• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

PENERAPAN HUKUM

TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERLANJUT

(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DELIMA MARIAIGO SIMANJUNTAK

NIM. 040200001

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh: Ketua Departemen

ABUL KHAIR, SH.,M.Hum.

NIP: 131842854

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum.DR. Mahmud Mulyadi,SH.,M.Hum.

NIP. 130 809 557 NIP. 132 299 900

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

PENERAPAN HUKUM

TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA

BERLANJUT

(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No.

354/PID/2006/PT-MDN)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DELIMA MARIAIGO SIMANJUNTAK

NIM. 040200001

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTA HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan menyusun skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)”.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dimana hal ini merupakan suatu kewajiban bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuat suatu karya ilmiah berupa skripsi.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai bentuk tantangan yang harus dihadapi dan akhirnya penulis dapat melewatinya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Seperti kata pepatah yang menyatakan “Tiada Gading yang Tak Retak”, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

(4)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

dukungan dan didikan kepada penulis, sehingga penulis belajar hidup mandiri, dewasa dan memahami arti kasih sayang yang sesungguhnya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Syafruddin Kalo, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I berkat partisipasi dan dukungan serta arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Secara khusus, penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Bapak DR. Mahmud Mulyadi, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II. Berkat kesabaran dan pengabdian beliau dalam membimbing serta kesediaan waktu beliau berbagi pengalaman hidup telah memotivasi penulis untuk selalu bersemangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini serta menjadikan penulis percaya diri untuk berjuang dalam hidup demi tercapainya cita-cita yang luhur dan mulia. Pengabdian beliau mengingatkan penulis akan semboyan “Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, yang menjadi pelita dalam kegelapan, laksana embun penyejuk dalam kehausan, engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Perpustakaan pribadi beliau juga telah memudahkan penulis dalam penulisan skripsi ini. Semoga baktimu tetap abadi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Selain itu, banyak pihak yang telah berperan penting dalam membantu penulis menyelesaikan kuliah dan penyelesaian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini, karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

(5)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

2. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH., M.Hum., sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Abul Khair, SH., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Terima kasih juga kepada kakak-kakakku Betty Simanjuntak, SP. dan Pantun Simanjuntak, SH. dan adikku Putra Simanjuntak yang telah memudahkan langkahku untuk berkarya dalam hidup serta mendukung penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dengan baik juga buat abang iparku Rinto Hutauruk, SH. serta buat si mungil Maranatha.

7. Seluruh Staff Pengajar dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas semua ilmu yang Bapak/Ibu dosen berikan selama ini, semoga ilmu itu dapat menjadi batu loncatan menuju kesuksesan bagi penulis.

(6)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

9. Kepada teman-teman di organisasi Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) serta abangda dan kakanda IKA PERMAHI (Bang Juniver Girsang, Bunda Rini, Bang Tunggul, Bung Dayat Simanjuntak, Bang Raja Natal Sitinjak, Bang Zainul Amri, Bang Nasruddin, Bang Herman, Bang Edy Safnirosa, dll. yang telah menjadikan inspirasi bagi penulis untuk menjadi yang lebih baik dalam mengimplementasikan ilmu hukum sehari-hari. Terima kasih buat ilmu dan pengalaman serta dukungan kalian yang terus memotivasi penulis untuk mengikuti jejak kesuksesan kalian semua.

10.Buat sahabat-sahabat stambuk ’04 yang saya sayangi khususnya sahabat saya di group A terima kasih buat kepercayaan dan persahabatan kita yang terjalin selama duduk di bangku perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini, semoga kelak kita berhasil menjadi generasi penerus bangsa yang berPancasila.

11.Buat sahabat sejatiku Bang Arianto Napitupulu (AJEN) yang selalu memotivasi penulis untuk selalu menjadi yang terbaik dalam segala hal, menjadikan penulis berwawasan luas, percaya diri dan menjadi dewasa. Terima kasih buat kesetiaanmu dan perhatian yang tulus suci serta didikanmu yang selalu menanamkan jiwa nasionalis Indonesia. Semoga Tuhan memberkati kita.

(7)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Bapak Sukamto Tanoto yang telah memberikan bantuan beasiswa kepada para mahasiswa yang berprestasi. Semoga semakin ditingkatkan lagi pemberian beasiswanya tidak hanya terhenti di S1 tetapi dilanjutkan sampai masuk ke S2 bagi yang ingin melanjutkan pendidikannya demi mencerdaskan kehidupan bangsa, kiranya juga Bapak dapat membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi para mahasiswa yang mencari lowongan pekerjaan untuk mengurangi tingkat pengangguran di bumi nusantara ini. Juga kepada Ibu Ratih Lukito, Bapak Chandra, Kak Vika, Bapak Hikmanto dan Kak Mathilda saya ucapkan terima kasih semoga berkat bantuan dan dukungan kalian semua penulis bisa menjadi saluran berkat bagi orang-orang yang membutuhkan kehadiran penulis.

