• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Lama Fermentasi Moromi Terhadap Kualitas Filtrat Sebagai Bahan Baku Kecap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Lama Fermentasi Moromi Terhadap Kualitas Filtrat Sebagai Bahan Baku Kecap"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGARUH LAMA FERMENTASI MOROMI TERHADAP

KUALITAS FILTRAT SEBAGAI BAHAN BAKU KECAP

Oleh

Astrid Grahita Wulandari

F34104122

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

2

PENGARUH LAMA FERMENTASI MOROMI TERHADAP

KUALITAS FILTRAT SEBAGAI BAHAN BAKU KECAP

Oleh

Astrid Grahita Wulandari

F34104122

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar SARJANA pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

3 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH LAMA FERMENTASI MOROMI TERHADAP

KUALITAS FILTRAT SEBAGAI BAHAN BAKU KECAP

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar SARJANA pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ASTRID GRAHITA WULANDARI

F34104122

Bogor, September 2008 Menyetujui,

Dr.Ir. TITI CANDRA SUNARTI, MSi

(4)

4 Astrid Grahita Wulandari. F34104122. Pengaruh Lama Fermentasi Moromi Terhadap Kualitas Filtrat sebagai Bahan Baku Kecap. Di bawah bimbingan Titi Candra Sunarti.

RINGKASAN

Kecap merupakan produk pangan tradisional yang umumnya dibuat dengan cara fermentasi kedelai. Fermentasi kedelai terdiri dari dua tahapan fermentasi, yaitu fermentasi koji dan fermentasi moromi. Selama fermentasi terjadi perubahan baik mikrobiologis dan biokimiawi yang dapat mempengaruhi kualitas filtrat produk fermentasi (total padatan terlarut, garam, pH, total asam, formol nitrogen, total nitrogen dan penilaian organoleptik).

Fermentasi moromi merupakan salah satu faktor penentu kualitas kecap. Namun waktu yang dibutuhkan relatif lama yaitu ≥ 6 bulan. Waktu proses fermentasi moromi yang terlalu lama menjadi hambatan dari proses produksi komersial.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi moromi terhadap kualitas filtrat yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap dan memperoleh waktu minimum fermentasi moromi untuk mendapatkan filtrat dengan kualitas yang baik. Penelitian ini terdiri atas kajian proses fermentasi moromi, pengujian hipotesis komparatif untuk melihat perbedaan rata-rata dari setiap lama fermentasi dan penetapan kualitas filtrat dengan metode pembobotan.

Analisa filtrat moromi dilakukan terhadap sampel berumur 0 sampai 8 bulan. Berdasarkan hasil analisa kimia dan penilaian organoleptik, total padatan terlarut dan kadar garam (NaCl) cenderung mengalami peningkatan selama fermentasi. Perubahan komposisi filtrat terjadi akibat aktivitas mikroorganisme dan penambahan larutan garam dengan konsentrasi yang lebih rendah pada umur moromi 15 hari, 2, 5 dan 7 bulan.

Perubahan juga terjadi pada nilai pH yang semakin lama mengalami penurunan akibat aktivitas bakteri dan khamir yang menghasilkan asam amino dan asam organik sehingga nilai total asam yang dihasilkan semakin meningkat.

Analisa formol nitrogen filtrat menunjukkan aktivitas enzim protease yang memecah protein dalam kedelai menjadi asam-asam amino. Nitrogen formol dan total nitrogen cenderung mengalami peningkatan selama proses fermentasi. Berdasarkan hasil Univariate Analysis of Variance dan uji lanjut Duncan, secara umum lama fermentasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas filtrat. Penetapan kualitas filtrat moromi dilakukan dengan metode pembobotan menggunakan dua parameter penentu, yaitu nilai total nitrogen dan penilaian organoleptik yang mengacu pada JAS (Japan Agricultural Standard) untuk shoyu

dan referensi perusahaan kecap ”X”. Berdasarkan hasil analisa filtrat moromi melalui dua parameter tersebut dapat disimpulkan bahwa moromi dengan kualitas yang baik adalah moromi yang berumur minimal 4 bulan.

(5)

5 Astrid Grahita Wulandari. F34104122. Effect of The Time of Moromi Fermentation on Filtrate Quality as Basic Ingredient of Soy Sauce. Supervised by Titi Candra Sunarti.

