• Tidak ada hasil yang ditemukan

System design of green open space for green city

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "System design of green open space for green city"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANG BANGUN SISTEM PENGELOLAAN

RUANG TERBUKA HIJAU

UNTUK PEMBANGUNAN KOTA HIJAU

OLEH:

INDUNG SITTI FATIMAH

P062050131

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Sistem Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau untuk Pembangunan Kota Hijau adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Indung Sitti Fatimah NIM. P062050131

(3)

ABSTRACT

Indung S Fatimah. System Design of Green Open Space for Green City. Under supervision of NAIK SINUKABAN as a chairman, ARIS MUNANDAR and KHOLIL each as members.

Greenery open space is a fundamental part of urban development and management in sustaining the quality of urban environment and the welfare of urban dwellers. A high rate of population growth and limited land owned causing the growth of physical development in the city is done by converting such green open space, agricultural land, forest and other open space for urban development purposes. This study is intended to analyze total value of greenery open space ecological benefits of Bogor City, and provide possible recommendations in order to increase the capacity of its urban ecosystem. This analytical framework is applied to Bogor City considering its peculiarities of greenery open space existence and architectures. The research was conducted by spatial approach through CITYGreen 5.4 software to determine the ecological benefits of greenery open space, based on the trees canopy cover and non trees canopy cover to predict the economic value. CityGreen is a software tool developed by American Forest that helps people understand the value of trees to the local environment. The result showed that CITYGreen 5.4 software can be used to conduct complex analysis of ecosystem services and create easy to understand reports.The software calculate dollar benefits for the services provided by the trees and other greenery open space in absorbed such harmfull pollutants, carbon storage and sequestration, and reducing storm water volumes as natural flood control. The capacity of ecological benefit can still be improved to provide greater benefits in various ways. This software will be very beneficial for city planners in evaluate site plan, and model development scenario that capture the benefits of trees.

Key words: CITYGreen®5.4, ecological benefit, greenery open space.

(4)

INDUNG SITTI FATIMAH.

Under supervision of NAIK SINUKABAN as a chairman, ARIS MUNANDAR and KHOLIL each as members.

Greenery open space is a fundamental part of urban development and management in sustaining the quality of urban environment and the welfare of urban dwellers. A high rate of population growth and limited land owned causing the growth of physical development in the city is done by converting such green open space, agricultural land, forest and other open space for urban development purposes. This study is intended to analyze total value of greenery open space ecological benefits of Bogor City, and provide possible recommendations in order to increase the capacity of its urban ecosystem. This analytical framework is applied to Bogor City considering its peculiarities of greenery open space existence and architectures. The research was conducted by spatial approach through CITYGreen 5.0 software to determine the ecological benefits of greenery open space, based on the trees canopy cover and non trees canopy cover to predict the economic value. CityGreen is a software tool developed by American Forest that helps people understand the value of trees to the local environment. The result showed that CITYGreen 5.0 software can be used to conduct complex analysis of ecosystem services and create easy to understand reports.The software calculate dollar benefits for the services provided by the trees and other greenery open space in absorbed such harmfull pollutants, carbon storage and sequestration, and reducing storm water volumes as natural flood control. The capacity of ecological benefit can still be improved to provide greater benefits in various ways. This software will be very beneficial for city planners in evaluate site plan, and model development scenario that capture the benefits of trees.

(5)

RINGKASAN

INDUNG SITTI FATIMAH. Rancang Bangun Sistem Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau untuk Pembangunan Kota Hijau. Di bawah bimbingan NAIK SINUKABAN, ARIS MUNANDAR, dan KHOLIL.

Kota merupakan suatu ekosistem yang terbentuk oleh beragam jenis penutupan lahan, vegetasi dan berbagai type penggunaan lahan dari suatu bentangan lanskap yang sangat kompleks (Foresman et al, 1997). Salah satu komponen penting dari ekosistem kota yang kompleks adalah ruang terbuka hijau (RTH), yang secara signifikan memberikan kontribusi ekologis dalam kehidupan ekonomi dan sosial-budaya (Bradley, 1995; Shafer, 1999; Lutz and Bastian, 2002); RTH merupakan salah satu bagian utama dari pembangunan dan pengelolaan ruang-ruang kota dalam upaya mengendalikan kapasitas dan kualitas ekosistem kotanya dan juga untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Fungsi ekosistem RTH ini memberikan manfaat langsung maupun tak langsung pada manusia (Costanza et al., 1997). Adanya jasa ekosistem membawa dampak substansial terhadap kualitas kehidupan di kawasan perkotaan, sehingga upaya untuk merealisasikannya dalam rencana tata ruang kota penting dilakukan (Bolund and Hunhammar, 1999); potensi jasa ekosistem RTH kota sangat bermanfaat untuk kesehatan publik dan memperbaiki kehidupan kota (Thompson, 2002). Upaya perbaikan RTH menawarkan kepuasan fisik, estetika, dan psikologis warga kota (Jim dan Chen, 2003). Keberadaan RTH dapat meningkatkan nilai property. Mc Alaney (1993) menyatakan bahwa nilai jual property pada kawasan pemukiman yang dikelilingi pepohonan lebih tinggi 5-15% daripada kawasan yang minim pepohonan. Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Bogor tidak luput dari masalah tersebut. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan keterbatasan lahan yang ada menyebabkan pertumbuhan pembangunan fisik Kota Bogor dilakukan dengan mengorbankan keberadaan lahan pertanian, hutan dan ruang terbuka lainnya untuk dikonversi menjadi lahan terbangun, laju alih fungsi lahan meningkat pesat, dan mereduksi luasan ruang terbuka hijau (RTH) kota. Dalam kurun waktu 1998-2005 proporsi RTH per penduduk menurun tajam, dari 72,57m2/jiwa menjadi 27,57m2/jiwa. (Nurisjah, 2005). Pengaruh perubahan

tutupan lahan kota, termasuk menurunnya luasan RTH kota menyebabkan terjadinya gangguan terhadap siklus hidroorologis kota, serta menurunnya kualitas ekosistem kota, yaitu berkurangnya kawasan resapan air, meningkatnya potensi banjir, bahaya erosi dan longsor (Soepangkat, 2001), semakin memburuknya kualitas udara kota oleh tingginya konsentrasi polutan (Sutanto, 2009) dan emisi gas rumah kaca yang semakin meningkat, yang merupakan pemicu global warming.

(6)

lahan lain dengan kegiatan ekonomi yang jelas dan langsung dapat dinikmati nilai pasarnya, untuk mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan, harus diupayakan cara untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH kota. Oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian yang mengkaji nilai RTH kota secara ekonomis agar dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pencegahan alih fungsi lahan.

Tujuan penelitian ini adalah merancang bangun sistem pengelolaan RTH kota yang berkelanjutan. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: Menganalisis pengaruh perubahan tutupan lahan kota, termasuk penurunan RTH kota, dan dampaknya terhadap banjir, emisi karbon dan konsentrasi polutan udara kota. Mengkaji luasan RTH eksisting, dan pengaruhnya untuk mereduksi limpasan permukaan, menjerap polutan, serta menyimpan dan menjerap Carbon. Membuat prediksi ketercukupan luas RTH kota dengan fasilitas tree growth modelling yang ada dalam program CITYGreen 5.4.

Menyusun rancang bangun kebijakan strategis untuk meningkatkan RTH kota, dan merancang bangun sistem pengelolaan RTH Kota yang berkelanjutan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan penggabungan dua metodologi yaitu metodologi Sistem keras (Hard system methodology) dan metodologi sistem lunak (Soft System Methodology). Metodologi ini merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk topik yang diteliti, yang dicirikan dengan kompleksitas masalah yang tak terstruktur, namun saling terkait, serta bertemunya kepentingan multisektor, multiaktor, dan multidisiplin. Secara khusus, metodologi ini menggunakan dua alat utama, yaitu CITYGreen software dan ISM (Interpretative Structural Modelling). Penggunaan metodologi ini menggunakan media pembangkit FGD (Focus Group Discussion) dengan diskusi pakar/para ahli di bidangnya. Untuk mendukung hasil, analisis situasional studi kasus didalami dengan observasi lapangan, Penelitian lapang dilaksanakan di Kota Bogor sebagai studi kasus.

