• Tidak ada hasil yang ditemukan

yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiannya.

3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. 5) Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu

untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

6) Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat). Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

c. Faktor Penyebab Korupsi

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: 72 1) Lemahnya pendidikan agama dan etika.

2) Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

3) Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual

72

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alas an ini dapat dikatakan kurang tepat.

4) Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.

5) Tidak adanya sanksi yang keras.

6) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi. 7) Struktur pemerintahan.

8) Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.

9) Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.

Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah:73

1) keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi;

2) administrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi;

3) kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;

73 Ibid.

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

4) berfungsinya suatu sistem yang antikorupsi;

5) kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi.

Andi Hamzah mengemukakan penyebab korupsi sebagai berikut:74

1) Kurangnya gaji pegawai negeri sipil dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.

2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.

3) Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien yang akan memberikan peluang orang untuk korupsi.

4) Modernisasi mengembangbiakkan korupsi.

Menurut Fransisco Ramirez Torres, sebab-sebab korupsi mencakup penggunaan alkohol, judi, skandal di luar nikah (contohnya: kasus kekasih gelap yang menuntut materi berkelebihan, sehingga demi cinta si pegawai negeri terpaksa korupsi), kerugian akibat spekulasi, kekacauan administrasi, rasa kesal terhadap perusahaan, frustasi terhadap pekerjaan, hasrat akan kekayaan, kesombongan, dan lain-lain penyebab.75

Menurut Huntington penyebab korupsi ialah modernisasi. Huntington menulis sebagai berikut: “Korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu daripada yang lain, dan dalam masyarakat yang sedang tumbuh korupsi lebih umum dalam suatu periode yang satu dari yang

74

Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 18 (selanjutnya disebut buku I)

75

O.C. Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal. 73

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

lain. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat.”76

Para ahli hukum pidana menterjemahkan voortgezette handeling dengan sebutan perbuatan berlanjut. Utrecht menyebutnya dengan “perbuatan terus- menerus” dimana Utrecht menyatakan bahwa voortgezette handeling merupakan bentuk khusus concursus realis yang diatur dalam KUHP.

3. Pengertian Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)

77

Voorgezette handeling oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam

Pasal 64 ayat (1) KUHP yang rumusannya berbunyi: “Apabila antara beberapa perilaku itu terdapat hubungan yang sedemikian rupa, sehingga perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut, walaupun tiap-tiap perilaku itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka diberlakukanlah hanya satu ketentuan pidana saja, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat”.

Schravendijk dan Wirjono Prodjodikoro menyebutnya dengan “perbuatan yang dilanjutkan”, Soesilo menyebutnya dengan “perbuatan yang diteruskan”.

78

76

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 20 (selanjutnya disebut buku II)

77

Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal. 192 (selanjutnya disebut buku II)

78

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan Ke-!, PT. Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 147

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Berdasarkan rumusan ayat (1) tersebut, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yakni:

a. adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa: pelanggaran atau kejahatan; b. antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang

sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut. Berbeda dengan kenyataan yang terdapat di dalam Memorie van

Toelicthting, dimana pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai apa

yang disebut voortgezet misdrijf dan voortegezette overtrading (kejahatan berlanjut dan pelanggaran berlanjut), maka di dalam rumusan ketentuan pidana menurut pasal 64 ayat (1) KUHP di atas, pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai beberapa perilaku yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi yang karena terdapat suatu hubungan yang demikian rupa, maka perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut. Ini berarti bahwa tiap-tiap perilaku itu harus dituduhkan secara sendiri-sendiri dan harus dibuktikan pula secara sendiri-sendiri. Tiap-tiap perilaku itu dapat mempunyai locus delictinya sendiri, tempus delictinya sendiri, dan mempunyai

verjaringstermijnnya sendiri. 79

Beberapa penulis berpendapat bahwa di dalam perilaku-perilaku seperti dimaksud di atas bukan tidak mungkin dapat terjadi adanya suatu deelneming atau suatu keturutsertaan. Mengenai kemungkinan adanya suatu deelneming atau keturutsertaan tersebut Simons berpendapat bahwa: “Pemberlakuan pasal 64 KUHP itu hanya berkenaan dengan masalah penjatuhan hukuman dan bukan

