• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Para Kreditor Dalam Hukum Kepailitan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Para Kreditor Dalam Hukum Kepailitan"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PARA KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN

TESIS

Oleh

Z U L F I K A R

077011075/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EFEKTIVITAS PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PARA KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

Z U L F I K A R

077011075/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : EFEKTIVITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN

Nama Mahasiswa : Zulfikar

Nomor Pokok : 077011075

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH) Ketua

(Prof.Dr.Runtung Sitepu, SH, MHum) Anggota

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)

Direktur,

(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B. MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 21 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

3. Dr. Sunarmi, SH, MHum

(5)

ABSTRAK

Krisis moneter telah mengakibatkan kesulitan ekonomi, yang selanjutnya menjadi krisis yang meluas ke berbagai sektor kehidupan sosial. Krisis ekonomi telah membawa pengaruh yang besar terutama kemampuan dunia usaha untuk mempertahankan kegiatan usahanya, bahkan termasuk kemampuannya untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang mereka kepada para kreditornya. Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa diperlukan suatu instrumen hukum untuk memfasilitasi masalah utang piutang yang sangat diperlukan oleh dunia usaha sebagai jaminan kepastian hukum melalui pembangunan hukum nasional.

Sajian tesis ini merupakan karya ilmiah yang membahas tentang efektivitas perlindungan hukum terhadap para kreditor dalam hukum kepailitan dengan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pembahasan tesis ini diangkat dari beberapa permasalahan yaitu bagaimana golongan kreditor dalam hukum kepailitan dan bagaimana kedudukan para kreditor dalam kepailitan serta bagaimanakah efektivitas perlindungan hukum terhadap para kreditor, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui golongan kreditor dalam hukum kepailitan dan untuk mengetahui kedudukan para kreditor dalam kepailitan serta untuk mengetahui efektivitas perlindungan hukum terhadap para kreditor. Untuk memperoleh gambaran jawaban yang dapat diuji kebenarannya, maka digunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang berlaku dalam hukum kepailitan di Indonesia dan sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder.

Melalui metode penelitian ini maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa dalam hukum kepailitan kreditor terdiri dari kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren, perbedaan golongan kreditor ini semata-mata ditentukan oleh jenis piutang dari masing-masing kreditor, namun kepailitan dapat diajukan oleh semua golongan kreditor, sepanjang kreditor tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan salah satunya telah jatuh tempo. Harta pailit akan dibagi secara proporsional diantara para kreditor. Hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada para kreditor untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor, dan untuk kepentingan harta pailit pengadilan dapat membatalkan segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, serta para kreditor dapat mengajukan kasasi atau peninjauan kembali dalam hal kreditor tidak setuju dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap para kreditor dalam hukum kepailitan telah menjadi dasar dikeluarkannya peraturan kepailitan, agar para kreditor dapat memperoleh akses yang kuat terhadap harta kekayaan dari debitor yang dinyatakan pailit karena debitor tidak mampu lagi membayar utang-utangnya, serta perlu diatur hukum kepailitan yang lebih melindungi kreditor. Seluruh pihak yang terlibat dalam hukum kepailitan harus tegas dan konsekuen dalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(6)

ABSTRACT

Monetary crisis has caused economics problems, which next becomes extended crisis in various social life sector. Economics crisis has brought big effect mainly to business world to maintain its business, even including its ability to fulfill their obligation to pay their debt to their creditors. Government do fully realizes that a law instrument is needed to facilitate the debit and credit issues which are really needed by business world as a warranty of law assurance from National Law development.

This thesis is an erudition which studies about the effectiveness of law

protection towards the creditors in the Law of Bankruptcy in accordance to the Law of Bankruptcy No.37 year 2204 about Bankruptcy and the Delay of Obligation in paying Debt. The research of this thesis is taken from some issues, such as how creditors are classified in the Law of Bankruptcy, the position of creditors in Bankruptcy and the effectiveness of law protection for creditors. The purpose of this research is to know the classified in the Law of Bankruptcy and to know the position of creditors in Bankruptcy and to know the effectiveness of law protection for creditors. To obtain the visualization of answer which can be tested for its truth, then the research method of Analysis Descriptive Normative Jurisdiction which refers to laws norms valid in Law of Bankruptcy in Indonesia and source of data in this research is the secondary source of data.

From this method of research, then it can be obtained conclusion that in the law of creditor bankruptcy, creditors are consists of separatist creditor, preference creditor and concurent creditor, the difference of the class of these creditors is determined by type of credit from each creditor, but bankruptcy can be proposed by all class of creditors as along as the creditor is able to prove simply that there are more than one obligations and one of them has fallen due. The asset of bankruptcy will be shared proportionally among creditors. The Law of Bankruptcy gives protection to creditors to be able to propose to the court to place assurance of confiscation towards some or wholly the assets of debtor, and for the importance bankruptcy asset the court is able to cancel all the law act of debtor which has been stated as bankrupt which gives disadvantages to creditor, which is done before the decision of Bankruptcy statement is said, creditors can also proposed to appeal to the supreme court or court review in case if creditor doesn’t agree with the decision of the judge. Therefore, law protection towards the creditor in the law of bankruptcy has been the based of the issuing of Bankruptcy Rules, so that creditors are able to gain strong access towards the asset of debtor which was stated bankrupt, also it needs to be arranged that the law of bankruptcy to defend creditor more. All parties concerned in the law of bankruptcy must be strict and consequent in implementing the Law No.37 year 2004 about Bankruptcy and the Delay of Obligation in paying Debt.

(7)

KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim,

Tiada kata yang paling indah selain mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas selesainya penulisan tesis yang sarat dengan perjuangan dan do’a ini yang berjudul “EFEKTIVITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN”. Perjuangan tanpa pengorbanan

adalah omong kosong. Demikian pula perjuangan tanpa do’a adalah sombong. Karena itu, kepada orang-orang terdekat, penulis merasa wajib berterima kasih atas segala waktu dan bimbingan yang telah diberikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan penuh kesadaran bahwa tiada satupun yang sempurna di muka bumi ini, penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan terlebih dengan keterbatasan kemampuan, baik dari segi penyajian teknik penulisan maupun materi. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

(8)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, CN, MS, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan Tesis ini.

