BAB III. METODE PENELITIAN
F. Tata Cara Analisis Hasil
Data aktivitas serum ALT-AST diuji menggunakan uji Shapiro-Wilk sebagai uji kenormalan untuk melihat distribusi data dan analisis varian. Jika data terdistribusi normal, dilanjutkan dengan uji ANOVA one way dengan taraf kepercayaan 95% untuk melihat perbedaan masing-masing kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe/LSD untuk melihat perbedaan antara kelompok bermakna (p<0,05) atau tidak bermakna (p>0,05). Bila distribusi tidak normal atau varian tidak homogen, dilakukan analisis dengan uji Kruskal Wallis untuk mengetahui perbedaan aktivitas ALT-AST serum antar kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan Mann Whitney untuk perbedaan tiap kelompok bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05).
Perhitungan persen hepatoprotektif terhadap hepatotoksin karbon tetraklorida diperoleh dengan rumus :
1- Purata ALT perlakuan-Purata ALT kontrol negatif
Purata ALT kontrol karbon tetraklorida-Purata ALT kontrol negatif x 100%
1- Purata AST perlakuan-Purata AST kontrol negatif
Purata AST kontrol karbon tetraklorida-Purata AST kontrol negatif x 100%
(Wakchaure, Jain, Singhai, and Somani, 2011).
40 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif serta dosis efektif dari fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. terhadap tikus putih jantan terinduksi karbon tetraklorida. Efek hepatoprotektif dari fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dapat dilihat dari daya hambatnya terhadap kenaikan aktivitas serum ALT-AST pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok hepatotoksin. Uji aktivitas ALT-AST digunakan sebagai tolak ukur kuantitatif dalam penelitian ini untuk melihat seberapa besar efek hepatoprotektif yang dihasilkan.
A. Penyiapan Bahan 1. Determinasi tanaman
Determinasi herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang diperoleh dari daerah Kaliurang bertujuan untuk menjamin kebenaran herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang digunakan pada penelitian ini. Determinasi dilakukan oleh petugas dari bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Determinasi tanaman tempuyung (Sonchus arvensis L.) dilakukan dengan cara mencocokkan kesamaan herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) yang digunakan pada penelitian ini dengan acuan yang digunakan.
Bagian tanaman yang dideterminasi antara lain batang, daun, bunga, dan biji kecuali akar. Hasil determinasi (lampiran 12) membuktikan bahwa herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) adalah benar berasal dari tanaman tempuyung (Sonchus arvensis L.) dan berasal dari keluarga Asteraceae.
2. Hasil penetapan kadar air
Penetapan kadar air herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) bertujuan untuk melihat seberapa banyak air yang terkandung dalam serbuk herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) serta untuk memenuhi syarat penting standarisasi serbuk yang baik, yaitu memiliki kadar air kurang dari 10%
(Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1995). Metode yang digunakan untuk penetapan kadar air pada penelitian ini adalah metode Gravimetri. Hasil yang diperoleh menunjukkan serbuk herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) memiliki kadar air sebesar 8,31% (lampiran 5). Hal ini menunjukan bahwa herba tempuyung (Sonchus arvensis L.) telah memenuhi syarat sebagai serbuk yang baik dengan kadar air kurang dari 10%
3. Penetapan konsentrasi fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
Penetapan konsentrasi maksimal dari fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dibuat untuk digunakan dalam menentukan dosis maksimal fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. Konsentrasi maksimal adalah konsentrasi dimana fraksi yang buat dapat dimasukkan dan dikeluarkan dari spuit oral. Hasil dari penetapan konsentrasi maksimal fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. didapatkan konsentrasi maksimal sebesar 15 % yang selanjutnya akan digunakan untuk menentukan dosis maksimal dari fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
B. Uji Pendahuluan 1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida
Penelitian ini menggunakan karbon tetraklorida sebagai senyawa hepatotoksin. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida bertujuan untuk mengetahui dosis karbon tetraklorida yang dapat menyebabkan kerusakan hati ringan yaitu steatosis tanpa menyebabkan kematian pada hewan uji. Penanda terjadinya steatosis dapat dilihat dari peningkatan aktivitas serum ALT sebanyak tiga kali lipat dan AST sebanyak empat kali lipat dari nilai normal terhadap kontrol (Zimmerman, 1999). Dosis hepatotoksin karbon tetraklorida pada penelitian ini mengacu dari penelitian Janakat dan Al-Marie (2002), yaitu sebesar 2 mL/kgBB dalam olive oil (1:1) secara intraperitoneal. Berdasarkan penelitian Janakat dan Al-Marie (2002), dosis hepatotoksin karbon tetraklorida sebesar 2 mL/kgBB sudah dapat menimbulkan kerusakan hati pada tikus. Pemberian karbon tetraklorida secara intraperitoneal bertujuan agar karbon tetraklorida dapat langsung terabsorbsi dengan cepat melalui rongga peritoneal menuju pembuluh darah sehingga toksisitas dapat terjadi dalam waktu yang cepat.