Temuan dari penelitian ini adalah bahwa perubahan tutupan lahan kota yang cenderung didominasi permukaan kedap air, dan menurunkan tutupan lahan bervegetasi (RTH) berpengaruh nyata terhadap penurunan kapasitas tanah menahan air limpasan yang berpotensi meningkatkan kejadian banjir, selain itu berkurangnya tutupan lahan dengan vegetasi/pohon (RTH) kota telah menurunkan kapasitas ekosistem kota dalam mengatasi semakin memburuknya Kualitas udara kota karena polutan dan pesatnya laju peningkatan emisi CO2

sebagai salah satu gas rumah kaca penyebab global warming. Masyarakat merupakan pihak obyek penderita yang menanggung semua akibat dari memburuknya Kualitas ekosistem kota, namun fenomena alih fungsi lahan alami ke kawasan terbangun terus terjadi dan sulit untuk diatasi.

Salah satu penyebab lemahnya posisi keberadaan RTH dibandingkan dengan peruntukan lain di kota adalah karena dalam upaya untuk meningkatkan jumlah RTH kota, perencana selalu dihadapkan pada lemahnya argument yang dapat menjelaskan manfaat keberadaan RTH kota tersebut, terutama jika ditinjau dari nilai ekonominya (Cranz, 1983; Harnick, 2000). Kondisi ini membuat penelitian tentang valuasi jasa ekosistem RTH menjadi sebuah kajian yang semakin menarik untuk dilakukan. US Forest, sebuah organisasi non profit mempelopori pendekatan cost-benefit analysis valuasi jasa ekosistem ini dengan mengembangkan sebuah program analisis berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk menghitung nilai/ manfaat ekonomi hutan kota dan fitur alami kota dengan program aplikasi CityGreen, yang bermanfaat dalam pendugaan manfaat kanopi pohon dari suatu ekosistem alami dan hutan kota. Program

(7)

publik tentang

hutan kota, terutama pohon. Kajian aplikasi perangkat lunak ini mempunyai kemampuan analisis valuasi jasa ekosistem untuk 5 manfaat utama, yaitu: kemampuan reduksi limpasan permukaan, potensi daya rosot karbon, potensi penjerab polutan, potensi penghematan energi, landcover breakdown dan tree

growth modelling, dengan hasil luaran analisis berupa peta dan angka-angka manfaat ekonomi dan ekologi yang mudah difahami. Dalam penelitian ini dibatasi untuk 3 kajian yaitu analisis aliran permukaan, analisis potensi penjeraban karbon dan potensi reduksi polutan.

Dengan mengacu pada hasil analisis CITYGreen diperoleh kesimpulan bahwa kuantitas dan Kualitas dari RTH sangat menentukan kapasitasnya dalam memberikan manfaat ekologi, Sehingga peningkatan kuantitas dan Kualitas merupakan elemen kunci dari tercapainya tujuan program pengelolaan RTH berkelanjutan. Dari analisis ISM diperoleh hasil bahwa kendala utama adalah belum tersedianya rencana rinci/detail tata ruang/zonasi, lemahnya koordinasi antar instansi terkait, dan belum dipahaminya nilai ekonomi RTH kota. Perubahan yang diharapkan adalah menurunnya laju alih fungsi lahan alami menjadi kawasan terbangun. Skenario terbaik pengelolaan RTH dengan

replanting/ penanaman kembali lahan-lahan RTH yang didominasi pohon tua dengan pohon-pohon muda yang berumur panjang dan berdaya rosot tinggi terhadap polutan. Alokasi RTH potensial adalah pada lokasi dengan lalu lintas berkepadatan tinggi, dan di sekitar kawasan industri. Pengelolaan dengan pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaan merupakan kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan RTH.

Kata kunci: tutupan lahan kota, citygreen, ism

(8)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan

pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB

(9)

RANCANG BANGUN SISTEM PENGELOLAAN

RUANG TERBUKA HIJAU

UNTUK PEMBANGUNAN KOTA HIJAU

INDUNG SITTI FATIMAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Judul Disertasi : Rancang Bangun Sistem Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau untuk Pembangunan Kota Hijau

Nama : Indung Sitti Fatimah

Nomor Pokok : P062050131

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. Dr. Ir. Kholil, M.Kom. Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor,

Prof. Dr .Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.

(11)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc 2. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS.

(12)

atas segala karunia dan rahmatNya, sehingga penyusunan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul Disertasi dalam penelitian ini adalah “Rancang Bangun Sistem Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau untuk Pembangunan Kota Hijau”. Penyusunan disertasi ini penulis lakukan dalam rangka menyelesaikan studi program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati ingin mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada Prof Dr Ir Naik Sinukaban, MSc (selaku Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr Ir Aris Munandar, MS serta Dr Ir Kholil, M Kom (selaku anggota komisi pembimbing) yang telah banyak memberikan arahan, serta dengan sabar membimbing, selama penyusunan karya ilmiah ini. Kepada Prof Dr Ir Surjono H Sutjahjo, MS (mantan Ketua PS PSL), dan Dr Ir Dahrul Sjah, selaku Dekan SPs IPB atas dukungan dan dorongan motivasi dalam rangka penyelesaian studi. Segenap staf pengajar program S3 PS Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas ilmu yang telah diberikan. DP2M Dikti, Kemdiknas atas perolehan Dana Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional tahun 2009, yang telah sangat mendukung terlaksananya tahap persiapan software dan citra serta komponen analisis sehingga pelaksanaan pra penelitian dapat penulis lakukan dengan lebih lancar. Terima kasih disampaikan juga kepada rekan-rekan PSL IPB angkatan 2005 atas kebersamaan dan motivasi untuk keberhasilan bersama.

Ucapan terimakasih yang setulusnya penulis sampaikan kepada ibunda Hj Siti Maryatun, yang senantiasa setia dengan segala do’a dan kasih sayangnya. Juga kepada suami tercinta Dr Bambang Sulistyantara, M.Agr. dan ketiga buah hatiku, Indira, Erlinda, dan Ajie atas pengertian dan dukungan semangat, kasih sayang dan do’a tulusnya. Mudah-mudahan Allah SWT membalas segala budi baik ibu dan bapak semuanya. Amien. Dengan segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang ada, penulis berharap semoga karya ilmiah Disertasi ini berguna dan memberikan manfaat bagi masyarakat, agama, bangsa, dan Negara, khususnya dalam mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan.

Bogor, Februari 2012

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 11 November 1961, sebagai anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan, Ayah H Djamaluddin, SH (almarhum) dan ibunda Hj. Siti Maryatun. Penulis menikah dengan Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr. pada tahun 1986 dan dikaruniani tiga anak yaitu Indira Emmelina Ernestine, Erlinda Faradilla, dan Muhammad Farizqi Sulitsyoaji.

Penulis memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Teknik, pada Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 1986, dan Magister Sains Pengelolaan DAS, dari Sekolah Pasca Sarjana IPB pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi jenjang S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS PSL), Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB), Bogor. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar (dosen) pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, sejak tahun 1990 hingga sekarang.

(14)

INDUNG SITTI FATIMAH.

Rancang Bangun Sistem Pengelolaan Ruang Terbuka

Hijau untuk Pembangunan Kota Hijau. Di bawah bimbingan NAIK SINUKABAN,

ARIS MUNANDAR, dan KHOLIL.

Kota merupakan suatu ekosistem yang terbentuk oleh beragam jenis penutupan lahan, vegetasi dan berbagai type penggunaan lahan dari suatu bentangan lanskap yang sangat kompleks (Foresman et al, 1997). Salah satu jenis penutupan lahan kota adalah ruang terbuka hijau (RTH), yang merupakan bagian utama dari pembangunan dan pengelolaan ruang-ruang kota, dan berfungsi memberikan jasa ekosistem berupa manfaat langsung maupun tak langsung pada manusia (Costanza et al., 1997). Adanya jasa ekosistem RTH kota memberikan kontribusi positif dan substansial terhadap upaya perbaikan kualitas kehidupan di kawasan perkotaan, merealisasikan keberadaannya dalam rencana tata ruang kota penting untuk dilakukan (Bolund and Hunhammar, 1999).

Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Bogor dihadapkan pada laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan keterbatasan lahan kota, sehingga pertumbuhan pembangunan fisik Kota Bogor dilakukan dengan mengorbankan keberadaan lahan pertanian, hutan dan ruang terbuka lainnya untuk dikonversi menjadi lahan terbangun. Laju alih fungsi lahan meningkat pesat, dan mereduksi luasan RTH kota. Dalam kurun waktu 1998-2005 proporsi RTH per penduduk menurun tajam, dari 72,57m2/jiwa menjadi 27,57m2/jiwa. (Nurisjah, 2005). Pengaruh perubahan tutupan lahan kota, termasuk menurunnya luasan RTH kota menyebabkan terjadinya degradasi kualitas ekosistem, gangguan terhadap siklus hidroorologis kota, berupa berkurangnya kawasan resapan air, meningkatnya potensi banjir, bahaya erosi dan longsor, semakin memburuknya kualitas udara kota oleh tingginya konsentrasi polutan dan emisi gas rumah kaca yang semakin meningkat, yang merupakan pemicu global warming. Berbagai dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan serta penambahan sarana kota yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan, telah menimbulkan biaya-biaya privat dan sosial yang tinggi. (Anwar 1994; Inoguchi et al. 1999 disitasi Nurisjah (2005).

