• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GOLONGAN KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN

C. Kreditor Konkuren

Kreditor Konkuren adalah kreditor yang tidak termasuk golongan kreditor separatis atau golongan kreditor preferen. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dari sisa hasil penjualan /pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan separatis dan golongan preferen. “Sisa hasil penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditor konkuren.”59

“Jika tidak dengan tegas ditentukan lain oleh Undang-undang maka kreditor pemegang Hak Tanggungan, Hak Gadai, atau Hak Agunan atas kebendaan lainnya harus didahulukan atas kreditor pemegang hak istimewa.”60

Ketentuan yang dengan tegas menentukan lain itu adalah: 1. Pasal 1137 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

2. Pasal 21 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Undang- undang No. 9 Tahun 1994 yang telah diubah menjadi Undang-undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menentukan:

“Negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak”.61

59

Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

60

Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

61

Pasal 21 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Ketentuan tentang hak mendahului sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, meliputi pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya penagihan. Hak mendahului untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahului lainnya, kecuali terhadap:

1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun tidak bergerak (ketentuan yang hampir sama dengan yang diatur dalam Pasal 1139 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

2. Biaya perkara yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang (ketentuan yang hampir sama diatur dalam Pasal 1139 angka 4 Kitab Undang- undang Hukum Perdata).

3. Biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan (ketentuan yang hampir sama dengan yang diatur dalam Pasal 1149 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

Hak mendahului itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila jangka waktu dua tahun tersebut, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.

Penyitaan tidak dapat dilaksanakan oleh juru sita Pajak terhadap barang yang disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang termasuk dalam hal perusahaan yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Dalam hal debitor yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka juru sita pajak menyampaikan salinan surat paksa kepada Pengadilan Niaga maupun kepada kurator untuk menentukan pembagian hasil penjualan dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara atas utang pajak sebagai kreditur preferen.62

Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu dan tahun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang- undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu dua tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.

Ketentuan perpajakan menentukan:

1) Hak untuk melakukan tagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan, daluarsa setelah lampau waktu sepuluh tahun terhitung sejak saat terhutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan.

2) Daluarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:

a. Diterbitkan surat teguran dan surat paksa.

b. Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung.

c. Diterbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (4).63

62

Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 56.

63

Pasal 22 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Ketentuan sebagaimana disebutkan di atas merupakan hak-hak kreditor preferen yang harus didahulukan pembayarannya daripada kreditor separatis yang pemegang Hak Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, atau hak agunan atas kebendaan lainnya.

Dari ketentuan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan di atas diketahui bahwa Negara memiliki kedudukan sebagai kreditor istimewa yang mempunyai hak mendahului atas barang- barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Setelah utang pajak dilunasi baru diselesaikan pembayaran kepada kreditor lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah untuk mendapat bagian terlebih dahulu dari kreditor lain atas hasil pelelangan barang-barang milik penanggung pajak di muka umum guna menutupi untuk melunasi hutang pajaknya.

Undang-undang No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menegaskan kembali kedudukan Negara sebagai kreditor preferen.

Pasal 19 ayat (6) Undang-undang No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menyebutkan:

Hak mendahului untuk piutang pajak melebihi segala hak mendahului lainnya, kecuali terhadap:

1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;

2. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang dimaksud; dan 3. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian

Penyitaan tidak dapat dilaksanakan oleh juru sita pajak terhadap barang yang disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang termasuk dalam hal ini adalah perusahaan yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Dalam hal perusahaan yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan, maka juru sita pajak menyampaikan salinan surat paksa kepada Pengadilan Niaga maupun kepada Kurator untuk menentukan pembagian hasil penjualan dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara atas hutang pajak sebagai kreditur preferen.64

Selain itu cara yang dapat ditempuh adalah juru sita pajak melakukan tindakan penagihan seketika dan sekaligus yang dapat dilakukan antara lain yaitu:

1. Terdapatnya tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau berniat untuk itu.

2. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara atau “terjadinya penyitaan atas barang- barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.”65

Jadi seorang kreditor adalah seorang yang mempunyai hak untuk menuntut suatu prestasi dari seorang debitor. Sedangkan, prestasi itu bisa timbul dari suatu perjanjian dan/atau dari ketentuan Undang-undang.