2. Penetapan waktu pencuplikan darah hewan uji
Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji bertujuan untuk mengetahui waktu dimana terjadi kerusakan paling besar pada organ hati hewan uji oleh karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB yang ditandai dengan peningkatan aktivitas ALT dan AST tertinggi pada selang waktu tertentu tanpa menyebabkan kematian hewan uji. Pencuplikan darah hewan uji dilakukan melaui sinus orbitalis pada jam ke-0, 24, dan 48 setelah diinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB
secara intraperitoneal. Data aktivitas serum ALT dan AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada jam ke-0, 24, dan 48 tersaji pada tabel IV.
Tabel IV. Purata aktivitas serum ALT-AST tanpa perlakuan (jam 0) dan perlakuan kontrol karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu
24 dan 48 jam
Keterangan. SE : Standar Error
Tabel IV menunjukkan nilai aktivitas serum ALT pada jam ke-0, 24, dan 48 berturut-turut sebesar 54,0 ± 3,5; 198,4 ± 23,7 dan 74,0 ± 8,2 (U/L). Dari gambar 8, terlihat aktivitas serum ALT pada jam ke-24 dengan dosis karbon tetraklorida 2 mL/kgBB lebih tinggi jika dibandingkan dengan jam ke-0 dan 48.
Peningkatan aktivitas serum ALT pada jam ke-24 sebesar 3,67 kali lipat dibandingkan dengan aktivitas serum pada jam ke-0. Pada pencuplikan darah jam ke-48 terjadi peningkatan aktivitas serum sebesar 1,35 kali dibandingkan waktu ke-0, namun sudah terjadi penurunan bila dibandingkan dengan aktivitas serum pada jam ke-24, sehingga peningkatan aktivitas serum ALT jam ke-24 telah memenuhi syarat hepatotoksisitas yang telah ditentukan, yaitu ≥ 3 kali lipat (Janakat dan Al-Marie, 2002). Data aktivitas serum ALT dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk didapatkan data terdistribusi normal (p>0,05) namun variansi tidak homogen (p=0,017), sehingga tidak dapat dilanjutkan ke analisis pola searah (One Way ANOVA). Analisis dilakukan dengan Kruskal Wallis untuk mengetahui
perbedaan aktivitas serum ALT antar kelompok waktu. Hasil uji menggunakan Kruskal Wallis menunjukkan signifikansi p=0.002 (p ≤ 0,05), yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna diantara kelompok. Maka, untuk melihat perbedaan tiap kelompok waktu dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. Hasil uji menggunakan Mann Whitney antara jam ke-0 dengan jam ke-24 menunjukkan terdapat perbedaan bermakna (p=0,009). Aktivitas ALT jam ke-48 mengalami penurunan, namun penurunan yang terjadi belum mencapai keadaan normal sehingga memberikan perbedaan bermakna terhadap jam ke-24. Jika dibandingkan dengan jam ke-0, aktivitas ALT jam ke-48 menunjukan perbedaan tidak bermakna, yang berarti telah terjadi penurunan aktivitas ALT secara signifikan jika dibandingkan dengan jam ke-0. Hal ini menunjukkan bahwa pada jam ke-24 terjadi kerusakan hati maksimal yang ditandai dari puncak tertinggi nilai aktivitas serum ALT dibandingkan dengan waktu pencuplikan lainnya (jam 0 dan 48). Hasil statistik aktivitas serum ALT pada pencuplikan darah jam ke-0, 24, dan 48 jam dapat dilihat pada tabel V.
