DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
A Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary, Nirth Edition, St Paul Minim West Publishing, Co, 2009.
Ali, Mahrus, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT Raja Grafindo Persada: Yogyakarta, 2013.
Amrullah, M Arief Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing: Jember, 2004
Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusi RI,
Analisis dan Evaluasi Hukum Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi: Jakarta, 2008.
Chaeruddin, dkk , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi, Refika Aditama: Jakarta, 2007.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo: Jakarta, 2002.
_____, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT. Alumni Bandung:
Malang, 2006.
Danil, H Elwi. Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2011.
Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika: Jakarta, 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989.
Easter, Lalola dkk, Studi Tentang Penerapan Pasal Gratifikasi Yang Dianggap
Suap Pada Undang-Undang Tipikor, Policy Paper: Jakarta, 2014.
Effendy, Marwan Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam
Penegakan Hukum: Jakarta, 2012.
H.Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visi Media: Jakarta, 2012.
_____, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cv Sapta Artha Jaya: Jakarta, 1993.
_____, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta,2007.
Harahap, M Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika: Jakarta, 2008.
_____, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta, 2000.
Hartanti, Evi Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Semarang,2005.
Irman,TB Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publisshing & Ayyccs Group: Jakarta, 2005.
M. Husein, Harun, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta: Jakarta, 1990.
_____, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya, Rineka Cipta: Jakarta, 1989.
Marpaung, Leden Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan: Jakarta, 2001.
Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana, STHB: Bandung, 1991.
_____, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Grup: Bandung,2009.
Mulyadi, Lilik Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik
dan Masalahnya, PT Alumni: Bandung, 2007.
_____, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, PT Alumni Bandung: Jakarta, 2007.
Mulyadi, Mahmud dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap
Kejahatan Korporasi, PT Softmedia: Medan,2010.
Prints, Darwin, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti: Medan, 2000.
Priyatno, Dwidja Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama: Jakarta, 2003.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik
Korupsi (Undang-undang No.31 Tahun 1999), Cv. Mandar Maju:
Jakarta, 2001.
_____, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Pradnyaparaminta: Jakarta, 2000.
RM, Suharto, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Sinar Grafika: Jakarta, 1994.
Remi Sjahdeni, Sutan, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafitipers: Jakarta, 2006.
Sabuan, Ansori, Hukum Acara Pidana, Angkasa: Bandung, 1990.
Sasangka, Hari dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Cv. Mandar Maju, Jember Juni, 2003.
Simanjuntak, Nikolas, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2009.
Simanjuntak, Osman, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, PT Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta, 1995.
Suhaimi, T Pertanggungjawaban Pidana Direksi, Books Terrace & Library: Medan, 2009.
Taufik Makarao, Mohammad, Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan
Praktek, Ghalia Indonesia: Jakarta, 2002.
Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2005.
Sumber internet:
Aditya Heri Kristanto, Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam
Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi, Jurnal, 2014, http://e-journal.uajy.ac.id/5959/1/JURNAL.pdf
Edi Rifai, PerspektifPertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku
Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmiah , Volume 26 Nomor 1, 2014,
Edi Yunara, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, 2004, http://library.usu.ac.id/download/fh/05002125.pdf
Fauzan Jauhari, Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Perdata, Pidana, Dan PTUN, http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html
H. Ahmad Drajad, Kendala Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Sebagai
Pelaku Tindak Pidana Korupsi,
http://www.pn-
medankota.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/profil- pengadilan/alamat-pengadilan/384-kendala-penerapan-sanksi-pidana-terhadap-korporasi-sebagai-pelaku-tindak-pidana-korupsi
Handar Subhandi, Jenis Tindak Pidana Korupsi,
http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/jenis-tindak-pidana-korupsi.html
Hans. C Tangkau, Hukum Pembuktian Pidana, Jurnal
http://repo.unsrat.ac.id/97/1/HUKUM_PEMBUKTIAN_PIDANA.pdf
Jpnn.com, Komisaris PT Gerindo Perkasa Di Periksa KPK,
http://www.jpnn.com/read/2013/05/01/169924/Komisaris-PT-Gerindo-Perkasa-Diperiksa-KPK
Kompas, Kasus Suap Impor Sapi, Dirut Indoguna Dituntut 4,5 Tahun, http://nasional.kompas.com/read/2014/04/22/1148432/Kasus.Suap.Impor .Sapi.Dirut.Indoguna.Dituntut.4.5.Tahun.Penjara
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian terhadap Tindak Pidana
Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003,
http://www.badilum.info/upload_file/img/article/doc/asas_beban_pembu ktian_terhadap_tipikor_dalam_hukum_pidana_indonesia.pdf
Rangga Trianggara Paonganan, Kewenangan Penuntutan Komisi Pemberantasan
Korupsi Dan Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
Lex Crimen Vol. II,
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/997/810
Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana
Korupsi Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana,
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:VGUKRIokIDsJ
:online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/download/200/177+&cd=1&hl =en&ct=clnk&gl=id
Transparency International, Survei Persepsi Korupsi
BAB III
PEMBUKTIAN KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PUTUSAN PENGADILAN
(Studi Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM)
Apabila bahwa Hukum Acara Pidana yang diperoleh sebagai hukum acara
pidana dalam pemeriksaan perkara delik korupsi sebagai satu sistem. Maka
hukum pembuktian merupakan bagian dari sistem hukum acara pidana.101
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang
mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut
dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta
kewenangan hakim untuk menerima menolak dan menilai suatu pembuktian.102 Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang
boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat
bukti itu dipergunakandan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk
keyakinannya.
Sistem pembuktian dan alat-alat bukti termuat dalam Bab XVI Bagian
keempat (Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP), merupakan bagian
penting dari proses pemeriksaan perkara pidana. Kewajiban hakim pidana dalam
menerapkan hukum pembuktian dan alat-alat bukti guna memperoleh kebenaran
materiil terhadap:103
a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.
b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.
101
Martiman Prodjohanmidjojo, Penerapan..., op.cit., hal 98-99. 102
c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.
d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.
Keempat hal ini yang harus dikaji oleh hakim untuk memperoleh kebenaran
materiil. Wiryono Prodjodikoro,104 menyatakan bahwa kebenaran itu biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu pada masa yang sudah lampau. Oleh
karena itu kebenaran atas keadaan pada masa lampau, sukar bagi hakim untuk
menyatakan kebenaran masa lampau, tidak mungkin dicapai. Maka hukum acara
pidana hanya dapat menunjukkan jalan berupaya guna mendekati sebanyak
mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati (de materiele
waarheid).