SUMMARY

Soy sauce is one of the traditional food product, and generally made by soybean fermentations. Soybean fermentations consist of two steps, koji fermentation and moromi fermentation. The changing of microbial and biochemical processes occur during the fermentation and it can influence to the filtrate quality of fermentation product (total soluble solid, salt content, pH, total acids, nitrogen formol, total nitrogen and organoleptic assessment ).

Moromi fermentation is the main factor to determine the soy sauce quality. But it takes a lot of time (≥ 6 months) and this is one of the obstacle for commercial production process. The purpose of this research is to investigate the effects of fermentation time on filtrate quality as basic ingredient of soy sauce and to gain the good filtrate quality in the minimum time of moromi fermentation. This research consists of moromi fermentation process study, comparative hypothetical model to analyze the differences between the average scores from each fermentation time and filtrate quality assessment with scoring method.

Moromi filtrate analysis was done toward 0 until 8 months of moromi. According to the chemical and organoleptic analysis results, total soluble solid and salt content (NaCl) tent to increase during the fermentation. The changes of filtrate composition were happened because of microorganisms activities and addition of salt solution after 15 days, 2, 5 and 7 months of moromi in lower

(6)

6

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan ini sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : ”PENGARUH LAMA FERMENTASI MOROMI TERHADAP KUALITAS FILTRAT SEBAGAI BAHAN BAKU KECAP”

adalah karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, September 2008 Yang membuat pernyataan,

(7)

7

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Astrid Grahita Wulandari, merupakan anak ketiga dari pasangan Wardoyo Ruby dan Nurlaela, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 September 1986. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Sudimara 02 Ciledug dan melanjutkan ke SLTP Negeri 134 Jakarta sampai dengan tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Negeri 112 Jakarta.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB di Departemen Teknologi Industri Pertanian pada tahun 2004. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah aktif menjadi pengurus organisasi yaitu sebagai staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa, Sekretaris Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) dan Badan Pengawas Himpunan Profesi Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian (HIMALOGIN IPB) serta pernah aktif di berbagai kepanitiaan seperti seminar dan pelatihan.

(8)

8

1. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kualitas Filtrat ... 14

2. Pengujian Hipotesis Komparatif ... 15

3. Penetapan Kualitas dengan Metode Pembobotan ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

A. Bahan Baku dan Persiapan ... 21

1. Kedelai Hitam ... 21

(9)

9

B. Proses Fermentasi Moromi ... 25

1. Pengaruh Agitasi (Pengadukan) terhadap Kualitas Filtrat ... 25

2. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kualitas Filtrat ... 28

C. Signifikansi Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kualitas Filtrat ... 38

D. Penetapan Kualitas ... 49

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

A. Kesimpulan ... 41

B. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(10)

10 DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Kimia Kedelai per 100 g ... 3

Tabel 2. Komposisi Asam Amino Kedelai ... 4

Tabel 3. Komposisi Kimia Beberapa Kecap Indonesia (%) ... 6

Tabel 4. Kandungan Asam Amino Beberapa Jenis Kecap (%) ... 7

Tabel 5. Metode Pemasakan Kedelai Konvensional dan Modern ... 8

Tabel 6. Hasil Analisis Kadar Air Kedelai ... 21

Tabel 7. Hasil Rata-rata Analisis Kadar Air dan pH Koji... 22

Tabel 8. Hasil Analisis Filtrat Moromi dengan Perlakuan Pengadukan ... 26

(11)

1

PENGARUH LAMA FERMENTASI MOROMI TERHADAP

KUALITAS FILTRAT SEBAGAI BAHAN BAKU KECAP

Oleh

Astrid Grahita Wulandari

F34104122

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

2

PENGARUH LAMA FERMENTASI MOROMI TERHADAP

KUALITAS FILTRAT SEBAGAI BAHAN BAKU KECAP

Oleh

Astrid Grahita Wulandari

F34104122

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar SARJANA pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

3 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH LAMA FERMENTASI MOROMI TERHADAP

KUALITAS FILTRAT SEBAGAI BAHAN BAKU KECAP

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar SARJANA pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

ASTRID GRAHITA WULANDARI

F34104122

Bogor, September 2008 Menyetujui,

Dr.Ir. TITI CANDRA SUNARTI, MSi

(14)

4 Astrid Grahita Wulandari. F34104122. Pengaruh Lama Fermentasi Moromi Terhadap Kualitas Filtrat sebagai Bahan Baku Kecap. Di bawah bimbingan Titi Candra Sunarti.