Tabel V. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam 0,
24, dan 48 jam (Mann-Whitney Test)
ALT Jam 0 Jam 24 Jam 48
Jam 0 BB BTB
Jam 24 BB BB
Jam 48 BTB BB
Keterangan :
BB : Berbeda bermakna (p<0,05) BTB : Berbeda tidak bermakna (p≥0,05)
Gambar 8. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu 0, 24, 48 jam
Tabel IV dan gambar 9 menunjukkan aktivitas serum AST paling tinggi terjadi pada jam ke-24 (461,2 ± 46,3 U/L). Peningkatan aktivitas serum AST pada jam 24 sebesar 5 kali lipat dibandingkan dengan aktivitas serum pada jam ke-0. Pada pencuplikan darah jam ke-48 terjadi peningkatan aktivitas serum sebesar 2 kali dibandingkan waktu ke-0, namun sudah terjadi penurunan bila dibandingkan dengan aktivitas serum pada jam ke-24 walau belum mencapai keadaan normal.
Data aktivitas serum AST dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk didapatkan data terdistribusi normal (p>0,05) dan dengan levene test didapatkan variansi homogen (p=0,239). Analisis statistik dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA). Hasil uji analisis pola searah menunjukkan aktivitas serum AST pada jam ke-0 menunjukan perbedaan bermakna terhadap jam ke-24 (p<0,05). Pada jam ke-0 dengan jam ke-48 terjadi perbedaan tidak bermakna (p=0,214). Pada penelitian ini pengamatan aktivitas AST digunakan sebagai data
pendukung. Hasil statistik aktivitas serum AST pada pencuplikan darah ke-0, 24, dan 48 jam dapat dilihat pada tabel VI.
Tabel VI. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam 0,
24, dan 48 jam (Uji Shceffe)
AST Jam 0 Jam 24 Jam 48
Jam 0 BB BTB
Jam 24 BB BB
Jam 48 BTB BB
Keterangan :
BB : Berbeda bermakna (p<0,05) BTB : Berbeda tidak bermakna (p≥0,05)
Gambar 9. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu 0, 24, 48 jam
Dari data di atas, hasil uji statistik aktivitas serum ALT-AST darah tikus pada pencuplikan darah jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB (tabel V dan tabel VI) menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) dengan aktivitas serum ALT-AST darah tikus pada jam ke-0 dan 48. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan aktivitas serum ALT-AST yang signifikan jam ke-24 jika dibandingkan dengan jam ke-0 dan jam ke-48 Oleh karena itu, waktu
pencuplikan darah pada penelitian ini dilakukan pada jam ke-24 setelah pemberian hepatoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB.
3. Penetapan dosis fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
Tujuan dari penetapan dosis fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. adalah untuk menentukan peringkat dosis yang akan digunakan dalam penelitian ini. Penetapan dosis fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. didasarkan pada konsentrasi maksimal fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. yang dapat dimasukkan dan dikeluarkan melalui spuit oral (15%) serta setengah dari volume maksimal rute per oral yang dapat diberikan pada tikus (2,5 mL). Sehingga diperoleh dosis maksimal fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. sebesar 1,5 g/kgBB yang selanjutnya ditentukan tiga peringkat dosis fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L., yaitu 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB.
C. Hasil uji efek hepatoprotektif jangka pendek fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. pada tikus putih jantan terinduksi karbon
tetraklorida
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif jangka pendek fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. pada tikus putih jantan terinduksi karbon tetraklorida. Pada penelitian ini digunakan tiga peringkat dosis, yaitu 0,375 g/kgBB sebagai dosis rendah ; 0,75 g/kgBB sebagai dosis tengah dan 1,5 g/kgBB sebagai dosis tinggi. Penurunan aktivitas ALT-AST serum setelah pra-perlakuan pemberian tiga peringkat dosis berbeda fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. selama enam jam sebelum pemberian senyawa hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB, digunakan sebagai parameter dalam
melihat efek hepatoprotektif fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
Hasil data ALT dan AST pada tiap kontrol dan perlakuan tertera dalam bentuk purata ± SE pada tabel VII, gambar 10 dan 11.
Tabel VII. Purata ± SE aktivitas serum ALT dan AST, serta % efek hepatoprotektif tikus perlakuan fraksi air herba Sonchus arvensis L.
terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB
Keterangan :
I : Kelompok kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB II : Kelompok kontrol negative (olive oil dosis 2 mL/kgBB)
III : Kelompok kontrol perlakuan (FAHSA dosis 1,5 g/kgBB)
IV : Kelompok perlakuan dosis I (FAHSA dosis 0,375 g/kgBB + CCl4 2 mL/kgBB) V : Kelompok perlakuan dosis II (FAHSA dosis 0,75 g/kgBB + CCl4 2 mL/kgBB) VI : Kelompok perlakuan dosis III (FAHSA dosis 1,5 g/kgBB + CCl4 2 mL/kgBB) FAHSA: Fraksi air herba Sonchus arvensis L.