Prinsip dasar kepailitan adalah bagaimana membagi-bagi harta kekayaan debitor untuk pelunasan utang terhadap kreditor. Oleh karena itu, sesungguhnya sesuai dengan prinsip paritas creditorium kreditor dalam kepailitan diprioritaskan bagi kreditor konkuren (unsecured creditor), yang utangnya tidak dijamin. Sedangkan kreditor preferen dan kreditor istimewa mempunyai kedudukan untuk didahulukan dari kreditor lainnya, artinya harus didahulukan pelunasannya.

64

Ahmad Yani, Gunawan Widjaya, Op. Cit., hal. 56.

65

Konsekuensi berlakunya asas paritas creditorium dalam hukum kepailitan, menyebabkan dengan dijatuhkannya putusan pailit, maka diterima anggapan hukum bahwa seluruh kreditor menjadi pihak dalam putusan pailit tersebut. Oleh karena itu, semua kreditor berhak malakukan upaya hukum terhadap penjatuhan pailit, sehingga dapat mengajukan kasasi dan/atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

C. Ketentuan-Ketentuan Baru Tentang Kreditor Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Pada tanggal 18 Oktober 2004 Pemerintah telah mengeluarkan Undang- undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimaksudkan untuk memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat yang jika ditinjau dari segi materi yang diatur masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang. “Cakupan yang luas tersebut diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.”66

66

Penjelasan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, hal 105-106.

Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan oleh hukum untuk menyelesaikan utang piutang di antara debitor dan kreditor. Undang- undang kepailitan khususnya tidak membicarakan persoalan mengenai apakah debitor dapat dimintai pertanggungjawaban atas kekayaan finansialnya. “Undang-undang kepailitan berbicara secara netral tentang kepailitan menyangkut debitor yang berada dalam keadaan berhenti membayar.”67

”Lahirnya Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebabkan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang belum dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.”68

”Dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini terdapat beberapa hal baru yang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dan ketidakpastian hukum yang terdapat dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.”69

Ketentuan-ketentuan baru tentang substansi hukum yang terdapat dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diuraikan di bawah ini.

67

MR. J.B. Huizink, Op. Cit., hal. 1.

68

Dasar Pertimbangan Dikeluarkannya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang butir d.

69

Ricardo Simanjuntak, Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga Dalam Transaksi

Dimulai dengan Bab I tentang Ketentuan Umum. Banyak terminologi dalam hukum kepailitan yang baru yang terdapat dalam Ketentuan Umum Pasal 1, yang sebelumnya belum pernah ada. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan- kelemaan dan perbedaan penafsiran yang sebelumnya terdapat dalam Undang- Undang No. 4 Tahun 1998, antara lain Pasal 1 ayat (1): Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; Pasal 1 ayat (2): Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan; Pasal 1 ayat (3): Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan; Pasal 1 ayat (5): Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini; Pasal 1 ayat (6): Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor; Pasal 1 ayat (11): Setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”Kreditor” dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap debitor dan haknya untuk didahulukan. Adanya penjelasan pasal 2 ayat (1) ini telah mengatasi permasalahan tentang jenis kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit. Baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen mereka dapat mengajukan permohonan pailit dan mereka tidak kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan.

Diaturnya tentang kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit disebabkan selama berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdapat perbedaan penafsiran tentang apakah kreditor yang memiliki hak preferen berhak untuk mengajukan permohonan pailit. Demikian pula tentang kreditor sindikasi, apakah masing-masing kreditor merupakan satu kreditor atau lebih dan apakah masing-masing anggota kreditor sindikasi dapat mengajukan permohonan pailit tanpa melalui agen sindikasi.

Perubahan-perubahan yang terdapat di dalam Bab II tentang tentang Kepailitan, bagian Kesatu tentang Syarat dan Putusan Pailit, antara lain: ”Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”70

Ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepalilitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menambah kata lunas dalam Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. ”Hal ini berarti bahwa untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitor untuk membayar utang-utangnya akan tetapi juga termasuk ketidakmampuan debitor tersebut untuk melunasi utang- utangnya tersebut yang telah diperjanjikan.”71

Tidak adanya penjelasan tentang pengertian utang di dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah menimbulkan permasalahan di dalam prakteknya karena masing-masing pihak memberikan penafsiran yang berbeda tentang pengertian utang. Timbul 2 (dua) macam penafsiran utang yaitu penafsiran luas dan penafsiran sempit. Akhirnya timbul ketidakpastian hukum. Mengingat kelemahan-kelemahan tersebut maka dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diberikan pengertian tentang Utang, Kreditor dan Debitor.