Sumber hukum pembuktian adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Apabila dalam suatu kegiatan dalam proses hukum
atau praktik menemui kesulitan dalam penerapan, maka dipakai yurisprudensi
atau doktrin. Dengan demikian sumber hukum pembuktian adalah
undang-undang, yurisprudensi, dan doktrin atau ajaran.105
104
Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Pradnyaparaminta: Jakarta, 2000, hal 133.
A. Pembuktian Tindak Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia
1. Teori Pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
Dalam pembuktian perkara pidana pada umumnya dan khususnya delik
korupsi, diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam pemeriksaan delik korupsi selain
diterapkan KUHAP terdapat juga sebagian Hukum Acara Pidana, yaitu pada BAB
IV terdiri atas pasal 25 sampai dengan pasal 40 dari UU No. 31 Tahun 1999.
Sebelum meninjau sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ada baiknya ditinjau beberapa ajaran
yang berhubungan dengan sistem pembuktian. Guna sebagai bahan perbandingan
dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP dan diluar
KUHAP.106
a. Conviction-in Time
Sistem pembuktian cinviction-in time menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan
hakim yang menentukan keterbukaan kesalahan terdakwa. Dari mana hakim
menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem
ini.107
Kelemahan sistem pembuktian conviction in time adalah hakim dapat saja
menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan
belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim yang dominan
atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat
bukti yang sah sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim
inilah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.
Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.
Sistem ini perah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda dahulu,
ialah pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten. Pengadian district
adalah pengadilan sipil dan kriminal tingkat pertama untuk orang-orang bangs
Indonesia. Berada pada tiap-tiap distrik di Jawa dan Madura berdasarkan
Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie in Nederlandsch Indie (Pasal 77-80 RO). Pengadilan Kabupaten yang disebut juga
dengan Regentschapsgerecht (Pasal 81-85 RO) adalah pengadilan tingkat
bandingnya.108
b. Conviction Raisonee
Dalam sistem pembuktian ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan
tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam
sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa
batas maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung
dengan “alasan-alasan yang jelas”. Artinya, alasan yang digunakannya dalam hal
membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang
pada umumnya. Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan
bebas (vrije bewijstheorie), karena dalam membentuk keyakinannya hakim bebas
menggunakan alat-alat bukti dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang
diperolehnya dari alat-alat bukti tersebut.109
c. Sistem Pembuktian Melalui Undang-Undang (Positief Wettelijk
Bewijstheorie)
Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian
yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time. Adakalanya sistem pembuktian ini disebut dengan sistem
menurut undang-undang secara positif. Maksudnya, ialah dalam hal membuktikan
kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada
alat-alat bukti serta cara-cara mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dalu
dalam undang-undang.Menurut sistem pembuktian ini, asal sudah dipenuhi
syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang sudah cukup
menetukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah
hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.
Pokoknya, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati
nuraninya akan kesalahan terdakwa.
Dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksana” undang-undang
yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan
salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian dari segi sistem ini mempunyai
kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan
kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian
dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.
Apabila dibandingkan dengan sistem pembuktian conviction in-time, sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai karena lebih dekat
kepada prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman
terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakkan dibawah kewenangan hakim,
tetapi diatas kewenangan undang-undang yang berlandaskan: seorang terdakwa
baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya
benar-benar yang sah menurut undang-undang.
d. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif
(Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori
antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan atau conviction in-time.110
Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak
sepenuhnyamengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan
oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertaipula keyakinan bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini
haruslah berdasar atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat-alat bukti yang
ditentukan dalam undang-undang. Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan
pembuktian didasarkan pada 2 (dua) hal, ialah alat-alat bukti dan keyakinan yang
merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri.111
2. Alat Bukti yang Sah Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Adami Chazawi112 berpendapat bahwa hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem secara konsekuen. Pasal 294
ayat (1) HIR merumuskan bahwa:“tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman,
selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar
telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah
yang salah tentang perbuatan itu.”
Kemudian, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan
penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya ialah:“hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Rumusan Pasal 183 KUHAP dapat dinilai lebih sempurna, karena telah
menentukan batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha membuktikan
kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Lebih tegas karena ditentukan
batas minimum pembuktian, yakni harus menggunakan setidak-tidaknya dua alat
bukti yang sah dari yang disebutkan dalam undang-undang. Sedangkan dalam
Pasal 294 ayat (2) HIR syarat setidak-tidaknya dengan dua alat bukti tidak
disebutkan secara tegas. Hal ini menandakan bahwa sistem pembuktian negatif
dalam KUHAP lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum.113
Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, bahwa alat-alat bukti yang sah
adalah: 1) Keterangan saksi; 2) Keterangan ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk; 5)
Keterangan terdakwa.
a. Keterangan Saksi
KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 26). Sedangkan keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya (Pasal 1 angka 27).
Dari batasan pengertian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan, yakni:114 (1) Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung
pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangan dalam dua
tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang
pengadilan
(2) Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai 3 (tiga) sumber
tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini
menjadi suatu prinsip pembuktian.
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari
pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara
pidana, selalu bersandar pada keterangan saksi.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of
evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang
harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat
dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus
dipenuhi ketentuan sebagai berikut:115
(1) Harus mengucapkan sumpah atau janji116 (2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti
(3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan
(4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup
(5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri
Nilai kekuatan pembuktian saksi ada baiknya kembali melihat masalah yang
berhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah atau tidaknya keterangan
saksi sebagai alat bukti. Dalam memberikan keterangan saksi diharuskan
115 M. Yahya Harahap, Pemeriksaan..., op.cit., hal 286-289
116 Mengenai mengucap sumpah atau janji diatur dalam Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi
bersumpah atau berjanji menurut agama dan kepercayaan masing-masing,
sehingga memiliki nilai kesaksian sebagai alat bukti. Apabila keterangan saksi
tidak disertai dengan penyumpahan, maka meskipun keterangan itu sesuai dengan
satu dan yang lainnya, tidak merupakan alat bukti, sebagaimana saksi yang
disumpah. Keterangan demikian hanya dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti yang sah (Pasal 185 ayat 7).117
Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa hanya
didasarkan kepada satu saksi saja, oleh karena satu saksi kurang mencukupi asas
minimum alat bukti, dan dianggap sebagai alat bukti yang kurang cukup. Artinya,
kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja dianggap tidak sempurna oleh hakim.