Tujuan penelitian ini adalah merancang bangun sistem pengelolaan RTH kota untuk pembangunan Kota Hijau. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: menganalisis pengaruh perubahan tutupan lahan kota, termasuk penurunan RTH kota, dan dampaknya terhadap banjir, emisi karbon dan konsentrasi polutan udara kota, mengkaji luasan RTH eksisting, dan pengaruhnya untuk mereduksi limpasan permukaan, menjerap polutan, serta menyimpan dan menjerap Carbon, membuat prediksi ketercukupan luas RTH kota dengan fasilitas tree growth modelling yang ada dalam program CITYGreen 5.0. menyusun kebijakan strategis untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH kota, serta merancang bangun sistem pengelolaan RTH Kota untuk pembangunan Kota Hijau.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua metodologi yaitu

(15)

terhadap jumlah penduduknya (rata-rata ketersediaan RTH yang cukup tinggi dengan interval 15,57 m2/jiwa di Kecamatan Bogor Tengah hingga 115,05 m2/jiwa di Kecamatan

Bogor Selatan).

Salah satu penyebab lemahnya posisi keberadaan RTH dibandingkan dengan peruntukan lain di kota adalah karena dalam upaya untuk meningkatkan jumlah RTH kota, perencana selalu dihadapkan pada lemahnya argument yang dapat menjelaskan manfaat keberadaan RTH kota tersebut, terutama jika ditinjau dari nilai ekonominya (Cranz, 1983; Harnick, 2000). Kondisi ini membuat penelitian tentang valuasi jasa ekosistem RTH menjadi sebuah kajian yang semakin mendesak untuk dilakukan. Valuasi jasa ekosistem berbasis Sistem Informasi Geografi untuk menghitung nilai/ manfaat ekonomi hutan kota dan fitur alami kota dengan program aplikasi CityGreen, bermanfaat dalam pendugaan manfaat kanopi pohon dari suatu ekosistem alami dan hutan kota. Program CityGreen ini dipromosikan sebagai tools yang dapat mempengaruhi kebijakan publik tentang hutan kota, terutama pohon. Dalam penelitian ini dibatasi untuk 3 jasa ekosistem, yaitu manfaat RTH mereduksi limpasan permukaan, penjeraban karbon dan mereduksi polutan.

Temuan dari penelitian ini adalah bahwa perubahan tutupan lahan Kota Bogor dengan kecenderungan dominasi permukaan lahan terbangun, dan menurunnya tutupan lahan bervegetasi (RTH) berpengaruh nyata terhadap penurunan kapasitas tanah menahan air limpasan, dan berpotensi meningkatkan kejadian banjir. Selain itu berkurangnya tutupan lahan RTH kota telah menurunkan kapasitas ekosistem kota dalam mengatasi semakin memburuknya kualitas udara kota karena polutan dan pesatnya laju peningkatan emisi CO2 sebagai salah satu gas rumah kaca penyebab

global warming. Hasil analisis menunjukkan telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang signifikan pada periode tahun 1972-2011. Perubahan terbesar terjadi pada penambahan luas lahan terbangun, dari 14% (1972) meningkat hingga 44% (2011), dan menurunnya lahan alami, sehingga keberadaan RTH kota termarjinalisasi, dari 31% (1972) menjadi 14% (2011). Hasil analisis regresi linier menghasilkan model y= 865,2220-1,1238 X; dengan koefisien korelasi R=0,9746 dan koefisien determinansi R2=93,99%. Model ini dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan kawasan terbangun berpengaruh nyata menurunkan RTH kota, setiap penambahan 10 ha luasan lahan terbangun akan menurunkan ketersediaan RTH sebesar 11,238 ha. Apabila pembangunan terus berjalan tanpa adanya intervensi kebijakan maka ketersediaan RTH akan semakin termarjinalisasi dari tahun ke tahun. Aspek luasan RTH sangat penting diperhatikan karena terkait dengan kapasitasnya dalam memberikan manfaat ekologis yang akan dihasilkan bagi perbaikan Kualitas kota.

Hasil analisis juga menunjukkan adanya korelasi antara penurunan luasan RTH kota terhadap kualitas ekologi (limpasan permukaan, rosot karbon dan penjerapan polutan). Luasan RTH yang semakin menurun dalam periode 1972-2011 berkorelasi terhadap penurunan manfaat ekologis dan nilai manfaat ekonomi RTH. Hasil analisis CITYGreen dapat memberikan gambaran tentang manfaat ekonomi RTH kota. Jika pertimbangan RTH kota bernilai ekonomis ini dapat dipahami dengan lebih baik, diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dalam menekan laju alih fungsi lahan. Untuk terwujudnya pembangunan Kota Hijau, peningkatan kuantitas dan kualitas RTH Kota merupakan elemen kunci yang sangat penting dalam pengelolaan RTH Kota. Hasil analisis CITYGreen, kondisi RTH Kota Bogor (dengan dominasi pohon) sebesar 17% (tahun 2006), harus dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya.

(16)

dalam kapasitasnya menjerap polutan. Hasil analisis potensi RTH eksisting tahun 2006 dalam menjerap polutan masih menyisakan polutan NOx sebesar 37,790 ton/tahun dan 29,402 ton/tahun PM10 terutama polutan Pb.

Dengan mengacu pada hasil analisis CITYGreen diperoleh kesimpulan bahwa kuantitas dan kualitas RTH sangat menentukan kapasitasnya dalam memberikan manfaat ekologi, sehingga peningkatan kuantitas dan kualitas merupakan elemen kunci dari tercapainya tujuan program pengelolaan RTH Kota Hijau. Dari analisis ISM diperoleh hasil bahwa kendala utama adalah belum tersedianya rencana rinci/detail tata ruang/zonasi, lemahnya koordinasi antar instansi terkait, dan belum dipahaminya nilai ekonomi RTH kota. Perubahan yang diharapkan adalah menurunnya laju alih fungsi lahan alami menjadi kawasan terbangun. Pelibatan peran serta masyarakat merupakan kunci terwujudnya Kota Hijau, oleh karenanya perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat akan manfaat ekonomi dan ekologi RTH kota untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengadaan dan pengelolaan RTH kota.

Pengelolaan dengan pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaan merupakan kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan RTH. Model kelembagaan yang melibatkan peran serta stakeholders dari kalangan akademisi/academicus (A), pelaku bisnis/bussiness (B), pemerintah/ government (G) dan masyarakat/community (C) merupakan model yang disarankan untuk diterapkan dalam pengelolaan RTH kota menuju Kota Hijau. Skenario terbaik pengelolaan RTH dijabarkan dalam rumusan kebijakan strategis yang meliputi 4 hal, yaitu: 1) mempertahankan kondisi RTH eksisting dengan law enforcement dan reward and punishment, 2) meningkatkan RTH baru sesuai konsep Kota Hijau dengan dukungan kebijakan pemerintah (green policy dan green budgeting), 3) pemberdayaan peran serta masyarakat dalam pengawasan, pemberlakuan insentif-disinsentif bagi masyarakat dan 4) percepatan peningkatan RTH dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong pada area perumahan, memperbanyak RTH sempadan sungai, sempadan Situ, SUTET, sempadan rel kereta api dan RTH penyangga kota (sabuk hijau/green belt) dan replanting/ penanaman kembali lahan-lahan RTH yang didominasi pohon tua dengan pohon-pohon muda yang berumur panjang dan berdaya rosot tinggi terhadap polutan.

Alokasi RTH potensial dengan mempertimbangkan potensi RTH dalam menurunkan konsentrasi carbon ambient, dan mengendalikan pencemaran udara akan lebih efektif diaplikasikan dengan membuat jalur hijau sebagai screen antar zona kegiatan, misalnya perdagangan dan jasa terhadap pemukiman, sekolah dan perkantoran. Prioritas sabuk hijau pada lokasi batas tepi kota, sebagai buffer terhadap jalan raya dengan lalu lintas berkepadatan tinggi, juga di sekitar kawasan industri, serta pusat perdagangan dan jasa dengan introduksi bentuk RTH green roof/taman atap. Dalam pengembangan ke depan maka alokasi RTH potensial diutamakan agar dapat menjadi penyangga (buffer) pada tempat-tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi, pusat-pusat kegiatan masyarakat (sekolah, kantor, pemukiman), pada daerah dengan resapan air minimal, vegetasi jarang dan jalur padat lalu lintas, dengan distribusi merata antar wilayah kecamatan, dengan memperhatikan rasio terhadap jumlah penduduknya.