SE : Standar Error CCl4 : karbon tetraklorida
Hasil uji statistik menggunakan uji Shapiro-Wilk menunjukkan bahwa data serum ALT-AST terdistribusi normal. Uji Oneway menunjukkan data serum ALT memiliki variansi tidak homogen yang dilihat dari uji Levene p=0,007 (p<0,05) sehingga akan dilanjutkan menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk Kelompok
melihat kebermaknaan data ALT. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan signifikansi serum ALT sebesar 0,000 sehingga akan dilanjutkan menggunakan uji Mann-Whitney yang tersaji pada tabel VIII. Sedangkan Uji Oneway menunjukkan data serum AST memiliki variansi homogen yang dilihat dari uji Levene p=0,056 (p>0,05) sehingga uji statistik dilanjutkan dengan uji LSD untuk melihat kebermaknaan data serum AST yang tersaji dalam tabel IX.
Tabel VIII. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap perlakuan fraksi air herba Sonchus arvensis L. berdasarkan
serum ALT pada variasi dosis tertentu (Uji Mann-Whitney)
Kelompok
FAHSA = Fraksi air herba Sonchus arvensis L.
BB = Berbeda bermakna (p <0,05) BTB = Berbeda tidak bermakna (p ≥ 0,05)
Tabel IX. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap perlakuan fraksi air herba Sonchus arvensis L. berdasarkan
serum AST pada variasi dosis tertentu (Uji LSD)
Kelompok
FAHSA = Fraksi air herba Sonchus arvensis L.
BB = Berbeda bermakna (p < 0,05)
BTB = Berbeda tidak bermakna (p ≥ 0,05)
Gambar 10. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus perlakuan fraksi air herba Sonchus arvensis L. terinduksi karbon tetraklorida
Gambar 11. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus perlakuan fraksi air herba Sonchus arvensis L. terinduksi karbon tetraklorida
1. Kontrol negatif olive oil 2 mL/kgBB
Tujuan pengujian kelompok kontrol negatif adalah untuk melihat apakah pemberian olive oil sebagai pelarut hepatotoksin karbon tetraklorida memiliki pengaruh terhadap peningkatan aktivitas serum ALT dan AST. Dosis olive oil yang digunakan adalah sebesar 2 mL/kgBB atau sama dengan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida.
Tabel X. Purata aktivitas serum ALT-AST tanpa perlakuan (jam 0) dan perlakuan olive oil dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 24 Selang
Keterangan. SE : Standar Error
Dari hasil pengukuran aktivitas serum ALT yang tersaji pada tabel X, tabel XI dan gambar 12, diperoleh purata nilai serum ALT sebesar 57,0 ± 5,0 U/L pada jam ke-0 (sebelum pemberian olive oil) dan purata nilai ALT sebesar 41,6 ± 2,3 U/L pada jam ke-24 (setelah pemberian olive oil). Hasil uji statistik menunjukkan kelompok kontrol olive oil jam ke-0 memiliki perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol olive oil jam ke-24 (p<0,05), namun nilai serum ALT pada jam ke-0 dan 24 masih berada dalam rentang nilai normal ALT tikus yaitu 29,8-77,0 U/L (Hastuti, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian olive oil berpengaruh terhadap aktivitas serum ALT namun tidak menyebabkan peningkatan pada aktivitas serum ALT.
