali dalam menunjang sistem cluster ini. Keterbentukan koperasi seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia. Koperasi merupakan wadah yang digunakan oleh para peternak untuk memperlancar proses usahanya dan meningkatkan kesejahteraannya, di mana koperasi tersebut bertugas memberikan suplai input produksi berupa konsentrat, inseminasi buatan, dan sebagainya dan sekaligus menampung susu dari peternak untuk dijual ke IPS.

Koperasi/KUD susu mengalami zaman keemasan pada saat impor sapi perah secara besar-besaran antara tahun 1980-1990-an, kini perannya seolah berkurang bahkan cenderung tidak dipercaya anggotanya. Persaingan usaha antar koperasi dan posisi tawar peternak sapi perah yang lemah merupakan indikasi ketidakmampuan koperasi/KUD susu mengendalikan bisnis persusuan di era pasar bebas. Sejak Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) terbentuk pada akhir tahun 1970-an hingga kini, produktivitas usaha ternak sapi perah rakyat masih tetap rendah, seolah bisnis ini jalan di tempat. Kondisi tersebut dikarenakan manajemen usaha ternak, kualitas pakan dan bibit sapi yang tersedia sangat tidak memadai. Memperbaiki manajemen peternakan rakyat merupakan problema yang cukup komplek, tidak hanya merubah sikap peternak tetapi juga bagaimana menyediakan stok bibit yang baik dan bahan baku pakan yang berkualitas dalam

(17)

jumlah yang memenuhi kebutuhan. Dampak lemahnya usaha ini terlihat pada rendahnya produksi dan kualitas susu. Kesemuanya sebagai akibat dari sistem manajemen usaha yang tradisional, sehingga harga susu yang terbentuk di tingkat peternak menjadi rendah. (Firman, 2007)

Begitu pentingnya koperasi persusuan sebagai penyangga atau buffer antara peternak dan IPS, karena itu koperasi persusuan perlu dikembangkan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk pengembangan koperasi persusuan adalah dengan adanya inovasi. Brown dan Duguid (2002) yang dikutip Sangkala (2007) menjelaskan bahwa posisi pengetahuan sangat penting dalam organisasi sehingga penciptaan pengetahuan dalam organisasi menduduki posisi yang sangat penting karena apabila aktivitas ini mengalami kemandulan, akan berdampak kepada ketidakmampuan organisasi dalam menciptakan inovasi-inovasi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian yang mengkaji tentang bagaimana peran faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan dalam koperasi, khususnya koperasi susu.

1.2. Perumusan Masalah

Pergeseran paradigma tentang sumber daya apa yang memiliki potensi menggerakkan perusahaan agar lebih cerdas dan inovatif, dewasa ini telah ditemukan seiring dengan semakin tumbuhnya kesadaran dari para pelaku bisnis maupun akademisi bahwa aset pengetahuan yang tergolong sebagai aset tak berwujud (intangible asset) lebih penting dari sumber daya perusahaan yang selama ini dipahami seperti sumber daya finansial, bangunan, tanah, teknologi, posisi pasar, dan asset berwujud (tangible assets) lainnya. Posisi pengetahuan sedemikian sentralnya sehingga Brown dan Duguid (2002) yang dikutip Sangkala (2007) dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya esensi perusahaan adalah organisasi pengetahuan. Sehingga penciptaan pengetahuan dalam organisasi menduduki posisi yang sangat penting karena apabila aktivitas ini mengalami kemandulan, akan berdampak kepada ketidakmampuan organisasi dalam menciptakan inovasi-inovasi produk.

Sistem agribisnis pada komoditas susu segar yang terjadi di Indonesia menganut sistem kerja sama vertikal. Distribusi susu mengalir dari peternak ke

(18)

koperasi dan langsung didistribusikan ke IPS. Sebagian besar produksi susu segar yang dihasilkan berasal dari peternakan rakyat sedangkan koperasi hanya sebagai pengumpul, pemberi layanan input produksi, dan mendistribusikan susu tersebut kepada IPS. Sistem ini dikenal dengan sistem cluster. Oleh karena itu keberadaan koperasi susu sangat berperan sekali dalam menunjang sistem cluster ini, karena itu koperasi persusuan perlu dikembangkan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk pengembangan koperasi persusuan adalah dengan adanya inovasi. Dan menurut Brown dan Duguid (2002) yang dikutip Sangkala (2007), proses penciptaan pengetahuan di organisasi akan berpengaruh terhadap inovasi. Berdasarkan paparan di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana peran faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan di organisasi (koperasi susu).

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan organisasi pada koperasi susu di Indonesia

2. Menganalisis faktor-faktor pendukung bagi proses penciptaan pengetahuan Koperasi Susu di Indonesia .

1.4. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah 1. Bagi penulis, penelitian ini sebagai bahan pembelajaran, meningkatkan

pengetahuan dan wawasan tentang manajemen pengetahuan, khususnya tentang faktor pendukung proses penciptaan pengetahuan organisasi serta penerapan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama di bangku kuliah.

2. Bagi praktisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan organisasi dalam membuat kebijakan pengembangan dan pengelolaan SDM serta dapat menjadi acuan untuk meningkatkan kinerja organisasi secara terus-menerus.

3. Sebagai bahan referensi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut di bidang yang sama.

(19)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk menganalisis faktor pendukung dalam proses penciptaan pengetahuan di organisasi, di mana faktor yang dianalisis adalah visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan penyebaran kuesioner kepada karyawan dan juga didukung dengan studi literatur lainya.

(20)

2.1. Manajemen Pengetahuan

Dalam buku yang ditulis oleh Von Krough et al (2000) dan Choo (1998) yang dikutip Setiarso et al (2009), disampaikan ringkasan gagasan yang mendasari pengertian pengetahuan adalah sebagai berikut :

a. Pengetahuan merupakan kepercayaan yang dapat dipertanggungjawabkan

(justified true believe)

b. Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus terpikirkan (tacit) c. Penciptaan inovasi secara efektif bergantung pada konteks yang

menungkinkan terjadinya penciptaan tersebut

d. Penciptaan inovasi yang melibatkan lima langkah utama yaitu berbagi pengetahuan terpikirkan (tacit), menciptakan konsep, membenarkan konsep, membangun prototype, dan melakukan penyebaran pengetahuan tersebut.

