BAB II TINJAUAN PUSTAKA
D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Kromatografi cair kinerja tinggi adalah salah satu metode analisis untuk pemisahan suatu campuran senyawa kimia. Penggunaan pompa bertekanan tinggi akan mengalirkan fase gerak ke dalam kolom sehingga akan terjadi pemisahan dengan cepat, terkontrol dan efektif. Baik buruknya pemisahan dipengaruhi oleh kondisi eksperimental seperti kondisi kolom, kemurnian pelarut, suhu, kecepatan alir fase gerak, komposisi fase gerak, dan sebagainya (Snyder dkk., 2010). Pemisahan pada sistem kromatografi terjadi akibat adanya interaksi antara zat
analit dengan fase diam dan fase gerak yang kemudian akan menghasilkan perbedaan waktu migrasi dari zat analit (Kazakevich and Lobrutto, 2007).
Ada dua macam jenis kromatografi cair kinerja tinggi dalam analisis, yaitu KCKT fase normal dan KCKT fase terbalik. KCKT fase normal adalah KCKT yang menggunakan fase diam bersifat lebih polar dibandingkan dengan fase geraknya, sedangkan KCKT fase terbalik adalah KCKT yang menggunakan fase diam bersifat lebih non-polar dibandingkan dengan fase geraknya (Snyder dkk., 2010).
Sistem KCKT dapat diilustrasikan secara sistematik seperti pada Gambar 4 di bawah ini:
Gambar 4. Skema sistem KCKT (Snyder dkk., 2010)
Bagian-bagian dalam sistem KCKT fase terbalik, antara lain:
a) Kolom
Salah satu jenis kolom KCKT fase terbalik yang paling sering digunakan
adalah kolom tipe C18. Kolom C18 (Gambar 5) tersusun oleh suatu penyangga
silika gel (SiO2) dimana silika gel tersusun atas rantai -O-Si-O- dan pada bagian
relatif bersifat polar. Pada KCKT fase terbalik, modifikasi silika gel dilakukan dengan menutup gugus silanol (-SiOH) dengan suatu bagian organik yang umumnya adalah suatu hidrokarbon rantai panjang untuk menghilangkan gugus hidroksil melalui reaksi silanisasi. Semakin panjang rantai karbon yang diikatkan pada silika maka akan semakin hidrofobik. Kebanyakan fase diam dengan penyusun silika memiliki rentang pH yang dapat ditoleransi, yaitu pH 2-7. Apabila di bawah pH 2, maka akan terjadi hidrolisis yang menyebabkan terjadinya pemutusan ikatan fase terikat dengan substrat silika. Apabila di atas pH 7, maka substrat silika akan terdisolusi sebagian dalam fase gerak yang polar. Salah satu dampak yang terlihat adalah terbentuknya puncak yang asimetris pada pH di atas 3 akibat adanya interaksi antara bentuk ion zat analit dengan residu silanol (Kazakevich and Lobrutto, 2007).
Gambar 5. Struktur kolom C18 (Snyder dkk., 2010))
b) Fase gerak
Fase gerak atau eluen tersusun atas campuran pelarut yang saling bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam elusi zat analit dan resolusi dalam sistem KCKT. Daya elusi dan resolusi dipengaruhi oleh polaritas fase gerak, polaritas fase diam, dan sifat komponen analit. Pada sistem KCKT fase terbalik, kemampuan elusi akan menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut yang digunakan dalam fase gerak (Rohman dan Gandjar, 2007).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan fase gerak adalah kompatibilitas pelarut yang digunakan, kelarutan analit dalam fase gerak, polaritas fase gerak, transmisi cahaya, viskositas, stabilitas dan pH fase gerak (Kazakevich and Lobrutto, 2007).
Kompatibilitas antar komponen fase gerak perlu diperhatikan supaya penyusun fase gerak dapat bercampur dengan baik. Campuran fase gerak harus dapat digunakan untuk melarutkan analit dengan baik. Apabila analit tidak terlarut sempurna pada fase gerak yang digunakan, maka analit akan mengendap ketika proses penginjekan dilakukan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah transmisi cahaya dari fase gerak. Transmisi cahaya akan berkaitan erat dengan detektor UV
yang digunakan. Setiap fase gerak memiliki UV-cutoff yang berbeda satu sama
lain sehingga perlu diperhatikan ketika memilih komponen fase gerak. Perlu
dipastikan bahwa UV-cutoff pelarut fase gerak yang digunakan tidak mengganggu
deteksi analit pada detektor UV. Viskositas fase gerak perlu diperhatikan pula karena semakin besar viskosias fase gerak makan akan semakin besar tekanan dalam kolom sistem KCKT (Kazakevich and Lobrutto, 2007).