4. Bapak Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran-saran kepada penulis dalam penulisan Tesis ini. 5. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., MHum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan waktu dan bimbingan dalam materi ataupun teknis penulisan Tesis ini. 6. Seluruh Staff Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada Penulisselama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Staff Pegawai Adiministrasi Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh Staff Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Pascasarjana.

(9)

bersama dalam menghadapi kenyataan baik suka maupun duka dalam hidup ini dalam lindungan dan karunia Allah SWT.

10.Kak Melda dan Bang Ap serta keluarga, terima kasih atas doa, nasehat dan dukungan sehingga Penulis menjadi lebih baik.

11.Adik Penulis tersayang dan terbaik ”Riri Yanti, Amd.”, terima kasih atas doa, masukan, perhatian, dukungan dan kasih sayang kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan pascasarjana.

12.Juliharnani Natalya, SH., terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, nasehat, perhatian, dukungan dan kesabaran serta doa yang terus diberikan kepada Penulis dari awal hingga selesainya pendidikan pascasarjana Penulis di Universitas Sumatera Utara. Semoga kita akan selalu bersama dalam hidup ini.

13.Dila dan Tika, jadilah orang yang berguna bagi Agama dan Orang Tua.

14.Seluruh Keluarga Besar Penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu terima kasih atas doa dan dukungannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

15.Para leluhur Penulis, khususnya Angku So Kim Liong, Uci Hindun dan Uci Aji Nur Zaimah semoga mendapat tempat yang mulia di sisi Allah SWT.

16.Seluruh rekan-rekan satu angkatan khususnya Grup C di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(10)

18.Rekan-rekan Penulis di Natal, Padang Sidempuan, Bandung dan Medan, terima kasih atas doa dan dukungannya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Tesis ini. Penulis juga mengharapkan Tesis ini akan berguna bagi para pembaca dan dapat menambah pengetahuannya.

Medan, Agustus 2009 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Zulfikar

Tempat/Tanggal Lahir : Natal, 14 April 1983

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Tirto no. 20 Medan II. KELUARGA

Nama Ayah : H. Sofyan

Nama Ibu : Subdatunnur

III. PENDIDIKAN

SD Negeri 01 Natal : Tahun 1989 s/d 1995

SMP Negeri 01 Padang Sidempuan : Tahun 1995 s/d 1998 SMA Negeri 04 Padang Sidempuan : Tahun 1998 s/d 2001

S1 Sekolah Tinggi Hukum Bandung : Tahun 2002 s/d 2006 S2 Sekolah Pascasarjana Program Studi

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II GOLONGAN KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN . 27 A. Pengertian Pailit ... 27

B. Golongan Kreditor Dalam Hukum Kepailitan ... 34

(13)

BAB III KEDUDUKAN PARA KREDITOR DALAM HUKUM

KEPAILITAN ... 53

A. Kreditor Separatis ... 53

B. Kreditor Preferen ... 63

C. Kreditor Konkuren ... 72

BAB IV EFEKTIVITAS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN... 88

A. Perlindungan Hukum Terhadap Para Kreditor Dalam Hukum Kepailitan ... 88

B. Kreditor Pemegang Jaminan ... 99

C. Actio Pauliana ... 105

D. Upaya Hukum ... 114

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 127

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia, termasuk di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah membawa pengaruh yang besar dalam berbagai sektor kehidupan sosial di Indonesia. Dapat dikatakan, seluruh tatanan kehidupan mulai dari keluarga, bangsa dan negara telah terpengaruh oleh gejolak moneter yang menimpa Indonesia yang kemudian ternyata berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.

Di bidang ekonomi gejolak moneter telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Krisis ekonomi telah membawa pengaruh yang besar terutama kemampuan dunia usaha untuk mempertahankan kegiatan usahanya, bahkan termasuk kemampuannya untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang mereka kepada para kreditornya. “Naiknya nilai tukar dollar terhadap rupiah dengan sangat tinggi menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia tidak mampu membayar utangnya yang umumnya dilakukan dalam bentuk dollar. Akibatnya banyak perusahaan di Indonesia mengalami kebangkrutan.”1 Kegiatan produksi dan distribusi barang menurun tajam, demikian pula di bidang kegiatan jasa yang terkait atau mendukung dunia usaha, juga ikut melemah.

1

(15)

Keadaan di atas telah memberi gambaran bahwa berawal dari krisis moneter telah mengakibatkan kesulitan ekonomi, yang selanjutnya menjadi krisis yang meluas ke berbagai sektor kehidupan sosial. Keadaan yang tidak stabil melahirkan pemikiran untuk secepatnya mengatasi krisis tersebut, dan mulai dipertanyakan bagaimanakah hukum dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kesulitan ekonomi. ”Hal tersebut sesuai dengan teori Roscoe Pound yang mengatakan “Law as a tool of social engineering” hukum sebagai alat pembangunan masyarakat.”2

Peranan apa yang dapat dilakukan oleh hukum untuk membantu dunia usaha dalam mengatasi ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang yang besar mulai dikaji dalam rangka untuk membenahi pembangunan hukum ekonomi. Adapun yang dimaksud hukum ekonomi dan dimana letak hukum ekonomi tersebut, dikemukakan oleh Rachmat Sumitro sebagai berikut:

Hukum ekonomi adalah keseluruhan norma-norma yang dibuat oleh pemerintah atau penguasa sebagai suatu personifikasi dari masyarakat yang menyatukan kehidupan ekonomi dimana kepentingan individu dan kepentingan masyarakat saling berhadapan. Letak hukum ekonomi sebagian pada hukum perdata dan sebagian lagi pada hukum publik, dimana keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat dijaga untuk mencapai kemakmuran bersama.3

Pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa diperlukan suatu instrumen hukum untuk memfasilitasi masalah utang piutang yang sangat diperlukan oleh dunia usaha sebagai jaminan kepastian hukum melalui pembangunan hukum nasional dalam

2

Manahan M. P. Sitompul, Tesis, Syarat-Syarat Pernyatan Pailit Menurut Pasal 1 Ayat (1)

Undang Undang Nomor 4 Tahun 1998 Dan Penerapannya Oleh Pengadilan Niaga, Universitas

Sumatera Utara, Medan, 2001, hal. 1.