13.Buat teman-teman SMA yang selalu menyemangati penulis, Tomita, Monika, Sri Rejeki, Vena, dan Jemimma.

Medan, Mei 2008 Penulis

(8)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI……….. vi

ABSTRAKSI…………...……… viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah………..… 6

C. Keaslian Penelitian………...…………...…6

D. Tujuan Penelitian……… 7

E. Manfaat Penelitian……….. 8

F. Tinjauan Kepustakaan………. 8

1. Pengertian Tindak Pidana... 8

a. Unsur-Unsur Tindak Pidana... 13

b. Jenis Tindak Pidana... 22

c. Tempat dan Waktu Tindak Pidana... 23

2. Korupsi... 26

a. Pengertian Korupsi... 26

b. Sifat dan Ciri-Ciri Korupsi... 28

c. Faktor Penyebab Korupsi... 30

G. Metode Penelitian………. 41

H. Sistematika Penulisan……….. 43

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA A. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi... 45

B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi... 50

C. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi... 74

(9)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

BAB III PENERAPAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

KORUPSI SECARA BERLANJUT (STUDI KASUS NO.

1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan NO. 354/PID/2006/PT-MDN)

A. Kasus Posisi... 88

1. Kronologis... 89

2. Dakwaan dan Tuntutan JPU... 90

a. Dakwaan... 90

b. Tuntutan JPU ... 92

3. Fakta Hukum... 93

a. Alat Bukti yang Sah... 93

b. Pertimbangan Hukum... 99

4. Amar Putusan... 115

B. Pemeriksaan di Tingkat Banding... 116

1. Pertimbangan Hukum... 116

2. Amar Putusan Banding... 125

C. Analisa Kasus...127

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan... 128

B. Saran... 145

(10)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

Pertumbuhan tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan sulitnya memberantas tindak pidana korupsi akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Oleh karena tindak pidana korupsi tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa maka tindak pidana korupsi perlu ditangani secara cepat dan serius. Skripsi yang berjudul “Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)” mengetengahkan permasalahan tersendiri mengenai pengaturan tindak pidana korupsi menurut hukum positif Indonesia dan permasalahan penerapan hukum terhadap tindak pidana korupsi secara berlanjut (Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN).

Penulis menggunakan metode penelitian dengan metode hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu. Pada tahap awal penulis melakukan penelitian terhadap bahan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi untuk mengetahui ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam hukum positif Indonesia. Selanjutnya penulis melakukan penelitian secara in concreto untuk menemukan hukum yang layak diterapkan dalam kasus tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 354/PID/2006/PT-MDN untuk mengetahui penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi secara berlanjut. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pengaturan tindak pidana korupsi di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diuraikan secara jelas, lengkap dan sistematis. Baik pengaturan tentang subjek hukumnya, bentuk-bentuk tindak pidana korupsi, pertanggungjawaban tindak pidana korupsi maupun pemidanaannya.

(11)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu parah dan meluas dalam masyarakat dan sangat memprihatinkan. Hasil survey Transparansi Internasional pada tahun 2005 Indonesia peringkat keenam di antara 159 negara di dunia dengan corruption perceptions index (CPI) 2,2 dimana skala nilai dalam CPI adalah 0-10 (skor 10 menunjukkan peringkat terbersih). Dalam lima tahun terakhir (2001-2007), Indonesia masih menempati kelompok negara-negara terkorup di dunia. Corruption Perception Index (CPI) dalam lima tahun terakhir skornya hanya naik 0,5 poin dari 1,9 (2001) ke 2,4 (2004) dan turun kembali 0,1 poin menjadi 2,3 (2007).1

Tahun

Berikut adalah tabel CPI tahun 2004 sampai dengan tahun 2007.

Rangking

Indonesia CPI Jarak Tingkat Kepercayaan 20052 137 dari 158 2.2 2.1-2.5

2006 130 dari 163 2.4 2.2-2.6 2007 143 dari 179 2.3 2.1-2.4 Sumber: Diolah dari CPI-Transparansi Internasional

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga memperlihatkan keadaan yang sama, dari tahun ke tahun penyimpangan keuangan dan administrasi

1

tanggal 1 April 2008 pukul 14.02 WIB 2

(12)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

cenderung meningkat. Terhitung sampai dengan tahun 2007, dari laporan audit BPK-RI terdapat 36.009 temuan pemeriksaan dengan nilai kerugian Rp. 3. 657, 71 triliun (tiga ribu enam ratus lima puluh tujuh koma tujuh puluh satu triliun rupiah). 77, 56% dari temuan BPK tersebut hingga pertengahan tahun 2007 belum ditindaklanjuti oleh masing-masing instansi bermasalah.3

Tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dan tidak terkendali ini akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.4

Banyak pakar dan pengamat di Indonesia mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan. Pendapat lain mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan ada yang mengatakan bahwa pemerintah justru akan hancur jika korupsi diberantas, karena struktur yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur bila korupsi diberantas.5

Berikut adalah komentar yang disampaikan Barda Nawawi Arief berkaitan dengan masalah korupsi yang menyatakan sebagai berikut:

