• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Landasan Teori

2.1.2. Korupsi Di Indonesia

Menurut Damanhuri analisis korupsi di Indonesia dikemukakan oleh dua pemikir, yaitu Myrdal dan Alatas. Myrdal menyatakan korupsi di Asia Selatan dan Asia Tenggara berasal dari penyakit neopatrimonalisme, yakni warisan feodal kerajaan-kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam hal ini rakyat biasa atau bawahan terbiasa memberi “upeti” kepada pemegang kekuasaan atau atasan. Sedangkan Alatas, pakar sosiologi korupsi, menyatakan korupsi di Asia dikaitkan dengan warisan dari kondisi historis struktural yang telah berjalan akibat lamanya masa penjajahan . Dengan demikian secara terus menerus bangsa ini melakukan pemutarbalikan norma, dimana yang salah jadi benar, dan yang benar jadi salah, namun yang diutamakan adalah terjaganya loyalitas terhadap penguasa32.

Pengulangan terus menerus terjadi terhadap norma, baik dilakukan oleh penguasa maupun masyarakat, akhirnya penyakit menahun itu, menjadi kebiasaan       

32

Damanhuri DS, Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Jakarta: LPFEUI, 2006, hal 9.

dan mendarah daging dalam intelektual juga emosional. Maka norma lain terbentuk, norma negatif yang bertentangan dengan norma lama. Menurut Alatas, walaupun kebijakan anti-korupsi banyak dibentuk, akhirnya korupsi diterima sebagai praktek yang tak terhindarkan karena dirasakan terlalu berakar, sehingga sulit untuk diberantas. Secara tidak disadari penyakit-penyakit tersebut sudah menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia33.

Menurut sejarah, korupsi di Indonesia yang terjadi pada masa kini, tidak terlepas dari watak para elite-nya. Sejarahwan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Lohanda34 memaparkan pada masa Majapahit sebelum Portugis datang ke Malaka. Suku Jawa adalah pedagang dan pelaut yang memasarkan berbagai rempah di Malaka, Mereka bermitra dengan China, India, dan Arab. Kapiten Jawa sebagai ketua komunitas pedagang jawa merupakan bandar dunia saat itu. Proses kolonialisasi di Indonesia terjadi pada masa kesultanan, dimana ketika para elite penguasa saat itu sangat suka menerima upeti-upeti tanpa melakukan kerja keras, dan menerima berbagai bentuk hutang. Pada saat mereka tidak mampu membayar hutang, pembayaran dilakukan dengan melepas satu persatu pelabuhan dan berbagai wilayah strategis di Indonesia kepada pihak asing.

Rickleffs adalah sejarahwan Australia yang menegaskan bahwa raja Mataram pernah mengeluarkan ketentuan bahwa orang Jawa tidak boleh berlayar kemanapun diluar Jawa, Madura dan Bali. Ketentuan tersebut lahir karena banyaknya pelabuhan yang sudah dilepaskan ke tangan pihak asing. Suku bangsa Jawa pada akhirnya berorientasi kedaratan, namun ketika terjadi perang suksesi dan sang raja terdesak lengser dari tahta, dia menjanjikan daerah-daerah strategis kepada VOC. Selain itu, Windu alumnus jurusan arkeologi Universitas Udayana Bali, mengisahkan besarnya angka pajak dalam prasasti-prasasti kerajaan sudah dilakukan pemahalan (mark up) terlebih dahulu oleh para pemungut cukai kerajaan pada saat itu35. Berbagai hal tersebut menunjukan korupsi sudah terjadi sejak masa kerajaan di Indonesia. Bahkan pada masa penjajahan Belanda, VOC bangkrut pada awal abad ke-20 karena korupsi yang merajalela ditubuhnya.

       33

Ibid. 34

Santosa I (Maria Hartiningsih), opcit, hal 108-109.

35 ibid.

Menurut Damanhuri36 pemerintahan Orde Lama juga tidak luput dari praktek korupsi, sejarah pernah mencatat bahwa Iskak Tjokroadisuryo, mentri ekonomi pada kabinet Alisostroamidjojo I, telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Penyalahgunaan kekuasaan dilakukan pada lisensi impor dari kebijakan politik Benteng yang bertujuan untuk memberdayakan para pengusaha pribumi yang kompeten, namun ternyata dijual kepada para pengusaha Cina dan konco-konconya.