3

(16)

rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diarahkan terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan pembentukan hukum baru, khususnya produk hukum yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional. Produk hukum nasional yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional.

Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-undang tentang Kepailitan (Faillissements Verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348). Penyelesaian utang piutang melalui Faillissements

Verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348 memiliki beberapa

kelemahan.

(17)

Jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga sangat lama.”4

Dari segi implementasi, Faillissements Verordening tampaknya lebih banyak digunakan oleh masyarakat golongan non pribumi karena Faillissements Verordening tersebut memang awalnya tidak ditujukan bagi golongan Bumi Putera, tetapi ditujukan bagi golongan Eropa dan Timur Asing kecuali golongan Bumi Putera tersebut melakukan penundukan secara sukarela. Kebijakan kompromistis yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda adalah :

(1) Membiarkan sementara berlakunya hukum pribumi sejauh tidak bertentangan dengan asas-asas umum (Eropa) kepada seluruh penduduk negeri, untuk kemudian sejauh diperlukan menurut kebutuhan;

(2) Menerapkan hukum Eropa kepada seluruh penduduk Negeri (secara berangsur), melalui wewenang Gubernur Jenderal untuk menyatakan berlakunya ketentuan-ketentuan tertentu dalam perundang-undangan Eropa untuk penduduk pribumi.5

Faillissements Verordening adalah perangkat hukum produk kolonial, warisan pemerintah kolonial yang memerlukan perubahan sesuai dengan perkembangan perekonomian saat ini. Berlakunya Faillissements Verordening ini akibat politik pemerintah kolonial Belanda untuk memberlakukan hukum Eropa berdasarkan asas konkordansi. Dari sejarahnya diketahui bahwa penetapan kebijakan pemerintah kolonial dilakukan untuk menangani daerah-daerah jajahan sebagai bagian “misi suci orang kulit putih”. Dalam bidang hukum dilakukan dengan cara melakukan usaha unifikasi dan sistematisasi hukum secara rasional dari postulat-postulat metayuridis (atau ideologi humanisme) di daerah jajahan. Pada waktu itu dilakukan bewuste rechstpolitiek yang dilakukan oleh Hageman dan Scholten van Oud Harlem. Unifikasi ini dilakukan dengan maksud untuk memperluas berlakunya hukum Eropa untuk seluruh penduduk berdasarkan suatu asas yang disebut eenheidsbeginsel.6

4

Erman Radjaguguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan Di Indonesia, sebagai bahan pelatihan Bankruptcy Law, pada tanggal 8 Oktober 2002, yang diadakan atas kerja sama Universitas Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Universitas Gadjah Mada dan University of South Carolina, hal. 2-3.

5

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsan dan Huma, Jakarta, 2002, hal. 259.

6

(18)

“Bagi golongan Indonesia Asli dan Timur Asing pada masa itu berlaku hukum adat mereka, kecuali apabila kebutuhan sosial mereka membutuhkannya, maka pembentuk ordonansi dapat menentukan berlakunya bagi mereka hukum Eropa, hukum Eropa yang telah diubah, atau hukum yang berlaku bagi beberapa golongan bersama-sama.”7

“Penduduk di tanah jajahan lebih memilih untuk tetap bertahan mempertahankan hukum dan kebiasaannya sendiri yang berakar pada budaya suku dan yang hanya berlaku dalam kalangan masyarakat-masyarakat lokal yang bersegmentasi.”8 Penyebab yang utama adalah kenyataan dimana-mana budaya lokal yang asli dan belum berubah akan selalu sulit menopang kelangsungan hidup suatu sistem asing yang ditransplantasikan. Robert Seidman mengemukakan teori tentang “The Law of the non transferrability of law yang menyatakan hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.”9

“Sebelum tahun 1998, hukum kepailitan di Indonesia dianggap belum dapat memberikan kepastian hukum. Hukum kepailitan kenyataannya hanya merupakan suatu surat mati.”10 “Indonesia tidak memiliki perangkat hukum yang sanggup mengakomodir kebutuhan yang menyangkut kepailitan.”11 “Faillissements Verordening dianggap tidak memadai lagi untuk mengatasi keadaan, dimana debitor

yang mengalami kesulitan likuiditas tidak mampu lagi membayar utangnya.”12

7

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di

Indonesia, Cetakan ke Tiga, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1983, hal. 118.

8

Ibid, hal 260.

9

Ibid, hal 259-260.

10

Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, Tatanusa, Jakarta, 2000, hal 2.

11

Bisnis.Com, ”Kepailitan di Indonesia”, Kamis, 27 Maret 2003.

12

(19)

Secara garis besar, Faillissements Verordening memang masih bisa diterapkan, namun ada kelemahannya, selain memakai gaya bahasa lama sehingga menimbulkan bebagai penafsiran, substansinya juga kurang menjamin kecepatan dan transparansi proses kepailitan. Belum lagi, kefasihan aparat yang menanganinya baik hakim komisaris maupun pengampu atau kuratornya, karena amat jarangnya perkara kepailitan yang diajukan.13

Saat ini dunia usaha Indonesia sudah berskala internasional, modal para pengusaha berasal dari berbagai sumber, sebagian dari bank-bank swasta dalam dan luar negeri, sehingga peraturan kepailitan mutlak harus disesuaikan dengan keadaan tersebut. “Perubahan Peraturan Kepailitan harus dapat menjamin kepastian hukum dalam berusaha, sehingga para calon investor, baik dari dalam, maupun luar negeri, akan yakin bahwa usaha mereka akan berhasil dan tidak akan terhambat oleh berbagai kendala yang sebelumnya tidak terduga.”14

“Untuk membantu kondisi perekonomian Indonesia, International Monetary Fund (IMF) memberi bantuan pinjaman lunak (soft loans) pada pemerintah

Indonesia. IMF beranggapan kesuksesan pemulihan dan reformasi perekonomian di Indonesia tergantung sepenuhnya pada reformasi sistem hukum.”15

IMF mensyaratkan adanya reformasi hukum sebagai syarat pemberian pinjamannya yang tertuang dalam Memorandum Tambahan (Appendix VII) dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998 yang dengan jelas dan terang mencantumkan keinginanan IMF untuk memberlakukan hukum kepailitan yang baru di Indonesia dalam bentuk Peraturan Pemerintah serta membentuk Pengadilan khusus Niaga.16

13

”Menggosok Sekrup Yang Karatan”, Forum Keadilan, No. 2 Tahun VII, 4 Mei 1998, hal 32.