3

BPK RI, Ikthtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2007, hal. 287 4

Anggota IKAPI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke-I, Fokusmedia, Bandung, 2005, hal. iii

5

(13)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

“Masalah korupsi terkait dengan kompleksitas masalah, antara lain masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial-ekonomi, masalah struktur/sistem sosial-ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik”.6

Pemerintah juga melahirkan lembaga atau komisi atau badan darurat anti korupsi serta badan permanen yang bertugas antara lain memberantas korupsi. Namun korupsi bukannya surut, malah semakin meluas dan kian parah. Bahkan

Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi demi terwujudnya supremasi hukum. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6

(14)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

pendukung Orde Baru yang semula berteriak paling lantang untuk memberantas korupsi, kemudian justru menjadi sumber tumbuh suburnya korupsi.7

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi adalah dengan cara menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku tindak pidana korupsi. Ternyata, dalam prakteknya masih ada pelaku tindak pidana korupsi yang terlepas dari jeratan pasal-pasal tindak pidana korupsi hanya karena celah-celah kecil akibat kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terutama hakim terhadap pengertian perbuatan yang dimaksudkan dengan korupsi dan dalam penerapan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi.8

Kasus yang diangkat dalam skripsi ini ialah Koperasi Unit Desa Citra Kencana yang selanjutnya disingkat menjadi KUD Citra Kencana adalah suatu badan hukum yang merupakan rekanan PT. PLN (Persero) Cabang Medan berdasarkan surat perjanjian kerja sama nomor: 010/3/060/MED/2002 tanggal 8 Januari 2002 tentang Penerimaan Pembayaran Rekening Listrik Pelanggan PT. PLN (Persero) Cabang Medan khusus wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan. Salah seorang anggota KUD Citra Kencana berinisial S telah membuat perjanjian kerja sama dengan KUD Citra Kencana yang tertuang dalam surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan nomor: 02/CK/2002 tanggal 2 Januari 2002 yang isi pokok perjanjian tersebut adalah bahwa KUD Citra Kencana menyerahkan dan memberikan wewenang sepenuhnya kepada S sebagai pelaksana pekerjaan untuk

7

Sudirman Said dan Nizar Suhendra, Korupsi dan Masyarakat Indonesia dalam Mencuri Uang Rakyat (16 Kajian Korupsi di Indonesia), Yayasan Aksara untuk Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Good Governance Reform), Cetakan Ke-I, 2002, hal. 121

8

(15)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

mengelola pekerjaan penerimaan pembayaran rekening listrik di wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan.9

Pada saat bertugas, S tidak menyetorkan seluruh hasil tagihan rekening listrik dari pelanggan yang seharusnya disetorkan setiap harinya ke kas bank BUKOPIN Cabang Medan ke dalam rekening PT. PLN (Persero) Cabang Medan tetapi telah dipergunakan sendiri oleh S secara melawan hak, yaitu untuk membayar pemasangan instalasi listrik yang telah dilakukannya di wilayah PLN Ranting Medan Timur, namun dipandang sebagai pemasangan liar dan untuk keperluan pribadi S lainnya. Dalam keadaan demikian S mengadakan perpanjangan perjanjian kerja sama dengan PT. PLN (Persero) Cabang Medan sebanyak 2 (dua) kali hingga tahun 2004 yang mana perjanjian tersebut ditandatangani oleh pengurus KUD Citra Kencana dan pihak PT. PLN (Persero) Cabang Medan dan hasilnya tetap sama yaitu terjadi penunggakan setoran rekening listrik ke PT. PLN (Persero) Cabang Medan.10

Atas perbuatan S yang tidak menyetorkan seluruh hasil penagihan rekening listrik pada PT. PLN (Persero) Cabang Medan maka S dijadikan terdakwa dalam tindak pidana korupsi dan diadili di PN Medan dengan register perkara No. 1635/Pid.B/2006/PN Medan tanggal 9 Mei 2006. Berdasarkan petitum putusan PN Medan telah membebaskan terdakwa S dari dakwaan pertama primair dan subsidair tentang korupsi dan menghukum terdakwa dengan dakwaan kedua penuntut umum tentang penggelapan secara berlanjut. Sedangkan putusan PT menyatakan terdakwa S terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

9

Berita Acara No. 1636/Pid.B/2006/PN-Mdn 10

(16)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa S dengan pidana penjara selama 1 tahun 10 bulan dan denda Rp. 10.000.000,-.11

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia

Berdasarkan kasus ini terdapat perbedaan antara hakim PN dan hakim PT dalam memeriksa perkara tersebut. Oleh karena itu dirasakan penting untuk melihat pola pikir hakim ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan beberapa perumusan masalah sebagai berikut:

2. Bagaimanakah penerapan hukum terhadap tindak pidana korupsi secara berlanjut (studi kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-Mdn dan No. 354/PID/2006/PT-MDN)

C. Keaslian Penelitian

Karya ilmiah ini disusun berdasarkan literatur yang diperoleh dari perpustakaan dan dari media masa baik media cetak maupun media elektronik. Skripsi ini merupakan hasil karya yang belum pernah diangkat oleh mahasiswa sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan data yang terdaftar di sekretariat jurusan pidana dimana judul-judul yang berkaitan dengan korupsi

11

(17)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

antara lain mengenai Kajian Hukum Dampak Tindak Pidana Korupsi terhadap Perekonomian Negara; Pelaksanaan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi di Kota Medan; Peranan Hakim dalam Melaksanakan Praperadilan terhadap Penghentian Penyidikan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Bupati Nias; Kedudukan Asas Pembuktian Terbalik pada Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Hukum Acara Pidana di Indonesia, dan sebagainya.