Menurut Sangkala (2007), Pergeseran kesadaran tentang pentingnya sumber daya pengetahuan dapat ditelusuri melalui berbagai laporan hasil penelitian yang dilakukan Kendrick (1990, dalam Sullivan, 2000). Pada tahun 1929, rasio penggunaan antara modal yang bersifat tangible dengan modal yang bersifat intangible berkisar antara 30:70 persen. Pada tahun 1990 rasio tersebut bergeser menjadi 63:37 persen. Dalam penelitian Dr. Blair (Tuomi, 1999) dilaporkan pula bahwa pada tahun 1978 terdapat 80% keseluruhan nilai perusahaan terkait dengan modal yang tangible assets dan hanya 20% terkait dengan modal yang bersifat intangible assets. Sepuluh tahun kemudian, di tahun 1988, keadaan modal yang bersifat tangible assets bergeser menjadi 45% dan 55% berupa modal yang bersifat intangible assets. Pada penelitian berikutnya, yakni di tahun 1998, terungkap bahwa hanya 30% nilai perusahaan bersumber dari modal yang bersifat tangible assets sedangkan 70% nilai perusahaan terkait dengan modal yang bersifat intangible assets. Hasil penelitian tersebut juga melaporkan bahwa hasil studi yang dilakukan terhadap perkembangan ekonomi di Amerika dan negara-negara Eropa Barat mengalami pergeseran serupa, dan pergeseran ini diperkirakan akan berlanjut hingga ke seluruh dunia.

(21)

Menurut Davenport dan Prusak (1998) yang dikutip Munir (2008), pengetahuan bukanlah data, bukan pula informasi, namun sulit sekali dipisahkan dari keduanya. Data dan informasi merupakan bahan baku yang diolah oleh aksi atau tindakan menjadi pengetahuan. Menurut Probst et al (2000) yang dikutip Munir (2008), pengetahuan adalah keseluruhan kognisi dan keterampilan yang digunakan oleh manusia untuk memecahkan masalah. Sedangkan definisi paling sederhana mengenai pengetahuan adalah kapasitas untuk melakukan tindakan dengan efektif.

Manajemen pengetahuan pada dasarnya muncul untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya mengelola pengetahuan. Kesadaran untuk menerapkan pendekatan manajemen pengetahuan ke dalam strategi bisnis diperlukan karena terbukti perusahaan yang menjadikan sumber daya pengetahuan sebagai aset utamanya senantiasa mampu mendorong perusahaan lebih inovatif yang bermuara kepada kepemilikan daya saing perusahaan terhadap pesaingnya. (Sangkala, 2007). Untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari pengetahuan yang dimiliki dan untuk mengetahui pengetahuan-pengetahuan yang harus dimiliki, perusahaan harus mengelola pengetahuannya melalui manajemen pengetahuan. Tiwana (2000) yang dikutip Munir (2008), menyampaikan bahwa manajemen pengetahuan adalah pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima. Melalui manajemen pengetahuan, secara sadar organisasi mengidentifikasikan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki dan memanfaatkannya untuk meningkatkan kinerja dan menghasilkan berbagai inovasi. Untuk memperoleh manfaat menajemen pengetahuan yang sebesar-besarnya, organisasi juga aktif mengidentifikasi dan mengakuisisi pengetahuan-pengetahuan berkualitas yang ada di lingkungan eksternal organisasi.

Menurut Skryme yang dikutip Setiarso et al (2009), menyampaikan bahwa salah satu tantangan manajemen pengetahuan adalah menjadikan manusia berbagi pengetahuan mereka. Untuk menghadapi tantangan tersebut Skryme menyarankan 3 C, yaitu Culture, Co-opetition (menyatukan kerjasama dengan persaingan), dan

(22)

Horwitch dan Armacost (2002) yang dikutip Sangkala (2007) mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai pelaksanaan penciptaan, penangkapan, pentransferan, dan pengaksesan pengetahuan dan informasi yang tepat ketika dibutuhkan untuk membuat keputusan yang lebih baik, bertindak dengan tepat, serta memberikan hasil dalam rangka mendukung strategi bisnis. Davidson dan Voss (2002) yang dikutip Sangkala (2007) mendefinisikan manajemen pengetahuan sebagai sistem yang memungkinkan perusahaan menyerap pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas para stafnya untuk perbaikan kinerja perusahaan. Davidson dan Voss juga menyatakan bahwa manajemen pengetahuan merupakan suatu proses yang menyediakan cara sehingga perusahaan dapat mengenali di mana aset intelektual kunci berada, dan menangkap ukuran aset intelektual yang relevan untuk dikembangkan.

Menurut Santosu dan Surmach (2001) yang dikutip Sangkala (2007) bahwa manajemen pengetahuan merupakan proses di mana perusahaan melahirkan nilai-nilai dan aset intelektual dan aset yang berbasiskan pengetahuan. Manajemen pengetahuan merupakan seni untuk menciptakan nilai. Menurut Bergerson (2003) yang dikutip Sangkala (2007), manajemen pengetahuan merupakan suatu pendekatan yang sistematik untuk mengelola aset intelektual dan informasi lain sehingga memberikan keunggulan bersaing bagi perusahaan. Sementara itu menurut pandangan Sveiby (1998) yang dikutip Sangkala (2007), manajemen pengetahuan adalah seni penciptaan nilai dari aset pengetahuan. 2.2. Peran Manajemen Pengetahuan

Peranan manajemen pengetahuan dapat dilihat dalam kaitannya dengan penggunaan pengetahuan sebagai basis untuk melahirkan inovasi, meningkatkan responsivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan stakeholder, meningkatkan produktivitas dan kompetensi karyawan yang telah diberi tugas dan tanggung jawab. Pengetahuan dan kapabilitas merupakan sumber daya saing yang berkelanjutan bagi perusahaan. (Kumar dan William 1993; Drucker 1993; Nonaka 1994; Nonaka dan Takeuchi 1995; Quinn 1992; Sveiby 1997; Teece, Pisano, dan Shuen 1997; Toffler 1990; Winter 1987: yang dikutip Sangkala (2007))

Obsevasi dari para ahli seperti Quinn (1992) menemukan bahwa peningkatan daya saing perusahaan sangat tergantung kepada sumber daya yang

(23)

berbasis pengetahuan seperti teknologi know-how dan pemahaman yang mendalam kepada para pelanggannya. Drucker (1993) berargumentasi bahwa pengetahuan telah menjadi sumber daya paling berguna di dalam dunia bisnis saat ini. Toffler (1990) mengklaim bahwa pengetahuan adalah sumber kekuasaan yang paling berkualitas dan kunci pergeseran kekuasaan ke depan. Pengetahuan menjadi sumber daya yang sangat penting bagi daya saing perusahaan karena sulit diperdagangkan dan diimitasi.