14

Retnowulan Sutantio, Kesiapan Dunia Usaha Menghadapi Berlakunya Perpu No. 1 Tahun

1998 tentang Kepailitan, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional, Sosialisasi RUU tentang

kepailitan diselenggarakan oleh BPHN – DepKeh bekerja sama dengan ELIPS Project, Jakarta, 27-28 Juli 1998.

15

John T. Dori, Indonesia’s Economic and Political Crisis : A Chalelenge for U.S Leadership

in Asia (1998), hal 3. The Heritage Foundation Policy Research and Analysis Research Asia and the

Pasific, http://www.heritage org/research/asianthePasific/13612.cfon, akses tanggal 17 Agustus 1998.

16

Pada bulan Januari 1998 Letter of Intent Appendix VII: Indonesia: Bankrupty and Judicial

(20)

Pemerintah Indonesia pada tanggal 22 April 1998 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disingkat Perpu). Perpu No. 1 tahun 1998 yang berlaku pada tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut dikuatkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang direncanakan akan direvisi kembali setahun kemudian sejak disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Latar belakang pemerintah mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1998, tidak lain berkaitan dengan kondisi perekonomian pada masa itu. Pada satu sisi Indonesia membutuhkan kepercayaan dunia Internasional terhadap iklim bisnis Indonesia, dan di lain pihak para kreditor asing membutuhkan suatu aturan hukum yang cepat dan pasti bagi penyelesaian utang-piutangnya pada berbagai perusahaan Indonesia yang sebenarnya berada dalam kondisi bangkrut. Apabila mengandalkan penyelesaian utang-piutang berdasarkan peraturan yang lama maka akan memakan waktu yang lama, berbelit-belit, dan tidak menjamin kepastian hukum.

(21)

Prinsip dasar hukum kepailitan sebenarnya berdasarkan pada ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata. Pasal ini menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan perorangan debitor tersebut.

Tanggung jawab debitor berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata inilah, yang kemudian bermuara pada lembaga kepailitan karena dalam lembaga kepailitan sebenarnya mengatur bagaimanakah halnya jika seorang debitor tidak dapat membayar utang-utangnya, serta bagaimanakah pertanggungjawaban debitor tersebut, dalam kewenangannya dengan harta kekayaan yang masih atau akan dimilikinya.

Selain itu, maksud kepailitan pada dasarnya membagi-bagi hasil penjualan semua harta kekayaan debitor secara seimbang kepada semua kreditor, maka lembaga kepailitan hanya ada apabila debitor memiliki lebih dari seorang kreditor. Keberadaan lebih dari seorang kreditor ini dikenal dengan prinsip concursus creditorum. Jadi sesuai dengan pemikiran tersebut, tentunya debitor hanya dapat dinyatakan pailit, jika memiliki lebih dari satu kreditor.

Dari prinsip hukum yang demikian, maka dalam Undang-Undang Kepailitan diharapkan ada suatu mekanisme hukum yang jelas dan dapat dijamin kepentingan hukum para kreditor, khususnya tentang tata cara dan hak kreditor untuk memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang debitor yang dinyatakan pailit.

(22)

diperhatikan adalah apakah perlindungan hukum tersebut telah diberikan dalam proporsinya menurut keseimbangan yang pantas dan adil.

Prinsip perlindungan hukum yang seimbang bagi kreditor di satu pihak serta bagi debitor di lain pihak diuraikan oleh Stefan A. Riesenfeld sebagai berikut:

The law of creditor”s remedies has two principal set of goals:

(1) To overcome recalcitrancy of the debtor who refusen to satisfy judgement againt him, to order collectibility by establishing priorities among completing creditor”s, and to prevent remove abstructions through improper dissippartion of assets.

(2) To provide an onderly liquidation or rehabilitation of insolvent estates.17

Putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaan sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seorang debitor mempunyai paling sedikit 2 (dua) Kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu. Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkut baik kepentingan Debitor sendiri, maupun kepentingan para Kreditornya. Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut, diharapkan agar harta pailit Debitor dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang Debitor secara adil dan merata serta berimbang.

Pernyataan pailit dapat dimohon oleh salah seorang atau lebih Kreditor, Debitor, atau jaksa penuntut umum demi kepentingan umum. Kepailitan tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar

17

(23)

utangnya. Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor. Kedua, untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara mejual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.

(24)

mempunyai hak untuk menjual di muka umum melalui pelelangan umum guna mendapatkan pelunasan atas sisa piutangnya. Dengan menggunakan sarana hukum kepailitan, debitor yang dinyatakan dalam keadaan tidak mampu membayar utang /dalam keadaan pailit, yang dinyatakan boleh menunda kewajiban membayar utangnya, masih mempunyai kesempatan untuk melanjutkan usahanya sambil merencanakan perdamaian dengan mengajukan tawaran melakukan restrukturisasi utang-utangnya kepada kreditor.

Dari uraian di atas, jelas bahwa hukum kepailitan tidak akan membuat seseorang yang dinyatakan pailit tidak boleh berusaha. Dalam tenggang waktu tertentu setelah pernyataan pailit ditetapkan, pihak debitor masih diberikan kesempatan untuk membayar utang-utangnya. Jika dengan harta kepailitan pun debitor benar-benar tidak mampu membayar utang, barulah akan dilakukan sita eksekutorial.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini yang perlu mendapat kajian lebih lanjut adalah :

1. Bagaimanakah golongan kreditor dalam hukum kepailitan ? 2. Bagaimanakah kedudukan para kreditor dalam hukum kepailitan ?