Judul-judul yang ada tentang korupsi tersebut tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi yaitu tentang penerapan hukum terhadap tindak pidana korupsi secara berlanjut melalui peninjauan terhadap putusan Pengadilan Negeri dan Tinggi Medan tentang korupsi di KUD Citra Kencana rekanan PT. PLN (Persero) Cabang Medan, oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diinginkan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam hukum positif Indonesia.

(18)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

E. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya.

b. Menambah informasi yang lebih konkret bagi usaha pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam upaya mengurangi terjadinya tindak pidana korupsi.

2. Secara Praktis

Dapat memberikan masukan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam pengambilan kebijakan terhadap tindak pidana korupsi baik eksekutif, yudikatif dan legislatif agar dapat diperoleh solusi dalam menangani kasus-kasus korupsi yang timbul.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tindak pidana. Tindak pidana sering juga disebut dengan kata “delik”.12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut: “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”.13

12

Kata “delik” disebut juga dengan delictum (Latin), delict (Jerman dan Belanda), dan delit (Prancis).

13

(19)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Menurut van der Hoeven, rumusan tersebut tidak tepat karena yang dapat dihukum bukan perbuatannya tetapi manusianya.14 Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana” untuk kata “delik”. Kartanegara lebih condong untuk menggunakan istilah “delict” yang telah lazim dipakai untuk perumusan strafbaar

feit.15 Para pakar hukum pidana menyetujui istilah straafbaar feit untuk

menyebutkan nama tindak pidana.16

Dalam bahasa Belanda straafbaar feit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan” sedangkan straafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan straafbaar feit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum”.17

Keberatan van der Hoeven tersebut sesungguhnya kurang beralasan jika diperhatikan pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.18 Dalam hal ini, tepat yang dikatakan van Hattum bahwa perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan.19

14

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan ke-III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1997, hal. 192 (selanjutnya disebut buku I)

15

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, hal. 74

16

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 5 17

Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999

18

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Ke-I, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 7 (selanjutnya disebut buku I)

19

(20)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Mengenai “delik” dalam arti straafbaar feit, para pakar hukum pidana masing-masing memberikan definisi sebagai berikut.

1. Simons

Dalam rumusannya straafbaar feit itu adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.20

a. untuk adanya suatu straafbaar feit diisyaratkan bahwa di situ terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

Alasan dari Simons mengapa harus dirumuskan seperti di atas karena:

b. agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;

c. setiap straafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechmatige handeling.21

Jadi, sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada

20

C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan Ke-I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 37

21

(21)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.22

Menerjemahkan straafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau

doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan

yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

2. E. Utrecht

23

Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Berdasarkan definisi teoritis maka perbuatan pidana adalah pelanggaran norma/kaedah/tata hukum yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung jawab.

3. Pompe

22

Evi Hartanti, op. cit., hal 6 23

(22)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Sedangkan dari sisi perundang-undangan, perbuatan pidana ialah suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat ini biasanya dilakukan dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik.24

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun perbuatannya memenuhi delik (an objective of penol provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective built). Di sini berlaku “tiada pidana tanpa kesalahan” (kiene strafe ohne schuld atau geen straaf zonder schuld atau nulla poena sine culpa).25

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut”. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan

Culpa di sini dalam arti luas, meliput i juga kesengajaan.

4. Moeljatno

24

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Ke-I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 225

25

(23)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).26

a. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut doktrin, unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif.27 Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut.28 1) Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Unsur-unsur subjektif daripada perbuatan dapat berupa kesalahan (schuld) dan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid).29 Asas hukum pidana menyatakan “tiada hukuman tanpa kesalahan” (An act does not make a person

guilty unless the mind is guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea).30

Kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni:31

a) kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);

b) kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn);

26

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ke-II, Jakarta, Bina Aksara, 1984, hal. 54

27

Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 6-7 (selanjutnya disebut buku II)

28

Leden Marpaung (buku I), op. cit., hal. 9-10 29

Satochid Kartanegara, op.cit., hal. 86. Lihat juga P.A.F. Lamintang (buku I), op. cit., hal. 193

30

D. Schaffmeister et al, dalam J.F. Sahetapy (ed), Hukum Pidana, Edisi Pertama Cetakan Ke-I, Yogyakarta, Liberty, 1995, hal. 1. Lihat juga Moeljatno, op. cit., hal. 23

31

(24)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

c) kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus eventualis).