Sejak itu KKN skala mega mulai berkembang, namun karena masih diwarnai semangat kemerdekaan, berhasil dilakukan kebijakan tindakan pemberantasan korupsi yang efektif, yang dilakukan oleh Perdana Mentri Burhanudin Harahap yang bekerjasama dengan TNI angkatan Darat. Namun kabinet ini berumur pendek karena terdapat konflik antarpartai sehingga konstituate dibubarkan pada 5 Juli 1965, seiring dengan nasionalisasi perusahaan asing. Sejak itu BUMN banyak diwarnai oleh KKN karena di lakukan pihak partai, dan akhirnya menjadi ciri khasnya hingga masa kini.

Masa Orde Baru (OrBa) adalah masa yang penuh dengan praktek kolusi yang terus menerus dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari 30 tahun. Praktek kolusi begitu melembaga dan biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan (pemerintah) dengan kalangan pengusaha swasta. Kolusi yang terjadi adalah untuk memperebutkan lisensi, perizinan dan bentuk pemburuan rente lainnya. Sumber daya pemerintah yang ada kemudian hanya akan dinikmati oleh segelintir kelompok kepentingan yang bertujuan memperkaya diri sendiri.

Hal ini terjadi, karena di satu sisi pemerintah (penguasa dan birokrat) membutuhkan pengusaha untuk pembangunan ekonomi, sedangkam kalangan pengusaha swasta membutuhkan penyediaan sumber-sumber ekonomi dan perlindungan. Pada saat itu, pengusaha swasta tidak meningkatkan kemampuan kompetitifnya dan pemerintah tidak mau menciptakan kondisi persaingan yang sehat. Karena, pemerintah tidak menginginkan menguatnya kalangan pengusaha swasta yang mengancam kedudukan mereka, melainkan lebih ingin menjadi       

36

Damanhuri DS, Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori ,Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang, Bogor: IPB Press, 2010, hal 127.

penyedia sumber daya ekonomi , proteksi dan monopoli, sehingga dapat menarik “upeti” yang lebih besar lagi dari para kalangan pengusaha swasta37. Semua hal itu pada akhirnya menciptakan kesenjangan yang lebar antara pusat dan daerah, yang akhirnya menciptakan ketidakstabilan kekuasaan Orde Baru.

Damanhuri38 mencatat potret korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru, yaitu dimulai oleh korupsi pertamina yang berskala mega pada tahun 1975, dengan kerugian negara sebesar 12,5 miliar dollar AS. Namun tidak adanya tindakan hukum kepada pelaku-pelaku yang terlibat, menunjukan kelumpuhan penegakan hukum untuk kasus korupsi pada saat itu. Kemudian terdapat aliran utang luar negeri rata-rata sebesar 5 miliar dollar AS per tahun, sehingga pada saat Pak Soeharto lengser, stok utang pemerintah sudah mencapai 70 miliar dollar AS. Pada masa itu terdapat banyak investasi langsung perusahaan asing, dan eksploitasi terhadap sumber daya alam (terutama migas dan hutan). Masa OrBa adalah masa pertumbuhan dan perkembangbiakan segala jenis dan bentuk korupsi, sehingga adanya potensi pertumbuhan ekonomi yang harusnya dapat tumbuh 12 persen per tahun hanya tumbuh di sekitar 7 persen per tahun.

Keruntuhan Orde Baru ditandai dengan reformasi yang dilakukan sejak 1998, Namun ternyata adanya era baru yang memiliki tujuan positif untuk kemajuan ekonomi maupun politik, justru membuka celah korupsi yang semakin menyebar ke daerah dan berbagai lembaga pemerintah, yudikatif maupun legislatif (pusat dan daerah). Rachbini39 memaparkan demokrasi pada masa desentralisasi berada masa transisi yang belum matang. Wujud kelahirannya yang tiba-tiba tidak memberikan kesempatan belajar yang cukup. Akhirnya , pelaku demokrasi kaget dan tidak memiliki keseimbangan untuk mendorong demokrasi yang adil, transparan dan tertuju untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bentuk demokrasi yang tidak sempurna muncul kembali, seperti bentuk kolusi pada masa Orde Baru, bahkan lebih parah yaitu kolusi yang melibatkan tidak hanya pemerintah dan pengusaha swasta, tetapi antar parlemen (DPR/DPRD) dengan pemerintah maupun pemerintah daerah, dengan       

37

Harman BK, Negeri Mafia Republik Koruptor:Menggugat Peran DPR Reformasi, Yogyakarta:Lamalera,2012, hal 102.