RINGKASAN

Kecap merupakan produk pangan tradisional yang umumnya dibuat dengan cara fermentasi kedelai. Fermentasi kedelai terdiri dari dua tahapan fermentasi, yaitu fermentasi koji dan fermentasi moromi. Selama fermentasi terjadi perubahan baik mikrobiologis dan biokimiawi yang dapat mempengaruhi kualitas filtrat produk fermentasi (total padatan terlarut, garam, pH, total asam, formol nitrogen, total nitrogen dan penilaian organoleptik).

Fermentasi moromi merupakan salah satu faktor penentu kualitas kecap. Namun waktu yang dibutuhkan relatif lama yaitu ≥ 6 bulan. Waktu proses fermentasi moromi yang terlalu lama menjadi hambatan dari proses produksi komersial.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama fermentasi moromi terhadap kualitas filtrat yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan kecap dan memperoleh waktu minimum fermentasi moromi untuk mendapatkan filtrat dengan kualitas yang baik. Penelitian ini terdiri atas kajian proses fermentasi moromi, pengujian hipotesis komparatif untuk melihat perbedaan rata-rata dari setiap lama fermentasi dan penetapan kualitas filtrat dengan metode pembobotan.

Analisa filtrat moromi dilakukan terhadap sampel berumur 0 sampai 8 bulan. Berdasarkan hasil analisa kimia dan penilaian organoleptik, total padatan terlarut dan kadar garam (NaCl) cenderung mengalami peningkatan selama fermentasi. Perubahan komposisi filtrat terjadi akibat aktivitas mikroorganisme dan penambahan larutan garam dengan konsentrasi yang lebih rendah pada umur moromi 15 hari, 2, 5 dan 7 bulan.

Perubahan juga terjadi pada nilai pH yang semakin lama mengalami penurunan akibat aktivitas bakteri dan khamir yang menghasilkan asam amino dan asam organik sehingga nilai total asam yang dihasilkan semakin meningkat.

Analisa formol nitrogen filtrat menunjukkan aktivitas enzim protease yang memecah protein dalam kedelai menjadi asam-asam amino. Nitrogen formol dan total nitrogen cenderung mengalami peningkatan selama proses fermentasi. Berdasarkan hasil Univariate Analysis of Variance dan uji lanjut Duncan, secara umum lama fermentasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas filtrat. Penetapan kualitas filtrat moromi dilakukan dengan metode pembobotan menggunakan dua parameter penentu, yaitu nilai total nitrogen dan penilaian organoleptik yang mengacu pada JAS (Japan Agricultural Standard) untuk shoyu

dan referensi perusahaan kecap ”X”. Berdasarkan hasil analisa filtrat moromi melalui dua parameter tersebut dapat disimpulkan bahwa moromi dengan kualitas yang baik adalah moromi yang berumur minimal 4 bulan.

(15)

5 Astrid Grahita Wulandari. F34104122. Effect of The Time of Moromi Fermentation on Filtrate Quality as Basic Ingredient of Soy Sauce. Supervised by Titi Candra Sunarti.

SUMMARY

Soy sauce is one of the traditional food product, and generally made by soybean fermentations. Soybean fermentations consist of two steps, koji fermentation and moromi fermentation. The changing of microbial and biochemical processes occur during the fermentation and it can influence to the filtrate quality of fermentation product (total soluble solid, salt content, pH, total acids, nitrogen formol, total nitrogen and organoleptic assessment ).

Moromi fermentation is the main factor to determine the soy sauce quality. But it takes a lot of time (≥ 6 months) and this is one of the obstacle for commercial production process. The purpose of this research is to investigate the effects of fermentation time on filtrate quality as basic ingredient of soy sauce and to gain the good filtrate quality in the minimum time of moromi fermentation. This research consists of moromi fermentation process study, comparative hypothetical model to analyze the differences between the average scores from each fermentation time and filtrate quality assessment with scoring method.

