BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA
G. Metode Fraksinasi
2. Kromatografi
Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahaan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunkan untuk memisahkan dan mengkuantifikasi berbagai macam komponen yang kompleks, baik komponen organik maupun komponen non organik. Pemisahan menggunakan kromatografi didasarkan pada sifat fisika-kimia umum dari molekul seperti : kecenderungan molekul untuk larut dalam cairan, kecenderungan molekul
untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorbsi), dan kecenderungan molekul untuk menguap berubah ke keadaan uap (Gandjar dan Rohman, 2012).
H. Alanin Aminotransferase (ALT) dan Aspartat Aminotransferase (AST) Aspartat aminotransferase (AST/ SGOT) merupakan enzim yang terdapat pada jaringan dengan aktivitas metabolik tinggi, mengkatalisis konversi bagian nitrogen asam amino menjadi energi dalam siklus krebs. Enzim ini dahulu disebut glutamat-oksaloasetat transaminase (GOT) dan dirujuk sebagai GOT serum (SGOT). AST ditemukan dalam sitoplasma dan mitokondria sel hati, jantung, otot skelet, ginjal, pankreas dan eritrosit. Pada kerusakan sel-sel tersebut, AST dalam serum meninggi (Shivaraj, 2009).
Alanin aminotransferase (ALT/SGPT) merupakan enzim konsentrasi tinggi yang terjadi pada hati, mengkatalis kelompok amino dalam siklus krebs untuk menghasilkan energi jaringan. Dahulu disebut glutamat-piruvat transaminase serum (SGPT). ALT terdapat terutama pada sel ginjal, sel jantung dan otot skelet. Pada kerusakan sel hati ALT meninggi di dalam serum sehingga merupakan indikator kerusakan sel hati (Shivaraj, 2009).
AST/SGOT dan ALT/SGPT sering dianggap sebagai enzim hati karena tingginya konsentrasi keduanya dalam hepatosit, tetapi hanya ALT yang spesifik.
Pada penyakit hati, kadar AST dan ALT serum umumnya naik dan turun secara bersama-sama. Bila hepatosit cedera, enzim yang secara normal berada di dalam intrasel ini akan masuk ke dalam aliran darah. Hepatosit sentrilobulus mengalami cedera apabila hipotensi arteri menyebabkan berkurangnya darah yang masuk ke hati atau apabila peningkatan tekanan balik akibat gagal jantung kanan
memperlambat keluarnya darah dari vena sentral. Pada kerusakan hipoksik ini, kadar aminotransferase meningkat sampai derajat sedang (Shivaraj, 2009).
I. Landasan Teori
Terdapat bermacam-macam kerusakan di dalam hati. Salah satunya adalah kerusakan hati akibat induksi obat yaitu nekrosis. Kerusakan hati ini ditandai dengan adanya peningkatan aktivitas ALT dan AST serum, umumnya naik dan turun secara bersama-sama (Shivaraj, 2009).
Salah satu senyawa model yang dapat menimbulkan toksisitas adalah karbon tetraklorida. CCl4 membutuhkan bioaktivasi dalam fase I sitokrom sistem P450 untuk membentuk metabolisme reaktif berupa radikal trichloromethyl (•CCl3) dan radikal trichloromethyl peroksi (•OOCCl3). Radikal bebas yang terbentuk dapat berikatan dengan asam lemak tak jenuh ganda untuk menghasilkan alkoksi (R•) dan radikal peroksi (ROO•) yang pada akhirnya menghasilkan lipid peroksida yang sangat reaktif, mengubah aktivitas enzim, dan menyebabkan cedera atau nekrosis (Weber, 2003).
Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khan, Khan, Sahreen, Jan, Bokhari, and Rashid (2011), menunjukkan hasil bahwa Sonchus arvensis L.
efisien mencegah terjadinya cedera adrenal yang disebabkan oleh CCl4 melalui efek antioksidan. Penelitia yang dilakukan Kurniawan (2014) yang meneliti tentang efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek (6 jam) herba Bidens pilosa L. Diketahui bahwa pemberian jangka pendek herba Bidens pilosa L.
memiliki efek hepatoprotektif terhadap tikus betina teinduksi karbon tetraklorida.
Hal tersebut mendasari pemilihan waktu enam jam (jangka pendek) sebagai waktu praperlakuan sebelum diinduksi dengan karbon tetraklorida.
