• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2.2 Kualitas Kemenyan

Yuniandra (1998) menyatakan bahwa kualitas kemenyan yang diperdagangkan di kalangan petani, pedagang, serta pengolah sumatera utara belum ada suatu standar yang menjadi dasar umum yang berlaku untuk semua transaksi pedagang dan eksportir. Pada kalangan petani disamping diketahuinya perbedaan jenis kemenyan toba dan jenis durame, kemenyan dibedakan juga atas produksi pada masa panen besar (getah mata kasar dan mata halus) serta masa panen menurun (getah tahir dan juru). Kemenyan mata berwarna putih sampai kuning keemasan dan ukuran agak besar. Pada masa membersihkan pohon kemenyan diperoleh kemenyan juror yang agak coklat muda hingga coklat tua. Pada musim menakik diperoleh tahir (sisa-sisa).

Di tingkat pedagang dan pengolah, kemenyan yang dibeli pedagang berupa sam-sam, mata, tahir dan jurur, kemenyan disortir dengan memakai ayakan sehingga dapat diatur sesuai dengan mutu yang diinginkan, yaitu: (1) kualitas I, kemenyan mata kasar atau sidungkapi ialah bongkahan kemenyan berwarna putih sampai putih kekuning-kuningan dengan rata-rata berdiameter lebih besar dari 2 cm; (2) kualitas II, kemenyan mata halus ialah kemenyan berwarna putih sampai putih kekuning-kuningan berdiameter 1-2 cm; (3) kualitas III, kemenyan tahir, jenis kemenyan yang bercampur dengan kulitnya atau kotoran lainnya, berwarna coklat dan kadang-kadang berbintik-bintik putih atau kuning serta besarnya lebih besar dari ukuran mata halus; (4) kualitas IV, kemenyan jurur atau jarir yang biasanya dicampurkan atau disamakan mutunya dengan jenis tahir dan warnanya merah serta lebih kecil dari mata halus; (5) kualitas V, kemenyan barbar ialah kulit kemenyan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit sewaktu melakukan pembersihan, dan (6) kualitas VI, kemenyan abu ialah sisa-sisa berasal dari getah kemenyan dari semua kualitas, bentuk dan warnanya seperti abu kasar.

Kemenyan yang diperdagangkan di dalam negeri telah mengalami penggolongan kualitas baik di tingkat lokal maupun nasional menurut SII. 2044-87. Menurut Sasmuko (1995), kemenyan durame bukan termasuk komoditi utama yang diperdagangkan sehingga kualitas lokal hanya berlaku untuk kemenyan toba. Dalam publikasinya Tarigan dan Ginting (2005) menyatakan bahwa di dunia perdagangan dikenal dua macam mutu kemenyan, yaitu kemenyan sumatera (Sumatera benzoin) dan kemenyan siam (Siam benzoin). Beberapa istilah lain yang menyatakan kualitas kemenyan terdiri atas menyan putih, menyan sesetan, menyan hitam dan lain-lain (Widiyastuti et al. 1995).

Tabel 1 Standar mutu berdasarkan sifat fisis dan kimia kemenyan

No Kualitas Mutu

I II III IV Abu

1 Kadar Asam Balsamat (%) 33,20 32,70 25,30 21,80 20,10 2 Kadar Air (%) 1,56 1,75 2,35 2,19 2,29 3 Kadar Abu (%) 0,99 0,91 1,48 1,44 1,52 4 Kadar Kotoran (%) 2,89 3,44 12,00 11,20 12,50 5 Titik Lunak (°C) 58,90 59,30 64,30 65,70 57,80

9

Tabel 2 Standar lokal kualitas kemenyan

No Kualitas Mutu

I II III IV Abu

1 Warna Putih Putih Putih Cokelat Campur Kekuningan Kekuningan Kemerahan

2 Ukuran (cm) L: 3-4 L: 2-3 L: 1-2 L: 0,5-1 Bentuk kerikil-pasir P: 5-6 P: 3-5 P: 2-3 P: 1-2 Sumber: Sasmuko (1995) 2.3 Biaya Produksi