Moromi filtrate analysis was done toward 0 until 8 months of moromi. According to the chemical and organoleptic analysis results, total soluble solid and salt content (NaCl) tent to increase during the fermentation. The changes of filtrate composition were happened because of microorganisms activities and addition of salt solution after 15 days, 2, 5 and 7 months of moromi in lower

(16)

6

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan ini sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : ”PENGARUH LAMA FERMENTASI MOROMI TERHADAP KUALITAS FILTRAT SEBAGAI BAHAN BAKU KECAP”

adalah karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, September 2008 Yang membuat pernyataan,

(17)

7

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Astrid Grahita Wulandari, merupakan anak ketiga dari pasangan Wardoyo Ruby dan Nurlaela, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 September 1986. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Sudimara 02 Ciledug dan melanjutkan ke SLTP Negeri 134 Jakarta sampai dengan tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Negeri 112 Jakarta.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB di Departemen Teknologi Industri Pertanian pada tahun 2004. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah aktif menjadi pengurus organisasi yaitu sebagai staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa, Sekretaris Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) dan Badan Pengawas Himpunan Profesi Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian (HIMALOGIN IPB) serta pernah aktif di berbagai kepanitiaan seperti seminar dan pelatihan.

(18)

8

1. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kualitas Filtrat ... 14

2. Pengujian Hipotesis Komparatif ... 15

3. Penetapan Kualitas dengan Metode Pembobotan ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

A. Bahan Baku dan Persiapan ... 21

1. Kedelai Hitam ... 21

(19)

9

B. Proses Fermentasi Moromi ... 25

1. Pengaruh Agitasi (Pengadukan) terhadap Kualitas Filtrat ... 25

2. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kualitas Filtrat ... 28

C. Signifikansi Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kualitas Filtrat ... 38

D. Penetapan Kualitas ... 49

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

A. Kesimpulan ... 41

B. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(20)

10 DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Kimia Kedelai per 100 g ... 3

Tabel 2. Komposisi Asam Amino Kedelai ... 4

Tabel 3. Komposisi Kimia Beberapa Kecap Indonesia (%) ... 6

Tabel 4. Kandungan Asam Amino Beberapa Jenis Kecap (%) ... 7

Tabel 5. Metode Pemasakan Kedelai Konvensional dan Modern ... 8

Tabel 6. Hasil Analisis Kadar Air Kedelai ... 21

Tabel 7. Hasil Rata-rata Analisis Kadar Air dan pH Koji... 22

Tabel 8. Hasil Analisis Filtrat Moromi dengan Perlakuan Pengadukan ... 26

(21)

11 DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur Kimia HEMF ... 5

Gambar 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Filtrat Moromi dan Analisis ... 15

Gambar 3. Diagram Alir Proses Pembuatan Filtrat Moromi ... 18

Gambar 4. Koji Berwarna Hijau Kekuningan ... 24

Gambar 5. Pengaruh Lama Fermentasi Moromi terhadap Hasil Analisis Total Padatan Terlarut dan Kadar NaCl ... 29

Gambar 6. Pengaruh Lama Fermentasi Moromi terhadap Hasil Analisis pH dan Total Asam ... 31

Gambar 7. Pengaruh Lama Fermentasi Moromi terhadap Hasil Analisis Formol Nitrogen dan Total Nitrogen ... 34

Gambar 8. Pengaruh Lama Fermentasi Moromi terhadap Hasil Analisis Penilaian Organoleptik ... 37

(22)

12 DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Analisis Koji ... 45 Lampiran 2. Prosedur Analisis Filtrat Moromi ... 46 Lampiran 3. Hasil Analisis Kadar Air dan pH Koji ... 49 Lampiran 4. Hasil Analisis Kimia dan Organoleptik Filtrat Moromi ... 50 Lampiran 5. Hasil Rata-rata Analisis Filtrat Moromi 0-8 bulan ... 51 Lampiran 6. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Duncan Analisis Kimiawi Filtrat

(23)

13

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kecap merupakan salah satu produk pangan tradisional yang telah lama dikenal di Asia dan berasal dari Cina sekitar 1000 tahun lalu. Kecap digunakan sebagai bahan penyedap makanan yang umumnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu kecap manis dan kecap asin.

Metode pembuatan kecap dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fermentasi kedelai, hidrolisis asam atau kombinasi dari keduanya. Namun, proses fermentasi kedelai lebih banyak digunakan karena menghasilkan cita rasa yang khas dibandingkan dengan metode lainnya.