Ketentuan Pasal 185 ayat (2) ini dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan
suatu alat bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 3).118 b. Keterangan Ahli
Dalam praktik alat bukti ini disebut alat bukti saksi ahli. Tentu saja
pemakaian istilah saksi ahli tidak benar. Karena perkataan saksi mengandung
pengertian yang berbeda dengan ahli atau keterangan ahli. Bahwa isi yang
keterangan yang disampaikan saksi adalah segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan seorang ahli memberikan keterangan
bukan mengenai segala hal yang dilihat didengar dan dialaminya sendiri, tetapi
mengenai hal-hal yang menjadi atau bidang keahliannya yang ada hubungannya
dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat
dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana keterangan
saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan atau fakta.
Akan tetapi yang diterangkan ahli adalah suatu penghargaan dari kenyataan dan
atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahlian seorang ahli.119
Alat bukti keterangan ahli dapat berbentuk “laporan atau visum et
repertum”atau “keterangan langsung secara lisan” di sidang pengadilan yang
dituangkan dalam catatan berita acara persidangan. Adapun bentuk keterangan
ahli yang berbentuk “keterangan langsung atau lisan” tidak menjadi masalah,
karena sifatnya benar-benar murni sebagai alat bukti keterangan ahli, yang lahir
dari hasil pemberian keterangan secara langsung disidang pengadilan. Akan
tetapi, lain halnya dengan alat bukti keterangan ahli yang berbetuk laporan. Alat
bukti ini sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yaitu tetap alat bukti sebagai alat
bukti keterangan ahli dan alat bukti surat.
Mengenai nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti
keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan
menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama
halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan
saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti
keterangan ahli:120
(1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrij bewijskracht”.
Artinya di dalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya.
(2) Keterangan ahli yang berdiri sendiri tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti.
c. Surat
Surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan
suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat adalah foto dan peta sebab benda ini
tidak memuat tanda bacaan. Adapun contoh-contoh dari alat bukti surat itu, adalah
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi, BAP Pengadilan, Berita
Acara Penyitaan, Surat Perintah Penahanan, Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin
Penyitaan, dan lain-lainnya.
Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang
ialah:
(1) Surat yang dibuat diatas sumpah jabatan;
(2) Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.
Dalam pembuktian yang diatur dalam hukum acara perdata, surat autentik
atau surat resmi seperti bentuk-bentuk surat resmi yang disebut dalam Pasal 187
huruf a dan huruf b KUHAP, dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, dan
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat bagi hakim, sepanjang hal
itu tidak dilumpuhkan dengan “bukti lawan” atau tegen bewijs. Sedangkan dalam
KUHAP sama sekali tidak mengatur ketentuan yang khusus tentang nilai kekuatan
pembuktian surat.
d. Petunjuk
Apabila kita bandingkan dengan 4 (empat) alat-alat bukti yang lain dalam
Pasal 184, maka alat bukti petunjuk ini bukanlah suatu alat bukti yang bulat dan
berdiri sendiri, melainkan suatu alat bukti bentukan hakim. Hal itu tampak dari
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.121
Karena keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung
merupakan penilaian terhadap hubungan atau persesuaian antara isi dari beberapa
alat bukti lainnya, dan bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri, maka dapat
dimaklumi sebagian ahli keberatan atas keberadaanya dan menjadi bagian dalam
hukum pidana.122
e. Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184
ayat (1). Penempatan pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang
dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa
dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Alat bukti
keterangan terdakwa acap kali diabaikan oleh hakim. Hal ini dapatlah dimaklumi,
karena berbagai sebab, antara lain:
1) Sering sekali keterangan terdakwa tidak bersesuian dengan isi dari alat-alat
bukti yang lain, misalnya keterangan saksi. Tidak menerangkan hal-hal yang
memberatkan atau merugikan terdakwa sendiri adalah sesuatu sifat manusia
(manusiawi). Bahwa setiap orang selalu ada kecenderungan untuk
menghindari kesusahan atau kesulitan bagi dirinya sendiri. Untuk itu dia
terpaksa berbohong.
2) Pada diri terdakwa memiliki hak untuk bebas berbicara termasuk yang isinya
tidak benar. Berhubung terdakwa yang memberi keterangan yang tidak benar
tidak diancam sanksi pidana sebagaimana saksi memberikan keterangan yang
isinya tidak benar. Karena terdakwa tidak disumpah sebelum memberikan
keterangan.
3) Pengabaian oleh hakim biasanya terhadap keterangan terdakwa yang berisi
penyangkalan terhadap dakwaan. Pengabaian hakim dapatlah diterima,
menginat menurut KUHAP penyangkalan terdakwa bukanlah menjadi bagian
isi alat bukti keterangan terdakwa. Karena isi keterangan terdakwa itu
hanyalah terhadap keterangan mengenai apa yang ia lakukan, atau ia ketahui
atau alami sendiri (Pasal 189 ayat 1)
Tidak semua keterangan terdakwa mengandung nilai pembuktian. Dari
ketentuan Pasal 189 didaptakan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar keterangan
terdakwa mengandung nilai pembuktian ialah:
1) Keterangan terdakwa haruslah dinyatakan di muka sidang pengadilan.