Penelitian ini menggunakan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Soegihardjo (1984) yang meneliti tentang kandungan flavonoid dan daya antihepatotoksik dari Sonchus oleraceus L. Diketahui bahwa fraksi air Sonchus oleraceus L.
mengandung luteolin aglikon yang memiliki efek antihepatotoksik.
J. Hipotesis
Fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. memiliki efek hepatoprotektif pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.
26 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. terhadap aktivitas serum ALT dan AST pada tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.
B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama
a. Variabel bebas.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah tingkatan atau variasi dosis fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. pemberian jangka pendek pada tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.
b. Variabel tergantung.
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah efek hepatoprotektif jangka pendek fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. yang ditandai dengan penurunan serum ALT dan AST (U/L) tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali.
Variabel pengacau terkendali pada penelitin ini adalah kondisi hewan uji, yaitu tikus putih jantan galur Wistar dengan jenis kelamin jantan, berat badan ±150-250 g, umur 2-3 bulan, frekuensi pemberian secara per oral fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L., bahan uji berupa herba Sonchus arvensis L. yang diperoleh dari Kaliurang, Yogyakarta, serta cara penyimpanan serbuk herba Sonchus arvensis L.
b. Variabel pengacau tak terkendali.
Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi patologis dan fisiologis dari tikus jantan yang digunakan.
3. Definisi operasional
a. Herba Sonchus arvensis L. Adalah semua bagian tumbuhan di atas tanah yang meliputi batang, daun, bunga, dan buah Sonchus arvensis L
b. Fraksi air herba Sonchus arvensis L. Adalah ekstrak kental Sonchus arvensis L yang disari dengan metode maserasi menggunakan penyari etanol 70%, dilanjutkan dengan pengeringan diatas waterbath hingga diperoleh bobot tetap, yang kemudian dipartisi menggunakan pelarut etil asetat.
c. Efek hepatoprotektif. Adalah kemampuan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. pada dosis tertentu dapat melindungi hepar dari hepatotoksin yang ditunjukan dengan adanya penurunan aktivtas
serum AST dan ALT pada tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida.
d. Pemberian jangka pendek. Merupakan selang waktu 6 jam pemberian praperlakuan fraksi air ektrak etanolik herba Sonchus arvensis L. kepada hewan uji.
e. Dosis fraksi air akstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. Adalah sejumlah (gram) fraksi air akstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. tiap satuan kg berat badan dari subjek uji.
f. Dosis efektif. Dosis terkecil dari fraksi air akstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. yang dapat menurunkan aktivitas ALT-AST pada serum tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.
C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama
a. Hewan uji yang digunakan berupa tikus jantan, umur 2-3 bulan dengan berat badan berkisar antara 150-250 g yang diperoleh dari Laboratorium Imuno Fakultas Farmasi Universitas Sanata Darrma Yogyakarta.
b. Bahan uji berupa herba Sonchus arvensis L. yang diperoleh dari Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta yang diambil pada bulan Juli-Agustus 2014.
2. Bahan kimia
a. Hepatotoksin yang digunakan adalah karbon tetraklorida yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
b. Pelarut untuk ekstraksi herba Tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang digunakan adalah etanol 70% dan aquadest yang diperoleh dari toko bahan kimia CV. Progo Mulyo Yogyakarta.
c. Larutan untuk Fraksinasi ekstrak etanolik herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang digunakan adalah aquadest dan etil asetat yang diperoleh dari PT. Alfa Kimia, Yogyakarta.
d. Kontrol negatif dan pelarut karbon tetraklorida yang digunakan adalah olive oil, diperoleh dari PT. Brataco Chemika, Yogyakarta.
e. Pelarut fraksi air ektrak etanolik herba Tempuyung (Sonchus arvensis L.) digunakan CMC-Na berbentuk serbuk yang diperoleh dari Laboratorium Biofarmasetika Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
f. Blanko pengukuran aktivitas serum ALT dan AST yang digunakan adalah aqua bidestilata, diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
g. Reagen serum ALT yang digunakan adalah reagen DiaSys. Komposisi dan konsentrasi dari reagen ALT adalah sebagai berikut:
Tabel II. Komposisi dan konsentrasi reagen ALT R1
TRIS pH 7,15 140 mmol/L
L-alanine 700 mmol/L
LDH (Lactate
dehydrogenase) ≥ 2300 U/L
R2 dan konsentrasi dari reagen AST adalah sebagai berikut:
Tabel III. Komposisi dan konsentrasi reagen AST R1
TRIS pH 7,65 110 mmol/L
L-alanine 320 mmol/L
MDH (Malate
dehydrogenase) ≥ 800 U/L
LDH (Lactate
dehydrogenase) ≥ 1200 U/L
R2
D. Alat Penelitian 1. Alat ekstraksi dan fraksinasi
Alat-alat yang digunakan antara lain mesin penyerbuk dan ayakan, oven.