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Kealpaan terdiri atas dua bentuk, yakni: tak berhati-hati dan dapat menduga akibat perbuatan itu.

Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu:32

a) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu.

b) Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.

c) Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undang-undang.

2) Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:33 a) Perbuatan (handeling) manusia, berupa:

i. act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;

ii. omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan

yang mendiamkan atau membiarkan. b) Akibat (result/gevolg) perbuatan manusia

32

Satochid Kartanegara, op. cit., hal. 242. Lihat juga Tongat, Hukum Pidana Materil, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, UMM Press, Malang, 2002, hal. 5

33

(25)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

c) Keadaan-keadaan (circumstances/omstandigheid)

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:34 i. keadaan pada saat perbuatan dilakukan;

ii. keadaan setelah perbuatan dilakukan. d) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.35

Adami Chazawi membedakan unsur-unsur tindak pidana ke dalam dua sudut pandang, yakni: (1) dari sudut teoritis dan (2) dari sudut undang-undang. Teoritis maksudnya berdasarkan pendapat para ahli hukum yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan pengadilan.

34

P.A.F. Lamintang (buku I), op. cit., hal. 187-189. Dijelaskan juga bahwa menurut Pompe, keadaan ini terbagi atas keadaan-keadaan penyerta (begeleidende omstandigheden) dan keadaan-keadaan yang dating kemudian (nakomende omstandigheden). Begeleidende omstandigheden atau keadaan-keadaan yang menyertai sesuatu tindakan itu dalam beberapa rumusan delik disebutkan beberapa syarat tertentu, yaitu misalnya:

a.bahwa cara melakukan sesuatu tindak pidana atau sarana yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu;

b.bahwa subjek maupun objek dari sesuatu tindak pidana itu haruslah mempunyai sifat-sifat tertentu; dan

c.bahwa waktu dan tempat dilakukannya sesuatu tindak pidana itu haruslah sesuai dengan syarat-syarat tertentu.

35

(26)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.36

1) Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah: 37 a) perbuatan;

b) yang dilarang (oleh aturan hukum);

c) ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Berdasarkan pendapat sarjana yang menganut paham dualisme tersebut tidak ada perbedaan mengenai unsur-unsur tindak pidana. Uraian di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya. Berbeda halnya dengan pendapat penganut paham monoisme seperti berikut ini.

Menurut Jonkers unsur-unsur tindak pidana adalah:38 a) perbuatan (yang);

b) melawan hukum (yang berhubungan dengan); c) kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); d) dipertanggungjawabkan.

36

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I Stelsel Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Ke-I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 78 (selanjutnya disebut buku I)

37

D. Schaffmeister et al, dalam J.F. Sahetapy (ed), op. cit., hal. 27. Dijelaskan juga bahwa menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni: perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia); yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan diadakan tindakan penghukuman. Sedangkan menurut bunyi batasan yang dibuat oleh Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah: kelakuan manusia; diancam dengan pidana; dan dalam peraturan perundang-undangan. Lihat juga Moeljatno, op. cit., hal. 54

38

Ibid., hal. 81. Dijelaskan juga bahwa menurut Schravendijk unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: kelakuan (orang yang); bertentangan dengan keinsyafan hukum; diancam dengan hukuman; dilakukan oleh orang (yang dapat); dipersalahkan/kesalahan.

(27)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Walaupun rincian tersebut berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya yakni tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

Mahmud Mulyadi merangkum kesimpulan yang dibuat oleh Moeljatno mengenai unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana, yaitu:39

a) Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan); b) Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

c) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; d) Unsur melawan hukum yang objektif; dan e) Unsur melawan hukum yang subjektif.

2) Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan dan Buku III adalah pelanggaran. Berdasarkan rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP tersebut, maka dapat diketahui adanya 8 (delapan) unsur tindak pidana, yaitu:40

a) Unsur tingkah laku

Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif (handelen), juga dapat disebut perbuatan materiil (materieel feit) dan tingkah laku pasif atau negatif

39

Mahmud Mulyadi, Proses Pembuktian dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup (tesis), Program Pascasarjana USU, 2001, hal. 49-50

40

(28)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

(nalaten). Dilihat dari syarat penyelesaian tindak pidananya, maka tingkah laku dibedakan menjadi 2 macam, yakni (1) tingkah laku sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, (2) tingkah laku yang (harus) mengandung akibat sebagai syarat penyelesaian tindak pidana.41

b) Unsur melawan hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada undang-undang (melawan hukum formil/formelle wederrechtelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materiil/materieel wederrechtelijk).42 Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan.43

D. Schaffmeister et al. membedakan sifat melawan hukum itu menjadi empat bentuk, yaitu:44

1) Sifat melawan hukum umum

Sifat ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana, yaitu suatu rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

41

Ibid. halaman 83-85 42

A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit. hal. 70. Lihat juga Indriyanto Seno Adji, Korupsi, Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, Cetakan Ke-II, CV. Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 133

43

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni-Ahaem-Petehaem, Jakarta, hal. 141

44

(29)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

2) Sifat melawan hukum khusus

Sifat ini tercantum secara tertulis dalam rumusan delik yang merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidana. Sifat ini juga dinamakan “sifat melawan hukum faset”.