2) Isi keterangan terdakwa haruslah mengenai 3 (tiga) hal, ialah: (1) perbuatan
yang dilakukan terdakwa, (2) segala hal yang diketahuinya sendiri, dan (3)
kejadian yang dialaminya sendiri;
3) Nilai keterangan terdakwa hanya berlaku sebagai bukti untuk dirinya sendiri;
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dirinya
bersalah melakukan tindak pidana, melainkan harus ditambah dengan alat
B. Pembuktian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi selain berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga
berdasarkan kepada hukum pidana formil sebagaimana yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2),
dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang
rumusannya sebagai berikut:
Pasal 38
(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak Berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 39
(1) Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Dalam Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, merumuskan:
Alat bukti yang sah dalam bentuk pentunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk selain ditentukan dalam Pasal
188 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), juga diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP, yaitu secara
lengkap bunyi Pasal 184 adalah sebagai berikut:
(1) Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Dari ketentuan yang terdapat dalam rumusan Pasal 26A Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, bahwa petunjuk sebagai salah satu alat bukti khusus untuk
tindak pidana korupsi, selain dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa123 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, juga dapat diperoleh dari:
123
1) Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapakan, dikirim, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2) Dokumen, yakni setiap rekaman data/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Dalam penjelasan Pasal 26A yang dimaksud dengan “disimpan secara
elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film Compact Disk Read
Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada
data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik
(e-mail), telegram, teleks, faksimili.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut sistem pembuktian
terbalik. Dimana yang memiliki beban pembuktian bukan saja Jaksa Penuntut
Umum tetapi terdakwa juga dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah di muka
persidangan.
Bewijskast atau burden of proof adalah pembagian beban pembuktian
tercantum dalam undang-undang. Dalam hukum positif, asas pembagian beban
pembuktian tercantum dalam Pasal 163 Hirzine Indische Reglement, Pasal 283
Reglement op de Burgelijk dan Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
pihak yang mendalihkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau untuk mengukuhkan
dirinya sendiri ataupun membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada
suatu peristiwa.124 Adapun dalam konteks pembagian beban pembuktian dalam perkara pidana sendiri juga merupakan hal yang sangat penting apalagi hal
tersebut menyangkut dalam penyelesaian kasus korupsi. Hukum pidana sendiri
mengatur bahwa beban pembuktian merupakan tugas atau kewenangan dari Jaksa
Penuntut Umum (JPU).
Dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 secara eksplisit telah
mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan Pasal 17 Undang-undang
Nomor 3 tahun 1971, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi
(2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukan oleh terdakwa bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanya diperkenankan dalam hal:
a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan,bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara atau;
b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
(3) Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktin seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan.
(4) Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang pembuktian seperti yang dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
124 Aditya Heri Kristanto, Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Penyelesaian
Pembalikan beban pembuktian juga tetap diatur dalam UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Pembalikan beban pembuktian mempunyai implikasi terhadap ketentuan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
dimana tidak semua delik korupsi dapat diterapkan pembalikan beban
pembuktian, hanya dapat diterapkan terhadap kesalahan orang yang diduga
melakukan tindak pidana korupsi dan harta benda milik terdakwa yang belum
didakwakan tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi.125
Sitem pembuktian terbalik hanya berlaku pada: pertama, tindak pidana
korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12B
ayat (1) huruf a) dan kedua, terhadap harta benda yang belum didakwakan , tetapi
diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B).
Sistem semi terbalik atau berimbang terbalik126, maksudnya beban pembuktian diletakkan baik pada terdakwa maupun pada jaksa penuntut umum
secara berimbang mengenai hal (objek pembuktian) yang berbeda secara
berlawanan (Pasal 37A).
125
Sistem biasa127, maksudnya pembuktian untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan terdakwa melakukannya, sepenuhnya ada pada jaksa penuntut
umum. Sistem ini digunakan untuk membuktikan tindak pidana dan kesalahan
terdakwa melakukannya dalam hal tindak pidana korupsi suap menerima
gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta (Pasal 12B ayat (1) huruf b).
Apabila beban pembuktian yang diletakkan pada syarat nilai Rp 10 juta atau
lebih kurang dari Rp 10 juta pada korupsi suap gratifikasi, maka pembebanan
pembuktian mengenai tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi ini dapat
disebut juga dengan sistem pembebanan pembuktian berimbang, karena beban
pembuktian itu diberikan pada Jaksa penuntut umum atau terdakwa adalah
diletakkan pada syarat mengenai nilai korupsi suap menerima gratifikasi yang
diperoleh pegawai negeri si pembuat. Apakah lebih atau kurang dari nilai Rp 10
juta.
Pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (Pasal 38 jo 37
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001)
kewajiban terdakwa membuktikan terbalik semata-mata bukan terhadap tindak
pidananya (unsur-unsurnya) yang didakwakan . Akibat Hukum dari berhasil atau
tidaknya terdakwa membuktikan harta benda terdakwa diperoleh dari korupsi atau
secara halal, tidak menentukan dipidana ataukah dibebaskan terdakwa dari
dakwaan melakukan korupsi dalam perkara pokok. Melainkan sekedar untuk
dapat menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal terdakwa tidak berhasil
membuktikan harta bendanya tersebut sebagai harta benda yang halal. Atau
sebaliknya untuk tidak menjatuhkan pidana perampasan barang dalam hal
terdakwa berhasil membuktikan harta bendanya sebagai harta benda yang halal.
C. Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM
Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM atas nama terdakwa PT Giri
Jaladhi Wana merupakan kasus pertama yang menjerat korporasi sebagai
terdakwa dalam tindak pidana korupsi.
1. Kasus Posisi
a. Kronologis Perkara
Kasus PT Giri Jaladhi Wana (PT.GJW) diperiksa melalui putusan
Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM dan putusan
Pengadilan Tinggi Banjarmasin (Kalimantan Selatan) No
04/PID.SUS/2011/PT.BJM. PT GJW didakwa telah melakukan beberapa
perbuatan tindak pidana korupsi yang berhubungan sedemikian rupa sehingga
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
PT Giri Jaladhi Wanape selaku korporasi dalam kerjasama kontrak bagi
tempat usaha untuk pembangunan Pasar Induk Antasari berdasarkan surat
Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/I/548/Prog dan Nomor: 003/GJW/VII/1998.
Sebagai pendanaan pembangunan pasar, PT.GJW mendapatkan kucuran dana
Kredit Modal Kerja dari PT.Bank Mandiri, Tbk. Dalam hal ini PT.GJW diwakili
oleh Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo selaku Direktur Utama PT.GJW
GJW tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin telah melakukan penambahan
900 unit bangunan toko, kios, los, lapak dan warung. Penambahan 900 unit
tersebut dijual dengan harga sebesar Rp. 16.691.713.166,00. Hasil penjualan
tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin. Disamping itu PT.GJW
juga mempunyai kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk
membayar retribusi sebesar Rp 500.000.000,00; membayar uang sewa Rp
2.500.000.000,00 dan membayar pelunasan Kredit Inpres Pasar Antasari Rp
3.750.000.000,00 sehingga jumlah keseluruhan yang harus dibayar Rp
6.750.000.000,00. Akan tetapi PT.GJW hanya membayar sebesar Rp
1.000.000.000,00 yang seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin.
