II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Krisis
Penelitian dan telaah mengenai krisis masih terbilang jarang, terutama tentang krisis pada agroindustri. Perkembangan studi tentang krisis, analisis krisis, cara penanganan dan situasi pemulihannya mulai terlihat selama sekitar 30 tahun terakhir. Kebanyakan pustaka membahas manajemen krisis dari segi komunikasi pada saat krisis maupun setelah peristiwa krisis berlalu.
Sejumlah pustaka membahas manajemen krisis menggunakan pendekatan individualistik dan studi kasus yang umumnya berdasarkan pengalaman penulisnya (Fearn-Banks, 1996; Glen, 1993; Gottschalk, 1993; Meyers dan Holusha, 1988; Mitroff, 1988; Shrivastava, 1987; Boulton, 1978; Allison, 1971). Selain itu, ada penulis yang membahas masalah krisis secara lebih komprehensif (Lerbinger, 1997; Booth, 1993; Miller, 1988, Perrow, 1984), dan sebagian lainnya menggunakan pendekatan empirik dalam manajemen krisis (Mitroff, 2001; Kennedy, 1996; Fink, 1996; Mitroff et al., 1996; Isselbacher dan Upton, 1994; Lippitt, 1994; Barton, 1993; Gottschalk, 1993; Pauchant & Mitroff, 1992).
Penelitian ini bertujuan menghasilkan model berupa piranti lunak yang dapat digunakan sebagai simulasi pengelola perusahaan agroindustri dalam menghadapi suatu keadaan krisis. Model tersebut dapat menyajikan peringatan dini, tahapan krisis, risiko krisis dan solusi alternatif terhadap krisis yang dihadapi. Model manajemen krisis yang dihasilkan berbasis pengetahuan kecerdasan (intelligence knowledge based system) yang memungkinkan pengambilan keputusan berdasarkan atas sekumpulan aturan. Pengguna model yang berinteraksi dengan model seakan berkonsultasi dengan pakar, guna mengetahui tahap krisis, risiko yang mungkin timbul dan mendapatkan solusi krisis yang dihadapi perusahaan agroindustri yang ditelaah.
Krisis merupakan peristiwa yang timbul akibat suatu tindakan atau kegagalan bertindak yang mengakibatkan suatu organisasi mengalami gangguan fungsi-fungsi, penerimaan keuntungan, maupun keberadaannya. Krisis menimbulkan gangguan yang secara fisik berdampak nyata terhadap suatu sistem dan mengancam eksistensi maupun kelangsungan sistem tersebut. Setidaknya, krisis adalah situasi mendadak yang ekstrim, menimbulkan ketegangan, berisiko besar dan sulit terkendali, yang tidak dapat dihadapi menggunakan prosedur rutin yang normal. Situasi itu dapat menimbulkan risiko tinggi terhadap harta benda atau nyawa, sehingga memerlukan tanggapan segera menggunakan
segala sumberdaya dan fasilitas yang tersedia dengan upaya yang melampaui kinerja pada saat normal (Mitroff, 2001; Schonberger, 2001; Hendricks, 2000; White & Mazur, 1998; Mitroff et al, 1996; Barton, 1993; Glen, 1993; Gottschalk, 1993; Fink, 1986; Doherty, 1985).
Krisis dapat terjadi pada perorangan maupun terhadap organisasi atau lembaga. Setiap jenis lembaga melayani kepentingan pihak tertentu sesuai dengan bentuknya dan masing-masing memiliki potensi masalah utama tersendiri. Masing-masing jenis lembaga, memiliki struktur formal, kemampuan dan pendekatan maupun intervensi yang berbeda ketika menghadapi krisis atau perubahan mendadak (Mitroff, 2001; Barton, 1993; Booth, 1993; Glen, 1993; Pauchant dan Mitroff, 1992; Janis, 1989). Klasifikasi lembaga berdasarkan kepentingannya dapat dilihat pada Tabel 1.
Bentuk Kepentingan utama yang harus dilayani Contoh Masalah utama Bisnis Pemilik saham Perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara, dll Harus mencari keuntungan
Non profit Kelompok penerima jasa Universitas Harus menyeleksi calon penerima jasa Perhimpunan Para anggota Serikat pekerja, koperasi, perhimpunan tani dll Harus memenuhi kebutuhan anggota Lembaga
publik Masyarakat umum
Polisi, instansi pemerintah dll
Harus melaksanakan prosedur tertentu
Diolah dari Kreitner, 1986
Metoda yang paling sederhana dalam menghindari krisis adalah konsensus yang memungkinkan para pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam upaya mencegah konflik. Pengambilan keputusan berdasarkan konsensus tergantung pada dua hal, yakni (1) optimasi dari terpenuhinya kepentingan para pihak dan (2) kompromi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Pemilihan langkah antara pencegahan, penghindaran dan penanggulangan tergantung pada perbandingan antara biaya perlakuan dengan dampak yang mungkin timbul. Jika biaya penghindaran atau pencegahan lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang timbul akibat dampak krisis, maka pihak manajemen lebih tepat memilih penanggulangan krisis tersebut (Mitroff, 2001; Moscovici & Doise, 1994; Gottschalk, 1993; Fink, 1986).