Tabel XI. Perbandingan aktivitas serum ALT tanpa perlakuan (jam-0) dengan perlakuan kontrol negatif (jam-24)
ALT Jam 0 Jam 24
Jam 0 BB
Jam 24 BB
Keterangan :
BB : Berbeda bermakna (p<0,05) BTB : Berbeda tidak bermakna (p>0,05)
Gambar 12. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus setelah pemberian olive oil dosis 2 mL/kgBB pada jam ke-0 dan 24
Dari hasil pengukuran aktivitas serum AST yang tersaji pada tabel X, tabel XII dan gambar 13, diperoleh purata nilai serum AST sebesar 111,2 ± 11,1 U/L pada jam ke-0 (sebelum pemberian olive oil) dan purata nilai AST sebesar 99,2 ± 8,9 U/L pada jam ke-24 (setelah pemberian olive oil). Hasil uji statistik menunjukkan kelompok kontrol olive oil jam ke-0 berbeda tidak bermakna dengan kelompok kontrol olive oil jam ke-24 (p>0,05), yang berarti pemberian olive oil memberikan perbedaan yang tidak signifikan (sama) jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan olive oil. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian olive oil
tidak menyebabkan peningkatan pada aktivitas serum AST dan dapat digunakan sebagai data pendukung.
Tabel XII. Perbandingan aktivitas serum AST tanpa perlakuan (jam-0) dengan perlakuan kontrol negatif (jam-24)
AST Jam 0 Jam 24
Jam 0 BTB
Jam 24 BTB
Keterangan :
BB : Berbeda bermakna (p<0,05) BTB : Berbeda tidak bermakna (p>0,05)
Gambar 13. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus setelah pemberian olive oil dosis 2 mL/kgBB pada jam ke-0 dan 24
Data pengukuran aktivitas serum ALT dan AST menunjukkan bahwa pemberian olive oil dosis 2 mL/kgBB tidak memberikan peningkatan terhadap aktivitas serum ALT dan AST sehingga akan dijadikan sebagai nilai normal aktivitas serum ALT dan AST penelitian selanjutnya.
2. Kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB
Tujuan pengujian kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida (kelompok I) adalah untuk melihat pengaruh induksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada
kerusakan sel hati tikus yang ditunjukan melalui peningkatan aktivitas serum ALT dan AST pada jam ke-24 serta digunakan sebagai pembanding dalam menganalisis efek hepatoprotektif fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. Tabel VII menunjukkan purata aktivitas serum ALT sebesar 198,4 ± 23,7 U/L. Jika dibandingkan dengan nilai normal yang diperoleh dari kontrol negatif olive oil (41,6 ± 2,3 U/L), terjadi peningkatan aktivitas serum ALT hingga 4 kali lipat. Secara statistik peningkatan aktivitas serum ALT kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB menunjukkan perbedaan bermakna dibandingkan dengan kontrol negatif olive oil dengan p=0,009 (p<0,05), yang artinya terjadi peningkatan aktivitas serum ALT secara signifikan pada kontrol hepatotoksin jika dibandingkan dengan kontrol negatif.
Purata aktivitas serum AST sebagai parameter pendukung terjadinya kerusakan hati (tabel VII) adalah sebesar 461,2 ± 46,3 U/L. Jika dibandingkan dengan kontrol negatif olive oil sebagai dasar nilai normal (99,2 ± 8,9 U/L), terjadi peningkatan aktivitas serum AST hingga 4,6 kali lipat. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna (p<0,05) terhadap kelompok kontrol negatif olive oil dengan p=0,000, yang berarti terjadi peningkatan aktivitas serum AST secara signifikan pada kontrol hepatotoksin jika dibandingkan dengan kontrol negatif.
Kadar alanine aminotrasferase (ALT) paling tinggi terdapat di dalam hati, sehingga aktivitas serum ALT menjadi indikator utama terjadinya kerusakan hati. Enzim alanine aminotrasferase (ALT) akan dilepaskan ke dalam darah dengan jumlah yang banyak ketika terjadi kerusakan pada membran sel hati (Pratt
and Kaplan, 2000). Menurut Zimmerman (1999), peningkatan nilai serum ALT sebanyak tiga kali lipat dan serum AST hingga empat kali lipat pada tikus menandakan adanya kerusakan hati ringan berupa perlemakan hati (steatosis). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas serum ALT dan AST setelah pemejanan karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB memberikan efek hepatotoksik pada tikus secara akut. Hasil kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida pada penelitian ini juga dapat dijadikan dasar perhitungan efek hepatoprotektif yang dimiliki fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
3. Kontrol perlakuan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
1,5 g/kgBB
Pengujian kontrol perlakuan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. (kelompok III) bertujuan untuk melihat apakah pemberian fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. memiliki pengaruh terhadap aktivitas serum ALT dan AST. Pemberian fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dilakukan secara per oral dengan dosis 1,5 g/kgBB. Dosis 1,5 g/kgBB yang merupakan dosis tertinggi dari beberapa peringkat dosis pada penelitian ini dipilih dengan tujuan dosis tersebut dapat mewakili dosis 0,375 g/kgBB sebagai dosis rendah dan dosis 0,75 g/kgBB sebagai dosis tengah. Jika pada dosis tertinggi (1,5 g/kgBB) tidak memberikan efek peningkatan terhadap aktivitas serum ALT dan AST, maka dipastikan dosis rendah dan tengah juga tidak memberikan pengaruh.