PT. Giri Jaladhi Wana sengaja tidak membayar uang tersebut dengan memberikan
keterangan tidak benar melalui direkturnya dengan menyatakan kepada
Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pembangunan Pasar Sentra Antasari
belum selesai.
Padahal sesuai dengan keterangan Ir. Wahid Udin, MBA. Projek Manajer
Pembangunan Pasar Sentra Antasari dan laporan completion report PT. Satya
Graha Tara (Konsultan Pengawas Proyek Antasari yang diminta Bank Mandiri),
melaporkan per September 2004 pembangunan Pasar Sentra Antasari selesai
100% dan per Oktober 2004 mempunyai surplus Rp 64.579.000.000,00 dari hasil
penjualan toko, kios dan los serta warung.
Selanjutnya juga PT.GJW dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja
dari PT. Bank Mandiri juga telah melakukan penyimpangan-penyimpangan.
kerugian sebesar Rp 7.332.361.516,00 berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan
Provinsi Kalimantan Selatan No. S-1911/PW.16/5/2008 dan PT. Bank Mandiri,
Tbk sebesar Rp 199.536.064.675,65.
Jaksa penuntut umum dalam perkara tersebut membuat surat dakwaan
yang disusun secara subsidiaritas. Dakwaan primernya melanggar Pasal 2 ayat
(1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsidernya melanggar pasal Pasal 3
jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
b. Dakwaan
Jaksa penuntut umum dalam perkara tersebut membuat surat dakwaan
yang disusun secara subsidiaritas. Dakwaan primernya melanggar Pasal 2 ayat
(1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan subsidernya melanggar pasal Pasal 3
jo Pasal 18 jo Pasal 20 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Dakwaan Subsidiair melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 jo. Pasal 20
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
c. Fakta Hukum
Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, telah terungkap fakta-fakta
hukum sebagai berikut:
1. Pada tanggal 11 Juli 1998 pimpinan DPRD Kotta Banjarmasin telah
mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 19 Tahun 1998 tentang
Persetujuan terhadap Pembangun Pasar Induk Antasari dengan
mengadakan kerja samaPemerintah Kota Banjarmasin dengan Pihak
ketiga;
2. Pada tanggal 13 Juli 1998 Walikota Banjarmasin telah mengeluarkan Surat
Keputusan Nomor 008/Prog/1998 tentang penunjukan Perseroan Terbatas
(PT) Giri Jaladhi Wana (terdakwa) sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan
kerjasama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar Induk
Antasari;
3. Pada tanggal 14 Juli 1998 bertempat di Kantor Walikota Banjarmasin
Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo Direktur Utama PT.Giri
Jaladhi Wana (PT.GJW) yang dalam hal ini bertindak mewakili terdakwa
dalam perkara ini telah menandatangani Perjanjian Kerja Sama Nomor
664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi Tempat
Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari Kota
Banjarmasin dengan H.Sadjoko selaku Walikota Banjarmasin;
4. Pada tanggal 15 Agustus 2000 telah dilakukan Addendum Kerja Sama
oleh Drs. H. Sofyan Arpan sebagai pihak pertama bertindak selaku
Walikota Banjarmasin dan terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana;
5. Untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan Pasar Sentra Antasari
tersebut terdakwa bekerjasama dengan PT.UE Sentosa sebagai kontraktor
pelaksana dengan surat perjanjian kerja No. 094/GJW/SPB/II/01 tanggal 1
Februari 2001 yang ditandatangani oleh ST.Widagdo selaku Dirut
PT.GJW dan Dominic Tan selaku Presiden Direktur PT.UE Sentosa
dengan Niai Rp 137.842.690,00, dengan sistem PT.UE Sentosa
melaksanakan pembangunan dan membiayai pelaksanaan pembangunan
tersebut dimana setiap kemajuan fisik proyek sudah mencapai 30% maka
terdakwa akan membayarnya;
6. Pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari sampai dengan bulan
Desember 2002 ternyata belum selesai, sehingga Drs. H. Sofyan Arpan
selaku Walikota Banjarmasin pada tanggal 13 Januari 2003 dengan surat
nomo 23/Ditakot 3/2003 memberikan batas waktu penyelesaian
pembanguan Pasar Induk Antasari hingga 10 Februari 2003;
7. Sampai bulan Agustus 2003, ternyata pekerjan pembangunan Pasar Sentra
Antasari belum juga selesai sehingga Walikota Banjarmasin H.Sofyan
Arpan mencabut Surat Keputusan Walikota Banjarmasin Nomor:
088/Prog/1998 tanggal 13 Juli 1998 tentang Penunjukan PT Giri Jaladhi
Wana (terdakwa) sebagi mitra kerja dalam pelaksanaan kerjasama kontrak
bagi tempat usaha, untuk pembangunan Pasar Induk Antasari, dengan SK.
tentang kontrak bagi tempat usaha dalam rangka pembangunan Pasar
Induk Antasari Kotamadya Banjarmasin, yang ditadatangani oleh H.
Sadjoko sebagai pihak pertama bertindak selaku Walikota Banjarmasin
dan ST. Widagdo sebagai pihak kedua bertindak mewakili terdakwa PT.
GJW;
8. Walikota Banjarmasin Drs. H. Sofyan Arpan membentuk Tim Percepatan
Penataan dan Pembangunan Pasar Sentra Antasari (P3SA) Banjarmasin
dengan Surat Keputusan Walikota banjarmasin No.119 tahun 2003 tanggal
13 Agustus 2003 dengan susunan tim sebagai berikut:
a) Drs. H. Edwan Nizar, Msi sebagai Ketua
b) Drs. Tjiptomo sebagai Wakil Ketua
c) Drs. Akhmad Yani sebagai Sekretaris
d) Ir. Heri Purnomo, MBA sebagai Bendahara
9. Pada tanggal 23 Agustus 2003 Walikota Banjarmasin Drs. H. Sofyan
Arpan meninggal dunia, selanjutnya urusan pemerintahan dilaksanakan
Wakil Walikota Banjarmasin Drs. H. Midpai Yabani MM;
10.Terdakwa dalam melaksanakan pembangunan dan pengelolaan Pasar
Induk Antasari telah melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai
berikut:
a) Terdakwa tanpa persetujuan DPRD Kota Banjarmasin telah
membangun 6.045 unit terdiri dari toko, kios, los, lapak, dan
warung, sehingga terjadi penambahan 900 unit bangunan.
