• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/Pn.Bjm)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/Pn.Bjm)"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku:

A Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary, Nirth Edition, St Paul Minim West Publishing, Co, 2009.

Ali, Mahrus, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada: Yogyakarta, 2013.

Amrullah, M Arief Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing: Jember, 2004

Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi RI,

Analisis dan Evaluasi Hukum Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi: Jakarta, 2008.

Chaeruddin, dkk , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana

Korupsi, Refika Aditama: Jakarta, 2007.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo: Jakarta, 2002.

_____, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni Bandung:

Malang, 2006.

Danil, H Elwi. Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2011.

Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika: Jakarta, 2008.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989.

Easter, Lalola dkk, Studi Tentang Penerapan Pasal Gratifikasi Yang Dianggap

Suap Pada Undang-Undang Tipikor, Policy Paper: Jakarta, 2014.

Effendy, Marwan Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam

Penegakan Hukum: Jakarta, 2012.

H.Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visi Media: Jakarta, 2012.

(2)

_____, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cv Sapta Artha Jaya: Jakarta, 1993.

_____, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta,2007.

Harahap, M Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika: Jakarta, 2008.

_____, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan

Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta, 2000.

Hartanti, Evi Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Semarang,2005.

Irman,TB Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publisshing & Ayyccs Group: Jakarta, 2005.

M. Husein, Harun, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta: Jakarta, 1990.

_____, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya, Rineka Cipta: Jakarta, 1989.

Marpaung, Leden Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan: Jakarta, 2001.

Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum

Pidana, STHB: Bandung, 1991.

_____, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Grup: Bandung,2009.

Mulyadi, Lilik Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik

dan Masalahnya, PT Alumni: Bandung, 2007.

_____, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT Alumni Bandung: Jakarta, 2007.

Mulyadi, Mahmud dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap

Kejahatan Korporasi, PT Softmedia: Medan,2010.

Prints, Darwin, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti: Medan, 2000.

Priyatno, Dwidja Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban

(3)

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama: Jakarta, 2003.

Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik

Korupsi (Undang-undang No.31 Tahun 1999), Cv. Mandar Maju:

Jakarta, 2001.

_____, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,

Pradnyaparaminta: Jakarta, 2000.

RM, Suharto, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika: Jakarta, 1994.

Remi Sjahdeni, Sutan, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafitipers: Jakarta, 2006.

Sabuan, Ansori, Hukum Acara Pidana, Angkasa: Bandung, 1990.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Cv. Mandar Maju, Jember Juni, 2003.

Simanjuntak, Nikolas, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2009.

Simanjuntak, Osman, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta, 1995.

Suhaimi, T Pertanggungjawaban Pidana Direksi, Books Terrace & Library: Medan, 2009.

Taufik Makarao, Mohammad, Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan

Praktek, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2002.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2005.

Sumber internet:

Aditya Heri Kristanto, Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam

Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi, Jurnal, 2014, http://e-journal.uajy.ac.id/5959/1/JURNAL.pdf

Edi Rifai, PerspektifPertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku

Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmiah , Volume 26 Nomor 1, 2014,

(4)

Edi Yunara, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, 2004, http://library.usu.ac.id/download/fh/05002125.pdf

Fauzan Jauhari, Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Perdata, Pidana, Dan PTUN, http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html

H. Ahmad Drajad, Kendala Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Sebagai

Pelaku Tindak Pidana Korupsi,

http://www.pn-

medankota.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/profil- pengadilan/alamat-pengadilan/384-kendala-penerapan-sanksi-pidana-terhadap-korporasi-sebagai-pelaku-tindak-pidana-korupsi

Handar Subhandi, Jenis Tindak Pidana Korupsi,

http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/jenis-tindak-pidana-korupsi.html

Hans. C Tangkau, Hukum Pembuktian Pidana, Jurnal

http://repo.unsrat.ac.id/97/1/HUKUM_PEMBUKTIAN_PIDANA.pdf

Jpnn.com, Komisaris PT Gerindo Perkasa Di Periksa KPK,

http://www.jpnn.com/read/2013/05/01/169924/Komisaris-PT-Gerindo-Perkasa-Diperiksa-KPK

Kompas, Kasus Suap Impor Sapi, Dirut Indoguna Dituntut 4,5 Tahun, http://nasional.kompas.com/read/2014/04/22/1148432/Kasus.Suap.Impor .Sapi.Dirut.Indoguna.Dituntut.4.5.Tahun.Penjara

Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Tindak Pidana

Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003,

http://www.badilum.info/upload_file/img/article/doc/asas_beban_pembu ktian_terhadap_tipikor_dalam_hukum_pidana_indonesia.pdf

(5)

Rangga Trianggara Paonganan, Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan

Korupsi Dan Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,

Lex Crimen Vol. II,

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/997/810

Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana

Korupsi Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana,

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:VGUKRIokIDsJ

:online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/200/177+&cd=1&hl =en&ct=clnk&gl=id

Transparency International, Survei Persepsi Korupsi

(6)

BAB III

PEMBUKTIAN KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PUTUSAN PENGADILAN

(Studi Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM)

Apabila bahwa Hukum Acara Pidana yang diperoleh sebagai hukum acara

pidana dalam pemeriksaan perkara delik korupsi sebagai satu sistem. Maka

hukum pembuktian merupakan bagian dari sistem hukum acara pidana.101

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang

mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut

dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta

kewenangan hakim untuk menerima menolak dan menilai suatu pembuktian.102 Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang

boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat

bukti itu dipergunakandan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk

keyakinannya.

Sistem pembuktian dan alat-alat bukti termuat dalam Bab XVI Bagian

keempat (Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP), merupakan bagian

penting dari proses pemeriksaan perkara pidana. Kewajiban hakim pidana dalam

menerapkan hukum pembuktian dan alat-alat bukti guna memperoleh kebenaran

materiil terhadap:103

a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.

b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.

101

Martiman Prodjohanmidjojo, Penerapan..., op.cit., hal 98-99. 102

(7)

c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.

d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Keempat hal ini yang harus dikaji oleh hakim untuk memperoleh kebenaran

materiil. Wiryono Prodjodikoro,104 menyatakan bahwa kebenaran itu biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu pada masa yang sudah lampau. Oleh

karena itu kebenaran atas keadaan pada masa lampau, sukar bagi hakim untuk

menyatakan kebenaran masa lampau, tidak mungkin dicapai. Maka hukum acara

pidana hanya dapat menunjukkan jalan berupaya guna mendekati sebanyak

mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati (de materiele

waarheid).