(17)

x

DAFTAR ISI

PRAKATA ... viii

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Kerangka Pemikiran ... 7

1.6.Kebaruan (Novelty) ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Kota Hijau ... 11

2.2. Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan ... 15

2.3. Manfaat Ekologi RTH pada Kawasan Perkotaan ... 19

2.4. Pengelolaan dan Kelembagaan Ruang Terbuka Hijau ... 24

2.5. Imbal Jasa Lingkungan dan Pendugaan Nilai Lingkungan RTH Kota ………. 25

2.6. Penilaian Manfaat RTH Kota ... 29

2.7. Analisis Kebijakan ... 35

2.8. Pendekatan Sistem dan Soft System Methodology ... 40

2.9. Teknik Pemodelan Interpretasi Struktural (ISM) ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47

3.2 Bahan dan alat penelitian ... 47

3.3 Jenis dan sumber data ... 48

3.4 Tahapan Penelitian ... 48

(18)

xi

3.6. Hard System Methodology (Analisis CITYgreen) ... 55

3.7. Soft System Methodology (ISM) ... 60

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 63

4.1 Kondisi Geografis dan Sumberdaya Alam ... 63

4.2. Kependudukan dan Sosial Ekonomi Masyarakat ... 68

4.3. Dinamika Penggunaan Lahan ... 70

4.4. Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor ... 72

4.5. Penilaian dan Preferensi Masyarakat terhadap RTH Kota ... 77

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 79

5.1. Analisis Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan ... 79

5.2. Analisis Perubahan Penggunaan lahan ... 80

5.2.1 Pengaruh Perubahan Luasan RTH terhadap Potensi Banjir Kota Bogor ... 86

5.2.2 Pengaruh Perubahan Luasan RTH terhadap Penjerapan Carbon ... 91

5.2.3 Pengaruh Perubahan Luas RTH terhadap Penjerapan Polutan ... 94

5.5. Proyeksi kebutuhan RTH kota Bogor ... 101

5.6 Validasi Model Penggunaan Ekstensi CITYgreen ... 107

5.7. Skenario Pengembangan RTH Kota ... 113

5.8. Hasil simulasi scenario RTH ... 116

5.9. Struktur Sistem Pengelolaan RTH Kota ... 129

5.10. Rumusan kebijakan strategis pengelolaan RTH kota ... 141

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 146

6.1. Simpulan ... 146

6.2. Saran ... 147

DAFTAR PUSTAKA ... 148

(19)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Berpikir Sistem Pengelolaan RTH Kota Hijau ... 10

Gambar 2a Amanat Undang-undang Penataan Ruang ... 14

Gambar 2b. Pembagian Ruang Wilayah Kota ... 17

Gambar 3. Perubahan Kapasitas Resapan Tanah sebagai Akibat Perubahan Tutupan Lahan Alami menjadi Kawasan Terbangun... 20

Gambar 4. Peningkatan Debit Akibat Perubahan Tata Guna Lahan ... 21

Gambar 5. Sifat Alamiah aliran permukaan... 21

Gambar 6. Posisi Lapisan Gas Rumah Kaca ... 23

Gambar 6. Struktur dan Jenis-jenis Analisis dengan Metode GIS CITYgreen . 32 Gambar 8. Tiga Elemen Sistem Kebijakan... 39

Gambar 9. Matriks Driver Power- Dependence ... 44

Gambar 10. Diagram Teknik ISM ... 43

Gambar 11. Lokasi Penelitian ... 49

Gambar 12. Tahapan Rancang Bangun Model Pengelolaan RTH Kota Hijau . 58 Gambar 13. Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan Kota terhadap Suhu Permukaan Tahun 1997 ... 70

Gambar 14. Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan Kota terhadap Suhu Permukaan Tahun 2006 ... 70

Gambar 15. Grafik Perubahan Penutupan Lahan Kota Bogor 1972-2011 ... 79

Gambar 16. Regresi Linier Perubahan lahan Perkotaan terhadap Kanopi Pohon ... 81

Gambar 17. Proses Fotosintesis ... 96

Gambar 18. Perbandingan kondisi RTH eksisting ... 119

Gambar 19 Hasil Simulasi nilai Carbon tersimpan dan Serapan Carbon ... 125

Gambar 20. Simulasi Nilai Potensi penjerapan polutan pada berbagai scenario proporsi tutupan lahan ... 127

Gambar 21. Model Umum Pengelolaan RTH Kota ... 130

Gambar 22. Hubungan Keterkaitan Parameter RTH Kota Hijau ... 130

Gambar 23. Struktur Hirarki Elemen Tujuan Program ... 131

Gambar 24. Matriks DP-D Tujuan Program ... 131

Gambar 25. Matriks DP-P Elemen Lembaga yang Terlibat ... 134

Gambar 26. Struktur Hirarki Elemen Lembaga yang Terlibat ... 135

(20)
(21)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota merupakan suatu ekosistem yang terbentuk oleh beragam jenis penutupan lahan, vegetasi dan berbagai type penggunaan lahan dari suatu bentangan lanskap yang sangat kompleks (Foresman et al., 1997); salah satunya adalah ruang terbuka hijau (RTH), yang memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung (Costanza, et al., 1997). Pembangunan kota yang pesat dengan kecenderungan membangun secara horizontal seringkali dihadapkan pada kondisi keterbatasan lahan, sesaat memang dapat mengatasi tuntutan kebutuhan pengguna kota, namun di lain pihak juga menimbulkan berbagai dampak yang kompleks (dari segi fisik, sosial maupun ekonomi), saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Disamping itu, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat seringkali tidak diimbangi oleh kesiapan pemerintah kota dalam penataan ruang kota yang konsisten terhadap rencana tata ruang kotanya. Dan konversi lahan alami sering menjadi pilihan untuk dapat terpenuhinya kebutuhan ruang.

(22)

banjir di berbagai kota, karena pada umumnya 30% permukaan lahan kota terbuat dari bahan kedap air.

Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Bogor tidak luput dari masalah tersebut. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan keterbatasan lahan yang ada menyebabkan pertumbuhan pembangunan fisik Kota Bogor dilakukan dengan mengorbankan keberadaan lahan pertanian, hutan dan ruang terbuka lainnya untuk dikonversi menjadi lahan terbangun, laju alih fungsi lahan meningkat pesat, dan mereduksi luasan ruang terbuka hijau (RTH) kota. Dalam kurun waktu 1998-2005 proporsi RTH per penduduk menurun tajam, dari 72,57m2/jiwa menjadi 27,57m2/jiwa (Nurisjah, 2005).

Pengaruh perubahan tutupan lahan kota, termasuk menurunnya luasan RTH kota, dari sisi ekologi dapat berakibat menurunnya kualitas ekosistem kota, terjadinya gangguan terhadap siklus hidroorologis kota, diantaranya berkurangnya kawasan resapan air, meningkatnya potensi banjir, bahaya erosi dan longsor (Soepangkat, 2001), semakin memburuknya kualitas udara kota oleh tingginya konsentrasi polutan (Sutanto, 2009); emisi gas rumah kaca yang semakin meningkat, yang merupakan pemicu global warming, dan kebisingan yang menurunkan tingkat kenyamanan warga kota. Disamping itu, dari sisi ekonomi dan sosial, kondisi tersebut berdampak negatif terhadap produktivitas masyarakat, akibat stress yang berkepanjangan. Penurunan luasan RTH Kota Bogor juga telah mengakibatkan memburuknya kualitas udara kota yang sangat serius. Salah satu indikator memburuknya kualitas udara dapat dipantau melalui rendahnya pH air hujan dan frekuensi kejadian hujan asam. Rata-rata pH air hujan yang cenderung menurun dari tahun 1991 sampai 2007 mengindikasikan memburuknya kualitas udara kota Bogor. Hujan asam dengan pH < 5 terjadi di sebelah utara Kebun Raya Bogor, memanjang dari terminal Bubulak, Warung Jambu, hingga Sentul (Sutanto, 2009). Disamping itu, berbagai dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan serta penambahan sarana kota yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan, telah menimbulkan biaya-biaya privat dan sosial yang tinggi. (Anwar 1994; Inoguchi et al. 1999 yang disitasi oleh Nurisjah 2005).