16.691.713.166,00, dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke
kas daerah Kota Banjarmasin;
b) Berdasarkan Addendum Perjanjian Kerja Sama Nomor
664/I/548/Prog – Nomor 003/GJW/VII/1998, terdakwa mempunyai
kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar
retribusi sebesar Rp 500.000.000,00; membayar penggantian uang
sewa Rp 2.500.000.000,00 dan membayar pelunasan Kredit Inpres
Pasar Antasari Rp 3.750.000.000,00, sehingga jumlah yang harus
dibayar sebesar Rp 6.750.000.000,00, tetapi terdakwa hanya
membayar sebesar Rp 1.000.000.000,00 sehingga terdapat
kekurangan sebesar Rp. 5.750.000.000,00 Terdakwa tidak
membayar sebesar Rp 5.750.000,00
11.Untuk mendukung pekerjaan pembangunan Pasar Sentra Antasari
Banjarmasin tersebut terdakwa mengajukan permohonan kredit dengan
surat permohonan kredit No. 066/GJW/B/VII/2001 tanggal 16 Juli 2001
perihal Permohonan Fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar
25.000.000,00 untuk cadangan pembayaran melalui PT. United Engineers
Sentosa selaku Main Contractor pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari
Hub Banjarmasin kepada PT. Bank Mandiri dan disetujui oleh PT.Bank
Mandiri dengan Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) Nomor
9.Hb.BLM. CO/1229/2001 tanggal 19 Desember 2001, kemudian ditindak
lanjuti dengan penanda tangan Perjanjian Kredit (PK) No.
bulan sejak tanggal penandatangan perjanjian kredit sampai dengan 19
September 2002;
12.Berdasarkan Perjanian Kredit Modal Kerja Nomor
048/001/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akte notaris Nomor 69 (tahap I
pemberian fasilitas kredit sebesar Rp 25.000.000.000,00 untuk tujuan
penambahan pendanaan pembanguan Pasar Induk Sentra Antasari sebesar
Rp 25.000.000.000,00 dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah
diatur dalam Perjanjian Kerja tersebut. Bahwa berdasarkan perjanjian
modal kerja tersebut diatur mekanisme escrow account. Namun sampai
jatuh tempo kreditnya yaitu tanggal 19 September 2002 terdakwa tidak
dapat memenuhi kewajiban pembayaran pelunasan kreditnya dan hanya
membayar sebagian hutang pokoknya sebesar Rp 1.450.000.000,00
sehingga terdakwa masih mempunyai kewajiban hutang pokoknya sebesar
Rp 23.550.000.000,00 dan hutang bunga sebesar Rp 3.452.000.000,00
dengan lama tunggakan 8 (delapan) bulan shingga tingkat kolektibilitas
atau pengembalian kredit terdakwa masuk golongan 4 (empat) yaitu
diragukan, dari 5 (lima) kolektibilitas yaitu lancar, dalam perhatian khusus,
kurang lancar, diragukan dan macet;
13.Terdakwa tidak menyetorkan seluruh hasil penjualan kios secara tunai
maupun uang muka kredit sebagaimana diperjanjikan dalam perjanjian
kredit tersebut maka PT. Bank Mandiri, Tbk menunjuk Kantor Akuntan
Publik Paul Hadiwinata, Hidajat dan Rekan untuk melakukan pemeriksaan
14.Hasil audit tanggal 26 September 2003 perihal laporan hasil pemeriksaan
penerimaan dan penggunaan dana PT. GJW untuk periode 1 Januari 2000
s.d 30 Juni 2003 terdapat penggunaan dana yang berasal dari kredit PT.
Bank Madiri, Tbk. Telah dipergunakan untuk kepentingan lain dari
terdakwa selain untuk pembiayaan pembangunan Rp 39.179.924.284,00;
15.Berdasarkan Addendum 11 Perjanjian kredit modal kerja No. 048/011/
KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004 akte notaris nomor 5 (tahap III
penjadwalan ulang), fasilitas kredit disetjui untuk dilakukan penjadwalan
kembali dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur. Tetapi pada
kenyataannya terdakwa sama sekali tidak dapat mengembalikan kredit
modal kerja yang telah diterima dari PT. Bank Mandiri, Tbk sesuai jadwal
yang telah ditentukan, malah terdakwa meminta PT. Bank Mandiri, Tbk
untuk mencairkan fasilitas Bank Garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00;
16.Berdasarkan Perjanjian Kredit Modal Kerja No. 048/032/KMK-CO/2004
tanggal 21 Desember 2004 akte notaris No. 81 (tahap V pemberian
fasilitas modal kerja ex. Bank garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00
diberikan fasilitas kredit kepada terdakwa untuk pencairan fasilitas Bank
Garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00;
17.Jatuh tempo pembayaran kewajiban terdakwa atas kredit-kredit tersebut
berdasarkan perjanjian kredit modal kerja No. 048/011/KMK-CO/2001
tanggal 19 Desember 2001 akte notaris No. 69 berikut addendumnya dan
No. 048/032/KMK-CO/2004 tanggal 21 Desember 2004 akta notaris No.
tunggakan tersebut 180 hari tidak dilakukan angsuran oleh Terdakwa PT.
GJW sehingga sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia maka kredit
tersebut dinyatakan macet;
18.Terdakwa dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT. Bank
Madiri telah melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut:
a) Berdasarkan perjanjian kredit Modal Kerja Nomor
048/001/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akte notaris Nomor 69 kredit
yang diajukan oleh Terdakwa PT GJW yaitu kredit modal kerja untuk
tujuan penambahan pendanaan pembangnan Pasar Induk Sentra
Antasari sebesar rp 25 milyar dengan jangka waktu 9 bulan sejak
tanggal penandatanganan kredit namun sampai jatuh tempo kreditnya
yaitu tanggal 19 September 2002 terdakwa tidk dapat memenuhi
kewajiban pembayaran pelunasan kreditnya dan hanya membayar
sebagian hutang Rp 1.450.000.000,00 sehingga terdakwa masih
mempunyai kewajiban hutang pokoknya sebesar Rp
23.550.000.000,00 dan hutang bunga sebesar Rp 3.452.000.000,00
dengan lama tunggakan 8 bulan;
b) Berdasarkan addendum I Perjanjian Kredit Modal Kerja No.