Sumber hukum pembuktian adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana. Apabila dalam suatu kegiatan dalam proses hukum

atau praktik menemui kesulitan dalam penerapan, maka dipakai yurisprudensi

atau doktrin. Dengan demikian sumber hukum pembuktian adalah

undang-undang, yurisprudensi, dan doktrin atau ajaran.105

104

Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnyaparaminta: Jakarta, 2000, hal 133.

(8)

A. Pembuktian Tindak Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia

1. Teori Pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Pidana Indonesia

Dalam pembuktian perkara pidana pada umumnya dan khususnya delik

korupsi, diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam pemeriksaan delik korupsi selain

diterapkan KUHAP terdapat juga sebagian Hukum Acara Pidana, yaitu pada BAB

IV terdiri atas pasal 25 sampai dengan pasal 40 dari UU No. 31 Tahun 1999.

Sebelum meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP dan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ada baiknya ditinjau beberapa ajaran

yang berhubungan dengan sistem pembuktian. Guna sebagai bahan perbandingan

dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP dan diluar

KUHAP.106

a. Conviction-in Time

Sistem pembuktian cinviction-in time menentukan salah tidaknya seorang

terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan

hakim yang menentukan keterbukaan kesalahan terdakwa. Dari mana hakim

menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem

ini.107

Kelemahan sistem pembuktian conviction in time adalah hakim dapat saja

menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan

(9)

belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim yang dominan

atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat

bukti yang sah sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim

inilah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.

Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.

Sistem ini perah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda dahulu,

ialah pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten. Pengadian district

adalah pengadilan sipil dan kriminal tingkat pertama untuk orang-orang bangs

Indonesia. Berada pada tiap-tiap distrik di Jawa dan Madura berdasarkan

Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie in Nederlandsch Indie (Pasal 77-80 RO). Pengadilan Kabupaten yang disebut juga

dengan Regentschapsgerecht (Pasal 81-85 RO) adalah pengadilan tingkat

bandingnya.108

b. Conviction Raisonee

Dalam sistem pembuktian ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap

memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan

tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam

sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa

batas maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung

dengan “alasan-alasan yang jelas”. Artinya, alasan yang digunakannya dalam hal

membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang

pada umumnya. Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan

(10)

bebas (vrije bewijstheorie), karena dalam membentuk keyakinannya hakim bebas

menggunakan alat-alat bukti dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang

diperolehnya dari alat-alat bukti tersebut.109

c. Sistem Pembuktian Melalui Undang-Undang (Positief Wettelijk

Bewijstheorie)

Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian

yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau

conviction-in time. Adakalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem

menurut undang-undang secara positif. Maksudnya, ialah dalam hal membuktikan

kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada

alat-alat bukti serta cara-cara mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dalu

dalam undang-undang.Menurut sistem pembuktian ini, asal sudah dipenuhi

syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang sudah cukup

menetukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah

hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.

Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati

nuraninya akan kesalahan terdakwa.

Dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksana” undang-undang

yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan

salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian dari segi sistem ini mempunyai

kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan

(11)

kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian

dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.

Apabila dibandingkan dengan sistem pembuktian conviction in-time, sistem

pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai karena lebih dekat

kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman

terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan dibawah kewenangan hakim,

tetapi diatas kewenangan undang-undang yang berlandaskan: seorang terdakwa

baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya

benar-benar yang sah menurut undang-undang.

d. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif

(Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori

antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem

pembuktian menurut keyakinan atau conviction in-time.110

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak

sepenuhnyamengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan

oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertaipula keyakinan bahwa

terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini

haruslah berdasar atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti yang

ditentukan dalam undang-undang. Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan

pembuktian didasarkan pada 2 (dua) hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan yang

merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri.111

(12)

2. Alat Bukti yang Sah Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Adami Chazawi112 berpendapat bahwa hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem secara konsekuen. Pasal 294

ayat (1) HIR merumuskan bahwa:“tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman,

selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar

telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah

yang salah tentang perbuatan itu.”

Kemudian, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan

penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya ialah:“hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Rumusan Pasal 183 KUHAP dapat dinilai lebih sempurna, karena telah

menentukan batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha membuktikan

kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Lebih tegas karena ditentukan

batas minimum pembuktian, yakni harus menggunakan setidak-tidaknya dua alat

bukti yang sah dari yang disebutkan dalam undang-undang. Sedangkan dalam

Pasal 294 ayat (2) HIR syarat setidak-tidaknya dengan dua alat bukti tidak

(13)

disebutkan secara tegas. Hal ini menandakan bahwa sistem pembuktian negatif

dalam KUHAP lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum.113

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa alat-alat bukti yang sah

adalah: 1) Keterangan saksi; 2) Keterangan ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk; 5)

Keterangan terdakwa.

a. Keterangan Saksi

KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan

tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 26). Sedangkan keterangan

saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan

saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan

ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya (Pasal 1 angka 27).

Dari batasan pengertian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan, yakni:114 (1) Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung

pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangan dalam dua

tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang

pengadilan

(2) Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri,

ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai 3 (tiga) sumber

(14)

tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini

menjadi suatu prinsip pembuktian.

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam

perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari

pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara

pidana, selalu bersandar pada keterangan saksi.

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of

evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang

harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat

dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus

dipenuhi ketentuan sebagai berikut:115

(1) Harus mengucapkan sumpah atau janji116 (2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti

(3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan

(4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup

(5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri

Nilai kekuatan pembuktian saksi ada baiknya kembali melihat masalah yang

berhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah atau tidaknya keterangan

saksi sebagai alat bukti. Dalam memberikan keterangan saksi diharuskan

115 M. Yahya Harahap, Pemeriksaan..., op.cit., hal 286-289

116 Mengenai mengucap sumpah atau janji diatur dalam Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi

(15)

bersumpah atau berjanji menurut agama dan kepercayaan masing-masing,

sehingga memiliki nilai kesaksian sebagai alat bukti. Apabila keterangan saksi

tidak disertai dengan penyumpahan, maka meskipun keterangan itu sesuai dengan

satu dan yang lainnya, tidak merupakan alat bukti, sebagaimana saksi yang

disumpah. Keterangan demikian hanya dapat dipergunakan sebagai tambahan alat

bukti yang sah (Pasal 185 ayat 7).117

Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa hanya

didasarkan kepada satu saksi saja, oleh karena satu saksi kurang mencukupi asas

minimum alat bukti, dan dianggap sebagai alat bukti yang kurang cukup. Artinya,

kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja dianggap tidak sempurna oleh hakim.