Seperangkat alat gelas berupa Beaker glass, Erlenmeyer, gelas ukur, labu ukur, cawan porselen, corong Buchner, pipet tetes, batang pengaduk, corong pisah (Pyrex Iwaki Glass®), ayakan nomor 40 Electric Sieve Shaker Indotest Multi Lab®), timbangan analitik Mettler Toledo®), orbital shaker Optima®), rotary vacuum evaporator IKAVAC®), oven Memmert®).
2. Alat uji hepatoprotektif
Seperangkat alat gelas berupa Beaker glass, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, pipet tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass®), timbangan analitik Mettle Toledo®), centrifuge Centurion Scientific®, vortex Genie Wilten®, spuit per oral 3 mL dan 5 mL, pipa kapiler, tabung Eppendorf, syringe 3 cc Terumo®, Vitalab mikro (Microlab-200, Merck®), micropipette, blue tip, stopwatch.
E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi herba Sonchus arvensis L.
Determinasi herba Sonchus arvensis L. dilakukan dengan melihat dan mencocokkan ciri-ciri dari herba Sonchus arvensis L. yang diperoleh dari daerah Kaliurang, Yogyakarta dengan tanaman Tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang telah dideterminasi menggunakan buku acuan determinasi. Determinasi dilakukan oleh petugas dari Bagian Biologi Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
2. Pengumpulan bahan uji
Bahan uji yang digunakan adalah herba Sonchus arvensis L. yang masih segar, terhindar dari penyakit, memiliki bagian tumbuhan lengkap di atas tanah (batang, daun, bunga dan buah) dan berwarna hijau herba Sonchus arvensis L.
dipanen dari daerah Kaliurang, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sleman pada bulan Juli-Agustus 2014.
3. Pembuatan serbuk herba tempuyung (Sonchus arvensis L.)
Herba Sonchus arvensis L. dicuci bersih dibawah air mengalir. Setelah bersih daun diangin-anginkan hingga herba tidak tampak basah kemudian dilakukan pengeringan menggunakan oven pada suhu 50° C selama 24 jam.
Setelah herba kering kemudian dibuat menjadi serbuk dan diayak menggunakan ayakan nomor 50 dengan tujuan agar kandungan fitokimia yang terkandung dalam herba Sonchus arvensis L. lebih mudah terekstraksi karena luas permukaan serbuk yang kontak dengan pelarut semakin besar.
4. Pembuatan ektrak etanol - air herba Sonchus arvensis L.
Sebanyak 50 g serbuk kering herba Sonchus arvensis L. diekstraksi secara maserasi dengan melarutkan serbuk dalam 250 ml pelarut etanol 70% : 250 ml aquadest pada suhu kamar selama 24 jam dengan kecepatan 220 rpm.
Tujuan dilarutkan dalam pelarut etanol agar senyawa kimia yang terkandung dalam herba Sonchus arvensis L. dapat larut dalam pelarut. Setelah dilakukan perendaman, hasil maserasi disaring dengan kertas saring. Larutan hasil saringan dipindahkan dalam cawan porselen yang telah ditimbang sebelumnya, agar mempermudah perhitungan randemen ekstrak yang akan diperoleh. Cawan
porselen yang berisi larutan hasil maserasi diuapkan di atas waterbath selama 10 jam dengan suhu 70°C untuk mendapatkan ekstrak etanol-air herba Sonchus arvensis L. yang kental.