048/011/KMK-CO/2001 tanggal 9 Oktober 2002 akte notaris No. 24
kredit diberikan kredit tambahan sebesar Rp 50 milyar untuk tujuan
penambahan pendanaan pembangunan Pasar Induk Sentra Antasari
dengan jangka waktu sejak penandatangannan addendum perjanjian
membayar Rp 5.720.000.000,00 dan hanya menyetorkan sebagian
hasil penjualan ke rekening escrow I;
c) Berdasarkan addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja No.
048/001/KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004 Akta Notaris Nomor
5 dimana fasilitas kredit disetujui untuk dilakukan penjadwalan
kembali dengan limit kredit turun menjadi Rp 67.830.000.000,00 dan
jangka waktu sejak penanda tanganan addendum perjanjian kredit s.d
tanggal 30 September 2004. Pada kenyataannya terdakwa hanya
membayar sebesar Rp 1.030.000.000,00/ Bahwa perbuatan terdakwa
tidak melaksanakan kewajiban terhadap kredit modal kerja yang telah
diterima dari PT Bank Mandiri, TBk;
d) Berdasarkan addendum III Perjanjian Kredit Modal Kerja No.
048/011/KMK-CO/2001 tanggal 2 Agustus 2004 fasilitas kredit
disetujui untuk dilakukan penjadwalan kembali dengan limit kredit
turun menjadi Rp 66.800.000.000,00 dan jangka waktu sejak tanggal 1
Oktober 2004 s.d 30 Juni 2005. Pada kenyataannya terdakwa sama
sekali tidak dapat mengembalikan kredit modal kerja yang sama sekali
tidak dapat mengembalikan kredit modal kerja yang telah diterima
dari PT. Bank Mandiri Tbk sesuai jadwal yang telah ditentukan, malah
terdakwa meminta PT. Bank Mandiri, Tbk untuk mencairkan fasilitas
Bank Garansi sebesar Rp 25.000.000.000,00.
19.Pada tanggal 16 Desember 2009 telah dilaksanakan lelang terhadap
seluas 2.684 m2. SHM No. 2412/ Pegadungan seluas 2.355 m2, SHM No. 2413/Pegadungan seluas 1.812 m2, SHM No. 2414/Pegadungan seluas 2558 m2 dan SHM No. 2415 seluas 2266 m2 keseluruhan atas nama Stephanus Widagdo terletak di Kel.Pegadungan Kec. Kalideres Kodya
Jakarta Barat Prov. DKI Jakarta dengan hasil bersih lelang sebesar Rp
8.370.930.000,00.
20.Jumalah kewajiban pebayaran terdakwa yang tidak dipenuhi tanggal 19
Februari 2010 adalah:
a) Kewajiban pokok sebesar Rp 83.429.070.000,00
b) Kewajiban bunga sebesar Rp 63.732.298.096,66
c) Kewajiban denda sebesar Rp 52.374.696.578,99
Sehingga total kewajiban terdakwa adalah sebesar Rp 199.536.064.675,65.
21.PT.GJW tersebut telah merugikan Keuangan Negara cq. Pemerintah Kota
Banjarmasin sebesar Rp 7.332.361.516,00 berdasarkan perhitungan BPKP
Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan dan PT. Bank Mandiri, Tbk.
sebesar Rp 199.536.064.675,65;
22.Stevanus Widagdo bin Suraji Sastrodiwiryo selaku Direktur Utama
PT.GJW telah dipidana berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Banjarmasin;
23.Dengan terungkapnya kasus ini kondisi Pasar sentra Antasari menjadi
d. Tuntutan
Dalam Tuntutan Pidana, Penuntut Umum tetap terhadap dakwaannya. Yang
menyatakan Terdakwa bersalah melanggar pasal yang didakwakan. Tuntutan
pidana yang dijatuhkan kepada PT Giri Jaladhi Wana adalah:
a. Menyatakan Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana telah terbukti bersalah
“melakukan beberapan perbuatan Tindak Pidana Korupsi yang
berhubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang menjadi satu
perbuatan berlanjut” melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubahkan dengan Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64
ayat (1) KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Primair.
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa PT.Giri Jaladhi Wana dengan
pidana denda sebesar Rp 1.000.000.000,00
c. Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan sementara PT.GJW
selama 6 (enam) bulan.
d. Menyatakan barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara
adalah sah.
e. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp
e. Putusan
Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana, maka Majelis Hakim wajib
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa
sebagai berikut:
1) Hal-hal yang memberatkan:
a) Bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa
(extra ordinary crime) yang memerlukan penanganan secara luar biasa
pula karena dipandang dapat menghancurkan sendi-sendi keuangan
dan/atau perekonomian negara;
b) Bahwa Perbuatan Terdakwa telah merugikan Pemerintah Kota
Banjarmasin dan PT. Bank Mandiri Tbk;
2) Hal-hal yang meringankan:
a) Tidak ada;
Dalam Amar Putusan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin
dengan Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM, memutuskan:
a. Menyatakan terdakwa PT GIRI JALADHI WANA telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KORUPSI
SECARA BERLANJUT sebagaimana dalam Dakwaan Primair;
b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT GIRI JALADHI WANA oleh
karena itu dengan pidana DENDA sebesar Rp 1.300.000.000,00
c. Menjatuhkan pidana tambahan berupa Penutupan Sementara PT GIRI
d. Menetapkan barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara
adalah sah.
2. Analisis Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM
a. Penuntutan Korporasi sebagai Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim
di sidang pengadilan. Dalam tindak pidana korupsi penuntutan dapat dilakukan
kepada manusia (naturlijk persoon) dan korporasi (recht persoon).