2.3. Penciptaan Pengetahuan dalam Organisasi

Menurut Sangkala (2007), penciptaan pengetahuan dalam organisasi dapat dilakukan dengan enam langkah, yaitu :

1. Memperluas dan Mengembangkan Pengetahuan Pribadi

Penggerak utama proses penciptaan pengetahuan di dalam organisasi adalah individu yang berada dalam organisasi. Individu-individu tersebut mengakumulasi pengetahuan tacit melalui pengalaman yang mereka miliki. Kualitas pengetahuan tacit dipengaruhi oleh dua hal penting, yaitu faktor keragaman pengalaman individu dan kualitas pengetahuan terhadap pengalaman yang merupakan penjelmaan pengetahuan ke dalam komitmen pribadi yang telah lama melekat di dalam pengalaman itu sendiri.

2. Berbagi Pengetahuan Tacit

Salah satu cara mengimplementasikan penciptaan pengetahuan dalam organisasi adalah dengan menciptakan self-organizing team, dimana anggota organisasi berkolaborasi untuk menciptakan konsep baru. Self-organizing team

yang dibentuk merupakan tim yang anggota-anggotanya berasal dari berbagai fungsi. Keragaman asal anggota tim sangat penting bagi organisasi dalam rangka memutuskan kapan dan bagaimana menentukan bidang interaksi, dimana dan kapan individu dapat berinteraksi. Self-organizing team dapat memicu penciptaan pengetahuan organisasi melalui dua proses, yaitu pertama, organisasi memfasilitasi tumbuhnya saling percaya di antara anggota organisasi dan mempercepat terciptanya perspektif yang secara eksplisit berasal dari anggota organisasi itu sendiri yang dikenal dengan pengetahuan tacit. Kedua, berbagi perspektif implisit yang dikonseptualisasikan melalui dialog yang kontinu di antara anggota organisasi. Berbagi pengalaman juga mampu memfasilitasi

(24)

penciptaan perspektif umum yang dapat dibagi oleh anggota tim sebagai bagian dari pengetahuan tacit masing-masing.

3. Pengonseptualisasian

Setelah tercipta saling percaya di antara anggota organisasi dan telah terbentuk secara implisit perspektif yang sama melalui berbagi pengalaman, tim selanjutnya memerlukan pengartikulasian perspektif melalui dialog yang kontinu. Mode yang dominan dalam pengubahan pengetahuan dalam tahap ini adalah eksternalisasi. Teori organizational learning telah banyak memberikan perhatian terhadap proses ini. Perspektif tacit diubah ke dalam bentuk konsep eksplisit yang dapat dibagi kepada tim. Dialog secara langsung memfasilitasi proses ini dengan menggiatkan eksternalisasi pada level individual. Dialog dalam bentuk tatap muka merupakan salah satu upaya membangun konsep karena hal ini memberikan peluang bagi seseorang untuk menguji asumsi maupun hipotesisnya. Agar dialog tersebut produktif, dialog harus : 1) dilakukan oleh berbagai macam orang dan bersifat temporer sehingga ada ruang untuk perbaikan dan negosiasi; 2) para peserta dalam dialog harus dapat mengekspresikan ide-idenya secara bebas dan jujur.

Upaya konseptualisasi tidak hanya diciptakan melalui metode deduktif dan induktif tetapi juga abduktif. Abduktif memiliki peranan penting di dalam proses konseptualisasi. Deduksi dan induksi secara vertikal berorientasi kepada proses memberi alasan, sementara abduksi merupakan perluasan secara lateral dari alasan di mana berpusat kepada penggunaan metafora-metafora. Biasanya proses induktif dan deduktif digunakan ketika sebuah pemikiran atau image direvisi atau untuk memberi makna terhadap sebuah konsep baru.

4. Pengkristalisasian

Kristalisasi dapat dipandang sebagai proses dimana berbagai macam bagian atau departemen di dalam organisasi menguji realitas dan penerapan konsep yang diciptakan oleh tim. Proses ini biasanya difasilitasi biasanya oleh apa yang disebut dengan kegiatan percobaan. Kegiatan ini merupakan proses sosial dimana terjadi pada level kolektif yang biasanya disebut dengan dinamika hubungan kerja sama (Haken, 1978) atau sinergis antara berbagai fungsi dan departemen dalam organisasi. Hubungan ini cenderung dapat dilakukan dengan efektif apabila

(25)

tersedia informasi yang cukup. Jika tidak tersedia informasi yang cukup tersedia, biasanya inisiatif dilakukan oleh para ahli yang dianggap memiliki informasi dan pengetahuan yang lebih.

Penciptaan pengetahuan berlangsung dalam interaksi para anggota tim untuk selanjutnya dikristalisasi dalam bentuk yang lebih konkrit, misalnya berupa produk, konsep, atau sistem. Kristalisasi ini merupakan bentuk pengubahan pengetahuan yang kegiatannya diistilahkan oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) sebagai model konversi internalisasi. Proses kristalisasi merupakan proses sosial yang terjadi pada tingkatan kolektif yang terealisasi melalui apa yang disebut oleh Haken (1978) sebagai “dynamic cooperative relation or synergetics” di antara

berbagai fungsi dan departemen dalam organisasi. 5. Penilaian Pengetahuan

Penilaian merupakan tahap terakhir menyatukan dan menyaring apakah pengetahuan yang diciptakan dalam organisasi benar-benar bermanfaat bagi organisasi dan masyarakat. Artinya penilaian sangat menentukan kualitas pengetahuan yang diciptakan dan mencakup kriteria atau standar penilaian. Persoalan yang terkait dengan standar penilaian ini antara lain terkait dengan biaya, keuntungan minimalnya, tingkat di mana produk dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan perusahaan, termasuk nilai yang dijanjikan yang di luar fakta atau pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Hal ini bisa berupa opini yang lebih luas dan lebih dari sekedar penciptaan pengetahuan, misalnya visi organisasi dan persepsi yang terkait dengan perjalanan, romantisme, dan estetikanya. Di dalam organisasi biasanya yang paling menentukan adalah standar penilaian. Standar penilaian harus dilakukan dalam terminologi konsistensi dengan sistem nilai yang paling tinggi. Kemampuan pimpinan memelihara keberlanjutan refleksi diri dalam perspektif yang lebih luas sangat diperlukan apabila tetap menginginkan kualitas penciptaan pengetahuan terjadi.