Ketentuan Pasal 185 ayat (2) ini dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan

suatu alat bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 3).118 b. Keterangan Ahli

Dalam praktik alat bukti ini disebut alat bukti saksi ahli. Tentu saja

pemakaian istilah saksi ahli tidak benar. Karena perkataan saksi mengandung

pengertian yang berbeda dengan ahli atau keterangan ahli. Bahwa isi yang

keterangan yang disampaikan saksi adalah segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat

sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan seorang ahli memberikan keterangan

bukan mengenai segala hal yang dilihat didengar dan dialaminya sendiri, tetapi

mengenai hal-hal yang menjadi atau bidang keahliannya yang ada hubungannya

dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat

dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana keterangan

(16)

saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan atau fakta.

Akan tetapi yang diterangkan ahli adalah suatu penghargaan dari kenyataan dan

atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahlian seorang ahli.119

Alat bukti keterangan ahli dapat berbentuk “laporan atau visum et

repertum”atau “keterangan langsung secara lisan” di sidang pengadilan yang

dituangkan dalam catatan berita acara persidangan. Adapun bentuk keterangan

ahli yang berbentuk “keterangan langsung atau lisan” tidak menjadi masalah,

karena sifatnya benar-benar murni sebagai alat bukti keterangan ahli, yang lahir

dari hasil pemberian keterangan secara langsung disidang pengadilan. Akan

tetapi, lain halnya dengan alat bukti keterangan ahli yang berbetuk laporan. Alat

bukti ini sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yaitu tetap alat bukti sebagai alat

bukti keterangan ahli dan alat bukti surat.

Mengenai nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti

keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan

menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama

halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan

saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti

keterangan ahli:120

(1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrij bewijskracht”.

Artinya di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya.

(2) Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti.

(17)

c. Surat

Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan

suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat adalah foto dan peta sebab benda ini

tidak memuat tanda bacaan. Adapun contoh-contoh dari alat bukti surat itu, adalah

Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi, BAP Pengadilan, Berita

Acara Penyitaan, Surat Perintah Penahanan, Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin

Penyitaan, dan lain-lainnya.

Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang

ialah:

(1) Surat yang dibuat diatas sumpah jabatan;

(2) Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.

Dalam pembuktian yang diatur dalam hukum acara perdata, surat autentik

atau surat resmi seperti bentuk-bentuk surat resmi yang disebut dalam Pasal 187

huruf a dan huruf b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, dan

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim, sepanjang hal

itu tidak dilumpuhkan dengan “bukti lawan” atau tegen bewijs. Sedangkan dalam

KUHAP sama sekali tidak mengatur ketentuan yang khusus tentang nilai kekuatan

pembuktian surat.

d. Petunjuk

Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat-alat bukti yang lain dalam

Pasal 184, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan

berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim. Hal itu tampak dari

(18)

adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara

yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,

menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.121

Karena keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung

merupakan penilaian terhadap hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa

alat bukti lainnya, dan bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri, maka dapat

dimaklumi sebagian ahli keberatan atas keberadaanya dan menjadi bagian dalam

hukum pidana.122

e. Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184

ayat (1). Penempatan pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang

dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa

dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Alat bukti

keterangan terdakwa acap kali diabaikan oleh hakim. Hal ini dapatlah dimaklumi,

karena berbagai sebab, antara lain:

1) Sering sekali keterangan terdakwa tidak bersesuian dengan isi dari alat-alat

bukti yang lain, misalnya keterangan saksi. Tidak menerangkan hal-hal yang

memberatkan atau merugikan terdakwa sendiri adalah sesuatu sifat manusia

(manusiawi). Bahwa setiap orang selalu ada kecenderungan untuk

menghindari kesusahan atau kesulitan bagi dirinya sendiri. Untuk itu dia

terpaksa berbohong.

(19)

2) Pada diri terdakwa memiliki hak untuk bebas berbicara termasuk yang isinya

tidak benar. Berhubung terdakwa yang memberi keterangan yang tidak benar

tidak diancam sanksi pidana sebagaimana saksi memberikan keterangan yang

isinya tidak benar. Karena terdakwa tidak disumpah sebelum memberikan

keterangan.

3) Pengabaian oleh hakim biasanya terhadap keterangan terdakwa yang berisi

penyangkalan terhadap dakwaan. Pengabaian hakim dapatlah diterima,

menginat menurut KUHAP penyangkalan terdakwa bukanlah menjadi bagian

isi alat bukti keterangan terdakwa. Karena isi keterangan terdakwa itu

hanyalah terhadap keterangan mengenai apa yang ia lakukan, atau ia ketahui

atau alami sendiri (Pasal 189 ayat 1)

Tidak semua keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian. Dari

ketentuan Pasal 189 didaptakan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar keterangan

terdakwa mengandung nilai pembuktian ialah:

1) Keterangan terdakwa haruslah dinyatakan di muka sidang pengadilan.

2) Isi keterangan terdakwa haruslah mengenai 3 (tiga) hal, ialah: (1) perbuatan

yang dilakukan terdakwa, (2) segala hal yang diketahuinya sendiri, dan (3)

kejadian yang dialaminya sendiri;

3) Nilai keterangan terdakwa hanya berlaku sebagai bukti untuk dirinya sendiri;

4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dirinya

bersalah melakukan tindak pidana, melainkan harus ditambah dengan alat

(20)

B. Pembuktian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi selain berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga

berdasarkan kepada hukum pidana formil sebagaimana yang diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2),

dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang

rumusannya sebagai berikut:

Pasal 38

(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak Berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 39

(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

(21)

Dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, merumuskan:

Alat bukti yang sah dalam bentuk pentunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk selain ditentukan dalam Pasal

188 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), juga diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP, yaitu secara

lengkap bunyi Pasal 184 adalah sebagai berikut:

(1) Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Dari ketentuan yang terdapat dalam rumusan Pasal 26A Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001, bahwa petunjuk sebagai salah satu alat bukti khusus untuk

tindak pidana korupsi, selain dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan

keterangan terdakwa123 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, juga dapat diperoleh dari:

123

(22)

1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapakan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

2) Dokumen, yakni setiap rekaman data/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Dalam penjelasan Pasal 26A yang dimaksud dengan “disimpan secara

elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film Compact Disk Read

Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada

data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik

(e-mail), telegram, teleks, faksimili.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut sistem pembuktian

terbalik. Dimana yang memiliki beban pembuktian bukan saja Jaksa Penuntut

Umum tetapi terdakwa juga dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah di muka

persidangan.