(25)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui golongan kreditor dalam hukum kepailitan. 2. Untuk mengetahui kedudukan para kreditor dalam hukum kepailitan.

3. Untuk mengetahui efektivitas perlindungan hukum terhadap para kreditor dalam hukum kepailitan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

1. Secara teoritis

Kegiatan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam hukum kepailitan di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai hukum kepailitan, khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap para kreditor.

2. Secara Praktis

(26)

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan data dan informasi yang ada serta penelusuran lebih lanjut pada kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara Medan diketahui bahwa belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Efektivitas Perlindungan hukum Terhadap Para Kreditor Dalam Hukum Kepailitan”. Dengan demikian penelitian ini adalah

asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.

Menurut Bintaro Tjokromidjojo dan Mustafa Adidjoyo “Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan kausul yang logis diantara perubahan (variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pikir (frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.”18

18

(27)

“Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, atau tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.”19

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa maksud kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan untuk proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya gejala-gejala yang timbul.

Sebagai pisau analisis, dalam penelitian ini menggunakan teori hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum adalah sarana pembangunan yaitu sebagai alat pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Artinya bahwa hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai. Selain itu hukum harus dapat membantu proses perubahan pembangunan masyarakat tersebut.20

Dengan menggunakan teori ini dapat dikemukakan bahwa diperbaharuinya hukum kepailitan sebagai akibat dari krisis ekonomi pada tahun 1997 yang melanda dunia, termasuk Indonesia. Setiap sendi-sendi kehidupan sosial terkena imbas akibat dari situasi ekonomi yang tidak stabil tersebut, sehingga memerlukan suatu produk hukum nasional yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Ketertiban dan keamanan serta keadilan diharapkan akan terpenuhi melalui beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, termasuk ketentuan mengenai kepailitan.

19

S. Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal 13.

20

(28)

Teori berikutnya yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah Theory Semi Automous Social Field yang dikemulalan oleh Sally Falk Moore yang mengatakan bahwa, “... merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dan untuk sebagian otonom itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal dari dalam, tetapi dilain pihak bidang-bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan serta kekuatan-kekuatan yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bidang sosial yang semi otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturannya, tetapi sekaligus juga berada dalam suatu kerangka acuan sosial yang lebih luas yang terdapat dan memang dalam kenyataannya mempengaruhi dan menguasainya, kadang-kadang karena dorongan dari dalam, kadang-kdanga karena kehendaknya sendiri.21

Dengan mengemukakan teori ini dapat dikemukakan bahwa kepailitan merupakan bagian kecil dari komunitas sosial dalam hubungan keperdataan dapat membuat aturan-aturan sendiri atau secara internal, ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dari kepailitan sendiri juga rentan terhadap keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan yang berasal dari lingkungan eksternal yang mengelilinginya.

Dalam menelaah hukum kepailitan baik yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam literatur-literatur yang ada diperlukan pendekatan sistem. “Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas /prinsip-prinsip yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum.”22 Prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan yaitu, Prinsip-prinsip paritas creditorium dan Prinsip-prinsip pari passu prorate parte, yang berarti mekanisme pendistribusian aset secara adil dan

merata terhadap para kreditor berkaitan dengan keadaan tidak membayarnya debitor karena ketidakmampuan debitor melaksanakan kewajiban tersebut. Dalam kepailitan

21

T. O. Ihromi, Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 150.

22

(29)

terdapat pula prinsip debt collection, yang mempunyai arti bahwa kepailitan merupakan konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor.

“Istilah “pailit” berasal dari bahasa Perancis “faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal kata “to fail” dengan arti yang sama. Namun lazim dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”.”23

Kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitor dalam keadaan berhenti atau tidak mampu membayar utang kepada kreditor. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yakni:

Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitor tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-utangnya kepada semua kreditor.

Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya.24 Pailitnya seorang debitor berdasarkan keputusan pengadilan harus didasarkan atas terpenuhinya persyaratan pailit yang diatur di dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menentukan sebagai berikut:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

23

Lee A Weng, Tinjauan Pasal Demi Pasal FV (Faillissements Verordening) S. 1905 No.217

jo S.1906 No.348 jo PERPU No. 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang No.4 Tahun 1998, Tanpa

Penerbit, 2000, hal 19.

24

(30)

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat seorang debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan yang berwenang adalah sebagai berikut :

1. mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor,

2. tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

“Di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, di samping hak menagih (vorderingsrecht), apabila debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditor mempunyai hak menagih kekayaan debitor, sebesar piutangnya kepada debitor itu (verhaalstrecht).”25

Apabila seorang debitor, mengabaikan atau mengalpakan kewajiban dan karena itu ia melakukan cacat prestasi, maka kreditornya dapat menuntut: 1. Pemenuhan prestasi;

2. Ganti rugi pengganti kedua-duanya ditambahkan dengan kemungkinan penggantian kerugian selanjutnya. Jika menghadapi suatu persetujuan timbal balik, maka sebagai penggantinya kreditor dapat menuntut:

3. Pembatalan persetujuan plus ganti rugi.26

Mariam Darus juga menyebutkan bahwa seorang kreditor memiliki hak-hak bila debitornya ingkar janji:

a. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);

b. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);

c. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding); d. Hak menuntut perikatan dengan ganti rugi;

e. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.27

25

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 9.

