• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.4 Intepretasi Data

4.4.1 Kronologi Konflik

Konflik yang terjadi antara PT. Nusa Pusaka Kencana Bahilang (NPK) dengan masyarakat Desa Penggalian adalah konflik tanah dimana ada suatu perbedaan pendapat tentang status kepemilikan lahan seluas 286 Ha yang menurut masyarakat tanah/lahan tersebut adalah tanah rakyat yang dikuasai oleh pihak PT. NPK. Konflik berawal dari adanya laporan masyarakat kepada Gubernur Sumatera Utara tentang penguasaan tanah (lahan) milik masyarakat Desa Penggalian oleh PT. Nusa Pusaka Kencana Bahilang, menanggapi hal tersebut pada tanggal 1 April 2004 Gubernur Sumatera Utara menyurati pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai untuk meneliti laporan masyarakat tersebut.

Menurut masyarakat Desa Penggalian, pada tahun 1960 di desa tersebut terdapat perkebunan Belanda bernama PT. Horison Estate dan pada saat itu

masyarakat tidak pernah diusik oleh pihak perkebunan, masyarakat juga mendapatkan surat KPRT dari Asisten Wedana Kecamatan Tebing Tinggi. Kemudian perkebunan diambil alih oleh Dwi Kora II dan pada tahun 1961 beralih lagi ke PT. Oriental Hapinis. Pada tahun 1965 bertepatan dengan pemberontakan PKI dan berlanjut pada penumpasan PKI, PT.Oriental Hapinis mengusir masyarakat dari daerah perkebunan dengan alasan masyarakat terlibat dengan PKI. Kemudian lahan-lahan yang ditinggalkan masyarakat ditanami pohon jati oleh PT. Oriental Hapinis. Pada tahun 1985 PT. Oriental Hapinis mengalami pailit, lalu beralih ke PT. Nusa Pusaka Kencana. Hal senada juga disampaikan oleh informan Pak Irwansyah

“Sebenarnya awal mula perampasan tanah masyarakat itu oleh PT.Hapinis, sesudah Hapinis pailit maka diganti sama PT.NPK. Di masa NPK mereka tidak mengakui bahwasanya ada lahan masyarakat yang masih disitu, padahal kami punya data yang akurat dan bahkan kami masih punya saksi-saksi hidup.”

Latar belakang tuntutan masyarakat kepada PT.NPK juga sudah sangat jelas bahwa mereka menginginkan pengembalian lahan-lahan masyarakat yang dirampas oleh perusahaan terdahulu. Masyarakat juga menuntut bukan tanpa alasan, mereka berpegang pada alas hak yang mereka miliki seperti Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : SK.178/DJA/1986 tertanggal 17 Mei 1986 yang mengamanahkan kepada Camat Tebing Tinggi (sekarang Kecamatan Tebing Syahbandar) agar tanah seluas 286 Ha yang menjadi objek Landreform harus didistribusikan kepada masyarakat.

“Disamping kami punya data dari masyarakat, kami juga punya data dari pemerintah. Terutama ya, dari Menteri Dalam Negeri yang mengeluarkan SK bahwasanya ada lahan masyarakat di Perkebunan Bahilang seluas

286 Ha itu harus dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Mendagri memerintahkan kepada waktu itu kami kan masih Deli Serdang, sekarang jadi Serdang Bedagai, agar pemerintah Deli Serdang segera mendistribusikan tanah masyarakat tersebut bekerja sama dengan camat ataupun kepala desa. Tapi ya sampai sekarang begini saja tidak ada pembagian.”

Dari beberapa pernyataan di atas dapat dilihat bahwa masyarakat sangat berharap tanah objek Landreform tersebut segera didistribusikan oleh pemerintah karena sudah ada arahan dari Mendagri. Namun hal tidak senada diberikan oleh pihak perusahaan, mereka beranggapan bahwa lahan yang dituntut oleh masyarakat tersebut berada di luar HGU (Hak Guna Usaha) yang diberikan kepada mereka.