Bewijskast atau burden of proof adalah pembagian beban pembuktian

tercantum dalam undang-undang. Dalam hukum positif, asas pembagian beban

pembuktian tercantum dalam Pasal 163 Hirzine Indische Reglement, Pasal 283

Reglement op de Burgelijk dan Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(23)

pihak yang mendalihkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau untuk mengukuhkan

dirinya sendiri ataupun membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada

suatu peristiwa.124 Adapun dalam konteks pembagian beban pembuktian dalam perkara pidana sendiri juga merupakan hal yang sangat penting apalagi hal

tersebut menyangkut dalam penyelesaian kasus korupsi. Hukum pidana sendiri

mengatur bahwa beban pembuktian merupakan tugas atau kewenangan dari Jaksa

Penuntut Umum (JPU).

Dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 secara eksplisit telah

mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan Pasal 17 Undang-undang

Nomor 3 tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(1) Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi

(2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal:

a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan,bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara atau;

b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.

(3) Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktin seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan.

(4) Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti yang dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

124 Aditya Heri Kristanto, Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Penyelesaian

(24)

Pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam UU Nomor 31 Tahun

1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Pembalikan beban pembuktian mempunyai implikasi terhadap ketentuan

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

dimana tidak semua delik korupsi dapat diterapkan pembalikan beban

pembuktian, hanya dapat diterapkan terhadap kesalahan orang yang diduga

melakukan tindak pidana korupsi dan harta benda milik terdakwa yang belum

didakwakan tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi.125

Sitem pembuktian terbalik hanya berlaku pada: pertama, tindak pidana

korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12B

ayat (1) huruf a) dan kedua, terhadap harta benda yang belum didakwakan , tetapi

diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B).

Sistem semi terbalik atau berimbang terbalik126, maksudnya beban pembuktian diletakkan baik pada terdakwa maupun pada jaksa penuntut umum

secara berimbang mengenai hal (objek pembuktian) yang berbeda secara

berlawanan (Pasal 37A).

125

(25)

Sistem biasa127, maksudnya pembuktian untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukannya, sepenuhnya ada pada jaksa penuntut

umum. Sistem ini digunakan untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan

terdakwa melakukannya dalam hal tindak pidana korupsi suap menerima

gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta (Pasal 12B ayat (1) huruf b).

Apabila beban pembuktian yang diletakkan pada syarat nilai Rp 10 juta atau

lebih kurang dari Rp 10 juta pada korupsi suap gratifikasi, maka pembebanan

pembuktian mengenai tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi ini dapat

disebut juga dengan sistem pembebanan pembuktian berimbang, karena beban

pembuktian itu diberikan pada Jaksa penuntut umum atau terdakwa adalah

diletakkan pada syarat mengenai nilai korupsi suap menerima gratifikasi yang

diperoleh pegawai negeri si pembuat. Apakah lebih atau kurang dari nilai Rp 10

juta.

Pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38 jo 37

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001)

kewajiban terdakwa membuktikan terbalik semata-mata bukan terhadap tindak

pidananya (unsur-unsurnya) yang didakwakan . Akibat Hukum dari berhasil atau

tidaknya terdakwa membuktikan harta benda terdakwa diperoleh dari korupsi atau

secara halal, tidak menentukan dipidana ataukah dibebaskan terdakwa dari

dakwaan melakukan korupsi dalam perkara pokok. Melainkan sekedar untuk

dapat menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal terdakwa tidak berhasil

membuktikan harta bendanya tersebut sebagai harta benda yang halal. Atau

(26)

sebaliknya untuk tidak menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal

terdakwa berhasil membuktikan harta bendanya sebagai harta benda yang halal.

C. Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM

Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM atas nama terdakwa PT Giri

Jaladhi Wana merupakan kasus pertama yang menjerat korporasi sebagai

terdakwa dalam tindak pidana korupsi.

1. Kasus Posisi

a. Kronologis Perkara

Kasus PT Giri Jaladhi Wana (PT.GJW) diperiksa melalui putusan

Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM dan putusan

Pengadilan Tinggi Banjarmasin (Kalimantan Selatan) No

04/PID.SUS/2011/PT.BJM. PT GJW didakwa telah melakukan beberapa

perbuatan tindak pidana korupsi yang berhubungan sedemikian rupa sehingga

dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

PT Giri Jaladhi Wanape selaku korporasi dalam kerjasama kontrak bagi

tempat usaha untuk pembangunan Pasar Induk Antasari berdasarkan surat

Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/I/548/Prog dan Nomor: 003/GJW/VII/1998.

Sebagai pendanaan pembangunan pasar, PT.GJW mendapatkan kucuran dana

Kredit Modal Kerja dari PT.Bank Mandiri, Tbk. Dalam hal ini PT.GJW diwakili

oleh Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo selaku Direktur Utama PT.GJW

(27)

GJW tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin telah melakukan penambahan

900 unit bangunan toko, kios, los, lapak dan warung. Penambahan 900 unit

tersebut dijual dengan harga sebesar Rp. 16.691.713.166,00. Hasil penjualan

tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin. Disamping itu PT.GJW

juga mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk

membayar retribusi sebesar Rp 500.000.000,00; membayar uang sewa Rp

2.500.000.000,00 dan membayar pelunasan Kredit Inpres Pasar Antasari Rp

3.750.000.000,00 sehingga jumlah keseluruhan yang harus dibayar Rp

6.750.000.000,00. Akan tetapi PT.GJW hanya membayar sebesar Rp

1.000.000.000,00 yang seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin.

PT. Giri Jaladhi Wana sengaja tidak membayar uang tersebut dengan memberikan

keterangan tidak benar melalui direkturnya dengan menyatakan kepada

Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pembangunan Pasar Sentra Antasari

belum selesai.