6. Menjaringkan pengetahuan

Selama tahap penciptaan pengetahuan organisasi, konsep yang telah diciptakan, dikristalisasikan, selanjutnya dinilai dalam organisasi dan diintegrasikan ke dalam basis pengetahuan organisasi untuk disebarkan ke seluruh jaringan organisasi. Pengetahuan organisasi yang telah tercipta tersebut

(26)

selanjutnya dikelola kembali melalui proses interaksi antara visi organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya dengan konsep baru yang telah diciptakan. Untuk menjembatani antara konsep besar dengan konsep baru yang tercipta diperlukan satu konsep menengah. Jadi konsep menengah ini menghilangkan ketidakjelasan konsep besar ke tingkat konsep baru maupun sebaliknya. Kadang-kadang konsep besar tidak dimengerti dengan baik pada setiap tingkatan kecuali konsep menengah memperjelas konsep yang sudah tercipta tersebut. Upaya memperjelas tersebut dilakukan melalui penciptaan atau penyusunan kembali konsep besar yang diberikan oleh pimpinan puncak serta konsep menengah yang diciptakan oleh pimpinan menengah. Interaksi ini dimediasi secara nyata dalam bentuk penyatuan informasi, yang merupakan dinamika lain aktivitas self organizing team untuk menjejaringkan pengetahuan yang terus-menerus menciptakan informasi dan makna baru.

Hal yang perlu dicatat bahwa proses penciptaan pengetahuan tidak pernah berakhir dan merupakan proses yang berputar baik yang terjadi dalam organisasi maupun dengan lingkungannya. Dengan lingkungan karena lingkungan merupakan sumber pemicu penciptaan pengetahuan dalam organisasi. Salah satu aspek hubungan antara penciptaan pengetahuan dengan lingkungan digambarkan oleh reaksi produk oleh pelanggan, pesaing, dan pemasok. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi berlangsung bagaikan sebuah siklus yang dimulai dari memperbesar pengetahuan individu, berbagi pengetahuan tacit dan konseptual, membangun tim mengelola dirinya sendiri, berbagi pengalaman, menyusunnya ke dalam bentuk konsep, mengkristalisasikan, menilai kualitasnya, menjaringkan ke seluruh organisasi baik internal maupun ke seluruh lingkungan organisasi.

Menurut Profesor Nonaka yang dikutip Setiarso et al (2009), bahwa proses penciptaan pengetahuan organisasi terjadi karena adanya interaksi (konversi) antara pengetahuan tacit dan pengetahuan eksplisit, melalui proses sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi. Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) yang dikutip Munir (2008), interaksi dinamis antara satu bentuk pengetahuan ke bentuk lainnya disebut konversi pengetahuan. Terdapat empat cara konversi pengetahuan, yaitu sosialisasi (Sosialization), eksternalisasi (Eksternalization),

(27)

kombinasi (Combination), dan internalisasi (Internalization). Di bawah ini adalah uraian masing-masing cara konversi pengetahuan :

1. Sosialisasi (Socialization)

Sosialisasi merujuk pada konversi pengetahuan tarbatinkan ke pengetahuan terbatinkan. Istilah sosialisasi ini digunakan untuk menekankan pada pentingnya kegiatan bersama antara sumber pengetahuan dan penerima pengetahuan dalam proses konversi pengetahuan terbatinkan.

2. Eksternalisasi (Externalization)

Eksternalisasi merujuk pada konversi pengetahuan terbatinkan ke pengetahuan eksplisit. Melalui cara ini pengetahuan terkristalisasikan sehingga dapat didistribusikan ke pihak lain dan menjadi basis bagi pengetahuan baru. Pada tahap ini, pengetahuan terbatinkan diekspresikan dan diterjemahkan menjadi metafora, konsep, hipotesis, diagram, model atau prototipe sehingga dapat dimengerti oleh pihak lain.

3. Kombinasi (Combination)

Kombinasi merujuk pada konversi pengetahuan dari pengetahuan ekplisit ke pengetahuan eksplisit. Dengan cara ini pengetahuan ditukarkan dan dikombinasikan melalui media seperti dokumen-dokumen, rapat-rapat, percakapan telepon dan komunikasi melalui jaringan komputer. Dalam praktiknya kombinasi bergantung pada tiga proses. Pertama, pengetahuan eksplisit dikumpukan dari dalam dan dari luar perusahaan, kemudian dikombinasikan. Kedua, pengetahuan eksplisit disunting atau diproses agar dapat lebih bermanfaat bagi perusahaan. Ketiga, pengetahuan-pengetahuan ekplisit tersebut disebarkan ke seluruh perusahaan melalui berbagai media.

4. Internalisasi (Internalization)

Internalisasi merujuk pada konversi pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan terbatinkan. Cara ini mirip sekali dengan kegiatan yang disebut belajar sambil melakukan atau learning by doing. Internalisasi pengetahuan digunakan untuk memperluas, memperdalam, serta mengubah pengetahuan terbatinkan yang dimiliki oleh setiap anggota perusahaan. Bila pengetahuan berhasil diinternalisasikan ke dalam pengetahuan terbatinkan para individu dalam

(28)

bentuk model mental bersama maka pengetahuan ini akan menjadi aset yang luar biasa berharga bagi perusahaan.

Berdasarkan teori Von Krogh et al (2000) yang dikutip Irsan (2005), menunjukkan adanya lima faktor yang dipandang penting dalam membuat enabler

pengetahuan di perusahaan, lima faktor ini sekaligus sebagai pemberdaya pengetahuan yaitu :

1. Visi bersama (Instill a knowledge vision),

Visi bersama merupakan visi pengetahuan yang memuat apa yang diinginkan di masa depan dan kebutuhan saat ini. Visi pengetahuan menjelaskan relevansi dari kreasi pengetahuan bagi organisasi. Visi pengetahuan ini harus menciptakan kepedulian terhadap kreasi pengetahuan pada semua level dan harus dapat mengidentifikasi sharing pengetahuan sebagai nilai tambah bagi perusahaan. Visi juga harus dapat menciptakan rasa percaya, peduli, dan kooperatif daripada rasa curiga, tidak acuh, dan persaingan internal.

2. Pengelolaan percakapan (manage conversation).

Pengelolaan percakapan merupakan membangun suasana dialogis agar terdapat konfirmasi dan kreasi pengetahuan. Dialog personal adalah satu dari banyak mekanisme efektif untuk informasi dan pertukaran pengetahuan. Mengelola jumlah percakapan untuk menciptakan suatu lingkungan yang di mana setiap individu dapat berpartisipasi dalam (semiformal) percakapan dan membuat kontribusi yang berharga. Seorang pengelola percakapan (conversation manager) mengelola membuat penjelasan tentang peraturan-peraturan eksplisit untuk etika percakapan, intervensi percakapan, dan percakapan langsung serta memperkenalkan bahasa yang inovatif untuk menjelaskan konsep-konsep dan ide-ide. Bentuk dan aturan-aturan percakapan berbeda untuk tiap-tiap langkah penciptaan pengetahuan.