Menurut Kuswandi (2005), biaya adalah pengorbanan atau nilai sumber ekonomis (economic resources) yang dikeluarkan karena memproduksi atau melakukan sesuatu yang membutuhkan biaya. Biaya ini mengandung dua unsur, yaitu (1) kuantitas sumber daya yang digunakan dan (2) harga tiap unit sumber daya yang telah digunakan. Biaya dinilai sebagai pengorbanan yang dilakukan untuk mendapatkan barang atau jasa (Garrison 1997, diacu dalam Leonard 2008). Pengorbanan tersebut dapat diukur sebagai uang tunai yang dikeluarkan, harta yang dialihkan, jasa yang diberikan, dan sebagainya. Produksi adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan proses menciptakan dan menambahkan kegunaan dari suatu barang atau jasa. Untuk melakukan kegiatan tersebut dibutuhkan faktor-faktor produksi yang dalam ilmu ekonomi meliputi tanah, modal, tenaga kerja, dan keahlian (Assauri 1999, diacu dalam Leonard 2008).

Biaya produksi adalah biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi (Mulyadi 1990, diacu dalam Nugroho 2002). Biaya-biaya yang dimaksud meliputi biaya bahan baku, upah langsung, dan overhead. Biaya dapat dibedakan ke dalam dua jenis berdasarkan dari perilaku biaya terhadap perubahan volume kegiatan, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost). Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap dalam suatu unit waktu tertentu, tetapi akan berubah per satuan unitnya jika volume produksi per satuan waktu tertentu berubah. Biaya ini akan terus dikeluarkan walaupun tidak berproduksi, misalnya depresiasi, bunga modal, pajak langsung, gaji karyawan tetap dan lain sebagainya. Biaya variabel adalah biaya yang per satuan unit produksinya tetap, tetapi akan berubah jumlah totalnya jika volume produksi

berubah. Biaya ini tidak diperlukan apabila tidak berproduksi, misalnya upah borongan, bahan baku, pemeliharaan, perbaikan dan lain sebagainya.

2.4 Analisis Profitabilitas

Analisis profitabilitas pada dasarnya adalah penelahan untuk menentukan kemampuan suatu proyek dapat dipertanggungjawabkan. Profitabilitas atau disebut juga rentabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber daya yang ada, seperti penjualan, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya. Menurut Soekartawi (1986) keuntungan usaha tani merupakan selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total (biaya produksi). Penerimaan total merupakan hasil perkalian harga produk dengan total produksi periode tertentu.

2.5 Tataniaga Kemenyan

Lembaga tataniaga adalah suatu badan usaha atau individu yang menyelenggarakan tataniaga, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Lembaga tataniaga ini muncul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen. Tugas lembaga tataniaga ini adalah menjalankan fungsi-fungsi tataniaga serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga tataniaga ini berupa margin tataniaga.

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) penyaluran produk yang dihasilkan oleh produsen tidak dapat dilakukan oleh produsen itu sendiri dikarenakan jarak antara produsen dengan konsumen berjauhan, maka fungsi lembaga tataniaga sangat diharapkan untuk menggerakkan produk dari produsen hingga konsumen. Perantara ini bisa dalam bentuk perorangan, perserikatan ataupun perseroan. Fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas ini akan dilakukan oleh lembaga-lembaga perantara tersebut. Menurut penguasaannya terhadap komoditi yang diperjualbelikan lembaga pemasaran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai benda, seperti agen perantara atau

11

makelar; (2) lembaga yang memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir; (3) lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti perusahaan-perusahaan penyedia fasilitas-fasilitas transportasi, asuransi pemasaran dan penentu kualitas produk pertanian atau surveyor (Sudiyono 2002, diacu dalam Nurbayuto 2011).

Dahl dan Hammond (1977), menerangkan bahwa tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan untuk menggerakkan produk mulai dari produsen utama hingga konsumen akhir. Menurut Sitompul (2011) pada umumnya petani menjual getah hasil sadapan langsung kepada pedagang pengumpul tingkat desa. Selain karena faktor biaya transportasi, adanya faktor hubungan kekeluargaan juga menjadi alasan banyak petani menjual langsung ke pengumpul di desa.