Tingkat kepolaran fase gerak yang digunakan akan mempengaruhi elusi analit dalam sistem KCKT. Kepolaran campuran komponen penyusun fase gerak dapat dilihat dari nilai indeks polaritasnya. Indeks polaritas fase gerak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini:
n φnP' ... φ2P'2 φ1P'1 camp P' = + + + (5) Keterangan:
P’camp = indeks polaritas campuran P’n = indeks polaritas pelarut ke-n
Indeks polaritas menunjukkan korelasinya dengan kepolaran suatu pelarut fase gerak. Semakin besar nilai indeks polaritasnya maka semakin polar pelarut fase gerak yang digunakan (Snyder dkk., 2010).
Sebagian besar senyawa obat yang berada di pasaran dapat terionisasi pada pH tertentu, sehingga diperlukan pengaturan pH pada fase gerak untuk mempertahankan kondisi pH fase gerak yang membawa analit agar analit tetap dalam bentuk molekulnya sampai detektor. Pengaturan pH dapat dilakukan dengan penggunaan larutan bufer dalam komponen penyusun fase gerak. Hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan bufer adalah tingkat kelarutan bufer dalam pelarut yang digunakan karena pemilihan jenis bufer yang salah akan mengakibatkan mengendap atau terpisahnya komponen bufer dalam fase gerak (Kazakevich and Lobrutto, 2007).
c) Detektor
Detektor yang digunakan untuk KCKT dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu golongan detektor universal dan golongan detektor spesifik mendeteksi analit secara spesifik dan selektif. Detektor UV merupakan salah satu jenis detektor spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif sesuai panjang gelombang yang digunakan. Dasar detektor UV adalah penyerapan radiasi UV pada kisaran panjang gelombang 200-400 nm oleh analit yang memiliki gugus kromofor pada strukturnya. Beberapa karakteristik detektor adalah memiliki respon yang cepat dan reprodusibel terhadap analit, memiliki sensitifitas tinggi, stabil dalam pengoperasiannya dan signal yang dihasilkan
berbanding lurus dengan konsentrasi analit dalam sampel (Rohman dan Gandjar, 2007).
2. Pemisahan yang optimal pada sistem KCKT
a. Bentuk puncak pemisahan asam askorbat. Bentuk puncak yang
diharapkan adalah simetris. Parameter bentuk puncak adalah asymmetry
factor (As) dan tailing factor (Tf). Nilai asymmetry factior (As) dihitung
pada 10% tinggi puncak. Perhitungan As dapat dilakukan dengan
persamaan yang tercantum pada Gambar 5. Apabila nilai As = 1, maka
dapat dikatakan puncak yang dihasilkan simetri. Akan tetapi, pada nilai
As < 2 puncak juga masih dikatakan baik (Snyder dkk., 2010). Tailing
factor (Tf) merupakan rasio antara lebar setengah tinggi puncak. Nilai
Tf = 1 menunjukkan bahwa puncak simetris, sedangkan nilai Tf ˃ 1
menunjukkan bahwa puncak mengalami tailing. Semakin besar nilai Tf
maka efisiensi kolom semakin menurun. Tailing factor (Tf) dapat
dihitung melalui persamaan yang tercantum pada Gambar 6 berikut:
Gambar 6. Perhitungan nilai As dan nilai Tf (Snyder dkk., 2010)
Pada saat migrasi, analit mengalami transfer antara fase diam atau fase gerak berkali-kali. Analit hanya dapat bergerak bila berada dalam fase gerak,
maka migrasi dalam kolom menjadi tidak teratur. Akibatnya, laju rata-rata analit relatif terhadap fase gerak sangat bervariasi dan menyebabkan pelebaran puncak analit.
Berdasarkan teori laju, pelebaran puncak analit disebabkan oleh 3 faktor yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Difusi Eddy
Difusi Eddy merupakan aliran tidak teratur yang menyebabkan terjadinya
pencampuran konvektif. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jarak yang harus dilalui molekul yang satu dengan yang lain. Perbedaan jarak yang dilalui oleh molekul yang satu dengan yang lain disebabkan oleh perbedaan bentuk, ukuran partikel pengisi kolom, cara pengisian kolom, dan diameter kolom. Perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan waktu elusi molekul-molekul dari kolom. Suatu molekul solut dapat bergerak melalui kolom dekat dinding kolom yang memiliki kerapatan kemas partikel fase diam yang rendah, sehingga molekul tersebut dengan cepat akan terelusi. Berbeda dengan molekul solut yang melalui bagian tengah kolom yang memiliki kerapatan kemas partikel fase diam yang tinggi, solut akan terelusi dengan kecepatan yang lebih rendah. Hal inilah yang menyebabkan pelebaran puncak untuk tiap analit. Cara memperkecil efek ini adalah menggunakan fase diam yang memiliki partikel berdiameter kecil, diameter kolom kecil, pengemasan kolom yang rapat dan homogen (Rohman dan Gandjar, 2007).