3. Mobilisasi penggerak pengetahuan (mobilize knowledge activists). Mobilisasi penggerak pengetahuan yaitu menggerakkan aktivitas pengetahuan yaitu pemeran pada proses kreasi pengetahuan yang meliputi katalisator, koordinator, dan merchant of foresight. Aktivitas pengetahuan adalah orang-orang yang berperan (karena memfasilitasi) proses kreasi pengetahuan. Mereka bertindak sebagai katalis dan memulai inisiatif dengan mengajak serta

(29)

orang-orang yang tepat. Mereka bertindak sebagai koordinator dengan menciptakan konteks yang tepat dan membuat hubungan dengan visi global pengetahuan sebaik membuat hubungan lokal di dalam organisasi. Mereka bertindak sebagai merchant dengan mengusahakan perhatian yang menarik sehingga setiap orang di dalam organisasi ikut berpartisipasi. Hal ini tentu berlainan dengan pegawai pengetahuan tradisional yang mencoba mengontrol proses kreasi pengetahuan, maka aktivis pengetahuan bertujuan memberdayakannya.

Telah diketahui dari para pakar sosiologi bahwa banyak orang menemukan pekerjaan melalui kontak personal, dalam arti bahwa mayoritas hubungan personal bukan hanya dengan teman dekat tetapi juga ikatan yang tidak terlalu dekat dan ikatan seperti ini adalah orang-orang yang berada pada lingkungan luar dan mempunyai pengetahuan yang berbeda dari orang-orang yang berada di lingkaran dalam/yang dekat dengannya. Granovetter (1970) yang dikutip oleh Irsan (2005), menyatakan bahwa semakin banyak orang berkenalan maka semakin berkuasalah orang tersebut. Aktivis pengetahuan mempunyai tujuan profesional untuk menghubungkan orang yang tepat dan melakukan hal ini sedemikian rupa sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sangat baik.

4. Penyediaan lingkungan yang kondusif (create the right context). Penyediaan lingkungan yang kondusif yaitu memadukan konteks visikal, mental, dan virtual. Sangat penting untuk mengetahui dan mengerti bahwa konteks yang tepat harus mendukung sharing pengetahuan implisit individu, mendokumentasikannya, dan menginternalisasikannya pada tiap level grup.

5. Penyebaran pengetahuan internal (globalize local knowledge).

Penyebaran pengetahuan internal yaitu mengglobalkan/mentransfer pengetahuan lokal yang mencakup triggering, packaging, dan re-creating. Pemberdaya yang terakhir ini bertujuan untuk mentransfer kreasi pengetahuan kepada lingkungan dalam organisasi dengan mendistribusikannya. Pengetahuan harus ditarnsfer antara pengkreasi dengan penerima dengan tidak lupa mempertimbangkan aspek psikologi, sosiologi, dan teknologi. Menurut Krogh et al (2000) yang dikutip Irsan (2005), penyebaran pengetahuan internal diformulasikan dalam tiga tahap proses, yaitu triggering, proses mengenali

(30)

kesempatan bisnis dan menghubungkannya dengan pengetahuan yang ada dalam beberapa bagian organisasi (menggunakan aktivis pengetahuan, workshop, papan buletin dan sebagainya). Packaging dan dispatching pengetahuan ini, dan re-creating dalam sisi penerima. Dengan asumsi bahwa transfer pengetahuan bukan sekedar operasi mengkopi dari pengirim ke penerima tetapi juga mempertimbangkan pengetahuan implisit dan eksplisit si pengirim dan penerima serta keadaan lokal di mana pengetahuan dapat dire-kreasi dan diimplementasikan.

2.4. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Koperasi

Definisi Koperasi Indonesia menurut UU No 25/1992 tentang perkoperasian adalah sebagai berikut, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat, yang berdasar atas azaz kekeluargaan. Berdasarkan batasan koperasi ini, Koperasi Indonesia mengandung lima unsur sebagai berikut :

1. Koperasi adalah Badan Usaha (Business Enterprise)

Sebagai Badan Usaha, maka koperasi harus memperoleh laba. Laba merupakan elemen kunci dalam sistem usaha bisnis, di mana sistem itu akan gagal bekerja tanpa memperoleh laba.

2. Koperasi adalah kumpulan orang-orang dan atau badan-badan hukum koperasi.

Ini berarti bahwa Koperasi Indonesia bukanlah kumpulan modal. Dalam hal ini UU No 25/1992 memberikan jumlah minimal orang-orang (anggota) yang ingin membentuk organisasi koperasi (minimal 20 orang), untuk koperasi primer, dan tiga badan hukum koperasi untuk koperasi sekunder.

3. Koperasi Indonesia adalah koperasi yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip koperasi.

Menurut UU No 25/1992 ada tujuh prinsip Koperasi Indonesia, yang pada dasarnya merupakan jati diri koperasi.

(31)

Ini berarti bahwa Koperasi Indonesia merupakan bagian dari sistem perekonomian nasional. Dengan demikian kegiatan koperasi tidak semata-mata hanya ditujukan untuk anggota tetapi juga kepada masyarakat umum.

5. Koperasi Indonesia berazazkan kekeluargaan.

Dengan azaz ini keputusan yang berkaitan dengan usaha dan organisasi dilandasi dengan jiwa kekeluargaan. Segala keputusan yang diambil seyogyanya berdasarkan musyawarah dan mufakat.

Prinsip-prinsip atau sendi-sendi dasar Koperasi Indonesia menurut UU No. 12 tahun 1967, adalah sebagai berikut :

1. Sifat keanggotaannya sukarela dan terbuka untuk setiap warga negara Indonesia

2. Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi sebagai pencerminan demokrasi dalam koperasi.

3. Pembagian SHU diatur menurut jasa masing-masing anggota 4. Adanya pembatasan bunga atas modal

5. Mengembangkan kesejahteraan anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya

6. Usaha dan ketatalaksanaannya bersifat terbuka

7. Swadaya, swakarta, dan swasembada sebagai pencerminan prinsip dasar percaya pada diri sendiri.

Prinsip-prinsip koperasi menurut UU No. 25 tahun 1992 dan yang berlaku saat ini di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka 2. Pengelolaan dilakukan secara demokrasi

3. Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota.