Tabel VII menunjukkan purata aktivitas serum ALT dari fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. sebesar 63,6 ± 4,5 U/L. Secara statistik jika dibandingkan dengan kontrol negatif olive oil sebesar 41,6 ± 2,3 U/L,
menunjukkan hasil berbeda bermakna dengan p=0,009 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. meningkatkan aktivitas serum ALT. Apabila dibandingkan dengan kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida (198,4 ± 23,7 U/L), menunjukkan hasil berbeda bermakna (p=0,009), sehingga dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dapat memberi peningkatan terhadap aktivitas serum ALT namun peningkatan yang terjadi tidak lebih tinggi dari kelompok kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida.
Pengukuran aktivitas serum AST kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida diperoleh hasil 461,2 ± 46,3 U/L. Secara statistik bila dibandingkan dengan kontrol perlakuan (136,2 ± 8,6 U/L) menunjukkan hasil berbeda bermakna dengan p=0,000 (p<0,05), yang berarti dosis 1,5 g/kgBB pada kontrol perlakuan memberikan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan kontrol hepatotoksin. Namun jika dibandingkan dengan kontrol negatif olive oil (99,2 ± 8,9), menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna dengan p=0,526 (p>0,05). Dari hasil yang didapatkan, maka bisa disimpulkan bahwa pemberian fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dosis tertinggi dapat memberikan efek peningkatan pada aktivitas serum ALT tetapi tidak sebesar kelompok kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida dan tidak meningkatkan aktivitas serum AST tikus jantan galur Wistar.
4. Kelompok perlakuan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dosis 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida 2 mL/kgBB
Pengukuran kelompok perlakuan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dosis 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB bertujuan untuk melihat efek hepatoprotektif jangka pendek fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Evaluasi efek hepatoprotektif fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dilihat dari ada tidaknya penurunan aktivitas serum ALT dan AST. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa efek hepatoprotektif paling efektif terjadi pada dosis 1,5 g/kgBB.
Kelompok perlakuan fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L. dosis 0,375 g/kgBB memiliki aktivitas serum ALT sebesar 113,2 ± 7,0 U/L (tabel VII). Hasil uji statistik dengan uji Mann-Whitney (tabel VIII) menunjukkan kelompok perlakuan dosis 0,375 g/kgBB memiliki perbedaan bermakna (p=0,009) dibandingkan dengan kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB (198,4 ± 23,7 U/L) dan mengalami penurunan hingga 1,75 kalinya. Hasil perbandingan kelompok dosis 0,375 g/kgBB dengan kelompok kontrol negatif olive oil (41,6 ± 2,3 U/L) dan kelompok kontrol perlakuan (63,6 ± 4,5 U/L) menunjukkan adanya perbedaan bermakna (p=0,009), yang artinya adalah dosis 0,375 g/kgBB menunjukkan kenaikkan secara signifikan (p<0,05) jika dibandingkan dengan kontrol negatif dan kontrol perlakuan. Dari data uji statistik dapat disimpulkan bahwa fraksi air ekstrak etanolik herba Sonchus arvensis L.
dosis 0,375 g/kgBB memiliki efek penghambatan terhadap peningkatan aktivitas
serum ALT yang terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB dengan % efek hepatoprotektif sebesar 54,34%.
Aktivitas serum AST dosis 0,375 g/kgBB sebesar 406,6 ± 71,2 U/L (tabel VII). Hasil uji statistik dengan uji LSD (tabel IX) menunjukkan kelompok perlakuan dosis 0,375 g/kgBB berbeda tidak bermakna (p=0,351) terhadap kontrol
Aktivitas serum AST dosis 0,375 g/kgBB sebesar 406,6 ± 71,2 U/L (tabel VII). Hasil uji statistik dengan uji LSD (tabel IX) menunjukkan kelompok perlakuan dosis 0,375 g/kgBB berbeda tidak bermakna (p=0,351) terhadap kontrol