26

F. Tengker, Hukum Suatu Pendekatan Elementer, Penerbit Nova, Bandung, 1993, hal 80.

27

(31)

Tuntutan terhadap kewajiban debitor untuk melaksanakan prestasinya itu menurut hukum sebagai berikut:

1. Debitor bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya baik yang berupa barang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang ada pada saat ini maupun yang akan ada di kemudian hari yang menjadi jaminan atas semua utangnya (Pasal 1131 dan Pasal 1133 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

2. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam hak kebendaan, maka hak-hak pribadi yang timbul pada saat-saat yang berbeda akan memiliki peringkat yang sama (Paritas Creditorium) (Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

3. Dalam hal seorang debitor mempunyai beberapa kreditor dan pada saat yang bersama-sama secara berturut-turut mengajukan tuntutan atas harta benda kekayaan debitor, maka mereka akan dipenuhi tuntutannya menurut tertib urut pengajuan tagihan itu dilakukan. Hal ini berarti, kreditor yang mengajukan tagihan terlebih dahulu akan memperoleh pembayaran terlebih dahulu dibandingkan dengan kreditor yang lain.

Apabila hanya seorang kreditor yang ingin mengajukan gugatan atas piutang-piutangnya yang belum dibayar, maka kreditor akan mengajukan gugatan itu melalui Pengadilan Negeri dengan alasan debitor telah melakukan wan prestasi. Namun, bila kreditor terdiri atas beberapa orang, tuntutan dapat diajukan melalui lembaga hukum kepailitan yang berakibat yang sangat berat terhadap harta kekayaannya.28

28

(32)

“Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan oleh hukum untuk menyelesaikan utang piutang di antara debitor dan kreditor. Undang-undang kepailitan khususnya tidak membicarakan persoalan mengenai apakah debitor dapat dimintai pertanggungjawaban atas kekayaan financialnya.”29

Zainal Asikin menyebutkan bahwa, “hukum kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui hukum kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor, yang selanjutnya akan dibagikan kepada kreditor secara seimbang dan adil dibawah pengawasan petugas yang berwenang.”30 “Instrumen hukum kepailitan sangat penting di dalam hukum kita, karena jika instrumen hukum itu tidak ada, kesemrawutan setidak-tidaknya yang menyangkut pelaksanaan hak-hak ganti kerugian akan timbul.”31

Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa semua benda bergerak dan tidak bergerak dari seorang debitor, baik yang sekarang ada, maupun yang akan diperolehnya (yang masih akan ada), menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan pribadinya.

Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa benda-benda itu dimaksudkan sebagai jaminan bagi para kreditornya bersama-sama dan hasil penjualan atas benda-benda itu

29

MR. J.B. Huizink, Insoventie, alih bahasa Linus Dolujawa, Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal 1.

30

Zainal Asikin, Hukum Kepailtan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Penerbit Rajawali Pres, Jakarta, 1991, hal 24.

31

(33)

akan dibagi diantara mereka secara seimbang, menurut imbangan /perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali bilamana diantara mereka atau para kreditor terdapat alasan-alasan pendahuluan yang sah.

Dari ketentuan dua pasal di atas jelas ditegaskan bahwa seorang debitor diwajibkan untuk membayar seluruh utang-utangnya dengan seluruh harta kekayaannya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada saat ini maupun yang akan ada dikemudian hari. Ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata merupakan jaminan adanya kepastian hukum yang memberikan perlindungan kepada para kreditor.

Debitor dipaksa untuk memenuhi prestasinya kepada kreditor. Apabila debitor lalai yang berarti telah terjadi wan prestasi, maka seluruh harta kekayaannya akan menjadi jaminan seluruh hutangnya. Hasil penjualan harta kekayaan debitor akan dibagi secara seimbang kepada kreditor berdasarkan perimbangan jenis piutang dan besar kecilnya piutang masing-masing.

2. Konsepsi

“Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.”32 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkann perbedaan pengertian atau penafsiran

32

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal

(34)

mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Efektivitas adalah tingkat keberhasilan

b. Perlindungan Hukum adalah tempat bernaung subyek hukum.

c. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.

d. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

e. “Kekayaan adalah semua barang dan hak atas suatu benda yang dapat diuangkan (ten gelde kunnen worden gemaakt).”33

f. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

g. Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan.

h. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul

33

(35)

karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

i. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah debitor yang tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.34

Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian diawali dengan pengumpulan data hingga analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analistis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan

34

(36)

secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peraturan kepailitan khususnya tentang Efektivitas Perlindungan Hukum Terhadap Para Kreditor Dalam Hukum Kepailitan. Bersifat Deskriptif Analistis dalam penelitian ini akan menggambarkan dan melukiskan azas-azas atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan yang bersifat hukum normatif atau penulisan kepustakaan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), terutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepailitan.

Penelitian hukum normatif atau kepustakaan menurut Soerjono Soekanto mencakup:

1. penelitian terhadap azas-azas hukum; 2. penelitian terhadap sistematik hukum;

3. penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal; 4. perbandingan hukum;

5. sejarah hukum.35

“Ronald Dworkin menyebut metode penelitian tersebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it decided by the judge through judicial process.”36

35

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal 23.

36

(37)

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan dianalisis dengan doktrin dari para sarjana hukum.

Menurut Ronny Hanitijo Sumitro, penelitian yuridis normatif terdiri atas : 1) penelitian inventarisasi hukum positif;

2) penelitian terhadap azas-azas hukum;

3) penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito; 4) penelitian terhadap sistematika hukum;

5) penelitian untuk sinkronisasi vertikal dan horizontal.37

Penelitian dengan metode yuridis normatif diambil dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini cukup layak untuk diterapkan, karena dalam metode ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari sumber hukum primer, sekunder dan tersier.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini. Jadi penelitian ini dilakukan dengan batasan penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka saja yaitu berupa data sekunder.

Data sekunder yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan berupa norma dasar,

37

(38)

peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku, makalah dan hasil penelitian di bidang hukum.

Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang mengikat, berupa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa buku-buku hasil penulisan, jurnal, makalah, artikel, surat kabar, internet yang berkaitan dengan objek penulisan ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum dan jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.

4. Analisis Data

(39)
(40)

BAB II

GOLONGAN KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN

A. Pengertian Pailit

Istilah pailit dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris.

Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire.38

“Di Negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap perusahaan-perusahaan debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan “insolvensi”. Sedangkan pengertian kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa kepailitan.”39

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor.40

38

Zainal Asikin, Op. Cit., hal. 26-27.

39

Bismar Nasution, Sunarmi, Op. Cit., hal. 16.