Metode fermentasi kedelai dalam pembuatan kecap terdiri dari dua tahapan fermentasi, yaitu fermentasi padat dan fermentasi cair. Proses fermentasi padat atau biasa disebut dengan istilah koji merupakan fermentasi dengan menggunakan kedelai dan starter (kapang) yang dilakukan selama dua sampai empat hari, sedangkan proses fermentasi cair atau moromi adalah campuran antara koji dan larutan garam dengan konsentrasi tertentu yang lama fermentasinya enam bulan ke atas.

Salah satu faktor penentu kualitas produk kecap adalah hasil akhir fermentasi (filtrat) moromi. Karena selama proses fermentasi terjadi perubahan mikrobiologis dan biokimiawi yang berpengaruh terhadap kualitas produk akhir fermentasi. Perubahan tersebut dapat di analisis melalui berbagai macam cara diantaranya adalah analisis kimiawi yang meliputi total padatan terlarut, kadar garam, pH, total asam, formol nitrogen dan total nitrogen kemudian penilaian organoleptik (warna, rasa dan aroma).

(24)

14 B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui pengaruh lama fermentasi moromi terhadap kualitas filtrat sebagai bahan baku kecap.

(25)

15

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEDELAI

Menurut Yokotsuka (1985) di dalam Wood (1994), kedelai (Glycine max

(L) Merr.) memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, seperti yang terlihat pada Tabel 1, terutama protein dan karbohidratnya, sehingga memungkinkan perkembangbiakan mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim pemecah substrat pada kedelai. Setelah mengalami fermentasi, lemak pada kedelai akan terpecah menjadi asam lemak, sedangkan protein yang telah terpecah dapat berinteraksi dengan gula hasil pemecahan karbohidrat dalam reaksi Maillard.

Tabel 1. Komposisi Kimia Kedelai per 100 g

Komponen Jumlah

Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1981).

Secara umum, kedelai (Glycine max (L) Merr.) terdiri dari 38% protein, 31% karbohidrat, 18% lemak dan 8% air. Kedelai juga mengandung beberapa mineral dan vitamin dalam jumlah tinggi (Aykroyd dan Doughty, 1964). Protein kedelai terutama terdiri dari glisin, faseolin, legumelin dan legumelin kedelai (Windholz et al., 1976). Kedelai mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi dengan komposisi asam amino esensial yang cukup seperti yang tercantum pada Tabel 2.

(26)

16 Tabel 2. Komposisi Asam Amino Kedelai

Jenis Jumlah

Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi (1985).

Dari Tabel 2 terlihat bahwa kedelai mempunyai kandungan asam amino yang cukup lengkap untuk konsumsi protein, dimana asam glutamat memiliki jumlah terbesar. Asam glutamat berperan dalam memberikan rasa gurih pada pangan olahan (Yokotsuka (1985) di dalam Wood (1994)).

B. KECAP

Kecap adalah cairan yang berwarna coklat agak kental, mempunyai aroma yang sedap dan merupakan hasil fermentasi kedelai (Suliantari dan Winiati, 1990). Kecap kedelai merupakan produk fermentasi kedelai yang kaya flavor, baik flavor dari komponen volatil (Sasaki (1996) di dalam Suliantari dan Winiati (1990)) maupun komponen non volatil (Oka dan Nagata (1974) dalam Suliantari dan Winiati (1990)).

(27)

17 Analisis keragaman menunjukkan bahwa 4 diantara 12 faktor pembentukan flavor yang dikaji memberikan kontribusi sekitar 60% terhadap kualitas rasa shoyu. Keempat faktor yang dimaksud adalah :

a. Konstituen nitrogen ; b. Konstituen gula ;

c. Komponen-komponen rasa yang terdiri atas asin, asam, pahit dan enak (delicious taste) ;

d. Faktor-faktor pembentuk keasaman seperti asam laktat, asam asetat dan radikal amonium (Mori (1979) di dalam Wood (1994)).

Yokotsuka (1985) dalam Wood (1994) menemukan bahwa komposisi yang tepat dari lima rasa dasar esensial adalah penentu flavor shoyu. Kelima rasa dasar tersebut ditentukan oleh kandungan dan komposisi senyawa nitrogen, gula, garam dan asam organik. Senyawa-senyawa nitrogen merupakan penentu utama rasa shoyu, diikuti oleh senyawa-senyawa gula sederhana, rasa gurih (garam glutamat) serta asam-asam organik. Pada sisi lain

shoyu, Won-Dae et al. (1992) di dalam Wood (1994) berhasil mengidentifikasi komponen volatil yang diduga merupakan pembentuk aroma tidak disukai pada kecap-kecap di Korea yaitu 3-metil-1-butanol, dimetil trisulfida dan benzaldehida.