Petani menjual kemenyan dengan proses pengolahannya yang masih sangat sederhana (Sinaga 2009). Getah kemenyan yang sudah dikeringkan akan dipasarkan ke Dolok Sanggul dan jika petani yang memiliki hasil panen sedikit maka getah akan dititipkan ke petani lain yang akan pergi ke Dolok Sanggul (Rajagukguk 2009). Harga getah kemenyan ditentukan berdasarkan kesepakatan yang terjadi antara pedagang pengumpul dengan petani. Jika getah kemenyan yang dijual petani bersih, artinya kemenyan diolah terlebih dahulu dan hanya sedikit kotoran yang terdapat pada kemenyan maka harga jualnya semakin mahal.

Sinaga (2009) dalam penelitiannya di Desa Sibaganding mengatakan bahwa pola pemasaran sampai saat ini bersifat tradisional yang hanya melibatkan dua atau tiga pelaku bisnis, sedangkan rantai pemasaran masih kurang teratur. Pola saluran pemasaran getah kemenyan yang mungkin terjadi ialah rantai-rantai pemasaran yang menghubungkan produsen (petani kemenyan) dengan pengolah, diketahui dengan cara mengikuti dan mempelajari perpidahan kemenyan, baik fisik maupun pemilikan dari produsen sampai ke pengolah (Yuniandra 1998).

Posisi tawar petani terhadap harga dalam perdagangan kemenyan sangat rendah sehingga petani menghadapi kesulitan finansial dan akhirnya bergantung pada pedagang perantara. Kesulitan finansial petani disebabkan juga oleh faktor lain, seperti kurangnya akses informasi, tidak berfungsinya lembaga pemasaran di

tingkat petani serta rendahnya kemampuan manajemen pemasaran petani (Sinaga 2009). Secara umum rantai pemasaran getah kemenyan mulai dari petani sampai ke pengolah/ekspotir disajikan pada Gambar 1.

keterangan:

Saluran Utama (Main Line) Saluran Lainnya (Secondary Line)

Gambar 1 Rantai pemasaran getah kemenyan (Sitompul 2011).

Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Bisa dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga. Pengertian marjin tataniaga ini sering dipergunakan untuk menjelaskan fenomena yang menjembatani adanya kesenjangan antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pengecer.

Dahl dan Hammond (1977), menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf). Nilai marjin tataniaga (value of marketing margin) merupakan perkalian antara marjin tataniaga dengan volume produk yang terjual [(Pr-Pf)Qrf] yang mengandung pengertian marketing cost dan marketing charge. Jadi pendekatan terhadap nilai marjin tataniaga dapat melalui returns to factor (marketing cost) yaitu penjumlahan dari biaya tataniaga, yang merupakan balas

Petani Kemenyan Pengumpul Tingkat Desa Pengumpul Tingkat Kecamatan Pengumpul Tingkat Kabupaten Pengolah / Eksportir

13

jasa terhadap input yang digunakan seperti tenaga kerja, modal, investasi yang diberikan untuk kelancaran proses tataniaga dengan pendekatan returns to institution (marketing charge), yaitu pendekatan melalui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses penyaluran atau pengolahan komoditi yang dipasarkan (pedagang, pengolah, grosir, agen dan pengecer).

Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi pemasaran dan fungsi yang dilakukan antar lembaga biasanya berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga lainnya sampai ke tingkat konsumen. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat, semakin besar perbedaan harga antara produsen dengan harga di tingkat konsumen. Tinggi rendahnya marjin tataniaga sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah efisien atau belum, tetapi tinggi rendahnya marjin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisien kegiatan tataniaga. Marjin tataniaga yang rendah tidak otomatis dapat digunakan sebagai ukuran efisien tidaknya pola pemasaran suatu komoditi. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga, antara lain ketersediaan fasilitas fisik tataniaga berupa pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, resiko kerusakan dan lain-lain (Limbong dan Sitorus 1987).

Efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan pihak-pihak yang terlibat, yaitu produsen, konsumen akhir dan lembaga-lembaga pemasaran. Limbong dan Sitorus (1987), menerangkan bahwa sistem tataniaga yang seimbang akan tercipta apabila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut. Terjadinya penurunan biaya input dari pelaksanaan suatu pekerjaan yang dampaknya tanpa mengurangi terhadap kepuasan konsumen akan output barang dan jasa, menunjukan adanya efisiensi. Setiap kegiatan tataniaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga produk. Harga produk di tingkat konsumen dinaikkan atau harga ditekan pada tingkat produsen yang dilakukan oleh lembaga tataniaga. Dengan demikian efisiensi tataniaga perlu dilakukan melalui penurunan biaya tataniaga.

keterangan:

Sd : Derived supply (kurva penawaran turunan sama dengan penawaran produk di tingkat pedagang)

Sp : Primary supply (kurva penawaran primer atau penawaran produk di tingkat petani)

Dd : Derived demand (kurva permintaan turunan atau permintaan pedagang) Dk : Primary demand (kurva permintaan primer atau kurva permintaan di

tingkat konsumen akhir)

Pr : Harga di tingkat pedagang pengecer Pf : Harga di tingkat petani

Q* : Jumlah produk di tingkat petani dan pedagang pengecer

Gambar 2 Kurva marjin tataniaga (Hammond dan Dahl 1977).

Efisiensi tataniaga dapat diukur dengan dua cara yaitu efisiensi operasional dan harga. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik dan fasilitas. Efisiensi harga menunjukan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjualan serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga serta efisiensi harga menekankan kepada kemampuan dari sistem pemasaran yang sesuai dengan keinginan konsumen (Dahl dan Hammond 1977). Efisiensi operasional biasanya dapat diukur dari marjin pemasaran, analisis farmer’s share, analisis rasio keuntungan atas biaya serta analisis fungsi-fungsi pemasaran, kelembagaan dari

Rp/Unit (P) Marjin tataniaga (Pr-Pf) Sd Sp Dk Dd Jumlah (Q) Pf Pr 0 Q*

15

analisis S-C-P (structure, conduct and performance). Efisiensi harga biasanya diukur dari korelasi harga untuk komoditi yang sama pada tingkat pasar yang berbeda (Asmarantaka 2009).

BAB III

METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Sampean Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan April sampai Mei 2012.

3.2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 3.

3.3 Analisis Data

Analisis data yang dilakukan adalah menghitung dan menganalisis biaya produksi, profitabilitas, dan farmer’s share. Selanjutnya, marjin tataniaga kemenyan dihitung untuk mengetahui saluran yang paling efisien.

3.3.1 Biaya Produksi

Biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk kegiatan usaha kemenyan disebut biaya produksi kemenyan. Biaya produksi merupakan penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel. Biaya produksi dinyatakan dalam bentuk biaya produksi per unit output atau Rp/kg kemenyan. Biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan dan bunga modal untuk alat produksi (perlengkapan penyadapan dan pengambilan getah kemenyan), serta biaya tak langsung lainnya sebagai pengeluaran umum (Kuswandi 2005). Biaya penyusutan dihitung dengan metode garis lurus seperti pada persamaan (1), sedangkan bunga modal dihitung menggunakan persamaan (2), dengan i% sebagai tingkat suku bunga per tahun.

(1)

17

keterangan:

Di = Depresiasi dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

Mi = Bunga modal dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

Pi = Harga beli dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

Ni = Masa pakai ekonomis dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

Ri = Nilai sisa (rongsokan) dari investasi ke-i (Rp/tahun); dimana i: bangunan, kendaraan, barang inventaris, peralatan dan perlengkapan

i% = Tingkat suku bunga per tahun (% per tahun)

Biaya variabel berupa upah pekerja. Biaya tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dengan petani, berapa biaya yang petani keluarkan untuk pergi ke hutan kemenyan dan berapa kemenyan yang berhasil petani bawa dari hutan.

Petani yang melakukan penjualan kemenyan ke pasar disamping mengeluarkan biaya produksi juga mengeluarkan biaya tataniaga. Biaya tataniaga merupakan biaya yang dikeluarkan akbibat kegiatan tataniaga, seperti biaya muat-bongkar, sortasi, penyusutan produk, transportasi, dan komunikasi. Pada pengumpul di setiap tingkat mengeluarkan biaya tataniaga yang berbeda-beda.

3.3.2 Profitabilitas

Keuntungan usaha kemenyan diperoleh dengan cara menggunakan persamaan (3).