(23)

3

mempertahankan keberadaannya di tengah pertumbuhan kota-kota. Pohon dalam RTH mempunyai nilai ekonomi yang dapat dihitung sebagai jasa ekosistem, namun jasa ekosistem RTH selalu dinilai terlalu rendah (under value) karena RTH merupakan barang publik (public good) yang selama ini dianggap tidak punya nilai pasar.

Beberapa penelitian terdahulu membuktikan potensi RTH, salah satunya adalah dalam mengatasi permasalahan limpasan air hujan. Bagian permukaan tanah yang ditutupi oleh vegetasi mempunyai kapasitas infiltrasi yang lebih besar dibandingkan dengan jenis penutup permukaan tanah lainnya, sehingga RTH dapat berfungsi sebagai daerah resapan air, dengan kapasitas yang dipengaruhi oleh sifat dan intensitas hujan, jenis penutup permukaan tanah dan pengelolaannya. Dalam ekosistem kota, air merupakan komponen yang dinamik, sehingga konservasi air relatif sulit dilakukan; namun konservasi air dapat dilakukan melalui cara-cara yang dapat mengendalikan evaporasi, transpirasi dan aliran permukaan; salah satunya adalah dengan menambah luasan kawasan bervegetasi, diantaranya hutan kota, taman kota atau RTH kota (Arsjad, 1989).

(24)

More et al. (1988) dalam Nurisjah (2005) menyatakan bahwa salah satu penyebab diabaikannya keberadaan RTH di perkotaan adalah karena ketidak mampuan perencana kota dalam mengartikulasikan nilai ekonomi RTH kota, dibandingkan dengan penggunaan lahan lain dengan kegiatan ekonomi yang jelas dan langsung dapat dinikmati nilai pasarnya, padahal untuk mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan, harus diupayakan cara untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH kota. Oleh karena itu diperlukan sebuah penelitian yang mengkaji nilai RTH kota secara ekonomis agar dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pencegahan alih fungsi lahan.

Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 dan Johannesberg tahun 2002 ditetapkan luas ideal RTH suatu kota sehat minimal 30% dari total luas kota. Di Indonesia standard RTH kota ditetapkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988, yaitu 40%-60% luas wilayah harus dihijaukan; sedangkan menurut Undang-undang No 26 tahun 2007 ditentukan agar setiap kota menyediakan minimal 30% luas kotanya sebagai RTH, terdiri atas RTH public 20% dan RTH privat 10%. Perencanaan tata ruang sebagaimana diamanatkan dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyebutkan bahwa pengalokasian RTH dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara fungsi sebagai kawasan budidaya dan fungsi kawasan lindung. Lemahnya komitmen pemerintah kota dalam politik tata ruang tercermin pada perkembangan kota-kota di Indonesia yang cenderung menuju pada ketidak seimbangan kedua fungsi tersebut. Dari sisi kelembagaan, pemerintah menunjukkan lemahnya kekuasaan dalam melarang ataupun menghentikan serta menindak secara hukum pelaku kegiatan pelanggaran tata ruang, termasuk lemahnya pengendalian perijinan tata ruang yang merupakan salah satu faktor penentu terjadinya laju konversi lahan alami menjadi kawasan terbangun.

(25)

5

P2KH, dengan dua strategi andalannya yaitu mitigasi dan adaptasi; dengan ketentuan bahwa urusan RTH sebagai urusan wajib pemerintah kota/daerah, dan pemerintah pusat sebagai fasilitator. Program ini ditindak lanjuti dengan Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) yang akan direalisasikan pada 60 kota di Indonesia mulai tahun 2012, termasuk Kota Bogor. Pengembangan RTH untuk mendukung terwujudnya Kota Hijau memerlukan partisipasi aktif semua aktor/pemangku kepentingan.

Dalam upaya untuk memberikan sumbangan pemikiran, arahan kebijakan, maka penelitian dinamika perubahan tutupan lahan kota dan dampaknya terhadap kualitas ekosistem kota khususnya terkait potensi RTH dalam meminimalisir potensi banjir, dan meningkatkan kualitas udara kota melalui penjerapan karbon dan polutan penting dilakukan untuk mengetahui nilai layanan terukur ekosistem kota. Hasil penelitian ini bernilai strategis, karena valuasi ekonomi RTH kota dapat memberi masukan dari sisi „green economy’. Pemahaman akan nilai ekonomi RTH kota diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat (membantu terwujudnya green community) untuk keberhasilan perwujudan Kota Hijau (green city) kota-kota di Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

(26)

Laju pembangunan kota sering melupakan bahwa penduduk kota memiliki kebutuhan untuk hidup sehat di lingkungan kotanya. Kondisi udara kota yang berkualitas, dan terjaminnya ketersediaan air bersih untuk kebutuhan hidup, serta ketersediaan ruang publik sebagai sarana berinteraksi antar warga kota merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi.

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, rumusan masalah penelitian yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan pokok penelitian adalah „Upaya strategis apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH’ agar pembangunan Bogor sebagai Kota Hijau dapat segera terwujud? Selanjutnya pertanyaan pokok tersebut diurai dalam pertanyaan lanjutan sebagai berikut: 1. Bagaimana dinamika perubahan penutupan lahan di Kota Bogor (tahun

1972-2011)? Faktor apa yang menjadi pemicu konversi lahan RTH menjadi kawasan terbangun, dan apa dampaknya terhadap ketersediaan RTH?

2. Bagaimana pengaruh penurunan luas RTH terhadap kondisi ekologis kota? Seberapa besar potensi RTH eksisting memberikan manfaat ekologis dalam menurunkan banjir? Apa pengaruh penurunan luas RTH terhadap kualitas udara kota? Seberapa besar luas RTH yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan kualitas udara kota dengan berperan sebagai penjerap polutan di udara? Dan berapa besar luas RTH untuk penjerab karbon?

3. Apakah ketersediaan RTH Kota Bogor sudah sesuai dengan arahan UU No 26 Tahun 2007? upaya strategis yang dapat diprioritaskan untuk mempercepat perwujudan 30% RTH kota? Alternatif skenario seperti apa yang dapat diusulkan untuk memaksimalkan potensi ekologis RTH kota? 4. Bagaimana kebijakan strategis pengelolaan RTH kota untuk pembangunan

Kota Hijau ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah merancang bangun sistem pengelolaan RTH kota untuk pembangunan kota hijau. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Menganalisis dinamika perubahan tutupan lahan kota, termasuk penurunan RTH kota, dan dampaknya terhadap banjir, emisi karbon, dan konsentrasi polutan udara kota.

(27)

7

Carbon. Membuat prediksi ketercukupan luas RTH kota dengan fasilitas

tree growth modelling yang ada dalam program CITYGreen 5.0.

3. Menyusun rancang bangun sistem pengelolaan RTH Kota untuk pembangunan kota hijau dan kebijakan strategis untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH kota.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan pengelolaan RTH Kota, dan penyusunan program pengelolaan RTH yang lebih baik.

2. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam perbaikan rencana detail tata ruang kota yang terperinci serta mewujudkan RTH 30% sesuai amanat UU PR No. 26 tahun 2007. 3. Sebagai acuan bagi penelitian terkait pengembangan RTH kota,

dan pengelolaannya, untuk terwujudnya pembangunan Kota Hijau.

1.5. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian mengacu pada fenomena makin pesatnya pembangunan yang meningkatkan kawasan terbangun dan menurunkan luasan RTH Kota, yang mengakibatkan berkurangnya kapasitas tanah dalam meresapkan air, dan memperbesar volume limpasan permukaan. Kondisi demikian merupakan pemicu terjadinya banjir. Meskipun telah banyak upaya dilakukan pemerintah dalam pengendalian banjir, namun belum nampak membuahkan hasil. Pengelolaan RTH merupakan salah satu upaya konservasi air, dengan manfaat mengurangi jumlah air limpasan yang masuk ke sungai, menurunkan debit sungai dan menurunkan resiko kejadian banjir. Laju penambahan kendaraan bermotor memicu kemacetan dan menurunkan kualitas udara kota, akibat tingginya emisi CO dan konsentrasi polutan di udara. Dampak dari degradasi kualitas lingkungan tersebut mempengaruhi kenyamanan dan kesejahteraan warga kota, dan menimbulkan biaya sosial yang tinggi.