3) Sifat melawan hukum formal

Sifat ini berarti, semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi yaitu memenuhi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana.

4) Sifat Melawan hukum materil

Berarti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. c) Unsur kesalahan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat subjektif. Kesalahan dalam hukum pidana adalah berhubungan dengan pertanggungan jawab, atau mengandung beban pertanggungan jawab pidana, yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa).45

Kesengajaan adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui sehingga kesengajaan itu ada dua, yakni kesengajaan berupa kehendak dan kesengajaan berupa pengetahuan (yang diketahui).46

45

A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit., hal. 77-78 46

Sudarto, Hukum Pidana I, Penerbit Yayasan Sudarto, Semarang, 1991, hal. 102-105 (selanjutnya disebut buku I). Lihat juga A. Zainal Abidin Farid, op. cit., hal. 282-285

(30)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum seseorang itu sungguh-sungguh berbuat. Menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah mengenai segala apa yang ia ketahui tentang perbuatan yang akan dilakukan dan beserta akibatnya. Tidaklah mungkin menghendaki atas segala sesuatu yang tidak diketahui.47 Kelalaian (culpa) sering juga disebut dengan tidak sengaja, lawan dari kesengajaan (opzettelijk atau dolus) atau sering juga disebut dengan schuld dalam arti sempit. Unsur kesalahan dan melawan hukum merupakan unsur subjektif sedangkan selebihnya merupakan unsur objektif.48

d) Unsur akibat konstitutif

Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada: (1) tindak pidana materiil (materieel delicten) atau tindak pidana di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana, (2) tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana, dan (3) tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.49

e) Unsur keadaan yang menyertai

Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat:50

(1) mengenai cara melakukan perbuatan; (2) mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan; (3) mengenai objek tindak pidana; (4) mengenai subjek

47

A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit., hal. 79 48

Adami Chazawi (buku I), op. cit., hal. 93 49

Ibid., hal. 103 50

(31)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

tindak pidana; (5) mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan (6) mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.

f) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu.51

g) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana dapat terletak pada bermacam-macam, yakni:52

1) pada akibat yang timbul setelah perbuatan dilakukan, misalnya luka berat atau kematian.

2) pada objek tindak pidananya, misalnya pada anggota keluarga, pejabat yang sedang menjalankan tugasnya, terhadap orang yang bekerja padanya.

3) pada cara melakukan perbuatan, misalnya dengan tulisan, gambar, memberikan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan, dan sebagainya. 4) pada subjek hukum tindak pidana, misalnya dokter, bidan, juru obat. 5) pada waktu dilakukannya tindak pidana, misalnya belum lewat 2 tahun. 6) pada berulangnya perbuatan, misalnya pencarian atau kebiasaan. h) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang

51

Ibid., hal. 108 52

(32)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.53

b. Jenis Tindak Pidana

KUHP kita yang berlaku sekarang membagi jenis tindak pidana menjadi dua kelompok, yaitu kejahatan (yang diatur dalam Buku Kedua) dan pelanggaran (yang diatur dalam Buku Ketiga). Di samping itu dalam Ilmu Hukum Pidana dikenal beberapa jenis tindak pidana, diantaranya adalah:54

1) Tindak pidana formil

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Jadi tindak pidana tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang sebagaimana yang tercantum/dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan (pidana).

2) Tindak pidana materil

Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang dilarang (dalam suatu undang-undang). Jadi tindak pidana ini baru selesai apabila akibat yang dilarang (dari suatu perbuatan) itu telah terjadi.

3) Tindak pidana comisionis

53

Ibid., hal. 110-111 54

(33)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Tindak pidana comisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

4) Tindak pidana omisionis

Tindak pidana omisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap perintah yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

5) Dolus dan Culpa

Dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja sedangkan culpa adalah tindak pidana yang dilakukan dengan kelalaian atau karena kealpaan. 6) Tindak pidana aduan (klachtdelict)

Tindak pidana yang dilakukan itu baru dapat dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan. Jadi jika tidak ada pengaduan maka tindak pidana tersebut tidak akan dituntut.

c. Tempat dan Waktu Tindak Pidana

(34)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Bemmelen yang dipandang sebagai tempat dan waktu dilakukannya tindak pidana pada dasarnya adalah tempat dimana seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara materil.55

1) tempat dimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya; Yang dianggap sebagai locus delicti adalah:

2) tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh seseorang itu bekerja; 3) tempat di mana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul; 4) tempat di mana akibat konstitutif itu telah timbul.