(3)

keterangan:

= Keuntungan usaha kemenyan (Rp) TR = Penerimaan petani kemenyan (Rp) BP = Biaya produksi kemenyan (Rp)

18

Tabel 3 Jenis, sumber dan cara pengumpulan data

Analisis Jenis data Data Sumber Cara Pengumpulan

Biaya produksi, profitabilitas dan

farmer’s share

Primer

1. Biaya tetap dan biaya variabel

Petani

Pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan

2. Jumlah produksi kemenyan Wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan 3. Modal/aset petani kemenyan Wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan 4. Laba bersih Petani Wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan 5. Harga kemenyan per unit Petani dan

Pengumpul akhir Wawancara dan pengamatan langsung di lapangan

Sekunder Produksi kemenyan

Buku statistik Kabupaten Humbang Hasundutan

Pengutipan

Marjin tataniaga Primer

1. Peta saluran Tataniaga Petani dan Pengumpul kemenyan

Pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan 2. Lembaga Tataniaga Wawancara dan pengamatan langsung di lapangan 3. Harga penjualan kemenyan di

setiap pengumpul

Pengumpul kemenyan

Wawancara danpengamatan langsung di lapangan 4. Harga pembelian kemenyan di

setiap pengumpul Wawancara danpengamatan langsung di lapangan 5. Keuntungan di setiap pengumpul Wawancara danpengamatan langsung di lapangan 6. Biaya tataniaga di setiap

19

3.3.3 Analisis Farmer’s Share

Analisis farmer’s share digunakan untuk membandingkan harga yang dijual pengolah terhadap harga yang diterima oleh petani (Limbong dan Sitorus 1987). Besarnya nilai bagian petani dapat dihitung berdasarkan persamaan (4).

Farmer’s Share =

x 100% (4)

keterangan:

Pf = Harga di tingkat petani

Pr = Harga yang dibayarkan pengumpul akhir/pengolah

3.3.4 Analisis Marjin Tataniaga

Rantai tataniaga kemenyan dimulai dari petani sampai ke pengolah/ekspotir. Beberapa dari petani menjual kemenyan langsung ke pengumpul kabupaten agar memperoleh harga jual yang lebih mahal sehingga keuntungan yang didapat lebih tinggi.

Gambar 3 Rantai tataniaga kemenyan.

Marjin tataniaga berguna untuk melihat efisiensi operasional tataniaga kemenyan, yang dihitung dengan cara pengurangan harga penjualan dan harga

Pb4/Ps3 Pb3/Ps2 Ps1/Pb2 Ps0/Pb1 Pengumpul Tingkat Kabupaten L2 Pengolah / Eksportir L4 Petani Kemenyan Pengumpul Tingkat Desa L1 Pengumpul Tingkat Kabupaten L3

pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), marjin tataniaga dapat dicari dengan persamaan:

(5)

(6)

persamaan (7) = persamaan (8)

(7)

sehingga menjadi persamaan

(8)

keterangan:

Mi = Marjin tataniaga di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4 Psi = Harga jual pasar di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4 Pbi = Harga beli pasar di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4

Li = Biaya lembaga tataniaga di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4 i = Keuntungan lembaga tataniaga di tingkat ke-i; dimana i: 1, 2, 3, 4

21

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis

Desa Sampean Kecamatan Dolok Sanggul terletak pada ketinggian ±1300 m di atas permukaan laut (dpl), curah hujan ±2150 mm/tahun, suhu udara ±32 °C. Batas wilayah desa meliputi sebelah timur berbatasan dengan Huta Gurgur, sebelah barat berbatasan dengan Pusuk I, sebelah selatan beerbatasan dengan Huta Gurgur Selatan, dan sebelah utara berbatasan dengan Sosor Tambok. Peta Kabupaten Humbang Hasundutan bisa dilihat pada Lampiran 1.