79

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

dengan masalah pembentukan satu tindak pidana, dengan segala akibatnya yakni yang berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana, dengan keturutsertaan, dengan masalah kadaluwarsa dan lain-lain”.80

Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang bilamana beberapa perilaku itu harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut. Di dalam

memorie penjelasan mengenai pembentukan pasal 64 KUHP disebutkan: “bahwa

berbagai perilaku itu haruslah merupakan pelaksanaan satu keputusan yang terlarang, dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis”.81

Berdasarkan keterangan di dalam MvT tersebut, para ahli menarik kesimpulan tentang 3 (tiga) syarat adanya voortgezette handeling yang harus dipenuhi, yang sekaligus juga menggambarkan tentang “ada hubungan” sebagai ciri pokok dari perbuatan berlanjut itu, ialah:82

a. harus adanya satu keputusan kehendak (wilbesluit) si pembuat;

b. tindak pidana-tindak pidana dilakukan itu haruslah sejenis;

c. jarak waktu antara melakukan tindak pidana yang satu dengan yang berikutnya (berurutan) tidak boleh terlalu lama.

80 Ibid. hal. 707 81 Ibid., hal. 708 82

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Edisi Pertama, Cetakan Ke-I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 131 (selanjutnya disebut buku II). Lihat juga A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit., hal. 120

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Syarat pertama disimpulkan dari perkataan voortgezette (dilanjutkan), syarat kedua disimpulkan secara a contrario dari bunyi rumusan ayat (2) pasal 64 KUHP, dan syarat yang ketiga agak kabur.83

a. Adanya Satu Keputusan Kehendak (Wilbesluit)

Dimaksudkan dengan satu putusan kehendak ini ialah berupa satu kehendak dasar (wilbesluit) yang terbentuk sebelum orang itu melakukan tindak pidana yang pertama kali, yang kemudian pada kehendak dasar ini, dan bukan niat yang ditujukan pada setiap kali berbuat. Satu kali kehendak dasar diputuskan, maka kehendak itu terus ditujukan pada semua tindak pidana yang akan dilakukan kemudian.84

Kehendak dasar hanya terbit satu kali, sedangkan niat melakukan tindak pidana akan terbentuk pada setiap kali melakukan tindak pidana. Niat yang terbentuk yang ditujukan pada melakukan satu tindak pidana sekaligus juga terbentuk niat yang ditujukan untuk melakukannya lagi pada kesempatan yang lain, begitulah niat-niat itu terbentuk setiap kali hendak melakukan tindak pidana sampai kehendak dasar tadi tercapai. Jadi, sebelum putusan kehendak dicapai, niat yang diarahkan pada berbuat tindak pidana, selalu bersifat ganda, yaitu yang satu diarahkan pada tindak pidana yang segera diperbuat, dan yang lainnya (bersamaan dengan itu) diarahkan pula pada kesempatan yang lain akan diperbuat lagi, dan demikian seterusnya. Inilah sikap batin yang harus ada pada diri si pembuat dalam

voortgezette handeling.85

83

Wirjono Prodjodikoro, loc. cit. 84

Adami Chazawi (buku II), op. cit., hal. 132 85

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

b. Tindak Pidana-Tindak Pidana Harus Sejenis

Arti perbuatan dalam perbuatan berlanjut bukan dalam arti perbuatan materil atau bukan pula dalam arti unsur tindak pidana, melainkan lebih tepat diartikan sebagai perbuatan yang melahirkan tindak pidana. Perbuatan dalam arti ini adalah perbuatan yang telah memenuhi semua syarat dari suatu tindak pidana tertentu sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.86

Pengertian sebagai perbuatan yang telah memenuhi semua syarat tindak pidana ini lebih sesuai dengan syarat yang kedua, yang disebut oleh Utrecht dengan “delik-delik itu harus sejenis”, atau yang oleh Lamintang disebutnya dengan “perilaku-perilaku seorang tertuduh itu telah menyebabkan terjadinya tindak pidana yang sejenis”.