70

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

71

Ricardo Simajuntak, Rancangan Perubahan Undang-Undang Kepailitan dalam Perspektif

Pengacara, (Komentar terhadap Perubahan Undang-Undang Kepailitan), Artikel Utama, Jurnal

Permasalahan lain yang muncul selama berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah tidak adanya penjelasan kapan suatu utang itu telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Apakah utang yang telah dapat ditagih, telah jatuh waktu. Apakah utang yang telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan pailit. Hal ini terkait dengan perjanjian kredit perbankan. Utang yang telah jatuh waktu ialah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditor berhak untuk menagihnya. Sekalipun utang belum jatuh waktu telah dapat ditagih karena telah terjadi ”events of default”.

Permasalahan tentang kapan suatu utang itu dikatakan telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah diatur dalam Penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan menentukan bahwa utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau Majelis Arbitrase.

Perubahan lain yang diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah perubahan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (4): Dalam hal debitor adalah perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan Dan

Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini menambah Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, sebagai lembaga yang hanya dapat dimohonkan pailit oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

Suatu ketentuan yang sama sekali baru adalah Pasal 1 ayat (5) Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu: Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Ketentuan tentang kewenangan Menteri Keuangan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola resiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.

Perubahan-perubahan substansi yang terdapat dalam Bab III Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pada bagian kesatu, antara lain: Pasal 222 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: PKPU diajukan oleh debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditor atau lebih.

Semula hak untuk mengajukan PKPU ini hanya dimiliki oleh debitor, namun dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini hak untuk mengajukan PKPU juga dimiliki oleh Kreditor.

Ketentuan jangka waktu mengalami perubahan dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Perubahan jangka waktu tersebut, antara lain terdapat dalam Pasal 8 ayat (5): Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan; Pasal 13 ayat (3): Putusan atas permohona kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.

Bagian keenam mengatur tentang Perdamaian, memuat perubahan-perubahan tentang jangka waktu, antara lain: Pasal 148: Pemberitahuan oleh kurator kepada kreditor yang tidak hadir dalam rapat rencana perdamaian dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari.

Perubahan-perubahan jangka waktu yang terdapat dalam Bab III Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pada bagian kesatu, antara lain: Pasal 224 ayat (3): Dalam hal pemohon PKPU adalah kreditor, Pengadilan wajib memanggil debitor melalui juru sita dengan surat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang. Diberikannya hak bagi kreditor utnuk mengajukan PKPU menimbulkan aturan baru yang semula tidak ada.

Kemudian perubahan dalam Pasal 8 ayat (1 a): Pengadilan wajib memanggil debitor dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan. Terdapat penambahan Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan yang dalam ketentuan sebelumnya tidak ada.

Bila selama berlakunya Faillissement Verordening maupun Undang-Undang No. 4 tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengertian tentang ”fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” tidak ada penjelasan sehingga menimbulkan perbedaan pendapat maka dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pengertian ”fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” telah diberikan secara jelas, yaitu:

1) Adanya fakta dua atau lebih kreditor, dan

2) Fakta utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pailit.

Perubahan lain terdapat dalam Pasal 11 ayat (3): Permohonan kasasi, selain dapat diajukan oleh debitor dan kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditor lain yang bukan merupakan pihak

pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan permohonan pernyataan pailit. Ketentuan ini sebelumnya belum diatur.

Menambah ketentuan baru yang tidak diatur dalam ketentuan sebelumnya yaitu Pasal 87 ayat (2): Dalam hal kreditor menghadiri rapat kreditor dan tidak menggunakan hak suara, hak suaranya dihitung sebagai suara tidak setuju.

BAB III

KEDUDUKAN PARA KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN

A. Kreditor Separatis

Kreditor separatis dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya, padahal ia memiliki hak istimewa. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 56 Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menentukan “setiap kreditor yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atau kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.” Keadaan ini menimbulkan perdebatan dimana seorang kreditor separatis mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya.

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, jelas tidak membedakan jenis-jenis kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit. Hal ini berarti semua kreditor dapat mengajukan permohonan pailit tanpa terkecuali termasuk kreditor separatis. Kedudukan istimewa seorang kreditor separatis hanya berlaku bila debitor telah dinyatakan pailit atau berada dalam proses perdamaian baik dalam rangka kepailitan maupun dalam rangka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dalam Faillissements Verordening, selain memakai gaya bahasa lama sehingga menimbulkan bebagai penafsiran, substansinya juga kurang menjamin kecepatan dan transparansi proses kepailitan. Belum lagi, kefasihan aparat yang

menanganinya baik hakim komisaris maupun pengampu atau kuratornya, karena amat jarangnya perkara kepailitan yang diajukan, tidak jelasnya batas waktu yang

Dokumen terkait