(28)

vegetasi, dan jenis penutupan tanah merupakan faktor yang berpengaruh. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

Dalam upaya untuk meningkatkan jumlah RTH kota, perencana selalu dihadapkan pada lemahnya argument yang dapat menjelaskan manfaat keberadaan RTH kota tersebut, terutama jika ditinjau dari nilai ekonominya (Cranz, 1983; Harnick, 2000). Kondisi ini membuat penelitian tentang valuasi jasa ekosistem RTH menjadi sebuah kajian yang semakin menarik untuk dilakukan. US Forest, sebuah organisasi non profit mempelopori pendekatan cost-benefit analysis valuasi jasa ekosistem ini dengan mengembangkan sebuah program analisis berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk menghitung nilai/ manfaat ekonomi hutan kota dan fitur alami kota dengan program aplikasi

CityGreen, yang bermanfaat dalam pendugaan manfaat kanopi pohon dari suatu ekosistem alami dan hutan kota. Program CityGreen ini dipromosikan sebagai

tools yang dapat mempengaruhi kebijakan publik tentang hutan kota, terutama pohon. Kajian aplikasi perangkat lunak ini mempunyai kemampuan analisis valuasi jasa ekosistem untuk lima manfaat utama, yaitu: kemampuan reduksi limpasan permukaan, potensi daya rosot karbon, potensi penjerab polutan, potensi penghematan energi, landcover breakdown dan tree growth modelling, dengan hasil luaran analisis berupa peta dan angka-angka manfaat ekonomi dan ekologi yang mudah difahami. Dalam penelitian ini dibatasi untuk tiga kajian yaitu analisis aliran permukaan, analisis potensi penjeraban karbon dan potensi reduksi polutan.

(29)

9

Dengan aplikasi program CityGreen dalam penelitian ini, diharapkan permasalahan dampak ini dapat diatasi, karena kemampuan analisisnya dapat membantu dalam pendugaan kapasitas ekosistem Kota Bogor, dalam hal ini potensi RTH eksisting dalam mereduksi limpasan permukaan, penjerap karbon dan reduksi polutan, dan analisis valuasi nilai ekonomi RTH kota, dengan hasil analisis berupa peta dan angka-angka yang sederhana dan mudah dibaca oleh berbagai kalangan, yang dapat mendukung argument dalam pengendalian alih fungsi lahan.

Rancang bangun sebuah model pengelolaan RTH kota dengan pendekatan sistem sangat diperlukan untuk dapat memperbaiki strategi yang menghambat peningkatan kuantitas dan kualitas RTH kota demi terwujudnya pembangunan kota hijau. Alasan penggunaan pendekatan sistem adalah karena permasalahan yang dihadapi bersifat kompleks dan tidak mungkin dilakukan pendekatan secara parsial. Secara khusus perancangan model ini akan menggunakan pendekatan metodologi system lunak/soft system methodology

(Interpretative Structural Modelling/ISM) dan hard system methodology (aplikasi

CITYGreen). Model ini diharapkan dapat menjadi titik awal untuk penyempurnaan atau perumusan kembali kebijakan strategis agar upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH Bogor Kota Hijau dapat diwujudkan.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan dalam penelitian ini diantaranya adalah:

1. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sistem yang menggabungkan

soft system methodology dan hard system methodology untuk menyempurnakan model kebijakan pengelolaan RTH kota yang selama ini dibangun dari hasil penelitian dengan pendekatan linear dan parsial. 2. Penggunaan metodologi pendekatan sistem lunak (Soft System

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam rangka mendukung penelitian mengenai rancang bangun sistem pengelolaan ruang terbuka hijau untuk pembangunan kota hijau, ada empat area yang harus mendapatkan perhatian, yaitu: Kota Hijau; RTH dan Manfaat ekologisnya; Aplikasi GIS (CITYGreen), serta Pemodelan Kebijakan.

2.1. Kota Hijau

Kota merupakan perkembangan dari daerah permukiman yang bersifat dinamis, baik ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, kultur maupun spasialnya. Kota sebagai suatu lingkungan yang terbentuk oleh ekosistem yang kompleks, mencakup komponen bio-fisik, ekonomi dan sosial budaya, memiliki permasalahan yang kompleks; cenderung untuk berkembang dan mengalami perubahan yang mempengaruhi tata kotanya (Nurisjah, 1997). Kota bersifat dinamis. Struktur, bentuk dan wajah/penampilan kota merupakan pencerminan perkembangan peradaban warga kotanya, yang merupakan hasil penyelesaian konflik perkotaan yang selalu terjadi (Budihardjo, 1997)

Tata ruang sebagai wujud pola dan struktur ruang terbentuk secara alamiah dari proses alam, maupun sebagai hasil dari proses sosial, pembelajaran yang terus menerus, dan merupakan siklus dari pemanfaatan- monitoring-evaluasi-pengendalian-perencanaan-pemanfaatan dan seterusnya. Ekspresi dari pemanfaatan ruang pada umumnya digambarkan dalam berbagai bentuk peta, yaitu peta land use atau landcover.

Setiap kota seharusnya dapat menjadi cerminan ekspresi budaya warga kotanya, yang merupakan harmoni antara hubungan manusia dengan alam (Smith, 2009); Untuk menuju pada terwujudnya pembangunan kota yang berkelanjutan (Deni, 2009), yang bertujuan:

1. Safety/security: masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenang, tidak khawatir akan adanya gangguan oleh alam maupun manusia

2. Comfortability: tersedia kesempatan bagi masyarakat dalam mengartikulasikan nilai sosial budaya secara nyaman dan damai

(31)

12

4. Sustainability: tersedianya lingkungan kota yang berkualitas baik, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.

Kota Hijau mengandung pengertian kota yang ramah lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi, dengan menjamin kesehatan lingkungan, memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energy, mengurangi produksi limbah, dan menerapkan sistem transportasi terpadu rendah emisi. (Lubis, J, 2011). Ada delapan atribut kota hijau yang harus dipenuhi yaitu: green planning and design, green openspace, green community, green building, green waste, green transportation, green water dan green energy.

Dalam upaya merespon fenomena perubahan iklim yang sudah semakin terasa dampaknya, maka pembangunan Kota Hijau mulai dicanangkan di beberapa Negara di dunia, dengan tujuan agar masing-masing kota dapat berkontribusi dalam upaya menurunkan emisi karbon dalam rangka mitigasi dampak pemanasan global. Di Indonesia, upaya ini tengah dimulai dengan berbagai program berbasis masyarakat. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang telah menggulirkan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) sebagai upaya peningkatan kuantitas dan Kualitas RTH kawasan perkotaan secara nasional. Program ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya terpadu antara Pemerintah Pusat bersama-sama Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten guna memenuhi ketetapan UUPR No 26 tahun 2007, terutama terkait pemenuhan RTH Publik. Dalam implementasinya, program ini dimuat dalam RTRW kota/ kabupaten.

(32)

1. green planning and design (menyiapkan rencana dan desain yang sensitif terhadap agenda hijau)

2. green open space (perwujudan RTH kota minimal 30% dari luas total wilayah kota/kabupaten)

3. green community (pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam pengembangan kota hijau).

(33)
[image:33.595.57.444.65.559.2]

14

Gambar Amanat Undang-undang Penataan Ruang

Dasar Hukum Perwujudan Kota Hijau :

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (pasal 29)

30% dari wilayah kota berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH), 20% RTH Publik dan 10% RTH Privat.

UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Pasal 14 ayat 4) Persyaratan keseimbangan

UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Perubahan Iklim)

PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Pasal 36) Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK (penurunan emisi)

•kondisi bahwa masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman termasuk bencana

Aman

•masyarakat menjalankan peran sosial dan ekonomi dalam

suasana tenang dan damai, dengan kualitas hidup yang semakin baik

Nyaman

•proses produksi dan distribusi berjalan efisiensi sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing

Produktif

•kondisi kualitas lingkungan binaan dan alami dapat harmonis bahkan dapat ditingkatkan bersama kualitasnya

Berkelanjutan

Amanat UU 26/2007 tentang Penataan Ruang

RUANG

Mewujudkan kota-kota yang berkelanjutan

(34)

2.2. Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan

Pemanfaatan ruang kota dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu pemanfaatan sebagai ruang terbangun (built-up area) dan ruang terbuka. Ruang terbuka dalam berbagai macam bentuknya adalah bagian kota yang tanpa bangunan, mulai dari taman/hutan kota yang bervegetasi hingga ruang-ruang yang tidak bervegetasi seperti: hamparan areal parkir, jalur jalan, lapangan terbang, dan lain-lain. Ruang terbuka dibedakan menjadi ruang terbuka non hijau (RTNH) yang lebih dikenal dengan ruang terbuka (openspace), dan ruang terbuka hijau (RTH) kota. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada RTH kota.

