• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Bahan Baku dan Persiapan 1.Kedelai Hitam

2. Kualitas Koji

Menurut Junaidi (1987), beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembuatan koji adalah kadar air kedelai, pH, kelembaban ruang, suhu dan aerasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses fermentasi koji dilakukan dengan dua metode, yaitu koji modern dan koji tradisional.

Fermentasi koji modern dilakukan selama dua hari dengan menggunakan ruangan fermentasi (bioreaktor besar) yang kondisi lingkungannya disesuaikan terutama suhu, RH dan ketersediaan oksigen sehingga kapang dapat tumbuh dengan optimal, sedangkan fermentasi koji tradisional dilakukan selama empat hari dengan menggunakan tampah yang disimpan pada rak-rak dengan suasana fermentasi tergantung pada kondisi lingkungan yang lembab dan suhu ruang.

Tabel 7 berikut ini menunjukkan nilai rata-rata persentase kadar air dan pH koji modern dan koji tradisional pada pengadukan 1, 2 dan 3 yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, yaitu jam ke 0 sesaat setelah starter

dicampurkan dengan kedelai yang telah masak dan kondisi suhu berkisar antara 35-40°C. Hasil keseluruhan analisis kadar air dan pH untuk kedua jenis koji dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 7. Hasil Analisis Rata-rata Kadar Air dan pH Koji

Pengadukan Kadar Air (%) pH

(jam ke-) Koji modern Koji tradisional Koji modern Koji tradisional

0 38,5 37,8 6,14 6,58

16 36,9 31,4 6,14 6,75

24 30,6 22,7 6,45 6,97

Berdasarkan hasil analisis di atas, pengadukan koji yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu memberikan pengaruh terhadap hasil analisis kadar air dan pH koji. Secara umum, kadar air koji mengalami penurunan sedangkan nilai pH mengalami peningkatan seiring dengan lamanya

35 fermentasi. Hal ini terjadi sebagai salah satu dampak dari pengadukan karena pengadukan merupakan salah satu cara untuk homogenisasi dan melakukan aerasi selama proses fermentasi koji. Kadar air yang dihasilkan pada koji tradisional lebih rendah dibandingkan dengan koji modern. Hal ini diduga karena kelembaban udara dalam ruang penyimpanan koji tradisional lebih rendah dibandingkan dengan koji modern sehingga kandungan air yang dihasilkan menjadi lebih rendah pula.

Menurut Narahara et al. (1984) dan Nakadai dan Nasuno (1988) di dalam Wood (1994), kandungan air media berperan penting dalam produksi sel dan enzim selama fermentasi koji berlangsung. Pada fermentasi koji, kandungan air juga berperan dalam pencegahan kontaminasi bakteri dan khamir (Yokotsuka (1988) di dalam Wood (1994)). Menurut Battaglino et al. (1991) di dalam Wood (1994), kandungan air untuk produksi maksimal protease adalah berkisar pada selang 35% sampai 40%.

Kandungan air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kontaminasi oleh bakteri pembusuk sehingga menghasilkan koji dengan aroma yang tidak sedap dan berpengaruh terhadap kualitas moromi terutama dari segi penilaian organoleptik (warna dan aroma). Maka dari itu, kadar air pada kedua jenis koji diatas dipertahankan hingga di bawah 40%.

Pada proses fermentasi koji, enzim yang paling berperan adalah amilase dan protease. Menurut Njoku (1989) di dalam Wood (1994), secara umum, protease kapang yang diproduksi selama fermentasi koji terbagi ke dalam tiga kelompok utama, yaitu protease asam, netral dan basa, sedangkan menurut Flegel (1988) di dalam Wood (1994), diantara ketiga kelompok enzim tersebut, kelompok protease yang paling penting dalam fermentasi koji adalah kelompok protease netral dan basa.

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 7, nilai pH baik pada koji tradisional maupun koji modern berada pada kondisi netral, yaitu nilai pH berkisar antara 6 sampai 7. Semakin lama fermentasi maka nilai pH yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh protease netral

36 dan basa yang semakin meningkat sehingga produk hasil proteolitik juga meningkat.

Kualitas koji dapat dilihat dengan penilaian organoleptik terhadap aroma dan warna, terutama pada pertumbuhan kapang. Pada umumnya, jenis kapang yang digunakan untuk fermentasi koji adalah Aspergillus oryzae atau sojae. Berdasarkan hasil analisis visual koji modern dan koji tradisional secara umum menunjukkan bahwa koji modern menghasilkan warna putih kehijauan, sedangkan koji tradisional menghasilkan warna hijau kekuningan dengan aroma lebih baik daripada koji modern.

Menurut Hesseltine dan Wang (1978) di dalam Steinkraus (1983), koji yang berkualitas tinggi adalah yang berwarna hijau tua, aromanya menyenangkan, aktivitas amilase tinggi, jumlah bakteri yang rendah, populasi ragi yang tinggi, pertumbuhan kapang yang pesat serta rasa yang agak manis dan agak pahit, seperti terlihat pada Gambar 4 berikut ini :

Gambar 4. Koji Tradisional Berwarna Hijau Kekuningan

Berdasarkan hasil ketiga jenis analisis koji (kadar air, pH dan visual) di atas, kualitas koji tradisional lebih baik daripada koji modern. Selain faktor lingkungan dan jenis mikroorganisme yang digunakan, faktor lain yang juga memberikan pengaruh terhadap kualitas adalah waktu fermentasi. Koji tradisional membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan fermentasi sehingga kapang lebih banyak bekerja dan menghasilkan komponen-komponen yang menguntungkan.

37 B. Proses Fermentasi Moromi

Fermentasi moromi merupakan campuran antara koji dengan larutan garam pada konsentrasi 22±2% dalam waktu minimal enam bulan. Pada fermentasi moromi terjadi dua tahapan fermentasi, yaitu fermentasi asam laktat oleh bakteri asam laktat (BAL) dan fermentasi alkohol oleh khamir. Selama proses fermentasi, terjadi perubahan mikrobiologis dan biokimiawi yang mempengaruhi kualitas filtrat.

Kedua jenis mikroorganisme tersebut tumbuh secara spontan karena kondisi lingkungan yang mendukung dan selektif. Tujuan akhir dari kedua tahapan fermentasi tersebut adalah untuk menghasilkan filtrat dengan aroma dan cita rasa yang khas. Kedua tahap fermentasi tersebut akan berjalan dengan baik bila kondisi baik internal maupun eksternal mendukung.

Kondisi internal mendukung yang dimaksudkan adalah kualitas koji. Bila kualitas koji yang digunakan untuk fermentasi moromi baik dan didukung dengan kondisi eksternal yang mendukung, maka kualitas filtrat moromi yang dihasilkan akan baik. Beberapa faktor eksternal yang turut berperan mempengaruhi kualitas filtrat antara lain suhu dan aerasi (pengadukan).

Suhu merupakan hal yang sangat penting dalam fermentasi moromi. Menurut beberapa peneliti di Jepang, kualitas moromi pada musim panas jauh lebih baik dibandingkan dengan musim dingin. Hal ini disebabkan oleh karakteristik mikroorganisme yang diharapkan hidup selama proses fermentasi moromi optimal hidup pada suhu 30-35°C.

Dokumen terkait