Padahal sesuai dengan keterangan Ir. Wahid Udin, MBA. Projek Manajer

Pembangunan Pasar Sentra Antasari dan laporan completion report PT. Satya

Graha Tara (Konsultan Pengawas Proyek Antasari yang diminta Bank Mandiri),

melaporkan per September 2004 pembangunan Pasar Sentra Antasari selesai

100% dan per Oktober 2004 mempunyai surplus Rp 64.579.000.000,00 dari hasil

penjualan toko, kios dan los serta warung.

Selanjutnya juga PT.GJW dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja

dari PT. Bank Mandiri juga telah melakukan penyimpangan-penyimpangan.

(28)

kerugian sebesar Rp 7.332.361.516,00 berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan

Provinsi Kalimantan Selatan No. S-1911/PW.16/5/2008 dan PT. Bank Mandiri,

Tbk sebesar Rp 199.536.064.675,65.

Jaksa penuntut umum dalam perkara tersebut membuat surat dakwaan

yang disusun secara subsidiaritas. Dakwaan primernya melanggar Pasal 2 ayat

(1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun

2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsidernya melanggar pasal Pasal 3

jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001

jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

b. Dakwaan

Jaksa penuntut umum dalam perkara tersebut membuat surat dakwaan

yang disusun secara subsidiaritas. Dakwaan primernya melanggar Pasal 2 ayat

(1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun

2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsidernya melanggar pasal Pasal 3

jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001

jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara Dakwaan Subsidiair melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 jo. Pasal 20

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

(29)

c. Fakta Hukum

Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, telah terungkap fakta-fakta

hukum sebagai berikut:

1. Pada tanggal 11 Juli 1998 pimpinan DPRD Kotta Banjarmasin telah

mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 19 Tahun 1998 tentang

Persetujuan terhadap Pembangun Pasar Induk Antasari dengan

mengadakan kerja samaPemerintah Kota Banjarmasin dengan Pihak

ketiga;

2. Pada tanggal 13 Juli 1998 Walikota Banjarmasin telah mengeluarkan Surat

Keputusan Nomor 008/Prog/1998 tentang penunjukan Perseroan Terbatas

(PT) Giri Jaladhi Wana (terdakwa) sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan

kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar Induk

Antasari;

3. Pada tanggal 14 Juli 1998 bertempat di Kantor Walikota Banjarmasin

Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo Direktur Utama PT.Giri

Jaladhi Wana (PT.GJW) yang dalam hal ini bertindak mewakili terdakwa

dalam perkara ini telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama Nomor

664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat

Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota

Banjarmasin dengan H.Sadjoko selaku Walikota Banjarmasin;

4. Pada tanggal 15 Agustus 2000 telah dilakukan Addendum Kerja Sama

(30)

oleh Drs. H. Sofyan Arpan sebagai pihak pertama bertindak selaku

Walikota Banjarmasin dan terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana;

5. Untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan Pasar Sentra Antasari

tersebut terdakwa bekerjasama dengan PT.UE Sentosa sebagai kontraktor

pelaksana dengan surat perjanjian kerja No. 094/GJW/SPB/II/01 tanggal 1

Februari 2001 yang ditandatangani oleh ST.Widagdo selaku Dirut

PT.GJW dan Dominic Tan selaku Presiden Direktur PT.UE Sentosa

dengan Niai Rp 137.842.690,00, dengan sistem PT.UE Sentosa

melaksanakan pembangunan dan membiayai pelaksanaan pembangunan

tersebut dimana setiap kemajuan fisik proyek sudah mencapai 30% maka

terdakwa akan membayarnya;

6. Pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari sampai dengan bulan

Desember 2002 ternyata belum selesai, sehingga Drs. H. Sofyan Arpan

selaku Walikota Banjarmasin pada tanggal 13 Januari 2003 dengan surat

nomo 23/Ditakot 3/2003 memberikan batas waktu penyelesaian

pembanguan Pasar Induk Antasari hingga 10 Februari 2003;

7. Sampai bulan Agustus 2003, ternyata pekerjan pembangunan Pasar Sentra

Antasari belum juga selesai sehingga Walikota Banjarmasin H.Sofyan

Arpan mencabut Surat Keputusan Walikota Banjarmasin Nomor:

088/Prog/1998 tanggal 13 Juli 1998 tentang Penunjukan PT Giri Jaladhi

Wana (terdakwa) sebagi mitra kerja dalam pelaksanaan kerjasama kontrak

bagi tempat usaha, untuk pembangunan Pasar Induk Antasari, dengan SK.

(31)

tentang kontrak bagi tempat usaha dalam rangka pembangunan Pasar

Induk Antasari Kotamadya Banjarmasin, yang ditadatangani oleh H.

Sadjoko sebagai pihak pertama bertindak selaku Walikota Banjarmasin

dan ST. Widagdo sebagai pihak kedua bertindak mewakili terdakwa PT.

GJW;

8. Walikota Banjarmasin Drs. H. Sofyan Arpan membentuk Tim Percepatan

Penataan dan Pembangunan Pasar Sentra Antasari (P3SA) Banjarmasin

dengan Surat Keputusan Walikota banjarmasin No.119 tahun 2003 tanggal

13 Agustus 2003 dengan susunan tim sebagai berikut:

a) Drs. H. Edwan Nizar, Msi sebagai Ketua

b) Drs. Tjiptomo sebagai Wakil Ketua

c) Drs. Akhmad Yani sebagai Sekretaris

d) Ir. Heri Purnomo, MBA sebagai Bendahara

9. Pada tanggal 23 Agustus 2003 Walikota Banjarmasin Drs. H. Sofyan

Arpan meninggal dunia, selanjutnya urusan pemerintahan dilaksanakan

Wakil Walikota Banjarmasin Drs. H. Midpai Yabani MM;

10.Terdakwa dalam melaksanakan pembangunan dan pengelolaan Pasar

Induk Antasari telah melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai

berikut:

a) Terdakwa tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin telah

membangun 6.045 unit terdiri dari toko, kios, los, lapak, dan

warung, sehingga terjadi penambahan 900 unit bangunan.