Ruang Terbuka Hijau suatu kota adalah bagian kawasan/ruang perkotaan yang ditumbuhi tanaman, baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan, guna peningkatan kualitas dan kapasitas lingkungan perkotaan. Dengan demikian maka RTH kota dapat berupa ruang-ruang terbuka (openspaces) di berbagai tempat di wilayah perkotaan yang secara optimal digunakan sebagai daerah penghijauan dan berfungsi secara langsung maupun tidak langsung untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia atau warga kotanya (Nurisjah, 1996).

Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian penting dari struktur pembentuk kota, yang dikembangkan berdasarkan kawasan peruntukan kota, terdiri atas: (1) kawasan pemukiman kepadatan tinggi, (2) kawasan pemukiman kepadatan sedang, (3) kawasan pemukiman kepadatan rendah, (4) kawasan industri, (5) kawasan perkantoran, (6) kawasan sekolah, kampus perguruan tinggi, (7) kawasan perdagangan, (8) kawasan jalur jalan, (9) kawasan jalur sungai, (10) kawasan jalur pesisir pantai, dan (11) kawasan jalur pengaman utilitas/isolasi.

Istilah RTH menurut Inmendagri No. 14 Tahun 1988 adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah lain yang lebih luas, baik dalam bentuk suatu area/kawasan maupun dalam bentuk memanjang/jalur, di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka tanpa bangunan. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer dan menunjang kelestarian air tanah, keberadaan RTH di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.

(35)

16

1. RTH Makro, yaitu RTH yang berbentuk daerah pertanian, perikanan, dan kehutanan.

2. RTH Medium, yaitu RTH yang berbentuk area pertamanan, sarana olah raga dan pemakaman.

3. RTH Mikro, yaitu lahan-lahan terbuka yang ada pada setiap daerah yang disediakan dalam bentuk fasilitas umum, seperti taman lingkungan (community park), lapangan olah raga, taman bermain (play ground), dan lain-lain.

RTH sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan, antara lain: 1) fungsi bio-ekologis (fisik), pengadaan RTH yang memberi jaminan

sebagai bagian dari sistem sirkulasi udara (’paru-paru kota’), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin;

2) fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya: RTH dalam hal ini mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH merupakan media bersosialisasi dan komunikasi warga kota, tempat berekreasi, tempat pendidikan, dan juga penelitian;

3) ekosistem perkotaan; RTH sebagai produsen oksigen dengan aneka tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain;

4) fungsi estetis, keberadaan RTH meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan). RTH mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota agar bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan keseimbangan kehidupan fisik dan psikis. taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, dan bantaran sungai di perkotaan.

(36)

Ruang Wilayah Kota

Ruang Terbangun (60%) Ruang Terbuka (40%)

Ruang Hunian (40%) Ruang Non Hunian (20%) Jaringan Jalan (20%) Taman-Taman Kota (12,5%) Lainnya (Non Hijau) (12,5%)

RTH di Ruang Hunian: Asumsi KDB

maks:80% RTH =20% x 40% = 8%

RTH di Ruang Non Hunian: Asumsi KDB maks:

90% RTH = 10% x 20% = 2%

RTH Privat = 10%

RTH di Jaringan Jalan: Asumsi Jalur Hijau:

30% RTH = 30% x 20%

= 6%

(Sungai, Jalan KA, SUTET) Asumsi 20% hijau RTH = 20% x 7,5% =

1,5%

[image:36.595.109.525.70.525.2]

RTH Publik= 20%

Gambar 2. Pembagian Ruang Wilayah Kota Sumber: Departemen PU (2005)

Berdasarkan kepemilikannya, RTH dibedakan menjadi dua, yaitu:

(1) RTH milik pribadi atau badan hukum, misalnya: halaman rumah tinggal, perkantoran, tempat ibadah, sekolah atau kampus, hotel, rumah sakit, kawasan perdagangan (pertokoan, rumah makan), kawasan industri, stasiun, bandara, pelabuhan, dan lahan pertanian kota.

(37)

18

wisata, HK zona industri, HK antar-zona permukiman, HK tempat koleksi dan penangkaran flora dan fauna.

Kriteria Ruang Terbuka Hijau

[image:37.595.73.486.162.823.2]

Ruang terbuka hijau menurut hirarkhi dan penggunaannya sebagaimana Tabel 2. Tabel 2. Standar Luas Ruang Terbuka Umum

Hirarkhi Wilayah Jumlah KK/ wilayah Jumlah jiwa/ wilayah Ruang terbuka (m2 /1000 jiwa)

Penggunaan Ruang Terbuka

Ketetanggaan 1.200 4.320 12.000 Lapangan bermain,areal rekreasi, taman rumah/ pekarangan

Komuniti 10.000 36.000 20.000

Lap bermain, lapangan atau taman, koridor lingkungan (termasuk ruang terbuka ketetanggaan)

Kota 100.000 40.000 Ruang terbuka umum, taman, areal bermain, termasuk ruang terbuka kommuniti)

Wilayah/

Regional 1.000.000 80.000

Ruang terbuka umum, taman, areal rekreasi, hutan kota, jalur lingkar lingkar kota, sawah/kebun

Sumber: Simonds, 1983

Pendekatan Penentuan Kebutuhan Luasan RTH dan Hutan Kota

Untuk menentukan luasan RTH kota dilakukan dengan beberapa pendekatan, di antaranya seperti diuraikan berikut ini:

1. Pendekatan Luasan (Prosentase)

Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, pemerintah telah menetapkan bahwa setiap kota atau kabupaten harus mematuhi peraturan untuk menyediakan RTH kota dengan luasan minimal 30% dari total luasan kota atau kabupaten. Proporsi minimal 30% tersebut terdiri atas 20% RTH public/umum dan 10% RTH privat/swasta/perorangan. Sebelumnya juga pernah diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 Tahun 2002, yang mengatur luasan hutan kota minimal sebesar 10% dari luas total wilayah kota. 2. Pendekatan berdasarkan Luasan Lahan per Kapita

(38)

Negara Malaysia sebesar 1,9m2/kapita; Jepang 5,0m2/kapita;. Ketentuan ini sangat kondisional, terkait keterbatasan luas lahan masing-masing negara.

Pendekatan lainnya adalah berdasarkan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) misalnya KDB=40, artinya maksimal 40% luas lahan yang bisa dibangun, sedangkan sisanya yang 60% seharusnya berupa tutupan vegetasi. Ketentuan ini sudah diberlakukan sejak lama, tetapi masih sedikit yang mematuhi, sehingga porsi 60% cenderung diisi tutupan non vegetasi. Untuk mengatasi hal ini, kemudian dibuat peraturan yang lebih tegas menyatakan aturan KDH (Koefisien Dasar Hijau), KDH= 60% atau KDH=40% tergantung situasi, diserahkan pada kebijakan pemerintah setempat.

3. Pendekatan Berdasarkan Issue Penting

Perhitungan luasan RTH suatu kota dapat juga didasarkan pada Issue

penting suatu kota. Contoh issue penting yang dapat dijadikan kriteria untuk menetapkan luasan pada suatu kota atau kabupaten antara lain adalah RTH untuk pemenuhan kebutuhan air, RTH untuk penyediaan oksigen, penyerap gas CO2, serta penyerap dan penjerap polutan udara, ataupun RTH untuk

mitigasi bencana banjir.

2.3. Manfaat Ekologi RTH pada Kawasan Perkotaan

. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada tiga manfaat utama, yaitu RTH sebagai daerah resapan, penjerap polutan, dan rosot karbon.

2.3.1. Ruang Terbuka Hijau sebagai Daerah Resapan

(39)

20

dari bahan kedap air (jalan raya, atap bangunan, jembatan dan jenis perkerasan lainnya).

Ada 3 faktor yang berpengaruh besar terhadap kejadian banjir, yaitu: faktor hujan (curah hujan, sebaran serta waktu turunnya hujan), faktor perubahan tata guna atau lahan/ land use (penebangan hutan, pembangunan kawasan permukiman, dan perdagangan, pembukaan areal perkebunan dsb). Faktor penutup lahan, dalam hal ini pohon/ vegetasi cukup signifikan dalam terjadinya pengurangan limpasan permukaan. Lahan bervegetasi mempunyai tingkat tutupan lahan yang tinggi, sehingga pada saat kejadian hujan, tutupan kanopi pohon berpotensi memperlambat laju limpasan permukaan, sehingga bagian yang dapat diresapkan ke dalam tanah menjadi lebih besar, dan sisanya yang menjadi limpasan permukaan semakin kecil. Kodoatie (2008) juga mengemukakan bahwa dari total potensi sumberdaya air sebesar 65.733,75 juta m3 (100%), yang termanfaatkan sebesar 25.282.16 juta m3 (38,46%), dan yang tidak termanfaatkan (terbuang ke laut, banjir) sebesar 37.628,67 juta m3 (57,24%), terdegradasi (0,78%) dan menjadi aliran mantap (3,51%).