2) Difusi longitudinal
Analit ketika berada dalam fase gerak melewati fase diam menyebar ke segala arah secara difusi, baik dengan arah yang sama maupun berlawanan dengan aliran fase gerak sehingga akan menghasilkan bentuk puncak yang melebar simetris. Difusi longitudinal merupakan efek dari gerakan random molekul analit dalam fase gerak karena adanya perbedaan konsentrasi. Ketika melintasi kolom, molekul-molekul akan berdifusi menyebar ke segala arah. Difusi ini dapat terjadi di sepanjang kolom, baik pada fase gerak maupun fase diam. Akibatnya bentuk puncak analit yang semula sempit, dengan adanya difusi ke dalam fase gerak di sekelilingnya, akan melebarkan profil puncak. Efek ini dapat diperkecil dengan menggunakan fase gerak yang bobot jenisnya lebih tinggi dengan kecepatan linier aliran ditingkatkan (Rohman dan Gandjar, 2007).
3) Transfer massa
Pengaruh transfer massa ini terjadi antara fase diam dengan fase gerak. Proses transfer massa tidak terjadi secara instan melainkan terjadi secara lambat dalam hal kinetikanya. Fase gerak mengalir secara terus menerus mengakibatkan distribusi kesetimbangan analit dalam fase diam dan fase gerak tidak pernah ada. Konsentrasi analit pada fase diam yang tertinggal sebenarnya lebih sedikit dibandingkan dengan konsentrasi analit pada fase gerak sehingga akan terbentuknya pelebaran puncak (Rohman dan Gandjar, 2007).
Beberapa penyebab terjadinya puncak asimetris antara lain:
1) Konsentrasi analit terlalu besar yang membuat fase gerak tidak mampu
membawa analit dengan sempurna sehingga akan terbentuk tailing pada
puncak yang dihasilkan.
2) Adanya interaksi yang kuat antara analit dengan fase diam sehingga analit
sulit terelusi dari kolom dan membuat terbentuknya tailing pada puncak.
3) Terdapat kontaminan dalam sampel sehingga akan muncul suatu puncak
didepan puncak analit yang membuat terbentuknya fronting pada puncak
(Rohman dan Gandjar, 2007).
b. Waktu retensi (tR). Waktu retensi merupakan waktu yang dibutuhkan suatu
analit untuk melewati kolom. Waktu retensi (tR) dan faktor retensi (k’)
dihubungkan dengan persamaan:
tR = tM (l + k’) (6)
tM merupakan waktu yang dibutuhkan analit yang tidak tertahan
untuk melewati kolom. Analit yang tidak tertahan akan bermigrasi melewati kolom dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan fase gerak, sehingga
nilai faktor retensinya adalah nol (tR = tM). Analit yang mempunyai nilai
k’ > 0 akan tertahan secara proporsional dan menghasilkan waktu retensi
yang lebih besar daripada tM (Gandjar dan Rohman, 2007).
c. Resolusi (Rs). Resolusi adalah indikator pemisahan dua puncak yang
berdekatan. Pemisahan yang baik adalah pemisahan yang menghasilkan nilai
Rs≥ 1,5. Hubungan antara waktu retensi analit (tR) dengan lebar puncak (W)
0,5(W W) t t Rs 1 2 R1 R2 + − = (7)
Dimana : tR1 dan tR2 = waktu retensi komponen
W1 dan W2 = lebar alas puncak komponen (Snyder dkk., 2010).
d. Efisiensi kolom. Salah satu yang menjadi tolok ukur efisiensi kolom adalah
jumlah lempeng (N) yang didasarkan pada konsep lempeng teoritis. Efisiensi kolom akan berpengaruh pada waktu retensi analit. Semakin tinggi jumlah lempeng teoritis maka semakin baik pula efisiensi kolom (Snyder dkk., 2010).
Nilai Height Equivalent Theoritical Plate (HETP) merupakan tolok
ukur efisiensi kolom, dimana HETP dapat dihitung melalui persamaan berikut:
N L
HETP= (8)
Dimana : L = panjang kolom N = jumlah lempeng
dimana nilai N merupakan bilangan lempeng teoritik dan dapat dihitung dengan persamaan berikut:
2 h 2 1 R W t x 5,54 N ⎟⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎜ ⎝ ⎛ = (9)
Dimana : tR = waktu retensi analit
h 2 1
W = lebar puncak pada posisi setengah tinggi puncak
Nilai HETP berbanding terbalik dengan jumlah lempeng teoritis (N). Dengan begitu, semakin tinggi nilai N makan semakin kecil nilai HETP dan semakin efisien kolom yang digunakan (Snyder dkk., 2010).