(32)

16.691.713.166,00, dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke

kas daerah Kota Banjarmasin;

b) Berdasarkan Addendum Perjanjian Kerja Sama Nomor

664/I/548/Prog – Nomor 003/GJW/VII/1998, terdakwa mempunyai

kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar

retribusi sebesar Rp 500.000.000,00; membayar penggantian uang

sewa Rp 2.500.000.000,00 dan membayar pelunasan Kredit Inpres

Pasar Antasari Rp 3.750.000.000,00, sehingga jumlah yang harus

dibayar sebesar Rp 6.750.000.000,00, tetapi terdakwa hanya

membayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 sehingga terdapat

kekurangan sebesar Rp. 5.750.000.000,00 Terdakwa tidak

membayar sebesar Rp 5.750.000,00

11.Untuk mendukung pekerjaan pembangunan Pasar Sentra Antasari

Banjarmasin tersebut terdakwa mengajukan permohonan kredit dengan

surat permohonan kredit No. 066/GJW/B/VII/2001 tanggal 16 Juli 2001

perihal Permohonan Fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar

25.000.000,00 untuk cadangan pembayaran melalui PT. United Engineers

Sentosa selaku Main Contractor pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari

Hub Banjarmasin kepada PT. Bank Mandiri dan disetujui oleh PT.Bank

Mandiri dengan Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) Nomor

9.Hb.BLM. CO/1229/2001 tanggal 19 Desember 2001, kemudian ditindak

lanjuti dengan penanda tangan Perjanjian Kredit (PK) No.

(33)

bulan sejak tanggal penandatangan perjanjian kredit sampai dengan 19

September 2002;

12.Berdasarkan Perjanian Kredit Modal Kerja Nomor

048/001/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akte notaris Nomor 69 (tahap I

pemberian fasilitas kredit sebesar Rp 25.000.000.000,00 untuk tujuan

penambahan pendanaan pembanguan Pasar Induk Sentra Antasari sebesar

Rp 25.000.000.000,00 dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah

diatur dalam Perjanjian Kerja tersebut. Bahwa berdasarkan perjanjian

modal kerja tersebut diatur mekanisme escrow account. Namun sampai

jatuh tempo kreditnya yaitu tanggal 19 September 2002 terdakwa tidak

dapat memenuhi kewajiban pembayaran pelunasan kreditnya dan hanya

membayar sebagian hutang pokoknya sebesar Rp 1.450.000.000,00

sehingga terdakwa masih mempunyai kewajiban hutang pokoknya sebesar

Rp 23.550.000.000,00 dan hutang bunga sebesar Rp 3.452.000.000,00

dengan lama tunggakan 8 (delapan) bulan shingga tingkat kolektibilitas

atau pengembalian kredit terdakwa masuk golongan 4 (empat) yaitu

diragukan, dari 5 (lima) kolektibilitas yaitu lancar, dalam perhatian khusus,

kurang lancar, diragukan dan macet;

13.Terdakwa tidak menyetorkan seluruh hasil penjualan kios secara tunai

maupun uang muka kredit sebagaimana diperjanjikan dalam perjanjian

kredit tersebut maka PT. Bank Mandiri, Tbk menunjuk Kantor Akuntan

Publik Paul Hadiwinata, Hidajat dan Rekan untuk melakukan pemeriksaan

(34)

14.Hasil audit tanggal 26 September 2003 perihal laporan hasil pemeriksaan

penerimaan dan penggunaan dana PT. GJW untuk periode 1 Januari 2000

s.d 30 Juni 2003 terdapat penggunaan dana yang berasal dari kredit PT.

Bank Madiri, Tbk. Telah dipergunakan untuk kepentingan lain dari

terdakwa selain untuk pembiayaan pembangunan Rp 39.179.924.284,00;

15.Berdasarkan Addendum 11 Perjanjian kredit modal kerja No. 048/011/

KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004 akte notaris nomor 5 (tahap III

penjadwalan ulang), fasilitas kredit disetjui untuk dilakukan penjadwalan

kembali dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur. Tetapi pada

kenyataannya terdakwa sama sekali tidak dapat mengembalikan kredit

modal kerja yang telah diterima dari PT. Bank Mandiri, Tbk sesuai jadwal

yang telah ditentukan, malah terdakwa meminta PT. Bank Mandiri, Tbk

untuk mencairkan fasilitas Bank Garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00;

16.Berdasarkan Perjanjian Kredit Modal Kerja No. 048/032/KMK-CO/2004

tanggal 21 Desember 2004 akte notaris No. 81 (tahap V pemberian

fasilitas modal kerja ex. Bank garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00

diberikan fasilitas kredit kepada terdakwa untuk pencairan fasilitas Bank

Garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00;

17.Jatuh tempo pembayaran kewajiban terdakwa atas kredit-kredit tersebut

berdasarkan perjanjian kredit modal kerja No. 048/011/KMK-CO/2001

tanggal 19 Desember 2001 akte notaris No. 69 berikut addendumnya dan

No. 048/032/KMK-CO/2004 tanggal 21 Desember 2004 akta notaris No.

(35)

tunggakan tersebut 180 hari tidak dilakukan angsuran oleh Terdakwa PT.

GJW sehingga sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia maka kredit

tersebut dinyatakan macet;

18.Terdakwa dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT. Bank

Madiri telah melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut:

a) Berdasarkan perjanjian kredit Modal Kerja Nomor

048/001/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akte notaris Nomor 69 kredit

yang diajukan oleh Terdakwa PT GJW yaitu kredit modal kerja untuk

tujuan penambahan pendanaan pembangnan Pasar Induk Sentra

Antasari sebesar rp 25 milyar dengan jangka waktu 9 bulan sejak

tanggal penandatanganan kredit namun sampai jatuh tempo kreditnya

yaitu tanggal 19 September 2002 terdakwa tidk dapat memenuhi

kewajiban pembayaran pelunasan kreditnya dan hanya membayar

sebagian hutang Rp 1.450.000.000,00 sehingga terdakwa masih

mempunyai kewajiban hutang pokoknya sebesar Rp

23.550.000.000,00 dan hutang bunga sebesar Rp 3.452.000.000,00

dengan lama tunggakan 8 bulan;

b) Berdasarkan addendum I Perjanjian Kredit Modal Kerja No.

048/011/KMK-CO/2001 tanggal 9 Oktober 2002 akte notaris No. 24

kredit diberikan kredit tambahan sebesar Rp 50 milyar untuk tujuan

penambahan pendanaan pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari

dengan jangka waktu sejak penandatangannan addendum perjanjian

(36)

membayar Rp 5.720.000.000,00 dan hanya menyetorkan sebagian

hasil penjualan ke rekening escrow I;

c) Berdasarkan addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja No.