Kodoatie (2008) menyatakan bahwa perubahan tata guna lahan kota merupakan penyebab utama banjir dibandingkan dengan faktor lainnya. Pada kondisi dimana hutan diubah menjadi permukiman, maka debit puncak sungai akan mengalami peningkatan sebesar 6 hingga 20 kali. (Gambar 3). Angka 6 dan 20 ini tergantung pada jenis hutan awalnya dan jenis permukiman yang menggantikannya. Demikian pula untuk perubahan tutupan lahan lainnya, akan berdampak pada peningkatan debit puncak secara signifikans. Pengaruh perubahan tutupan lahan secara kuantitatif disajikan pada Gambar 4.

(40)

naik 2 –2,5 kali

naik 1,7 –5,0 kali

naik 2,5 –9,0 kali

naik 5,0 –20,0 kali

naik 6,0 –25 kali Daerah Aliran Sungai

Peningkatan debit puncak akibat perubahan

[image:40.595.100.506.42.839.2]

tata guna lahan, hutan sebagai acuan

Gambar 4. Peningkatan debit akibat perubahan tata guna lahan, dengan hutan sebagai referensi

[image:40.595.116.492.95.323.2]

Upaya pengendalian banjir pada prinsipnya mempunyai tujuan untuk mengurangi volume aliran/limpasan permukaan, agar dapat dikendalikan daya rusak aliran serta kualitasnya. Dengan demikian maka dalam upaya tersebut harus diperhatikan sifat alamiah dari aliran permukaan, agar dapat dilakukan upaya yang bermanfaat dalam menahan dan meresapkan aliran permukaan. Skema aliran permukaan ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Sifat alamiah aliran permukaan, (melaju ke tempat yang lebih rendah, sambil meresap ke dalam tanah)

(41)

22

mengalirnya air. Konsep ini yang dikembangkan sebagai upaya pengendalian banjir dengan peningkatan kuantitas RTH kota. Kemampuan tanah dalam menyerap air ini selain ditentukan oleh tipe penutupan lahannya, juga dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang ada di atasnya. RTH mampu menyimpan air tanah sebesar 900m3/ha/tahun (Dinas Pertamanan, 2003) yang akan sangat bermanfaat dalam mengisi air tanah untuk keperluan domestik.

Menahan air hujan selama mungkin untuk memberikan waktu/ kesempatan bagi air hujan untuk meresap ke dalam tanah merupakan upaya penanganan banjir, yaitu dalam bentuk menanam pohon, membuat sumur resapan, lubang biopori atau rorak dan guludan. Disamping itu juga dengan menahan air pada badan air, dengan membuat waduk, dam penahan maupun dam pengendali, serta situ buatan/ embung.

2.3.2. Manfaat RTH Kota Sebagai penjerap dan penyimpan karbon

Lapisan gas rumah kaca (GRK) yang terdapat pada bagian atas lapisan atmosfer secara alami mempunyai peran penting sebagai filter/penyaring dan

screen/penyekat bagi bumi; yang bermanfaat mencegah terjadinya radiasi gelombang pendek yang berbahaya bagi manusia (Gambar 6). Salah satu dari gas rumah kaca adalah CO2 yang berasal dari letusan gunung berapi, proses

pernafasan manusia, aktifitas tranportasi penduduk dan industri, respirasi pohon dan pelapukan bahan organik (Dahlan, 2007). Dalam siklus alaminya pohon yang sudah mati dan lapuk/membusuk akan melepaskan karbon yang tersimpan kembali ke atmosfir, meskipun pada awalnya karbon tersebut akan tertahan di dalam tanah (Nowak, 2002).

(42)
[image:42.595.151.494.103.314.2]

Gambar 6. Posisi Lapisan Gas Rumah Kaca (GRK) Sumber: www.google.com

2.3.3. Manfaat RTH sebagai Penjerap polutan

Pencemaran udara adalah peristiwa masuknya satu atau lebih zat pencemar dalam jumlah dan waktu tertentu ke udara, baik secara alami maupun akibat dari aktivitas manusia. Peristiwa tersebut dapat mempengaruhi kelestarian organisme maupun benda-benda (Pandia et al., 1995 dalam Sulistyorini, 2009). Beberapa aktivitas manusia yang dapat menyebabkan pencemaran udara diantaranya adalah kegiatan industri, transportasi, pertambangan, pertanian, pembakaran biomassa atau bahan fosil. Bahan pencemar yang ditimbulkannya adalah berbagai macam hidrocarbon (HC), nitrogen oksida (NOx), karbon

monoksida (CO), sulfur oksida (SOx), materi partikulat dan sebagainya. Dengan

semakin padatnya penduduk kota dan beragamnya aktifitas manusia diprediksikan terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas pencemaran udara. Menurut Naess et al. (2007), berbagai penelitian memperlihatkan adanya korelasi antara meningkatnya konsentrasi pencemar udara dengan gangguan kesehatan dan tingkat kematian, khususnya terkait dengan kejadian penyakit yang mengindikasikan adanya paparan NO2. Ada kecenderungan meningkatnya kasus

penyakit kardiovaskuler, kanker paru dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), sebagai dampak paparan NO2 dengan konsentrasi > 40µg m-3. Mengacu

pada hasil penelitian di atas, maka diperlukan upaya khusus untuk mengurangi Sebagian radiasi

gelombang pendek

yang dipantulkan dipancarkan Sebagian keluar atmosfer

dan sebagian memanaskan atmosfer Radiasi

gelombang pendek

Sebagian besar radiasi gelombang pendek diserap dan memanaskan

permukaan bumi setelah diubah menjadi gelombang panjang

(43)

24

dampak pencemaran udara, karena untuk kota-kota di Indonesia, pencemaran udara disebabkan oleh gas buang kendaraan bermotor (60-70%), industri (10-15%) dan sisanya berasal dari pembakaran sampah, rumah tangga, kebakaran hutan dan lain-lain (Kusnoputranto, 1996).

Polusi udara mengandung pengertian sebagai keberadaan benda atau partikel dalam bentuk uap (gas), debu (aerosol), dan suara (kebisingan) yang timbul secara alami dan akibat aktivitas manusia di udara yang tidak diharapkan kehadirannya. Keberadaan RTH dalam berbagai bentuknya dapat memberi manfaat dalam membersihkan udara kota. Irwan (1994) mengkaji peranan hutan kota Jakarta sebagai salah satu bentuk RTH yang dapat mengurangi kebisingan sebesar 5,54%-30,41% dan polusi debu sebesar 37,62%-67,91%, dengan bentuk hutan kota yang terdistribusi mer

Gambar

Gambar      Amanat Undang-undang Penataan Ruang
Gambar 2. Pembagian Ruang Wilayah Kota
Tabel 2.  Standar Luas Ruang Terbuka Umum
Gambar 4. Peningkatan debit akibat perubahan tata guna lahan, dengan hutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa tanaman hasil perlakuan Oryzalin yang menunjukkan potensial poliploid yaitu stomata daun- nya relatif lebih panjang, penampakan daunnya lebih hijau, bentuk daun lebih

Kecemasan diri yang sifatnya abstrak akan sulit jika divisualkan secara langsung tanpa ditampilkan secara simbolik. Maka dari itu ungkapan secara simbolik digunakan

Mangrove adalah tanaman yang toleran terhadap garam, yang mampu tumbuh diberbagai tingkatan salinitas mulai dari air tawar sampai daerah dengan tingkat salinitas yang

Metode yang paling akurat untuk mengetahui kenaikan temperatur pada motor mesin cuci adalah metode pengukuran resistansi tiap lilitan karena dapat mengidentifikasi

penambahan tahanan pada metode tersebut maka dapat merubah besaran-besaran yang pada motor tersebut terutama pada efisiensi motor.maka dari itu dalam tugas akhir ini

lebih tinggi dari mineral liat, sumber muatan unsur ini diduga berasal dari gugus karboksil ( - COOH) dan Fenolik ( -- OH ). Muatan dalam humus adalah muatan bergantung

Dengan begitu kita akan mengetahui persiapan menghadapi penyakit tersebut, tindakan pencegahan yang harus dilakukan agar penyakit tidak bertambah parah, serta melakukan

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa variabel PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Keuangan Inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta, sementara itu