Salah satu kasus tindak pidana korupsi adalah perkara Nomor
812/PID.SUS/2010/PN.BJM atas nama tedakwa PT Giri Jaladhi Wana. PT Giri
Jaladhi Wana merupakan badan usaha yang berbadan hukum sehingga dapat
dikategorikan sebagai korporasi. Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai
terdakwa tindak pidana korupsi didasarkan pada Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana korporasi (dalam hal ini
PT Giri Jaladhi Wana) dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
PT Giri Jaladhi Wana didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan
yang disusun secara subsidaritas, yang mana dakwaan primernya adalah
melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 jo Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo
Pasal 64 ayat (1) KUHP. Selanjutnya, setelah melakukan proses pemeriksaan
sidang, Jaksa Penuntut Umum tetap pada dakwaannya.
Menurut penulis, tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam putusan Nomor
812/PID.SUS/2010/PN.BJM didasari pada teori direct corporate criminal liability
atau yang biasa dikenal dengan teori identifikasi. Teori ini berpandangan bahwa
korporasi bisa melakukan sejumlah delik secara langsung melalui para agen yang
sangat berhubungan erat dengan korporasi, bertindak untuk dan/atau atas nama
korporasi. “Agen” yang dimaksud dalam teori ini adalah pengurus korporasi yang
bertindak sebagai directing mind. Perbuatan dan mens rea para individu itu
kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika individu diberi kewenagan untuk
bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para
individu itu merupakan mens rea korporasi.
Berdasarkan putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM dapat diketahui
bahwa ST. Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri jaladhi Wana merupakan
directing mind korporasi. Sehingga tindakan yang dilakukan ST Widagdo pada
dasarnya bukan mewakili korporasi, tetapi dianggap sebagai tindakan korporasi
itu sendiri sepanjang perbuatan itu dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi.
Bertitik tolak dari pendapat Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan
kepada korporasi. Jaksa Penuntut Umum berpendapat dalam rumusan Pasal 20
identifikasi dengan menetapkan orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau
hubungan lain selain hubungan kerja dengan korporasi adalah directing mind dari
korporasi yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut penulis sependapat
dengan apa yang dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penuntutan
apabila pertanggungjawaban pidana korupsi tersebut melekat secara kumulatif
baik terhadap pengurus korporasi sebagai subjek hukum orang perorangan dan
korporasi sebagai subjek hukum korporasi. Maka berdasarkan Surat Edaran Jaksa
Agung Nomor: B-036/A/JA/Ft,06/2009 perihal korporasi sebagai
tersangka/terdakwa dalam tindak pidana korupsi, maka berkas perkara dan surat
dakwaan terhadap korporasi dilakukan dan diajukan secara terpisah (splitsing)
dengan berkas perkara dan surat dakwaan bagi pengurus korporasi. Splitsing128 dalam hal ini dilakukan oleh penuntut umum, yaitu dengan cara membuat berkas
perkara baru, dimana para tersangka saling menjadi saksi, sehingga untuk itu
perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap saksi maupun tersangka. Hal ini
dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum.
Setelah penulis membaca berkas perkara Nomor
812/PID.SUS/2010/PN.BJM, ternyata benar bahwa berkas perkara pengurus
korporasi dan berkas perkara korporasi diajukan secara terpisah. Maka, penulis
berpendapat tindakan Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut korporasi dengan
berkas perkara yang terpisah dengan pengurus korporasi telah tepat dan sesuai
dengan aturan yang berlaku.
Penuntutan korporasi sebagai terdakwa tindak pidana korupsi tidak terlepas
dari proses dan tahap penuntutan tersebut. Penuntutan korporasi diawali dengan
pembuatan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Berkaitan dengan surat
dakwaan, sahnya surat dakwaan apabila telah memenuhi syarat formil dan syarat
materil. Syarat formil yang mengharuskan surat dakwaan memuat uraian lengkap
identitas terdakwa, tentunya mengacu pada identitas orang perorangan yang
merupakan manusia alamiah (naturlijk persoon) sebagai subjek hukum pidana
sementara ketentuan mengenai syarat formil identitas dalam surat dakwaan bagi
korporasi sebagai subjek hukum pidana yang menjadi terdakwa tidak ditentukan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) sebagai lex generalis
demikian halnya dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai lex specialis. Kekeliruan dalam merumuskan identitas terdakwa dalam
surat dakwaan mengakibatkan surat dakwaan dapat dibatalkan oleh hakim.129 Sehubungan dengan hal tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia
melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014, penyusunan surat
dakwaan terhadap korporasi mencantumkan identitas korporasi, yaitu:
a. Nama korporasi
b. Nomor dan tanggal akta pendirian korporasi berserta perubahannya c. Nomor dan tangal akta pendirian korporasi pada saat peristiwa pidana d. Tempat kedudukan
e. Kebangsaan korporasi f. Bidang Usaha
g. Nomor pokok wajib pajak; dan
h. Identitas yang mewakili korporasi sesuai Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP
129
H. Ahmad Drajad, Kendala Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi sebagai
Pelaku Tindak Pidana Korupsi,
pengadilan/profil-pengadilan/alamat-pengadilan/384-kendala-penerapan-sanksi-pidana-terhadap-Berdasarkan berkas perkara Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM, penulis
menemukan bahwa dalam surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum tidak
mencantumkan poin d, poin e, poin g, dan poin h sebagaimana yang telah diatur
dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-28/A/JA/10/2014. Menurut penulis,
Jaksa Penuntut Umum tidak memuat poin d, poin e, poin g, dan poin h disebabkan
oleh perkara Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM lebih dahulu ada, kemudian
pada tahun 2014 peraturan jaksa tersebut dikeluarkan. Sehingga, berkaitan dengan
identitas terdakwa Jaksa Penuntut Umum masih mengacu pada Surat Edaran No:
B-036/A/Ft./2009 perrihal Korporasi Sebagai Tersangka/Terdakwa Dalam Tindak
Pidana Korupsi.
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dasar pertimbangan hakim dalam membuktikan PT. Giri Jaladhi Wana
sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah:
1) Mempertimbangkan apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa
telah memenuhi kesemua unsur dari dakwaan jaksa penuntut umum;
2) Bahwa terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana telah didakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum dengan dakwaan yang disusun secara subsidaritas;
3) Bahwa oleh karena dakwaan Jaksa penuntut Umum disusun secara
subsidaritas maka oleh karenanya majelis hakim lebih dahulu
4) Bahwa atas pledooi Penasihat Hukum terdakwa, Jaksa Penuntut Umum
telah memberikan tanggapan/replik dan tetap pada