40

(41)

“Dalam kepustakaan, kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditor.”41

Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau Bankrupt adalah “the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality who is

unable to pay its debt as they are, or became due. The teerm includes a person

against whom am involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary

petition, or who has been adjudged a bankrupt.”42

Dari pengertian bankrupt yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas diketahui bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan proses pengajuan ke Pengadilan, baik atas permintaan debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitor. Keputusan tentang pailitnya debitor haruslah berdasarkan keputusan Pengadilan, dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga yang diberikan kewenangan untuk menolak atau menerima permohonan tentang ketidakmampuan debitor. Keputusan Pengadilan ini diperlukan

41

Algra, N. E., Inleiding Tot Het Nederlands Privaatrecht, Tjeenk Willink, Groningen, 1974, hal. 425.

42

(42)

untuk memenuhi asas publisitas, sehingga perihal ketidakmampuan seorang debitor itu akan dapat diketahui oleh umum. Seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Jadi kepailitan merupakan eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwenang, sehingga sesungguhnya kepailitan bertujuan untuk:

a. Mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan.

b. Ditujukan hanya mengenai harta benda debitor, bukan pribadinya. Jadi debitor, tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.43

Hakikat dari sitaan umum terhadap harta kekayaan debitor adalah bahwa maksud adanya kepailitan adalah untuk menghentikan aksi terhadap perebutan harta pailit oleh para krditornya serta untuk menghentikan lalu lintas transaksi terhadap harta pailit oleh debitor yang kemungkinan akan merugikan para kreditornya. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dari segala macam transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator.

Ronald A. Anderson dan Walter A. Kumf berpendapat bahwa: “Bankruptcy and insolvency laws provide a means by which the debtor may yield or be compelled

to yield to a court the property has so that he will be relieved of all unpaid debts and

can start economic life a new.”44

43

Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 1.

44

(43)

Terminologi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subyek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitor dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor.

“Kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, disanalah baru terasa baginya dosa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan memengaruhi “credietwaardigheid”-nya dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit.”45

Mengenai defenisi kepailitan itu sendiri tidak ditemukan dalam Faillissement Verordening maupun dalam Undang-undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Namun dalam rangka untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas ada baiknya diketahui pendapat dari beberapa sarjana tentang pengertian pailit tersebut.

1) R. Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang pailit.

2) Menurut Memori van Toelichting (Penjelasan Umum).

Kepailitan adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan siberutang guna kepentingannya bersama para yang mengutangkan.46

45

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hal. 42.

46

(44)

3) Siti Soemarti Hartono mengatakan:

Kepailitan adalah suatu lembaga hukum dalam hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4) Mohammmad Chidir Ali berpendapat bahwa:

Kepailitan adalah pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditor dengan di bawah pengawasan pemerintah.47

Selanjutnya menjelaskan :

1. Pembeslahan massal, mempunyai pengertian bahwa dengan adanya vonis kepailitan, maka semua harta pailit kecuali yang tercantum dalam Pasal 20 Faillissement Verordening, dibeslag untuk menjamin semua hak-hak kreditor si

pailit.

2. Pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya menurut posisi piutang dari para kreditor yaitu:

a. Golongan kreditor separatis. b. Golongan kreditor preferen. c. Golongan kreditor konkuren.

3. Dengan di bawah pengawasan pemerintah. Artinya, bahwa Pemerintah ikut campur dalam pengertian mengawasi dan mengatur penyelenggaraan penyelesaian boedel si pailit, dengan mengerahkan alat-alat perlengkapannya yaitu:

a. Hakim Pengadilan Niaga b. Hakim Komisaris

c. Kurator

47

(45)

Dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, pailit diartikan sebagai debitor (yang berutang) yang berarti membayar utang-utangnya. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 Faillissement Verordening (Peraturan Kepailitan) yang menentukan:

“Setiap pihak yang berutang (debitor) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (kreditornya), dinyatakan dalam keadaan pailit”.

Dari rumusan Pasal 1 Faillissement Verordening di atas dapat diketahui bahwa agar debitor dapat dinyatakan pailit, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Terdapat keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitor sudah tidak

mampu atau tidak mau lagi membayar utang-utangnya.

2. Harus terdapat lebih dari seorang kreditor, dan salah seorang dari mereka itu piutangnya sudah dapat ditagih.

“Istilah berhenti membayar tidak mutlak harus diartikan debitor sama sekali berhenti membayar utang-utangnya. Tetapi debitor dapat dikatakan dalam keadaan berhenti membayar, apabila ketika diajukan permohonan pailit ke Pengadilan, debitor berada dalam keadaan tidak dapat membayar utangnya.”48

Perihal “keadaan berhenti membayar” tidak dijumpai perumusannya baik di dalam Undang-undang, Yurisprudensi, maupun pendapat para sarjana. Hanya ada pedoman umum yang disetujui, yaitu untuk pernyataan kepailitan tidak perlu ditujukan bahwa debitor tidak mampu untuk membayar utangnya, dan tidak diperdulikan, apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak dapat atau tidak mau membayar.49

48

Mohammad Chaidir Ali, Yurisprudendi Hukum Dagang, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal. 475.

49

(46)

Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengertian pailit tercermin dalam pasal 1 ayat (1) yang menentukan :

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.”

Setelah keluarnya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengertian pailit dijumpai dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua harta kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”

Pasal 1 angka (1) ini secara tegas menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual. Karena itu disyaratkan dalam Undang-undang Kepailitan bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditor.

