• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Pustaka

1. Korupsi dan Ruang Lingkup Tindak Pidana

Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tentang tindak pidana. Pembentuk Undang-undang kita

menggunakan istilah strafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai strafbaarfeit tersebut.18

Dalam bahasa Belanda strafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedangkanstrafbaar berarti dihukum, sehingga secara harfiah perkataan strafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.19

Adami Chazawi telah menginventarisasi sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit, yaitu sebagai berikut:20

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang- undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang- undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang- undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr.R

Tresna dalam Bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” Mrs. Drs.H. J van

Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk

18

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Semarang,2005, hal 5. 19Ibid.

Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu dalam UUD’S 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)];

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya

Prof.Drs. E.Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I);

4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr. M.H Tirtaadmidjaja yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana;

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M.Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana” begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”; 6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-

Undang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3);

7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana.

Istilah yang dipergunakan oleh Konsep KUHP Baru sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit adalah tindak pidana.

b. Pengertian Korupsi

Tindak pidana korupsi sudah terjadi sejak zaman dahulu dan merupakan suatu peristiwa universal yang dapat terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia. Terminologi korupsi dari bahasa latin yaitu “corruptio” atau “corruptus”, berasal

dari kata “corrumpere” adalah suatu kata dari bahasa latin.21 Kemudian muncul

dalam bahasa Inggris dan Perancis “corruption”, dalam bahasa Belanda

korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “korupsi”.

Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.22

Hal seperti itu dikemukakan pula oleh Henry Campbell Black, yang

mengartikan korupsi sebagai:“an act done with an intent to give some advantage

inconsistent with official duty and the rights of others”. (Terjemahan bebas: suatu

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain).

A.S Hornby dan kawan-kawan mengartikan istilah korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and

accepting of bribes), serta kebusukan atau keburukan (decay). Sedangkan David

M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan umum.23

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia24, dimuat pengertian korupsi sebagai berikut:“penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.

21H.Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visi Media: Jakarta, 2012, hal 7.

22Darwin Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti: Medan,

2000, hal 1. 23

H. Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2011, hal 3.

Keanekaragaman pengertian istilah korupsi seperti tergambar diatas, dapat mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan korupsi sebagai konsep. Atau dengan kata lain, keanekaragaman pengertian istilah korupsi dapat menimbulkan kesulitan dalam menarik suatu batasan mencakup tentang makna korupsi.

Dalam sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia, istilah korupsi pertama kali digunakan di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum. Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsideranya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.25

Secara yuridis pengertian korupsi jenisnya tercantum di dalam Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubahkan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam undang-undang ini pengertian korupsi tidak hanya bersangkut paut dengan perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara saja, tetapi juga menyangkut pengertian lain, seperti penyuapan, penggelapan. Pemalsuan, merusak barang bukti atau pemerasan dalam jabatan, gratifikasi dari perbuatan tersebut tidak saja merugikan negara, tetapi merugikan masyarakat.

Mengenai pengertian korupsi secara yuridis di atas, penting artinya dan dengan memahami pengertian tersebut, diharapkan pemberantasan korupsi tidak lagi diarahkan semata-mata kepada penindakan (represif), tetapi seyogyanya lebih

mengedapankan pencegahan (preventif), sehingga pemberantasan korupsi diharapkan tidak hanya sekedar memberikan efek jera (deterrence effect), tetapi berfungsi sebagai daya tangkal (preventive effect).

c. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Menurut perspektif hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 (tiga belas) buah pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara kerena korupsi.

Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubahkan dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001, memberikan batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal, kemudian mengelompokkannya dalam beberapa delik.26 Jika dilihat dari kedua undang-undang di atas, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Memperkaya diri sendiri/ orang lain dengan melawan hukum

Hal ini di atur dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999, yang bunyinya sebagai berikut:

(1) “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

26Chaeruddin, dkk , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu.”

Berdasarkan rumusan Pasal 2 tersebut yang dimaksud dengan melawan hukum adalah mencakup pengertian perbuatan melawan hukum secara formil maupun materil. Melawan hukum secara formil berarti perbuatan yang melanggar/ bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan melawan hukum secara materil berarti bahwa meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.27

Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen ini apabila dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku, orang lain, atau korporasi menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya. 28

“Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dijelaskan pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagai berikut:

“Keuangan negara dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yag timbul karenanya:

a) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan mempertanggung-jawabkan pejabat lembaga negara baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah; b) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan mempertaggungjawabkan

Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.”

Sedangkan yang dimaksud dengan “perekonomian negara” adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara sendiri yang didasarkan pada kebijaksanaan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.29

2. Penyalahgunaan kewenangan

Penyalahgunaan kewenangan diatur dalam Pasal 3 Undang-undang No 31 tahun 1999 yang menyatakan:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Perlu dipahami, bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal ini adalah setiap orang yakni orang perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Oleh karena itu, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 haruslah seorang pejabat/Pegawai Negeri.30

Tujuan dari perbuatan itu adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat dihitung dengan uang karena akibat yang ditimbulkan berupa kerugian keuangan negara, meskipun akibat lebih jauh

29Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan:

lagi dapat berupa kerugian perekonomian negara tetapi karena pemakaian uang yang tidak jujur.31

Menyalagunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan kewenangan berarti kekuasaan/hak. Jadi, dalam hal ini yang disalahgunakan adalah kekuasaan atau hak yang ada pada pelaku.

Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara berarti mengganggu keuangan negara atau perekenomian negara. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun juga, yang dipisahkan atau yang tidak terpisahkan. Termasuk didalamnya adalah segala seluruh kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara baik di pusat maupun daerah.32

3. Suap menyuap

Tindak pidana korupsi suap berasal dari tindak pidana suap (omkoping) yang ada dalam KUHP. KUHP sendiri membedakan antara 2 (dua) kelompok tindak pidana suap, yakni tindak pidana memberi suap dan tindak pidana menerima suap. Kelompok pertama disebut dengan suap aktif (active omkoping), subjek hukumnya adalah pemberi suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII Buku II), yakni Pasal 209 dan Pasal 210. Kelompok kedua yang disebut dengan suap pasif (passive omkoping), subyek hukumnya adalah pegawai negeri yang menerima suap. Dimuat dan menjadi

bagian dari kejahatan jabatan (Bab XVIII Buku II), yakni Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420. Jadi, tindak pidana suap dalam KUHP ada 5 (lima) pasal.33

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pasal-pasal suap dari KUHP ini juga ditarik kedalamnya sebagai bagian tindak pidana korupsi. Masuk ke dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 dengan cara menarik pasal-pasal tersebut tanpa menyebut atau merumuskan kembali rumusan tindak pidananya.34 Namun kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang diundangkan untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menarik kejahatan-kejahatan suap menjadi tindak pidana korupsi tidak dilakukan lagi dengan cara sekedar menarik dengan menyebut pasal-pasal dalam KUHP. Akan tetapi menarik rumusannya dengan beberapa perubahan, baik dengan mengubah, mengurangi, atau menghilangkan maupun dengan menmbah rumusan, menjadi tidak sama persis bunyinya dengan rumusan aslinya. Namun secara subtantif tidaklah berbeda. Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420 dinyatakan tidak berlaku lagi.

4. Penggelapan dalam jabatan

Korupsi yang terkait dengan penggelapan jabatan yaitu, pegawai negeri menggelapkan uang, atau membiarkan penggelapan, pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi, pegawai negeri merusakkan bukti, pegawai

33 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan

negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti, pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti.

Tindak pidana menyalahgunakan wewenang, jabatan atau amanah tersebut adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan. Seseorang tersebut menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana padanya, karena jabatan atau kedudukan tersebut bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi.

Penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang redaksional selengkapnya sebagai berikut:

Pasal 8

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima

puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

5. Pemerasan

Kelompok delik yang terkait dengan pemerasan yaitu, pegawai negeri memeras, pegawai negeri memeras pegawai negeri lainnya. Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang redaksional selengkapnya sebagai berikut:

Pasal 12 huruf e

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seorang memberi sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Pasal ini berasal dari Pasal 423 KUHP yang sehari-hari dikenal dengan “pungutan

liar” (pungli).35

Pasal 12 huruf f

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai

negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersbut bukan merupakan utang.

Pasal ini diadopsi dari Pasal 425 ayat (1) KUHP. Pasal ini biasa disebut tindak pidana “pemerasan”.

Pasal 12 huruf g

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seolah- olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Pasal ini diadopsi dari Pasal 425 ayat (2) KUHP.

6. Perbuatan curang

Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekanan TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang; pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang; pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain. Pasal mengenai perbuatan curang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 12 huruf h Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang redaksional selengkapnya sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atua keselamatan negara dalam keadaan perang.

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam hufuf a.

c. setiap orang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Mencermati Pasal 7 tersebut perlu dibahas ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d. Pasal 7 ayat (1) huruf a36 terdapat unsur “pemborong atau ahli

bangunan” dalam Bahasa Belanda disebut “aan-nemer” yang artinya menerima

atau setuju sehingga dapat diarikan seseorang yang telah menyatakan persetujuan untuk mengerjakan sesuatu pemberi kerja. dan ahli bangunan disebut “bouwmester” berarti seseorang yang bertanggung jawab atas pembangunan suatu bangunan bagi pemberi kerja.

Pasal 7 ayat (2) ditujukan kepada pengawas proyek yang mebiarkan perbuatan curang. Unsur pertama dalam pasal ini adalah “orang yang bertugas

mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan”37

artinya, hanya mereka yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan yang harus dilakukan para pemborong dan mengawasi penyerahan bahan bangunan yang dapat melakukan tindak pidana ini.

Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c ditujukan kepada rekann TNI/POLRI yang membiarkan perbuatan curang. Sementara itu, dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d yang dapat melakukan tindak pidana ini adalah pengawas rekanan TNI/POLRI yang mebiarkan perbuatan curang.

Pasal 12 huruf h

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini berasal dari Pasal 425 yat (3) KUHP. Pada naskah asli Pasal 425 ayat

(3), dipakai kata “beschikken” yang diterjemahkan sekarang dalam Pasal 12 huruf

h “menggunakan” arti sebenarnya dari “beschikken” adalah “menguasai”.38

7. Benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa

Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya. Pasal yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadan barang dan jasa diatur dalam Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Ketentuan pasal ini berasal dari Pasal 435 KUHP.39

8. Gratifikasi

Pasal mengenai gratifikasi diatur dalam Pasal 12B ayat (1) dan (2) jo Pasal 12C ayat (1), (2), (3) dan (4). Pemberian gratifikasi hanya dibatasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pemberian gratifikasi kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara tidak melanggar hukum selama pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatan atau bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya.40

Pemberian gratifikasi memperbesar peluang munculnya konflik kepentingan (conflict of interst). Hal ini menjadikan pemberian gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dapat hanya dianggap sebagai pemberian tanpa disertai kepentingan pemberiannya. Itulah mengapa rumusan dalam penjelasan Pasal 12B UUPTPK, gratifikasi yang dianggap suap dibatasi unsur-unsurnya, yaitu:

a) Gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerimanya.

b) Gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerimannya. Artinya, setelah menerima gratifikasi tersebut pegawai negeri atau penyelenggara negara itu melakukan perbuatan yang diharapkan dari pemberi, yang berlawanan dengan tugas dan kewajibannya.

Dokumen terkait