4. Pemberian batas jasa yang terbatas terhadap modal. 5. Kemandirian.

6. Pendidikan perkoperasian. 7. Kerja sama antar koperasi.

Dari kedua prinsip Koperasi Indonesia tersebut dapat dilihat bahwa esensi dasar kerja koperasi sebagai badan usaha tidaklah berbeda secara nyata. Hanya

(32)

saja dalam UU No. 25 tahun 1992 ada penambahan mengenai prinsip kerja sama antar koperasi. Ini dapat dipahami bahwa untuk mengantisipasi tren globalisasi ekonomi, koperasi perlu meningkatkan kekuatan tawar-menawarnya dengan menjalin kerja sama antar koperasi.

2.5. Jenis dan Bentuk Koperasi

Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi (pasal 2) mengatakan sebagai berikut :

1. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi adalah pembedaan koperasi yang didasarkan pada golongan dan fungsi ekonomi.

2. Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota suatu koperasi. Berdasarkan ketentuan seperti tersebut di atas, maka terdapat tujuh jenis koperasi (pasal 3) yaitu :

1. Koperasi Desa 2. Koperasi Pertanian 3. Koperasi Peternakan 4. Koperasi Perikanan

5. Koperasi kerajinan/Industri 6. Koperasi Simpan Pinjam 7. Koperasi Konsumsi

Tohir (1964) yang dikutip oleh Hendrojogi (2000), menyebutkan adanya pengelompokan dari bermacam-macam koperasi menurut Klasik. Pengelompokan menurut Klasik tersebut hanya mengenal tiga jenis koperasi, yaitu :

1. Koperasi pemakaian (koperasi warung, koperasi sehari-hari, koperasi distribusi, warung andil dan sebagainya), tujuan dari koperasi ini adalah membeli barang-barang yang dibutuhkan anggotanya dan membagi-bagi barang-barang itu kepada mereka.

2. Koperasi penghasil/produksi, tujuan dari koperasi ini adalah mengerjakan sesuatu pekerjaan secara bersama-sama.

(33)

3. Koperasi simpan pinjam, tujuan dari koperasi ini adalah memberi kesempatan kepada anggotanya untuk menyimpan dan meminjam uang.

Schaars yang dikutip oleh Hendrojogi (2000), menggunakan tujuh kriteria dalam pengelompokan koperasi di Amerika serikat, yaitu :

1. Berdasarkan ukuran. Bisa menyangkut masalah volume usaha atau jumlah anggota yang dilayani.

2. Menurut luas wilayah di mana anggota-anggota yang dilayani itu berkedudukan.

a. Lokal, wilayah pemasaran untuk satu kelompok masyarakat tertentu.

b. Regional, wilayah yang luas, seperti suatu negara bagian atau beberapa negara bagian.

c. Nasional, wilayah di mana anggotanya bertempat tinggal di banyak negara bagian.

d. Internasional, wilayah di mana anggota-anggotanya berkedudukan di beberapa negara.

3. Menurut tipe afiliasi keanggotaannya

a. Koperasi lokal, di mana anggota perorangan atau perusahaan-perusahaan setempat menjadi anggota. b. Sentralisasi, di mana anggota perorangan yang berada

di wilayah yang lebih luas, seperti negara bagian, karena wewenang dari koperasi lokal ditarik ke atas. c. Federasi

- Dimana koperasi-koperasi lokal menjadi anggota dari organisasi pusat

- Di mana beberapa organisasi pusat berafiliasi dengan organisasi koperasi tingkat nasional

d. Hybrid, di mana perorangan dan koperasi-koperasi lokal menjadi anggota dari koperasi sentral.

(34)

a. Unincorporated yang diatur berdasarkan kemitraan ganda

b. Incorporated yang berbentuk badan hukum 5. Berdasarkan pengaturan permodalannya.

a. Koperasi yang modalnya diperoleh dari penjualan saham-sahamnya. Di Amerika Serikat koperasi ini disebut Capital Stock Cooperatives.

b. Koperasi yang modalnya tidak diperoleh melalui penjualan saham, disebut Non Stock Cooperatives atau

Membership Type. Dalam bentuk ini keanggotaan tidak boleh dipindah tangankan.

6. Menurut siapa yang menjadi anggotanya, yaitu apakah produsen, konsumen, atau pekerja yang berdiri sendiri, atau pengusaha.

7. Menurut fungsi pokok dalam usaha : koperasi produksi, pemrosesan, pemasaran, pembelian, dan jasa.

Dalam PP No. 60 tahun 1959 (pasal 13 Bab IV) dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bentuk koperasi ialah tingkat-tingkat koperasi yang didasarkan pada cara-cara pemusatan, penggabungan, dan perindukannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapatlah empat bentuk koperasi yaitu primer, pusat, gabungan, dan induk.

2.6. Koperasi Susu di Indonesia

Sistem agribisnis pada komoditas susu segar yang terjadi di Indonesia menganut sistem kerja sama vertikal. Distribusi susu mengalir dari peternak ke koperasi dan langsung didistribusikan ke IPS. Sebagian besar produksi susu segar yang dihasilkan berasal dari peternakan rakyat sedangkan koperasi hanya sebagai pengumpul, pemberi layanan input produksi, dan mendistribusikan susu tersebut kepada IPS. Sistem ini dikenal dengan sistem cluster. Oleh karena itu keberadaan koperasi sangat berperan sekali dalam menunjang sistem cluster ini. Keterbentukan koperasi seiring dengan perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia. Koperasi merupakan wadah yang digunakan oleh para peternak untuk meningkatkan kesejahteraannya, di mana koperasi tersebut bertugas memberikan

(35)

suplai input produksi berupa konsentrat, inseminasi buatan, dan sebagainya dan sekaligus menampung susu dari peternak untuk dijual ke IPS.