048/001/KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004 Akta Notaris Nomor

5 dimana fasilitas kredit disetujui untuk dilakukan penjadwalan

kembali dengan limit kredit turun menjadi Rp 67.830.000.000,00 dan

jangka waktu sejak penanda tanganan addendum perjanjian kredit s.d

tanggal 30 September 2004. Pada kenyataannya terdakwa hanya

membayar sebesar Rp 1.030.000.000,00/ Bahwa perbuatan terdakwa

tidak melaksanakan kewajiban terhadap kredit modal kerja yang telah

diterima dari PT Bank Mandiri, TBk;

d) Berdasarkan addendum III Perjanjian Kredit Modal Kerja No.

048/011/KMK-CO/2001 tanggal 2 Agustus 2004 fasilitas kredit

disetujui untuk dilakukan penjadwalan kembali dengan limit kredit

turun menjadi Rp 66.800.000.000,00 dan jangka waktu sejak tanggal 1

Oktober 2004 s.d 30 Juni 2005. Pada kenyataannya terdakwa sama

sekali tidak dapat mengembalikan kredit modal kerja yang sama sekali

tidak dapat mengembalikan kredit modal kerja yang telah diterima

dari PT. Bank Mandiri Tbk sesuai jadwal yang telah ditentukan, malah

terdakwa meminta PT. Bank Mandiri, Tbk untuk mencairkan fasilitas

Bank Garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00.

19.Pada tanggal 16 Desember 2009 telah dilaksanakan lelang terhadap

(37)

seluas 2.684 m2. SHM No. 2412/ Pegadungan seluas 2.355 m2, SHM No. 2413/Pegadungan seluas 1.812 m2, SHM No. 2414/Pegadungan seluas 2558 m2 dan SHM No. 2415 seluas 2266 m2 keseluruhan atas nama Stephanus Widagdo terletak di Kel.Pegadungan Kec. Kalideres Kodya

Jakarta Barat Prov. DKI Jakarta dengan hasil bersih lelang sebesar Rp

8.370.930.000,00.

20.Jumalah kewajiban pebayaran terdakwa yang tidak dipenuhi tanggal 19

Februari 2010 adalah:

a) Kewajiban pokok sebesar Rp 83.429.070.000,00

b) Kewajiban bunga sebesar Rp 63.732.298.096,66

c) Kewajiban denda sebesar Rp 52.374.696.578,99

Sehingga total kewajiban terdakwa adalah sebesar Rp 199.536.064.675,65.

21.PT.GJW tersebut telah merugikan Keuangan Negara cq. Pemerintah Kota

Banjarmasin sebesar Rp 7.332.361.516,00 berdasarkan perhitungan BPKP

Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan dan PT. Bank Mandiri, Tbk.

sebesar Rp 199.536.064.675,65;

22.Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo selaku Direktur Utama

PT.GJW telah dipidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri

Banjarmasin;

23.Dengan terungkapnya kasus ini kondisi Pasar sentra Antasari menjadi

(38)

d. Tuntutan

Dalam Tuntutan Pidana, Penuntut Umum tetap terhadap dakwaannya. Yang

menyatakan Terdakwa bersalah melanggar pasal yang didakwakan. Tuntutan

pidana yang dijatuhkan kepada PT Giri Jaladhi Wana adalah:

a. Menyatakan Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana telah terbukti bersalah

“melakukan beberapan perbuatan Tindak Pidana Korupsi yang

berhubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang menjadi satu

perbuatan berlanjut” melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubahkan dengan Undang-undang

Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64

ayat (1) KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Primair.

b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana dengan

pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00

c. Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan sementara PT.GJW

selama 6 (enam) bulan.

d. Menyatakan barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara

adalah sah.

e. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp

(39)

e. Putusan

Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana, maka Majelis Hakim wajib

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa

sebagai berikut:

1) Hal-hal yang memberatkan:

a) Bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa

(extra ordinary crime) yang memerlukan penanganan secara luar biasa

pula karena dipandang dapat menghancurkan sendi-sendi keuangan

dan/atau perekonomian negara;

b) Bahwa Perbuatan Terdakwa telah merugikan Pemerintah Kota

Banjarmasin dan PT. Bank Mandiri Tbk;

2) Hal-hal yang meringankan:

a) Tidak ada;

Dalam Amar Putusan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin

dengan Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM, memutuskan:

a. Menyatakan terdakwa PT GIRI JALADHI WANA telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI

SECARA BERLANJUT sebagaimana dalam Dakwaan Primair;

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT GIRI JALADHI WANA oleh

karena itu dengan pidana DENDA sebesar Rp 1.300.000.000,00

c. Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan Sementara PT GIRI

(40)

d. Menetapkan barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara

adalah sah.

2. Analisis Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM

a. Penuntutan Korporasi sebagai Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke

pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim

di sidang pengadilan. Dalam tindak pidana korupsi penuntutan dapat dilakukan

kepada manusia (naturlijk persoon) dan korporasi (recht persoon).

Salah satu kasus tindak pidana korupsi adalah perkara Nomor

812/PID.SUS/2010/PN.BJM atas nama tedakwa PT Giri Jaladhi Wana. PT Giri

Jaladhi Wana merupakan badan usaha yang berbadan hukum sehingga dapat

dikategorikan sebagai korporasi. Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai

terdakwa tindak pidana korupsi didasarkan pada Pasal 20 ayat (1)

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana korporasi (dalam hal ini

PT Giri Jaladhi Wana) dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

PT Giri Jaladhi Wana didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan

yang disusun secara subsidaritas, yang mana dakwaan primernya adalah

melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

(41)

melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP. Selanjutnya, setelah melakukan proses pemeriksaan

sidang, Jaksa Penuntut Umum tetap pada dakwaannya.

Menurut penulis, tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam putusan Nomor

812/PID.SUS/2010/PN.BJM didasari pada teori direct corporate criminal liability

atau yang biasa dikenal dengan teori identifikasi. Teori ini berpandangan bahwa

korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang

sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan/atau atas nama

korporasi. “Agen” yang dimaksud dalam teori ini adalah pengurus korporasi yang

bertindak sebagai directing mind. Perbuatan dan mens rea para individu itu

kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika individu diberi kewenagan untuk

bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para

individu itu merupakan mens rea korporasi.