5. Penetapan kadar air pada serbuk kering herba tempuyung (Sonchus arvensis L.
Serbuk herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang telah diayak sebanyak ± 5 g digunakan sebagai bahan untuk pengecekkan kadar air. Langkah pertama pengujian, yakni timbang kurs kosong (bobot A), kemudian timbang serbuk kering, dan masukkan dalam kurs porselen (bobot B). Setelah itu panaskan dalam oven dengan suhu 105oC selama 3 jam hingga berat konstan. Lalu masukkan ke dalam esikator, dan timbang serbuk kering herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang sudah dipanaskan sebagai bobot setelah pemanasan (bobot C). Kemudian dilakukan perhitungan kadar air dengan rumus sebagai berikut:
Kadar air = bobot A + bobot B − bobot C
bobot B x 100%
6. Penetapan rendemen ekstrak
Menghitung rata-rata rendemen enam replikasi ekstrak etanol : air herba Sonchus arvensis L. kental yang telah dibuat. Rendemen ekstrak = berat cawan ekstrak kental – berat cawan kosong
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =𝑅𝑒𝑝1 + 𝑅𝑒𝑝2 + 𝑅𝑒𝑝3 + 𝑅𝑒𝑝4 + 𝑅𝑒𝑝5 + 𝑅𝑒𝑝6 6
7. Pembuatan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
Pembuatan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi cair-cair (Liquid-liquid
extraction). Ekstrak kental etanolik herba Sonchus arvensis L. yang diperoleh ditambah air hangat 125 ml dan dipartisi dengan pelarut etil asetat dalam corong pisah dengan perbandingan volume etil asetat dengan air 1:1 v/v. Ekstrak kental etanolik herba Sonchus arvensis L. dipartisi dengan etil asetat sebanyak tiga kali, dengan penggojokan lemah hingga tidak ada gas yang keluar. Proses fraksinasi pada penelitian ini dilakukan dengan 3 kali pemisahan yaitu masing-masing 125 ml untuk setiap kali melakukan fraksinasi, hal ini bertujuan untuk mendapatkan hasil fraksinasi yang optimal karena menurut hukum Nernst koefisien distribusi (KD) yang berbunyi perbandingan antara zat terlarut di dalam kedua pelarut yang tidak saling campur nantinya akan berpindah karena terjadi kejenuhan dan berdistribusi ke salah satu pelarut karena perbedaan kepolarannya, sehingga untuk mendapatkan hasil yang baik diperlukan beberapa kali proses fraksinasi (Day and Underwood, 1998). Kemudian didiamkan sampai terpisah sempurna. Fase air akan berada pada bagian bawah karena memiliki berat jenis 0,996, sedangkan fraksi etil asetat akan berada pada bagian atas karena memiliki berat jenis 0,898 (Depkes RI, 1995).
Dari hasil partisi diperoleh dua fraksi, yaitu fraksi air (polar) dan fraksi etil asetat (non polar). Fraksi air kemudian dievaporasi menggunakan vakum evaporator dengan suhu 700 selama 4 jam untuk untuk menguapkan air dan menghilangkan tapak-tapak etil asetat yang mungkin masih terkandung di dalam fraksi air. Fraksi air kemudian dipindahkan ke dalam cawan porselen yang selanjutnya dipekatkan di atas waterbath selama ± 6 jam sampai didapat ekstrak kental fraksi air. Fraksi air ekstrak kental yang diperoleh kemudian disimpan di
dalam desikator dengan ditutup alumunium foil dengan tujuan supaya terhindar dari cahaya matahari secara langsung yang dikhawatirkan dapat merusak senyawa di dalam fraksi air ekstrak etanolik kental yang diperoleh.
8. Penetapan konsentrasi pekat fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
Konsentrasi yang digunakan adalah konsentrasi pekat yang dapat dibuat, dimana pada konsentrasi tersebut fraksi dapat dimasukkan dan dikeluarkan dari spuit oral. Konsentrasi pekat dibuat dengan melarutkan 0,75 (hasil orientasi) fraksi di dalam labu ukur terkecil (5 mL) dengan pelarut yang sesuai (CMC Na 1%), sehingga konsentrasi fraksi yang diperoleh sebesar 15 % b/v atau 0,15 g/mL atau 150 mg/mL.
9. Penetapan dosis fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
Dasar penetapan peringkat dosis fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. adalah dihitung berdasarkan bobot tertinggi tikus (250 g), separuh dari volume pemberian maksimal pada tikus, yaitu 2,5 ml, dan konsentrasi maksimal yang diperoleh dari orientasi pembuatan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. (15%). Penetapan dosis tertinggi fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. adalah sebagai berikut.
D x BB = C x V
D x 0,25 kgBB = 15 g/ 100 mL x 2,5 ml
D = 1,5 g/kg BB (Dosis maksimum)
Peringkat dosis lainnya diperoleh dengan menurunkan dari dosis maksimum menggunakan faktor kelipatan 2, sehingga dosis fraksi air ekstrak
etanolik herba Sonchus arvensis L. yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB.
10. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50%
Pembuatan larutan karbon tetraklorida dibuat dalam konsentrasi 50%
dengan perbandingan volume pelarut dan karbon tetraklorida 1:1 (Janakat and Al-Merie, 2002). Karbon tetraklorida dilarutkan ke dalam olive oil dengan volume yang sama.
11. Pembuatan suspending agent CMC-Na 1%
Pembuatan suspending agent dibuat dengan mendispersikan lebih kurang 1,0 g CMC-Na yang telah ditimbang sesama dan digerus, kemudian dimasukan ke dalam labu takar 100 mL dan di add dengan aquadest sampai tanda batas.
CMC-Na yang dibuat digunakan untuk melarutkan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
12. Uji pendahuluan
a. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida. Pemilihan dosis karbon tetraklorida dilakukan untuk mengetahui pada dosis berapa karbon tetraklorida bisa menyebabkan kerusakan hati tikus yang ditandai dengan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST paling tinggi tetapi tidak menimbulkan kematian. Menurut penelitian Janakat and Al-Merie, (2002), karbon tetraklorida dengan dosis 2 ml/kg BB terbukti dapat meningkatkan aktivitas serum ALT-AST pada tikus jika diberikan secara intraperitoneal.
b. Penetapan waktu pencuplikan darah. Penetapan waktu cuplikan darah dilakukan lebih dari satu kali cuplikan dengan tujuan untuk melihat aktivitas
dari serum ALT-AST. Waktu pencuplikan darah diperoleh dengan melakukan orientasi. Pada penelitian ini dilakukan orientasi dengan waktu cuplikan dari jam 0, 24, dan 48 jam setelah pemejanan karbon tetraklorida.
13. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji
Hewan percobaan yang dibutuhkan sebanyak 30 ekor tikus jantan galur Wistar dibagi secara acak dalam enam kelompok, masing-masing lima ekor tikus.
Kelompok I (kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Kelompok II (kontrol negatif) diberikan olive oil dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Kelompok III (kontrol perlakuan) diberikan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L dengan dosis 1,5 g/kgBB secara per oral. Kelompok IV-VI (kelompok perlakuan) masing-masing diberikan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dengan dosis 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB secara per oral, kemudian 6 jam setelah pemberian fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L., diberikan karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Pada jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida, semua kelompok diambil darahnya pada daerah sinus orbitalis (mata tikus) untuk diukur aktivitas ALT dan AST serum.
14. Pembuatan serum
Darah diambil melalui bagian sinus orbitalis (mata tikus) kemudian ditampung dalam tabung Eppendorf yang telah ditetesi heparin. Darah didiamkan kurang lebih 15 menit. Darah disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm dan bagian supernatannya diambil.
15. Pengukuran aktivitas serum ALT dan AST
Pengukuran aktivitas serum ALT dan AST (U/L) dilakukan di Laboratorium Anatomi Fisiologi Manusia Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta dengan menggunakan Vitalab mikro (Mikrolab-200). Panjang gelombang yang digunakan untuk mengukur aktivitas serum adalah 340 nm.
Analisis serum ALT dilakukan dengan mencampur 100 μL serum dengan 1000 μL reagen I, kemudian dicampurkan 250 μL reagen II dan dibaca resapan setelah satu menit. Sedangkan analisis serum AST serum dilakukan dengan cara mencampur 100 μL serum dengan 1000 μL reagen I, kemudian dicampurkan 250 μL reagen II dan dibaca serapan setelah satu menit.
F. Tata Cara Analisis Hasil
Data aktivitas serum ALT-AST diuji menggunakan uji Shapiro-Wilk sebagai uji kenormalan untuk melihat distribusi data dan analisis varian. Jika data terdistribusi normal, dilanjutkan dengan uji ANOVA one way dengan taraf kepercayaan 95% untuk melihat perbedaan masing-masing kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe/LSD untuk melihat perbedaan antara kelompok bermakna (p<0,05) atau tidak bermakna (p>0,05). Bila distribusi tidak normal atau varian tidak homogen, dilakukan analisis dengan uji Kruskal Wallis untuk mengetahui perbedaan aktivitas ALT-AST serum antar kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan Mann Whitney untuk perbedaan tiap kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05).