4.2 Kondisi Demografis

Berdasarkan keterangan Ibu Mariana Mahulae selaku kepala desa menyatakan bahwa luas wilayah Desa Sampean secara keseluruhan seluas 1100 ha, meliputi pemukiman penduduk seluas 150 ha, kegiatan persawahan seluas 50 ha, kegiatan perladangan seluas 80 ha, perkebunan masyarakat seluas 150 ha, sekolah dan perkantoran seluas 1 ha, jalan antar desa seluas 5 ha, serta luas hutan kemenyan seluas 350 ha. Desa Sampean masih memiliki lahan kosong seluas 314 ha. Jumlah penduduk desa ada 560 jiwa, laki laki 240 jiwa sedangkan perempuan 320 jiwa dengan jumlah keluarga 117 kk. Jumlah keluarga yang masih memanen kemenyan sebanyak 60 kk. Sarana dan prasarana yang dapat dinikmati oleh penduduk berupa 2 unit gereja, 5 unit kamar mandi umum, 1 unit untuk gedung sekolah dasar (SD), poskesdes, kantor kepala desa, dan irigasi.

4.3 Kondisi Hutan Kemenyan

Hutan kemenyan di Desa Sampean telah ada sejak nenek moyang petani mulai menanam kemenyan, saat ini luas hutan kemenyan mencapai 350 ha atau sekitar 31.8% dari luas desa keseluruhan. Pohon yang tumbuh berjarak tanam tidak teratur, selain pohon kemenyan yang tumbuh, pohon lain juga tumbuh seperti pinus dan meranti. Sebagian dari masyarakat desa menebangi pohon tersebut untuk dijual ataupun digunakan sebagai bahan bangunan. Secara keseluruhan kondisi hutan tidak terawat atau dibiarkan tumbuh secara alami.

Belum ada upaya dari masyarakat untuk meningkatkan produksi kemenyan melalui penggunaan bibit unggul kemenyan dan diterapkannya sistem silvikultur yang intensif bagi tanaman kemenyan.

4.4 Pasar Dolok Sanggul

Pasar dolok sanggul merupakan salah satu pasar besar yang beroperasi di Kabupaten Humbang Hasundutan. Pasar ini ramai pada hari jumat bersamaan dengan pasar di Balige. Di dalam pasar ini dapat dijumpai segala bentuk hasil pertanian dari berbagai daerah di Tapanuli. Kemenyan merupakan salah satu komoditi yang diperjualbelikan di pasar ini. Lokasi pasar kemenyan selama 20 tahun terakhir tidak mengalami perubahan, pasar ramai pada selang waktu antara pukul 10.00 WIB sampai 13.00 WIB.

(a) (b)

23

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Hutan Kemenyan di Desa Sampean

Hutan kemenyan berawal dari hutan liar yang tumbuh tanpa campur tangan manusia. Pohon kemenyan tumbuh secara alami di hutan dan saat ini cukup banyak diusahakan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pendapatan. Hasil wawancara langsung dengan petani kemenyan Jamanat Lumban Gaol menyatakan bahwa pohon kemenyan yang tumbuh di Desa Sampean berasal dari hutan alam, kemenyan tersebut ditanam oleh petani di daerah perbukitan. Hal ini sesuai dengan penelitian Rajaguguk (2009), hutan kemenyan di Desa Tangga Batu Barat Kecamatan Tampahan Kabupaten Tobasa bibitnya didatangkan dari hutan yang berada di Dolok Sanggul. Pada dasarnya mengolah hutan kemenyan merupakan salah satu budaya masyarakat Desa Sampean secara turun-temurun.

Pengelolaan hutan kemenyan di Desa Sampean dari dahulu hingga saat ini masih sama, yaitu hutan kemenyan dikelolah dengan cara yang sangat sederhana tanpa penerapan sistem silvikultur. Hal ini terjadi karena kurangnya perhatian terhadap hutan kemenyan dari pihak pemerintah, sedangkan masyarakat Desa Sampean merasa kurang memahami cara penerapan sistem silvikultur terhadap tanaman kemenyan sehingga belum pernah ada yang mencoba untuk menerapkannya. Cara pengelolaan hutan kemenyan yang masih berjalan hingga saat ini hanya sekedar membersihkan batang dari tumbuhan pengganggu baik yang menempel pada batang kemenyan maupun yang berada dekat (jarak ±1 m) dengan batang pohon kemenyan.

Tanaman kemenyan yang tumbuh di Desa Sampean tidak memiliki jarak

Dokumen terkait