Berdasarkan putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM dapat diketahui

bahwa ST. Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri jaladhi Wana merupakan

directing mind korporasi. Sehingga tindakan yang dilakukan ST Widagdo pada

dasarnya bukan mewakili korporasi, tetapi dianggap sebagai tindakan korporasi

itu sendiri sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan

korporasi.

Bertitik tolak dari pendapat Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan

kepada korporasi. Jaksa Penuntut Umum berpendapat dalam rumusan Pasal 20

(42)

identifikasi dengan menetapkan orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau

hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi adalah directing mind dari

korporasi yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut penulis sependapat

dengan apa yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penuntutan

apabila pertanggungjawaban pidana korupsi tersebut melekat secara kumulatif

baik terhadap pengurus korporasi sebagai subjek hukum orang perorangan dan

korporasi sebagai subjek hukum korporasi. Maka berdasarkan Surat Edaran Jaksa

Agung Nomor: B-036/A/JA/Ft,06/2009 perihal korporasi sebagai

tersangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi, maka berkas perkara dan surat

dakwaan terhadap korporasi dilakukan dan diajukan secara terpisah (splitsing)

dengan berkas perkara dan surat dakwaan bagi pengurus korporasi. Splitsing128 dalam hal ini dilakukan oleh penuntut umum, yaitu dengan cara membuat berkas

perkara baru, dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itu

perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap saksi maupun tersangka. Hal ini

dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum.

Setelah penulis membaca berkas perkara Nomor

812/PID.SUS/2010/PN.BJM, ternyata benar bahwa berkas perkara pengurus

korporasi dan berkas perkara korporasi diajukan secara terpisah. Maka, penulis

berpendapat tindakan Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut korporasi dengan

berkas perkara yang terpisah dengan pengurus korporasi telah tepat dan sesuai

dengan aturan yang berlaku.

(43)

Penuntutan korporasi sebagai terdakwa tindak pidana korupsi tidak terlepas

dari proses dan tahap penuntutan tersebut. Penuntutan korporasi diawali dengan

pembuatan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Berkaitan dengan surat

dakwaan, sahnya surat dakwaan apabila telah memenuhi syarat formil dan syarat

materil. Syarat formil yang mengharuskan surat dakwaan memuat uraian lengkap

identitas terdakwa, tentunya mengacu pada identitas orang perorangan yang

merupakan manusia alamiah (naturlijk persoon) sebagai subjek hukum pidana

sementara ketentuan mengenai syarat formil identitas dalam surat dakwaan bagi

korporasi sebagai subjek hukum pidana yang menjadi terdakwa tidak ditentukan

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) sebagai lex generalis

demikian halnya dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagai lex specialis. Kekeliruan dalam merumuskan identitas terdakwa dalam

surat dakwaan mengakibatkan surat dakwaan dapat dibatalkan oleh hakim.129 Sehubungan dengan hal tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia

melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014, penyusunan surat

dakwaan terhadap korporasi mencantumkan identitas korporasi, yaitu:

a. Nama korporasi

b. Nomor dan tanggal akta pendirian korporasi berserta perubahannya c. Nomor dan tangal akta pendirian korporasi pada saat peristiwa pidana d. Tempat kedudukan

e. Kebangsaan korporasi f. Bidang Usaha

g. Nomor pokok wajib pajak; dan

h. Identitas yang mewakili korporasi sesuai Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP

129

H. Ahmad Drajad, Kendala Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi sebagai

Pelaku Tindak Pidana Korupsi,

(44)

pengadilan/profil-pengadilan/alamat-pengadilan/384-kendala-penerapan-sanksi-pidana-terhadap-Berdasarkan berkas perkara Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM, penulis

menemukan bahwa dalam surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum tidak

mencantumkan poin d, poin e, poin g, dan poin h sebagaimana yang telah diatur

dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014. Menurut penulis,

Jaksa Penuntut Umum tidak memuat poin d, poin e, poin g, dan poin h disebabkan

oleh perkara Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM lebih dahulu ada, kemudian

pada tahun 2014 peraturan jaksa tersebut dikeluarkan. Sehingga, berkaitan dengan

identitas terdakwa Jaksa Penuntut Umum masih mengacu pada Surat Edaran No:

B-036/A/Ft./2009 perrihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa Dalam Tindak

Pidana Korupsi.

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Dasar pertimbangan hakim dalam membuktikan PT. Giri Jaladhi Wana

sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah:

1) Mempertimbangkan apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa

telah memenuhi kesemua unsur dari dakwaan jaksa penuntut umum;

2) Bahwa terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana telah didakwa oleh Jaksa Penuntut

Umum dengan dakwaan yang disusun secara subsidaritas;

3) Bahwa oleh karena dakwaan Jaksa penuntut Umum disusun secara

subsidaritas maka oleh karenanya majelis hakim lebih dahulu

(45)

4) Bahwa atas pledooi Penasihat Hukum terdakwa, Jaksa Penuntut Umum

telah memberikan tanggapan/replik dan tetap pada

Gambar

Tabel 2. Perbedaan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia
Tabel 1.  Indeks Persepsi Korupsi di 11 kota di Indonesia Pada Tahun 20158

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Undang-undang tersebut, pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan atau

“Dalam menghadapi problema yuridis Hukum Acara Pidana ini, di mana tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka Mahkamah Agung melalui putusan

2. Di samping penggabungan hukum acara pidana yang tersebut di atas, tindak pidana khusus mengatur sendiri hukum acara pidana dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan

Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan bilyet deposito dalam perkara Putusan Nomor: 1343/Pid/Sus/204/PN-Tjk adalah terdakwa melakukan perbuatan

Undang-undang tindak pidana korupsi menjelaskan alat bukti yang sah dalam peradilan tindak pidana korupsi yaitu alat bukti yang sesuai dengan KUHAP dan alat

Secara khusus dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang, Jaksa melaksanakan peran yang diatur dalam Pasal 1 ayat 6a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

1) Undang-Undang No.81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam Bab IV, Penyidikan dan Penuntutan terdapat dalam Pasal. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini

Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan tindak pidana khusus yang dalam penanganannya membutuhkan keahlian yang khusus serta oleh penegak hukum yang khusus