Perhitungan persen hepatoprotektif terhadap hepatotoksin karbon tetraklorida diperoleh dengan rumus :
1- Purata ALT perlakuan-Purata ALT kontrol negatif
Purata ALT kontrol karbon tetraklorida-Purata ALT kontrol negatif x 100%
1- Purata AST perlakuan-Purata AST kontrol negatif
Purata AST kontrol karbon tetraklorida-Purata AST kontrol negatif x 100%
(Wakchaure, Jain, Singhai, and Somani, 2011).
40 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif serta dosis efektif dari fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. terhadap tikus putih jantan terinduksi karbon tetraklorida. Efek hepatoprotektif dari fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dapat dilihat dari daya hambatnya terhadap kenaikan aktivitas serum ALT-AST pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok hepatotoksin. Uji aktivitas ALT-AST digunakan sebagai tolak ukur kuantitatif dalam penelitian ini untuk melihat seberapa besar efek hepatoprotektif yang dihasilkan.
A. Penyiapan Bahan 1. Determinasi tanaman
Determinasi herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang diperoleh dari daerah Kaliurang bertujuan untuk menjamin kebenaran herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang digunakan pada penelitian ini. Determinasi dilakukan oleh petugas dari bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Determinasi tanaman tempuyung (Sonchus arvensis L.) dilakukan dengan cara mencocokkan kesamaan herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang digunakan pada penelitian ini dengan acuan yang digunakan.
Bagian tanaman yang dideterminasi antara lain batang, daun, bunga, dan biji kecuali akar. Hasil determinasi (lampiran 12) membuktikan bahwa herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) adalah benar berasal dari tanaman tempuyung (Sonchus arvensis L.) dan berasal dari keluarga Asteraceae.
2. Hasil penetapan kadar air
Penetapan kadar air herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) bertujuan untuk melihat seberapa banyak air yang terkandung dalam serbuk herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) serta untuk memenuhi syarat penting standarisasi serbuk yang baik, yaitu memiliki kadar air kurang dari 10%
(Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1995). Metode yang digunakan untuk penetapan kadar air pada penelitian ini adalah metode Gravimetri. Hasil yang diperoleh menunjukkan serbuk herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) memiliki kadar air sebesar 8,31% (lampiran 5). Hal ini menunjukan bahwa herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) telah memenuhi syarat sebagai serbuk yang baik dengan kadar air kurang dari 10%
3. Penetapan konsentrasi fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
Penetapan konsentrasi maksimal dari fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dibuat untuk digunakan dalam menentukan dosis maksimal fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. Konsentrasi maksimal adalah konsentrasi dimana fraksi yang buat dapat dimasukkan dan dikeluarkan dari spuit oral. Hasil dari penetapan konsentrasi maksimal fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. didapatkan konsentrasi maksimal sebesar 15 % yang selanjutnya akan digunakan untuk menentukan dosis maksimal dari fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
B. Uji Pendahuluan 1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida
Penelitian ini menggunakan karbon tetraklorida sebagai senyawa hepatotoksin. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida bertujuan untuk mengetahui dosis karbon tetraklorida yang dapat menyebabkan kerusakan hati ringan yaitu steatosis tanpa menyebabkan kematian pada hewan uji. Penanda terjadinya steatosis dapat dilihat dari peningkatan aktivitas serum ALT sebanyak tiga kali lipat dan AST sebanyak empat kali lipat dari nilai normal terhadap kontrol (Zimmerman, 1999). Dosis hepatotoksin karbon tetraklorida pada penelitian ini mengacu dari penelitian Janakat dan Al-Marie (2002), yaitu sebesar 2 mL/kgBB dalam olive oil (1:1) secara intraperitoneal. Berdasarkan penelitian
Penelitian ini menggunakan karbon tetraklorida sebagai senyawa hepatotoksin. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida bertujuan untuk mengetahui dosis karbon tetraklorida yang dapat menyebabkan kerusakan hati ringan yaitu steatosis tanpa menyebabkan kematian pada hewan uji. Penanda terjadinya steatosis dapat dilihat dari peningkatan aktivitas serum ALT sebanyak tiga kali lipat dan AST sebanyak empat kali lipat dari nilai normal terhadap kontrol (Zimmerman, 1999). Dosis hepatotoksin karbon tetraklorida pada penelitian ini mengacu dari penelitian Janakat dan Al-Marie (2002), yaitu sebesar 2 mL/kgBB dalam olive oil (1:1) secara intraperitoneal. Berdasarkan penelitian