87

Dalam perbuatan berlanjut dapat terjadi pada tindak pidana-tindak pidana yang berbeda berat ancaman maksimum pidana pokoknya, tetapi harus dalam kerangka jenis yang sama. Dalam hal demikian sistem penjatuhan pidananya yakni hisapan, dengan menerapkan aturan pidana yang terberat ancaman pidana pokoknya (ayat 1 pasal 64 KUHP).88

c. Jarak Waktu Antara Tindak Pidana yang Satu Dengan Tindak Pidana yang Berikutnya Tidak Boleh Terlalu Lama.

Syarat tidak boleh terlalu lama, karena jika waktu itu telah terlalu lama, terdapat kesulitan untuk mencari hubungan antara tindak pidana yang dilakuka n itu dengan keputusan kehendak semula atau hubungannya dengan tindak pidana

86

Ibid., hal. 134 87

Ibid., hal. 135. Lihat juga P.A.F. Lamintang (buku I), op. cit., hal. 680 88

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

(sejenis) sebelumnya, dan ini artinya jika waktu itu sudah sekian lamanya tidak lagi menggambarkan suatu kelanjutan atau berlanjut, tetapi mungkin dapat dikatakan berulang bukan berlanjut.89

Syarat tidak boleh terlalu lama tidak ada diatur dalam undang-undang maupun dalam praktek, yang penting lamanya tempo ini masih dalam batas wajar, batas wajar mana masih menggambarkan bahwa pelaksanaan tindak pidana oleh si pembuat tersebut ada hubungannya baik dengan tindak pidana (sama) yang diperbuat sebelumnya maupun dengan keputusan kehendak dasar semula.90

Dalam hubungannya dengan berlangsungnya voortgezette handeling yang boleh dalam waktu bertahun-tahun (asalkan jarak waktu antara masing-masing tindak pidana tidak terlalu lama), berbeda dengan tindak pidana yang berlangsung terus (voortgezet delict), juga suatu tindak pidana yang terjadinya secara sempurna memerlukan tempo yang lama, tidak seketika. Perbedaan prinsip itu ialah: pada

voortgezette handeling terdiri dari beberapa tindak pidana, karena itu perbuatan

berlanjut ini bukan suatu tindak pidana, tetapi gabungan dari beberapa tindak pidana (sejenis). Sedangkan pada tindak pidana berlangsung terus adalah satu tindak pidana, bukan gabungan dari tindak pidana, hanya untuk mewujudkannya secara sempurna, karena sifatnya maka memerlukan waktu yang lama, walaupun perbuatan (unsur tindak pidana) terjadinya seketika.91

Menurut Utrecht dengan mengutip keterangan Jonkers, dalam hal tindak pidana berlangsung terus, orang dapat membayangkan hal seolah-olah pembuat 89 Ibid., hal. 136 90 Ibid. 91 Ibid., hal. 137

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

undang-undang melahirkan satu kesatuan yang khusus yang menjadi penting bagi persoalan tempat, waktu dan lewat waktunya tindak pidana yang dilakukan. Dalam hal perbuatan berlanjut, maka tidak perlu dibayangkan kesatuan buatan (kunstmatig) semacam ini. Pada perbuatan berlanjut, yang terjadi adalah tindak pidana-tindak pidana yang berdiri sendiri, maka untuk tiap-tiap tindak pidana mempunyai tempat, waktu dan tenggang daluwarsa sendiri-sendiri. Sedangkan untuk tindak pidana yang berlangsung terus, waktu dan tempat adalah waktu dan tempat berlangsungnya tindak pidana berlangsung terus itu.92

Sistem penjatuhan pidana pada perbuatan berlanjut yakni sistem hisapan. Sistem hisapan pada perbuatan berlanjut dibedakan antara sistem hisapan umum, dan yang khusus. Sistem hisapan yang berlaku umum, berlaku dalam 2 kemungkinan (dua macam), ditentukan dalam ayat (1), yaitu:93

1) Dalam hal perbuatan berlanjut yang terdiri dari beberapa tindak pidana (sejenis) yang diancam dengan pidana pokok yang sama, maka yang diterapkan ialah satu aturan pidana saja (tanpa ada pemberatan).