38

Damanhuri DS, op.cit, hal 128.

39

memperebutkan kekuasaan maupun anggaran yang ada yaitu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pada masa pascareformasi parlemen semakin kuat, Parlemen memiliki fungsi legislasi dalam membentuk undang-undang, fungsi budget dalam membahas dan menyetujui anggaran, dan fungsi controlling untuk melakukan pengawasan melalui berbagai instrumen yang dapat dioptimalkan bagi pemberantasan dan pengurangan secara efektif terhadap praktek korupsi40. Namun alih-alih melakukan check and balance, parlemen justru banyak melakukan penyelewengan, melakukan praktek-praktek kolusif yang bertujuan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan lingkaran kecil disekitarnya. Di sisi lain tidak ada kekuatan yang mengontrol parlemen, sehingga DPR/DPRD menjadi tempat berkembangnya praktek politik uang dan korupsi.

Kondisi daerah-daerah di Indonesia setelah lebih dari satu dasawarsa otonomi daerah, ternyata kurang memperlihatkan perbaikan pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Otonomi daerah dimaksudkan untuk membentuk keseimbangan antara pusat dan daerah, namun sejauh ini hasil yang dapat dirasakan dalam hanyalah ditebarkannya anggaran besar ke berbagai daerah dalam rangka otonomi anggaran. Pemerintah daerah dan DPRD dapat menentukan pembiayaannya sendiri sesuai kewenangannya, sehingga kekuasaan yang ada di tangan DPR/DPRD dapat disalah gunakan, misalnya untuk jual beli pengalokasian anggaran ,dan proses pengambilan keputusan diambil tidak transparan. Ternyata desentralisasi menghasilkan bukan hanya praktek kolusi yang vertikal (model patron-client) tapi juga horizontal (eksekutif-legislatif).

Harman41 menggambarkan secara singkat bagaimana dampak korupsi terhadap kemajuan ekonomi di Indonesia, salah satunya adalah kerugian negara, yang secara tidak langsung berdampak pada kemajuan pembangunan ekonomi. Kekuatan negara disokong oleh APBN/APBD, namun kebocoran anggaran maupun pendapatan itu tentu saja akan menghambat tercapainya tujuan, hambatan       

40

Harman BK, op.cit, hal 20-21.

41

yang tercipta akibat relasi politik, bisnis dan birokratik yang korup menimbulkan dampak ekonomi sebagai berikut:

Pertama, para investor asing enggan menanamkan modal dalam jangka panjang di Indonesia, karena tidak adanya kepercayaan bisnis (business confidence), motif pelaku bisnis lebih terhadap mengeruk kepentingan sebanyak mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, sehingga kehilangan kesempatan jangka panjang. Kedua, Ekonomi biaya tinggi yang tercipta akibat maraknya pungutan yang semakin tersebar luas mengakibatkan biaya produksi menjadi mahal. Ketiga, Dengan adanya peningkatan biaya produksi hingga 5 persen sampai 7 persen, pengusaha menyiasatinya dengan menekan upah buruh, sehingga tingkat upah buruh menjadi sangat rendah. Keempat, korupsi yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi juga menghambat pertumbuhan industri nasional, yang berdampak pada menurunnya daya saing produk-produk dalam pasar global. Kelima, Dampak korupsi bukan saja pada nilai kerugian negara, namun juga terhadap sumber daya alam (SDA), rakyat yang bergantung pada SDA itu kehilangan mata pencaharian atau akses terhadap lahan, dan pada akhirnya SDA yang terdistorsi itu juga akan menimbulkan kerusakan lingkungan

Dokumen terkait