(47)

Pernyataan pailit ini tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus didahului dengan pernyataan pailit oleh Pengadilan, baik atas permohonan sendiri secara sukarela maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Selama debitor belum dinyatakan pailit oleh Pengadilan, selama itu pula yang bersangkutan masih dianggap mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Pernyataan pailit ini dimaksudkan untuk menghindari penyitaan dan eksekusi perseorangan atas harta kekayaan debitor yang tidak mampu melunasi utang-utangnya lagi. Dengan adanya pernyataan pailit di sini, penyitaan dan eksekusi harta kekayaan debitor dilakukan secara umum untuk kepentingan kreditor-kreditornya. ”Semua kreditor mempunyai hak yang sama terhadap pelunasan utang-utang debitor, harta kekayaan yang telah disita dan dieksekusi tersebut harus dibagi-bagi secara seimbang, sesuai dengan besar-kecilnya piutang masing-masing. Dengan demikian, pernyataan pailit hanya menyangkut harta kekayaan milik debitor saja, tidak termasuk status dirinya."50

B. Golongan Kreditor Dalam Hukum Kepailitan

“Di dalam hukum hukum perdata, disamping hak menagih (vorderingsrecht),

apabila debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, maka kreditor mempunyai hak menagih kekayaan debitor, sebesar piutangnya kepada debitor itu (verhaalstrecht).”51

50

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 12.

51

(48)

Apabila seorang debitor, mengabaikan atau mengalpakan kewajiban dan karena itu ia melakukan cacat prestasi, maka kreditornya dapat menuntut: 1. Pemenuhan prestasi;

2. Ganti rugi pengganti kedua-duanya ditambahkan dengan kemungkinan penggantian kerugian selanjutnya. Jika menghadapi suatu persetujuan timbal balik, maka sebagai penggantinya kreditor dapat menuntut:

3. Pembatalan persetujuan plus ganti rugi.52

Mariam Darus juga menyebutkan bahwa seorang kreditor memiliki hak-hak bila debitornya ingkar janji:

a. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);

b. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);

c. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding); d. Hak menuntut perikatan dengan ganti rugi;

e. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.53 Dalam kepailitan untuk menjamin pelunasan piutangnya, kreditor diberi hak untuk dapat mengajukan permohonan sita dan melaksanakan penjualan benda milik debitor guna pelunasan piutangnya. Benda-benda mana yang dapat disita dan urutannya serta cara penjualannya haruslah diperhatikan hak kreditor serta menurut ketentuan hukum yang berlaku. Namun, dalam perkara kepailitan sita yang dijatuhkan bersifat massal (umum), yang meliputi seluruh harta kekayaan debitor, kecuali:

a. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari. b. Alat perlengkapan dinas.

c. Alat perlengkapan kerja.

d. Persediaan makanan untuk kira-kira satu bulan. e. Buku-buku yang dipakai untuk bekerja.

52

F. Tengker, Op. Cit., hal 80.

53

(49)

f. Gaji, upah, pensiun, uang jasa dan honorarium. g. Hak cipta.

h. Sejumlah uang yang ditentukan oleh Hakim Pengawas untuk nafkahnya debitor. i. Sejumlah uang yang ditentukan dari pendapatan anak-anaknya.

Harta kekayaan debitor yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum beserta apa yang diperoleh selama kepailitan. “Tanpa adanya lebih dari satu kreditor, rasio kepailitan sebenarnya tidak ada, sebab tidak perlu diadakan pembagian hasil perolehan asset debitor diantara para kreditornya.”54

Dalam kepailitan tidak semua kreditor memiliki kedudukan yang sama. Perbedaan kreditor ini semata-mata ditentukan oleh jenis piutang masing-masing. Adapun golongan kreditor dalam kepailitan adalah sebagai berikut:

a. Kreditor Separatis.

Kreditor Separatis adalah kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dapat dikatakan sebagai kreditor yang tidak terkena kepailitan. Artinya para kreditor separatis ini tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya telah dinyatakan pailit. Tergolong sebagai kreditor separatis adalah kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Dari hasil penjualan benda-benda jaminan tersebut, kreditor akan mengambil pelunasan atas piutangnya dan

54

Setiawan, Undang-Undang Kepailitan dan Likuidasi Serta Penerapannya Dalam

Pengadilan Niaga, Makalah Pada Seminar Penyelesaian Utang, Restrukturisasi Perusahaan, Kepailitan

(50)

sisanya akan dikembalikan pada boedel pailit. Apabila ternyata hasil penjualan benda jaminan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka terhadap sisa piutang yang belum terbayar tersebut, maka kreditor ini akan menggabungkan diri dengan kreditor lain sebagai kreditor konkuren. “Dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena kedudukan kreditor tersebut memang dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti ia dapat menjual benda sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada umumnya.”55 Dengan kata lain, kreditor separatis yang oleh undang-undang diberikan kedudukan didahulukan dari para kreditor konkuren.56

b. Kreditor Preferen.

Kreditur Preferen adalah golongan kreditor yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa, artinya kreditor ini mempunyai hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan boedel pailit. “Kreditor ini karena sifatnya pemilik suatu hak yang dilindungi secara preferen dapat mengeksekusi seolah-oleh tidak terjadi kepailitan.”57

“Kreditor preferen merupakan kreditor yang pelunasan piutangnya lebih didahulukan dari kreditor separatis dan kreditor konkuren dalam proses kepailitan.”58

55

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 105.

56

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 280.

57

Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 78.

58

Referensi

Dokumen terkait

Pada bagian ini analisis tentang pandangan fiqh siyasah terhadap pemberian remisi kepada narapidana tindak pidana khusus yang didukung oleh dasar hukum

Bahwa syarat pailit menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yaitu, 2 (dua) kreditor atau lebih, tidak membayar sedikitnya satu

Dalam kajian ini, pengukuran yang dilakukan ialah di antara hubungan tahap kompetensi dengan tahap kesediaan guru bukan opsyen TMK di daerah Kulaijaya untuk melaksanaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara penggunaan model discovery learning dengan jenis kelamin terhadap KPS siswa, model discovery learning

Konstruksi sosial terhadap identitas pedagang kaki lima di perkotaan umumnya cenderung memberi sigma buruk terhadap mereka, yaitu sebagai parasit yang memngganggu

Menurut Purnomosidi Hadjisarosa (1997 dalam Slamet, PH, 2000), kepala sekolah merupakan salah satu sumber daya sekolah yang disebut sumberdaya manusia jenis manajer

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genetik Pinus merkusii Jung et de Vriese yang berlokasi di Kebun Benih Jember serta kekerabatan dengan yang berasaldari Hutan