PT. Nusa Pusaka Kencana menginginkan dalam menjalankan aktifitas perusahaan adanya suasana yang aman dan tenteram di dalam maupun di luar lingkungan perusahaan. Untuk itu, perusahaan yang berinvestasi di bidang usaha perkebunan ini mendambakan jaminan kepastian hukum. Di tengah perjalanan perusahaan, PT. Nusa Pusaka Kencana yang semula sudah nyaman menjalankan usaha perkebunan di atas areal HGU yang diperoleh dari Pemerintah R.I melalui proses dan prosedur yang berlaku yaitu HGU Nomor 1 Bahilang seluas 1.018,74 Ha, tiba-tiba merasa terusik dengan adanya sekelompok masyarakat yang mengaku dari Desa Penggalian (dan terakhir menggunakan nama Kelompok Tani Reformasi Karya Sejati) mengklaim bahwa ada tanah (lahan) masyarakat seluas 286 Ha yang dikuasai oleh PT. Nusa Pusaka Kencana Bahilang. Seperti terlihat pada kutipan wawancara dengan Pak Supriadi dari pihak perkebunan:

“Klaim ini tentunya sangat mengagetkan kami, karena sesungguhnya perusahaan kami hanya menguasai dan mengusahai lahan seluas yang diberikan Pemerintah R.I dalam HGU.”

Permasalahan tersebut semakin memanas karena masyarakat merasa tuntutan mereka tidak ditanggapi dengan baik, kemudian mereka menduduki lahan di dalam perkebunan secara paksa dan melarang pihak perkebunan untuk memanen di areal klaim sampai masalah tersebut selesai. Bentrokan fisik antara masyarakat dan pihak perusahaan hampir terjadi karena tenaga panen dari perusahaan hendak memanen hasil perkebunan, pada saat itu pihak perusahaan dikawal oleh pihak kepolisian demi mengantisipasi gangguan yang mungkin terjadi di lapangan.

“Pada saat itu hari sebelumnya kalo ga salah oktober 2013 kami dari perusahaan melakukan panen di lokasi klaim penggarap, saat itu tidak ada gangguan. Lalu hari berikutnya dilakukan lagi proses memanen, pada hari itulah kami mengalami gangguan dari masyarakat yang meneror tenaga kerja dengan membawa bambu runcing dan mendesak tenaga kerja tidak boleh memanen.”

Kemudian untuk menghindari resiko buruk, tenaga panen ditarik dan dipulangkan oleh pihak perusahaan. Situasi menjadi reda setelah datang anggota DPR-D Komisi A, Kabupaten Serdang Bedagai melakukan pertemuan kecil di lapangan dengan masyarakat dan pihak perusahaan dengan hasil bahwa akan dilakukan mediasi untuk membahas dan menyelesaikan konflik tersebut.

AKIBAT:

PERMASALAHAN:

AKAR:

Gambar 4.1: Pohon konflik pertanahan antara PT. Nusa Pusaka Kencana dengan Masyarakat Desa Penggalian

Jika dilihat secara kronologis, tanah mulai menjadi kendali dalam kekuasaan ketika dipegang oleh kalangan adat atau yang dikenal dengan feodalisme. Kemudian dalam feodalisme diteruskan ke dalam kendali kolonialisme. Selanjutnya pada masa periode kemerdekaan, tanah masuk dalam kendali negara. Periode pasar bebas, tanah berada di bawah kendali negara dan

Reclaiming

Lahan

Perkebunan

Bentrok antara masyarakat dan perusahaan Pendudukan lahan oleh masyarakat. Demonstrasi SK Mendagri Perbedaan Pendapat/Kepentingan Intimidasi Kepolisian

pasar (kapitalisme). Dalam hal ini, kepemilikan tanah lebih didasarkan pada struktur kekuasaan (power).

Teori konflik yang dicetuskan oleh Dahrendorf (2011) dapat menjelaskan sengketa tanah dari aspek penggunaan otoritas yang bersifat dikotomis antara otoritas negara berhadapan dengan masyarakat, otoritas perusahaan berhadapan dengan masyarakat, kemudian otoritas militer berhadapan dengan masyarakat. Dan bila dilihat dalam hal ini otoritas negara berada dalam otoritas yang paling kuat, kemudian otoritas tersebut dapat terbagi ke perusahaan, militer, dan masyarakat yang berada pada posisi terakhir. Dahrendorf juga mengatakan bahwa setiap asosiasi pada dasarnya berusaha mempertahankan atau memperkuat posisi dominan. Dalam kasus yang terjadi antara Masyarakat Desa Penggalian dan PT. NPK, dapat dilihat bahwa masyarakat merasa pemerintah terlalu membela pihak perusahaan. Hal ini tampak karena masyarakat mengatakan bahwa tuntutan mereka agar pendistribusian lahan dilakukan, tetapi tidak juga dilaksanakan sehingga memicu konflik dan menimbulkan dugaan dari masyarakat bahwa pemerintah sengaja mengabaikan tuntutan mereka. Sehingga muncul inisiatif dari masyarakat untuk menduduki lahan untuk mencuri perhatian pemerintah dan pihak perusahaan.

Dokumen terkait