Koperasi/KUD susu mengalami zaman keemasan pada saat impor sapi perah secara besar-besaran antara tahun 1980-1990-an, kini perannya seolah berkurang bahkan cenderung tidak dipercaya anggotanya. Persaingan usaha antar koperasi dan posisi tawar peternak sapi perah yang lemah merupakan indikasi ketidakmampuan koperasi/KUD susu mengendalikan bisnis persusuan di era pasar bebas. Sejak Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) terbentuk pada akhir tahun 1970-an hingga kini, produktivitas usaha ternak sapi perah rakyat masih tetap rendah, seolah bisnis ini jalan di tempat. Kondisi tersebut dikarenakan manajemen usaha ternak, kualitas pakan dan bibit sapi yang tersedia sangat tidak memadai. Memperbaiki manajemen peternakan rakyat merupakan problema yang cukup komplek, tidak hanya merubah sikap peternak tetapi juga bagaimana menyediakan stok bibit yang baik dan bahan baku pakan yang berkualitas dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan. Dampak lemahnya usaha ini terlihat pada rendahnya produksi dan kualitas susu. Kesemuanya sebagai akibat dari sistem manajemen usaha yang tradisional, sehingga harga susu yang terbentuk di tingkat peternak menjadi rendah. (Firman, 2007)

Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Budiman (2003) yang dikutip Firman (2007), menunjukkan bahwa jumlah koperasi persusuan yang ada di Indonesia mengalami peningkatan dari 27 koperasi pada tahun 1979 menjadi 231 koperasi tahun 2002. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan koperasi sangat dibutuhkan oleh peternak sapi perah. Adapun jumlah kepemilikan sapi perah per koperasi/KUD adalah sebagai berikut : pada tahun 1979 populasi sapi perah sebanyak 5.987 ekor sedangkan pada tahun 2002 mencapai 279.652 ekor yang berada di bawah koordinasi koperasi. Jumlah produksi susu yang dihasilkan sebanyak 12,61 ribu ton susu segar pada tahun 1979 menjadi 451,33 ribu ton susu segar pada tahun 2002. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

(36)

Tabel 1. Perkembangan Koperasi Persusuan di Indonesia

Keterangan Tahun

1979 1984 1989 1994 1999 2002

Jumlah koperasi 27 128 198 204 231 231

Populasi sapi perah KUD (ekor)

5.987 131.997 235.188 320.262 254.326 279.652 Produksi susu (ribu

ton)

12,61 61,84 279,15 361,69 402,47 451,33 Serapan tenaga kerja

peternak (orang)

1.497 32.999 58.797 79.426 83.420 85.999 Sumber : Supodo budiman (2003)

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia, pada awalnya hanya berupa usaha rumah tangga, banyak di antaranya merupakan penerusan kerja dari era pekerja di perusahaan sapi perah milik Belanda.

Pada tahun 1949, berdiri koperasi susu pertama di Indonesia, yaitu Gabungan Petani Peternak Sapi Perah Pengalengan (GAPPSIP) yang diprakarsai oleh Drh. Soejonodan dan Drh. Y. Hutabarat

Tahun 1962, berdiri koperasi peternak bernama SAE Pujon di Malang yang digerakkan oleh Drh. Memet Adinata

Tahun 1963, GAPPSIP terpaksa tutup karena buruknya situasi sosial ekonomi dan politik saat itu

Baru pada tahun 1969, di tempat yang sama kembali berdiri koperasi susu dengan nama Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS). Pendirian koperasi ini juga diprakarsai oleh seorang dokter hewan yaitu Drh. Daman Danuwijaya

Sampai dengan tahun 1978, di Provinsi Jawa Timur terdapat beberapa koperasi susu selain SAE Pujon, yaitu KUD Batu, Koperasi Setia Kawan di Nongkojar dan Koperasi Suka Makmur di Grati.

Namun demikian, produksi susu nasional antara tahun 1969-1978 berkembang dengan sangat lambat, dari total 28.900 ton hanya naik menjadi 62.300 ton (Bagdja, 2005; Sunaryo, 2004). Perjalanan koperasi persusuan di Indonesia jatuh dan bangun dihantam berbagai permasalahan, khususnya terkait dengan masalah pemasaran susu kepada Industri Pengolahan Susu (IPS). Koperasi susu memiliki posisi rebut tawar yang sangat lemah berhadapan dengan IPS, baik

(37)

dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, serta harga yang diperoleh. Masalah ini muncul dikarenakan IPS menggunakan susu impor sebagai bahan baku dan tidak mau menyerap susu domestik. Peternak yang telah berhasil diarahkan untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri menjadi sangat kecewa karena banyak susu yang rusak dan harus dibuang.

Titik balik perkembangan koperasi susu di Indonesia dimulai pada tahun 1978, berkat peranan dari Bustanil Arifin yang ditugaskan melihat koperasi persusuan di India, sehingga terbentuk Badan koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI) yang merupakan cikal bakal GKSI yang dibentuk setahun berikutnya. Dengan kelembagaan koperasi persusuan di level nasional, komunikasi antara gerakan koperasi persusuan dengan pemerintah berjalan lebih baik sehingga memungkinkan berperannya subsistem penunjang agribisnis susu di Indonesia. Beberapa permasalahan yang dihadapi koperasi susu sedikit demi sedikit dapat diatasi dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah, seperti halnya penetapan kouta impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan ternak serta impor sapi perah berkualitas. Baiknya komunikasi GKSI dengan pemerintah, dipertegas dengan terbentuknya Tim Koordinasi Persusuan Nasional (TKPN) yang melibatkan tujuh instansi pemerintah. TKPN bertugas memantau perkembangan produksi dan konsumsi susu di Indonesia. (Tawaf, 2010)

Jika kita ingin membangun koperasi persusuan yang berdaya saing di era globalisasi saat ini, beberapa langkah yang diperlukan adalah : pengurus koperasi sudah harus merubah berbagai kebijakan dan paradigmanya untuk lebih kepada untuk (for) anggota, bukan lagi hanya berpihak (pro) kepada anggota. Selain itu, perlunya menghindari in-side trader di dalam sistem manajemen koperasi, serta mengimplementasikan konsep rantai pasok dengan pendekatan sistem kawasan. (Tawaf, 2009)

2.7. Gabungan Koperasi Susu Indonesia

Selama lima tahun (2001-2005), jumlah anggota, jumlah pengurus dan pengawas, dan jumlah unit usaha yang dijalankan GKSI relatif tetap, sedangkan jumlah aset fisik menunjukkan peningkatan. Pada sisi usaha, jumlah modal sendiri

(38)

dan modal luar terus mengalami peningkatan. Perkembangan volume usaha GKSI pada tahun 2001-2002 menunjukkan peningkatan tajam, namun tahun 2003 mengalami penurunan dengan sedikit peningkatan pada tahun 2005. Sementara itu, perkembangan SHU makin terus menurun dan mencapai nilai negatif pada tahun 2003-2005. Tren solvabilitas, rentabilitas, dan likuiditas GKSI menunjukkan penurunan, namun solvabilitas dan likuiditas tetap bernilai positif sedangkan rentabilitas mencapai nilai negatif.