2) Dalam hal perbuatan berlanjut yang terdiri dari beberapa tindak pidana (sejenis) yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sama beratnya, maka yang diterapkan adalah aturan pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat (tanpa pemberatan).

Yang dimaksud dengan sistem hisapan khusus pada perbuatan berlanjut, ialah yang hanya berlaku khusus dalam tindak pidana yang disebutkan secara khusus

92

Utrecht (buku II), op. cit., hal. 189 93

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

oleh undang-undang, dan ini dapat dianggap sebagai perkecualian dari sistem hisapan umum.94

Berdasarkan arrest Hoge Raad masing-masing tanggal 11 Juni 1894, W. 6515 dan tanggal 19 Oktober 1931, N.J. 1932 halaman 1319, W. 1290, antara lain mengatakan: “Untuk adanya suatu tindakan yang berlanjut itu tidaklah cukup jika beberapa tindak pidana itu merupakan tindak-tindak pidana yang sejenis, akan tetapi tindak-tindak pidana itu haruslah pula merupakan pelaksanaan satu maksud yang sama yang terlarang menurut undang-undang”. Sedangkan di dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1905, W. 8255, Hoge Raad telah mengatakan bahwa: “Tindak-tindak pidana yang sejenis saja tidak mencukupi; apabila dua tindak pidana itu telah dipisahkan oleh suatu jangka waktu empat hari, dan tidak ternyata bahwa tertuduh pada waktu melakukan tindak pidananya yang pertama itu juga telah memutuskan apa yang akan dilakukannya kemudian, maka di situ tidak terdapat suatu tindakan yang berlanjut”.

95

Berdasarkan putusan kasasinya tanggal 5 Maret 1963 No. 162 K/Kr./1962 Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain: “Penghinaan-penghinaan ringan yang telah dilakukan terhadap lima orang pada hari-hari yang berlainan, tidaklah mungkin didasarkan pada satu keputusan kehendak (wilbesluit), maka perbuatan itu tidak dapat dipandang sebagai satu perbuatan dan tidak dapat semua perkaranya itu diberikan satu putusan”.96

94

Ibid., hal. 139 95

P.A.F. Lamintang (buku I), op. cit., hal. 709 96

Adami Chazawi (buku II), op. cit., hal. 138

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

K/Kr./1963, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memutuskan antara lain: “Masalah tindakan yang berlanjut atau voortgezette handeling itu hanyalah mengenai masalah penjatuhan hukuman (strafoemeting) dan tidak mengenai pembebasan dari tuntutan”.97

Suatu contoh klasik dari suatu voortgezette handeling itu adalah misalnya seseorang yang mempunyai maksud mencuri seonggok besar batu kepunyaan orang lain. Untuk melaksanakan maksudnya itu orang tersebut terpaksa mengangkut batu-batu itu secara berulang kali dalam jumlah kecil sesuai dengan gerobak dorong yang ia pergunakan untuk mengangkut batu-batu tersebut. Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh orang tersebut telah memenuhi syarat seperti yang pernah dikemukakan di atas, yakni:98

a. bahwa perbuatan berulangkali mengambil sejumlah kecil batu dengan mempergunakan sebuah gerobak dorong itu merupakan pelaksanaan keputusannya yang terlarang menurut undang-undang;

b. bahwa perbuatan-perbuatan orang tersebut telah menghasilkan beberapa tindak pidana yang sejenis, yaitu tindak-tindak pidana pencurian;

c. bahwa antara perbuatannya yang satu dengan perbuatannya yang lain tidak diputuskan suatu jangka waktu yang relatif cukup lama.

Dokumen terkait