Undang-undang tidak memberikan penjelasan perihal waktu dan tempat tindak pidana. Oleh sebab itu teori-teori mengenai waktu dan tempat ini menjadi sangat penting dalam praktik hukum, karena teori-teori itulah yang dapat menjadi pegangan hakim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut tentang waktu dan tempat. Teori yang dimaksud, yaitu:56

1) Teori perbuatan jasmani (leer van het materiele feit)

Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu pada kenyataannya diwujudkan.57

2) Teori alat (leer van het instrument)

Menurut teori alat, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana alat digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak pidana.58

55

Evi Hartanti, op. cit., hal. 8 56

A. Zainal Abidin Farid, op. cit., hal.177 57

(35)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

3) Teori akibat (leer van het gevolg)

Menurut teori ini, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana akibat dari perbuatan itu timbul. Mengenai waktu dan tempat tindak pidana pasif (omissi) berupa tindak pidana pelanggaran terhadap kewajiban hukum untuk berbuat, misalnya mengabaikan panggilan hakim untuk menjadi saksi ahli atau juru bahasa di persidangan pengadilan (pasal 522 KUHP) adalah waktu dan tempat di mana ia seharusnya memenuhi kewajiban hukum itu dilakukan.59

Terhadap perbarengan (concursus atau samenloop), oleh karena terjadinya beberapa tindak pidana yang berlain-lainan, maka perihal waktu dan tempat tindak pidana adalah pada waktu dan tempat masing-masing terwujudnya tindak pidana itu. Terhadap penyertaan khususnya antara pelaku penganjur (uitlokker) dengan pelaku pelaksana (pleger), dimana antara waktu dan tempat perbuatan menganjurkan tindak pidana dengan tindak pidana diwujudkan oleh pelaku pelaksananya tidak sama, maka dapat dipandang sebagai waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat di mana perbuatan penganjuran itu terjadi.60

Terjadinya pelaku pembantu (sebelum tindak pidana diwujudkan) dengan pelaku pelaksana, dimana waktu dan tempat pemberian bantuan (misalnya meminjamkan pistol) berlainan dengan dilaksanakannya tindak pidana oleh pelaku pelaksananya (menembak korban dengan pistol itu), dan matilah korban,

58

Lihat al: Zainal A. Farid, op. cit., hal 178-179; Adami Chazawi (buku I), op. cit., hal. 136; A. Fuad Usfa dan Tongat, op. cit., hal. 53-54; dan Suharto, op. cit., hal. 32

59 Ibid. 60

(36)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

maka waktu dan tempat tindak pidana pembunuhan adalah waktu dan tempat di mana akibat matinya korban karena tembakan itu.61

a. Pengertian Korupsi 2. Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin “Coruptio” atau “Corruptus”, dalam bahasa Perancis dan Inggris disebut “Corruption”62

1) kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran.

, dalam bahasa Belanda disebut “Corruptie”. Secara harfiah pengertian korupsi dapat berupa:

63

2) perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.64

3) korup artinya busuk; suka menerima uang suap/sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Koruptor berarti orang yang korupsi.65

61

Ibid., hal. 141 62

Dani Krisnawati et. al. dalam Eddy O. S. Hiariej (ed), Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Cetakan Ke-I, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 35-36. Dijelaskan juga bahwa berdasarkan isi The Lexicon Webster Dictionary (The Lexicon Webster Dictionary, English Language Institute of America, Inc.) dimuat arti kata corrupt al. sbb.: “corruption (L. corruption (n-)) The act of corrupting or the state of being corrupt; putrefactive decomposition. putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language; a debased from of a word”.

63

S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit Hasta, Bandung

64

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, 1976

65

(37)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas yaitu:

(1) Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain; (2) Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).66

Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seseorang pejabat bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.

Menurut beberapa sarjana, korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut:

67

Bayley menyatakan bahwa perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi. M. Nc. Mullan, seorang pejabat pemerintah dikatakan “korup” apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan

66

Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989. 67

(38)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan. 68

Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari

public official ata para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh

masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi. Vito Tanzi mengemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan di sector swasta atau pejabat publik, keputusan yang dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan menimbulkan korupsi, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.69

b. Sifat dan Ciri-ciri Korupsi

Baharuddin Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu sebagai berikut:70

1) Korupsi yang Bermotif Terselubung

Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. Contoh: seorang pejabat menerima uang suap dengan janji akan menerima si pemberi suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam suatu jabatan. Namun dalam kenyataannya

68

Ibid. Lihat juga I.G.M. Murdjana et. al. dalam Abdul Halim Barkatullah (ed), Korupsi dan Illegal Loging Dalam Sistem Desentralisasi, Cetakan Ke-I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal. 22

69

Chaerudin et. al., Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Cetakan ke-I, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 2

70

(39)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

setelah menerima suap, pejabat itu tidak mempedulikan lagi janjinya kepada orang yang memberi suap tersebut. Yang pokok adalah mendapatkan uang tersebut. 2) Korupsi yang Bermotif Ganda

Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain yakni kepentingan politik. Contoh: seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya pejabat itu dalam mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok) tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya.

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Syed Hussain Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut:71

1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun di sini seringkali ada pengertian diam-diam di antara pejabat yang mempraktikkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemic di masyarakat.