Pencegahan dan penghindaran krisis tergolong langkah yang sangat rumit, karena datangnya krisis pada umumnya sangat mendadak serta perkembangannya sangat cepat. Sehingga, upaya melakukan konsensus guna menyelesaikan krisis, sangat sulit dilakukan setelah krisis mulai berlangsung. Perencanaan dan kesiagaan penanggulangan krisis (crisis planning and preparedness) yang tepat merupakan faktor kunci bagi keberhasilan
penanganan krisis dalam suatu perusahaan (Mitroff, 2001; White & Mazur, 1998; Jackson & Center, 1995; Barton, 1993; Fink, 1986). Pengaruh tindakan intervensi terhadap perkembangan krisis, dilukiskan pada Gambar 2.
Sumber: Gonzales-Herrero & Pratt (1995)
Secara garis besar krisis dapat dibagi menjadi empat tahapan, yakni prodromal atau awal, akut, kronis dan tingkat penyelesaian. Situasi awal krisis antara lain ditandai oleh peningkatan intensitas ketegangan, peningkatan perhatian media massa atau pemerintah, kemunculan hambatan atau gangguan terhadap operasi bisnis, gangguan citra perusahaan, serta kehancuran prinsip-prinsip atau tata nilai dalam perusahaan (Mitroff, 2001; Fink, 1986).
Krisis prodromal dapat berkembang menjadi krisis akut jika peringatan dini mengenai kemunculan persoalan tidak ditangani secara serius. Pada tahap akut, persoalan sudah menjadi lebih serius dan gejala krisis terlihat jelas. Dengan perencanaan dan penanganan yang tepat, ledakan krisis pada tahap akut dapat diatur waktu, tempo maupun magnitudenya sehingga dampak buruk dapat dikendalikan. Perioda krisis tingkat akut kebanyakan berlangsung singkat, lalu dilanjutkan dengan krisis tingkat kronis (Mitroff, 2001; Fink, 1986).
Krisis pada tingkat kronis sulit dikendalikan. Tidak sedikit perusahaan yang memulai analisis, audit dan upaya pemulihan setelah krisis mencapai tahap kronis. Perencanaan dan penanganan yang tepat dapat memperpendek perioda krisis kronis. Tahapan berikutnya adalah penyelesaian atau resolusi krisis. Pada tahap ini, krisis dapat diubah menjadi kesempatan atau peluang bagi perusahaan sehingga harus diupayakan agar krisis terselesaikan secara tuntas (Mitroff, 2001; Fink, 1986).
Identifikasi krisis dan penentuan tindakan penyelesaian krisis, dilakukan dengan menghitung nilai dampak krisis (Crisis Impact Value) berdasarkan faktor peluang krisis (Probability Factor) dan tingkat pengaruh (Degree of Influence) dan biaya intervensi (Cost of Intervention). Potensi pengaruh krisis diperkirakan menggunakan skala nilai 0-10 dengan memperhitungkan:
• Eskalasi intensitas krisis
• Kemungkinan peningkatan perhatian media massa atau pemerintah
• Penghambatan terhadap operasi perusahaan
• Kerusakan citra baik perusahaan di mata publik
• Kehancuran prinsip-prinsip dasar perusahaan
Rata-rata jumlah seluruh nilai yang diperoleh disebut angka Skala Dampak Krisis (Crisis Impact Scale atau CIV). Langkah berikutnya adalah memperkirakan secara subjektif mengenai potensi terjadinya krisis menggunakan skala 0-100 persen (Fink, 1986). Perpaduan antara kedua skala itu dalam kuadran terlihat pada Gambar 3.
Pada kuadran hijau, dampak krisis rendah dan kemungkinan terjadinya krisis juga rendah, sehingga dapat disimpulkan bahwa perusahaan nyaris tidak terancam oleh krisis. Pada kuadran kuning, faktor kemungkinan terjadinya krisis memang rendah namun jika krisis terjadi dampaknya akan sangat merugikan perusahaan. Pada kuadran merah, berarti perusahaan yang bersangkutan sangat mudah terlanda krisis dan dampak krisisnya sangat buruk. Sedang pada kuadran kelabu, tingkat kemungkinan terjadinya krisis cukup tinggi namun dampak krisis yang ditimbulkan nyaris tidak terlalu berarti.
Peluang krisis (%) 0 100 N ilai dampak kr is is 0 10 Rendah Rendah Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi KUNING MERAH HIJAU KELABU Sumber: Fink, 1986
Krisis tidak mengenal batas dan terjadi pada perusahaan, perhimpunan, lembaga pemerintah, koperasi maupun keluarga. Bagi suatu perusahaan, krisis dan kejadian susulan setelah krisis menimbulkan kerugian yang sangat besar. Pengendalian dampak dan guncangan akibat suatu krisis, memerlukan proses yang panjang dan waktu yang lama. Kebanyakan perusahaan mengandalkan sumberdaya atau konsultan dari luar guna mengatasi krisis.
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan krisis adalah krisis internal yang merupakan suatu peristiwa besar yang tak terduga, berdampak negatif dan dapat menimbulkan kerugian yang sangat berarti bagi suatu perusahaan. Kerugian tersebut meliputi aspek pemasaran produk atau jasa, kondisi keuangan, citra atau reputasi perusahaan, semangat kerja karyawan di lingkungan perusahaan tersebut dan bahkan dapat merupakan campuran dari berbagai aspek tersebut (Mitroff, 2001; Doherty 2000; Fink, 1986).