Tren modal yang semakin meningkat menunjukkan GKSI makin kuat dalam permodalannya. Sesuai besaran modal tersebut, GKSI lebih dominan dalam modal sendiri dibandingkan dengan modal luarnya. Nilai SHU yang semakin menurun dan negatif menunjukkan GKSI terus merugi dan usaha yang dijalankan disebut infeasible. Dari sisi keuangan sesuai nilai-nilai solvabilitas dan likuiditas menunjukkan GKSI masih mampu dalam mengembalikan utang, namun dari nilai rentabilitas, GKSI tidak memiliki kemampuan dalam menghasilkan keuangan bersih secara positif. Semuanya ini menunjukkan keragaan usaha GKSI adalah makin memburuk. (Tim penyusun dalam Sinaga et al, 2008)

(39)

3.1. Kerangka Pemikiran

Teori manajemen pengetahuan pada dasarnya muncul untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya mengelola pengetahuan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, hal utama yang harus dilakukan adalah memahami bagaimana dan kapan penciptaan pengetahuan harus didukung dan bagaimana menggunakan akumulai pengetahuan yang sudah tercipta sehingga dapat meningkatkan produktivitas organisasi. Pada tingkatan yang paling dasar, pengetahuan sebenarnya diciptakan oleh individu yang ada dalam organisasi. Organisasi pada dasarnya tidak dapat menciptakan pengetahuan tanpa individu-individu yang ada dalam organisasi. Fungsi organisasi adalah memberi dukungan kepada kreativitas individu yang ada dalam organisasi atau menyediakan suatu konteks bagi individu untuk menciptakan pengetahuan.

Pada penelitian ini, diteliti tentang bagaimana proses penciptaan pengetahuan di koperasi susu. Bahwasanya dalam proses penciptaan suatu pengetahuan ada faktor-faktor pendukung yang mempengaruhi bagaimana pengetahuan tersebut diciptakan. Berdasarkan teori Von Krogh et al (2000) yang dikutip Irsan (2005), menunjukkan adanya lima faktor yang dipandang penting dalam membuat enabler pengetahuan di perusahaan, lima faktor ini sekaligus sebagai pemberdaya pengetahuan yaitu : visi bersama, pengelolaan percakapan, Mobilisasi penggerak pengetahuan, Penyediaan lingkungan yang kondusif, dan Penyebaran pengetahuan internal.

Peneliti mengambil tiga faktor, yaitu visi bersama, pengelolaan percakapan, dan penyebaran pengetahuan internal karena tiga faktor tersebut dianggap paling berpengaruh dalam penciptaan pengetahuan serta dapat merepresentasikan tujuan dari penelitian ini. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bagaimana faktor-faktor pendukung tersebut mendukung dalam proses penciptaan pengetahuan di koperasi. Adapun bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

(40)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di enam Koperasi Susu, yaitu KPSBU, SAE, KUD Jatinom, KUD Cepogo, KUD Warga Mulya, dan KUD Musuk. Pengambilan data akan dilakukan akhir Januari - Maret 2010

3.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari koperasi melalui wawancara dan penyebaran kuesioner kepada karyawan, sedangkan data sekunder diperoleh dari data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer maupun oleh pihak lain. Selain itu data sekunder dapat juga diperoleh dengan cara mempelajari buku-buku yang relevan dengan topik yang akan diteliti.

Koperasi Faktor Pendukung Penciptaan Pengetahuan Rekomendasi Pengelolaan Percakapan Penciptaan Pengetahuan Penyebaran Pengetahuan Internal Visi Bersama Pengetahuan Koperasi

(41)

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Penelitian Lapangan (Field research)

Dalam penelitian lapangan, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner kepada karyawan. Materi wawancara dan kuesioner meliputi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh karyawan.

3.4.2. Penelitian Kepustakaan (Library research).

Penelitian ini menggunakan dan mempelajari buku-buku, literatur-literatur, dokumen-dokumen, dan catatan perkuliahan yang berhubungan dengan topik yang diteliti, dengan tujuan untuk mendapatkan data sekunder yang berhubungan dengan penelitian.

3.5. Metode Sampling

Responden dari penelitian ini merupakan karyawan di enam Koperasi Susu, yaitu KPSBU, SAE, KUD Jatinom, KUD Cepogo, KUD Warga Mulya, dan KUD Musuk. Pemilihan koperasi dilakukan dengan sengaja kemudian metode pengambilan contoh dilakukan secara acak sederhana. Menurut Roscoe yang dikutip Sugiyono (2005), memberikan saran-saran tentang ukuran sampel untuk penelitian seperti berikut ini :

1. Ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500.

2. Bila sampel dibagi dalam kategori (misalnya: pria-wanita, pegawai negeri-swasta dan lain-lain) maka jumlah anggota sampel setiap kategori minimal 30.

3. Bila dalam penelitian akan melakukan analisis dengan multivariate

(korelasi atau regresi ganda misalnya), maka jumlah anggota sampel minimal 10 kali dari jumlah variabel yang diteliti. Misalnya variabel penelitiannya ada 5 (independen + dependen), maka jumlah anggota sampel = 10 x 5 = 50.

4. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, maka jumlah anggota sampel masing-masing kelompok antara 10 sampai dengan 20.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2. Perbandingan Jenis Kelamin Responden di KPSBU
Gambar 3. Pengalaman Bekerja Responden KPSBU Pada Koperasi  Lain
Gambar 4. Perbandingan Pendidikan Terakhir Responden KPSBU
+7

Referensi

Dokumen terkait

a Semua asiswa +ang panai aalah siswa SMA H b Sebagian besar siswa SMA H ka+a an panai.. ' Sebagian besar siswa +ang ka+a an panai aalah siswa SMA

Aliran darah (cardiac output) menuju ginjal cukup besar yaitu 20% dari total aliran darah karena ginjal memang berfungsi untuk memfiltrasi zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan lagi

PENGARUH PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL INKUIRI TERBIMBING MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI TERHADAP KOGNITIF SISWA DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR

Miftahul Falah Diski tahun pembelajaran 2014/2015 yang diajar menggunakan model pembelajaran konvensional memperoleh nilai rata-rata 55,97 kategori cukup.Dan ketiga, hasil

[r]

Pernyataan Saya bekerja sesuai dengan keahlian yang saya miliki Pekerjaan yang saya lakukan sesuai dengan job desk yang diberikan Atasan selalu melibatkan saya dalam setiap

Data training dengan prosentase kebenaran 100% digunakan pada sistem analisis sentimen sebagai data training dan data testing berupa data tweet dari responden pada