Menurut Nunomura dan Sasaki (1992) di dalam Wood (1994), dari semua komponen yang teridentifikasi, komponen 4-hidroksi-1(atau 5)-etil-5(atau 2)-metil-3(2H)-furanon (HEMF) adalah komponen flavor penting pada kecap. Struktur kimia HEMF dapat dilihat pada Gambar 1.

OH O O OH

CH3 C2H5 C2H5 CH3

(28)

18 Komposisi kimia kecap asin dan kecap manis sangat berbeda. Kadar protein kecap asin (6,55%) sangat tinggi dibanding kecap manis (1,46%), demikian juga total nitrogen kecap asin (1,44%) lebih tinggi dibanding kecap manis (0,26%). Hal ini disebabkan karena dalam pembuatan kecap manis ditambahkan gula palma yang jauh lebih banyak dibanding kecap asin, tetapi kadar garam kecap asin sangat tinggi yaitu 18,34% sedangkan untuk kecap manis memiliki kadar garam 3-6% (Judoamidjojo et al., 1989).

Tabel 3. Komposisi kimia beberapa kecap Indonesia (%)

Komponen

Jenis Kecap

Kecap Manis Kecap Asin Kecap Kental Kecap Jepang

(Jenis Tamari)

Kandungan asam amino kecap manis Indonesia telah berhasil diidentifikasi oleh Judoamidjojo et al. (1989) dengan menggunakan amino acid analyzer (Tabel 4.)

C. PRODUKSI FILTRAT MOROMI

1. PERSIAPAN BAHAN BAKU

(29)

19 Tabel 4. Kandungan asam amino beberapa jenis kecap (g/100g)

Asam Amino Kecap Asin Kecap Manis Kecap Jepang (Jenis Tamari)

Aspartat 0,425 0,030 0,58 dengan mengurangi tekanan yang dimasukkan melalui bantuan pendingin jet. Pemecahan protein dalam industri kecap akan meningkat dengan metode NK

dimana rasio antara total nitrogen kecap dengan bahan mentah meningkat dari 69% menjadi 73% dengan menggunakan metode NK dibandingkan dengan metode konvensional seperti ditunjukan pada Tabel 5.

Menurut Yasuda et al. (1973) di dalam Wood (1994), waktu untuk mendinginkan kedelai setelah pemasakan dalam NK-cooker erat hubungannya dengan pemecahan enzim proteolitik. Dengan memperbesar diameter baik

(30)

20 Tabel 5. Perbandingan Metode Pemasakan Kedelai Konvensional dan Modern

Metode

** Dimasak pada 0,8 kg/cm2 selama 1 jam, langsung dikeluarkan dari otoklaf.

2. FERMENTASI

Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere yang artinya mendidihkan, yaitu berdasarkan ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yang pengertiannya berbeda dengan air mendidih. Gas yang terbentuk tersebut diantaranya karbondioksida (CO2) (Herlina, 2002). Menurut Nurmalis (2008),

pada prinsipnya fermentasi merupakan proses penguraian substrat organik yang komplek menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim dan mikroba dalam keadaan yang terkontrol.

Berdasarkan sumber mikroba yang berpengaruh dalam fermentasi, fermentasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu fementasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembang biak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai dengan pertumbuhannya, sedangkan fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau

starter. Mikroba tersebut akan berkembang biak dan aktif dalam mengubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz, 1992)

Pada proses fermentasi terjadi pemecahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida (CO2). Namun banyak proses yang disebut fermentasi

tidak selalu menggunakan substrat karbohidrat sebagai media fermentasi yang menghasilkan alkohol dan karbondioksida (CO2) saja. Selain karbohidrat,

(31)

21 menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat-zat lainnya (Winarno dan Fardiaz, 1980).

Metode pembuatan kecap dengan cara fermentasi kedelai melalui dua tahapan fermentasi, yaitu fermentasi koji dan fermentasi moromi.

2.1. Koji

”Koji” merupakan singkatan dari kata kerja dalam bahasa Jepang, yaitu ”kabitachi” yang berarti kumpulan jamur (Yong dan Wood (1974) di dalam Steinkraus (1983)). ”Koji”, orang Cina menyebutnya ”chou”, dipakai sebagai sumber enzim hidrolitik seperti amilase, protease dan lipase. Hampir sebagian besar starter adalah campuran dari khamir, kapang dan bakteri, tetapi untuk beberapa tujuan telah digunakan kultur murni (Muchtadi, 1989).

