• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kota Hijau

Kota merupakan perkembangan dari daerah permukiman yang bersifat dinamis, baik ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, kultur maupun spasialnya. Kota sebagai suatu lingkungan yang terbentuk oleh ekosistem yang kompleks, mencakup komponen bio-fisik, ekonomi dan sosial budaya, memiliki permasalahan yang kompleks; cenderung untuk berkembang dan mengalami perubahan yang mempengaruhi tata kotanya (Nurisjah, 1997). Kota bersifat dinamis. Struktur, bentuk dan wajah/penampilan kota merupakan pencerminan perkembangan peradaban warga kotanya, yang merupakan hasil penyelesaian konflik perkotaan yang selalu terjadi (Budihardjo, 1997)

Tata ruang sebagai wujud pola dan struktur ruang terbentuk secara alamiah dari proses alam, maupun sebagai hasil dari proses sosial, pembelajaran yang terus menerus, dan merupakan siklus dari pemanfaatan- monitoring-evaluasi-pengendalian-perencanaan-pemanfaatan dan seterusnya. Ekspresi dari pemanfaatan ruang pada umumnya digambarkan dalam berbagai bentuk peta, yaitu peta land use atau landcover.

Setiap kota seharusnya dapat menjadi cerminan ekspresi budaya warga kotanya, yang merupakan harmoni antara hubungan manusia dengan alam (Smith, 2009); Untuk menuju pada terwujudnya pembangunan kota yang berkelanjutan (Deni, 2009), yang bertujuan:

1. Safety/security: masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenang, tidak khawatir akan adanya gangguan oleh alam maupun manusia

2. Comfortability: tersedia kesempatan bagi masyarakat dalam mengartikulasikan nilai sosial budaya secara nyaman dan damai

3. Productivity: tersedianya infrastruktur yang memfasilitasi berlangsungnya proses ekonomi produksi dan distribusi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat kota

12

4. Sustainability: tersedianya lingkungan kota yang berkualitas baik, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.

Kota Hijau mengandung pengertian kota yang ramah lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi, dengan menjamin kesehatan lingkungan, memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energy, mengurangi produksi limbah, dan menerapkan sistem transportasi terpadu rendah emisi. (Lubis, J, 2011). Ada delapan atribut kota hijau yang harus dipenuhi yaitu: green planning and design, green openspace, green community, green building, green waste, green transportation, green water dan green energy.

Dalam upaya merespon fenomena perubahan iklim yang sudah semakin terasa dampaknya, maka pembangunan Kota Hijau mulai dicanangkan di beberapa Negara di dunia, dengan tujuan agar masing-masing kota dapat berkontribusi dalam upaya menurunkan emisi karbon dalam rangka mitigasi dampak pemanasan global. Di Indonesia, upaya ini tengah dimulai dengan berbagai program berbasis masyarakat. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang telah menggulirkan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) sebagai upaya peningkatan kuantitas dan Kualitas RTH kawasan perkotaan secara nasional. Program ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya terpadu antara Pemerintah Pusat bersama-sama Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten guna memenuhi ketetapan UUPR No 26 tahun 2007, terutama terkait pemenuhan RTH Publik. Dalam implementasinya, program ini dimuat dalam RTRW kota/ kabupaten.

Dengan adanya prakarsa P2KH ini membuktikan bahwa dukungan pemerintah terhadap perbaikan penataan ruang dan kondisi perkotaan tidak berhenti pada tataran perencanaan dengan menerbitkan UUPR No 26 tahun 2007, namun telah melangkah lebih maju pada tataran implementasi rencana. Program ini merupakan insentif program guna mendorong peran Pemerintah Daerah dalam mewujudkan aksi dan langkah nyatanya menuju terwujudnya Kota Hijau yang layak huni dan berkelanjutan di seluruh Indonesia. Prakarsa ini akan ditindak lanjuti dengan Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) yang tahap pertamanya akan dimulai tahun 2012-2014 mendatang. Fokus dari RAKH ini dibatasi pada 3 atribut yaitu:

1. green planning and design (menyiapkan rencana dan desain yang sensitif terhadap agenda hijau)

2. green open space (perwujudan RTH kota minimal 30% dari luas total wilayah kota/kabupaten)

3. green community (pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam pengembangan kota hijau).

Untuk mewujudkan Kota Hijau (green city) diperlukan perubahan dalam pola pikir/ mind-set warga masyarakat terhadap essensi keberlanjutan lingkungan kotanya. Perubahan ini diharapkan dapat mengarahkan pola pikir masyarakat kepada kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih ramah lingkungan. Oleh karenanya maka program ini memerlukan dukungan dari pemangku kepentingan secara aktif dan konsisten. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan ini akan sangat berperan dalam mempercepat pencapaiannya. Untuk dapat berperan aktif, maka terlebih dahulu masyarakat harus mempunyai pemahaman yang benar akan manfaat ekologi dan nilai ekonomi dari keberadaan RTH kota. Berbagai program dan penyuluhan kepada masyarakat harus dilakukan secara berkala dan berkesinambungan agar pemahaman masyarakat semakin baik dari waktu ke waktu. Untuk mendukung tujuan tersebut maka analisis manfaat ekologi dan nilai ekonomi RTH dengan aplikasi CITYGreen dipilih sebagai alat bantu yang diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat tentang nilai jasa lingkungan/layanan terukur ekosistem alami kota; Hasil analisis CITYGreen yang disajikan dalam bentuk peta sederhana beserta nilai nominal manfaat RTH kota diharapkan dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya RTH kota, sehingga mau terlibat dan berperan dalam upaya mempertahankan dan mengelola RTH kota, untuk mendukung terwujudnya upaya pemerintah dalam pembangunan Kota Hijau.

14

Gambar Amanat Undang-undang Penataan Ruang

Dasar Hukum Perwujudan Kota Hijau :

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (pasal 29)

30% dari wilayah kota berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH), 20% RTH Publik dan 10% RTH Privat.

UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Pasal 14 ayat 4) Persyaratan keseimbangan

UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Perubahan Iklim)

PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Pasal 36) Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK (penurunan emisi)

•kondisi bahwa masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman termasuk bencana

Aman

•masyarakat menjalankan peran sosial dan ekonomi dalam

suasana tenang dan damai, dengan kualitas hidup yang semakin baik

Nyaman

•proses produksi dan distribusi berjalan efisiensi sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing

Produktif

•kondisi kualitas lingkungan binaan dan alami dapat harmonis bahkan dapat ditingkatkan bersama kualitasnya

Berkelanjutan

Amanat UU 26/2007 tentang Penataan Ruang

RUANG

Mewujudkan kota-kota yang berkelanjutan

Dokumen terkait