71

(40)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

2) Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiannya.

3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. 5) Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu

untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

6) Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat). Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

c. Faktor Penyebab Korupsi

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: 72 1) Lemahnya pendidikan agama dan etika.

2) Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

3) Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual

72

(41)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alas an ini dapat dikatakan kurang tepat.

4) Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.

5) Tidak adanya sanksi yang keras.

6) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi. 7) Struktur pemerintahan.

8) Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.

9) Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.

Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah:73

1) keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi;

2) administrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi;

3) kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;

(42)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

4) berfungsinya suatu sistem yang antikorupsi;

5) kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi.

Andi Hamzah mengemukakan penyebab korupsi sebagai berikut:74

1) Kurangnya gaji pegawai negeri sipil dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.

2) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.

3) Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efektif dan efisien yang akan memberikan peluang orang untuk korupsi.

4) Modernisasi mengembangbiakkan korupsi.

Menurut Fransisco Ramirez Torres, sebab-sebab korupsi mencakup penggunaan alkohol, judi, skandal di luar nikah (contohnya: kasus kekasih gelap yang menuntut materi berkelebihan, sehingga demi cinta si pegawai negeri terpaksa korupsi), kerugian akibat spekulasi, kekacauan administrasi, rasa kesal terhadap perusahaan, frustasi terhadap pekerjaan, hasrat akan kekayaan, kesombongan, dan lain-lain penyebab.75

Menurut Huntington penyebab korupsi ialah modernisasi. Huntington menulis sebagai berikut: “Korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu daripada yang lain, dan dalam masyarakat yang sedang tumbuh korupsi lebih umum dalam suatu periode yang satu dari yang

74

Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 18 (selanjutnya disebut buku I)

75

(43)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

lain. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat.”76

Para ahli hukum pidana menterjemahkan voortgezette handeling dengan sebutan perbuatan berlanjut. Utrecht menyebutnya dengan “perbuatan terus-menerus” dimana Utrecht menyatakan bahwa voortgezette handeling merupakan bentuk khusus concursus realis yang diatur dalam KUHP.

3. Pengertian Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)

77

Voorgezette handeling oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam

Pasal 64 ayat (1) KUHP yang rumusannya berbunyi: “Apabila antara beberapa perilaku itu terdapat hubungan yang sedemikian rupa, sehingga perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut, walaupun tiap-tiap perilaku itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka diberlakukanlah hanya satu ketentuan pidana saja, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat”.

Schravendijk dan Wirjono Prodjodikoro menyebutnya dengan “perbuatan yang dilanjutkan”, Soesilo menyebutnya dengan “perbuatan yang diteruskan”.

78

76

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 20 (selanjutnya disebut buku II)

77

Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 2000, hal. 192 (selanjutnya disebut buku II)

78

(44)

Delima Mariaigo Simanjuntak : Penerapan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Secara Berlanjut(Studi Kasus No. 1636/Pid.B/2006/PN-MDN dan No. 354/PID/2006/PT-MDN), 2008.

USU Repository © 2009

Berdasarkan rumusan ayat (1) tersebut, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yakni:

a. adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa: pelanggaran atau kejahatan; b. antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang

sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut. Berbeda dengan kenyataan yang terdapat di dalam Memorie van

Toelicthting, dimana pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai apa

yang disebut voortgezet misdrijf dan voortegezette overtrading (kejahatan berlanjut dan pelanggaran berlanjut), maka di dalam rumusan ketentuan pidana menurut pasal 64 ayat (1) KUHP di atas, pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai beberapa perilaku yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi yang karena terdapat suatu hubungan yang demikian rupa, maka perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut. Ini berarti bahwa tiap-tiap perilaku itu harus dituduhkan secara sendiri-sendiri dan harus dibuktikan pula secara sendiri-sendiri. Tiap-tiap perilaku itu dapat mempunyai locus delictinya sendiri, tempus delictinya sendiri, dan mempunyai

verjaringstermijnnya sendiri. 79

Beberapa penulis berpendapat bahwa di dalam perilaku-perilaku seperti dimaksud di atas bukan tidak mungkin dapat terjadi adanya suatu deelneming atau suatu keturutsertaan. Mengenai kemungkinan adanya suatu deelneming atau keturutsertaan tersebut Simons berpendapat bahwa: “Pemberlakuan pasal 64 KUHP itu hanya berkenaan dengan masalah penjatuhan hukuman dan bukan

79

Referensi

Dokumen terkait

Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri maupun orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian

003/PUU-IV/2006, disebutkan bahwa kalimat “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berarti ada kerugian nyata (actual loss),maupun hanya yang bersifat

“merugikan keuangan Negara atau Perekonomian Negara” menunjukan bahwa tindak pidana merupakan delik formal yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan

Dalam kasus ini hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang Tipikor dan juga memperhatikan unsur-unsur tindak

23 Tahun 2002 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, yaitu: 1) Unsur barangsiapa; 2) Unsur dengan sengaja; 3) Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak; 4)

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”