Fermentasi koji adalah salah satu tahap penting dalam pembentukan komponen fenolik yang berperan pada flavor kecap. Tahap ini menunjukkan bahwa metabolisme kapang koji berhubungan dengan aroma kecap, yang penting dalam penerimaannya (Nunomura dan Sasaki (1992) di dalam Wood (1994)).

Preparasi koji dipertimbangkan sebagai suatu langkah penting dalam fermentasi beragam makanan fermentasi dari daerah Timur. Pada dasarnya, proses ini adalah penanaman kapang pada substrat padat untuk menghasilkan enzim hidrolitik pada biji-bijian seperti kacang kedelai dan atau serealia lainnya. Maka dari itu, koji merupakan sumber beragam enzim yang mengkatalisasi degradasi bahan mentah padat ke produk yang larut dan dapat menghasilkan substrat yang dapat difermentasi oleh ragi dan bakteri dalam tahapan fermentasi selanjutnya (Yong dan Wood (1974) di dalam Steinkraus (1983)).

Enzim dapat menyebabkan perubahan citarasa, warna, tekstur dan sifat-sifat lain dari bahan pangan. Selama fermentasi, enzim yang aktif ialah protease, amilase dan enzim-enzim yang lain dihasilkan oleh

(32)

22 Menurut Yokotsuka (1985) di dalam Wood (1994), setelah pendinginan mencapai kurang dari 400C, kedelai dimasak dan dicampur dengan gandum kemudian diinokulasi dengan 0.1 sampai 0.2% tane koji

(bibit koji) yang terdiri dari jenis terpilih Aspergillus oryzae atau

Aspergillus sojae (Hesseltine, 1965; Yong dan Wood, 1974 di dalam Steinkraus (1983)). Dalam prakteknya, campuran kultur terdiri dari 80%

Aspergillus oryzae dan 20% Aspergillus sojae. Campuran tersebut kemudian disebar ke rak-rak kayu dangkal dan diinkubasi dalam ruangan kultur dimana suhu biasanya berkisar antara 25 sampai 300C (Yokotsuka (1960) di dalam Steinkraus (1983)).

Galur Aspergillus dipilih karena kemampuannya memproduksi protease dan amilase ekstraseluler, warna konidia, kemampuan memproduksi aflatoksin dan mikotoksin rendah, tingkat pertumbuhan dan suhu pertumbuhan optimum (Bhumiratana et al. (1980) di dalam Tanasupawat (2002)).

Menurut Terada et al. (1981) di dalam Wood (1994), koji shoyu

dengan kultur A. sojae memiliki karakteristik dibandingkan dengan koji dengan kultur A. oryzae sebagai berikut :

1. Nilai pH koji lebih tinggi diduga menurun ketika menghasilkan asam sitrat.

2. Konsumsi pati lebih rendah selama proses koji.

3. Aktivitas α-amilase, protease asam, karboksipeptidase asam lebih rendah dan endo-poli-galakturonase lebih tinggi dalam koji.

4. Viskositas moromi lebih rendah.

5. Aktivitas enzimatis yang tinggal lebih rendah dalam material shoyu, dimana jumlah substansi pemanasan terkoagulasi lebih rendah disebabkan oleh pasteurisasi.

6. Komposisi gula pereduksi, laktosa dan amonia lebih rendah, dan nilai pH material shoyu lebih rendah.

(33)

23 dangkal di dalamnya terdapat ruang-ruang tertutup dilengkapi dengan kontrol saluran udara, suhu dan kelembaban sekaligus saluran mekanik untuk memutar substrat selama inkubasi. Tipe mesin koji otomatis lain di pasaran adalah sistem inkubasi koji silindris dua lantai dengan sebuah piringan pemutar di setiap lantainya dan juga dilengkapi dengan seluruh jaringan kontrol otomatis (Hesseltine (1972) dan Fukushima (1978) di dalam Steinkraus (1983)).

Kualitas koji sangat dipengaruhi tidak hanya oleh tingkat dan kecepatan degradasi enzimatik dari bahan mentah dalam campuran garam tetapi juga kualitas kandungan kimia dan organoleptik dari produk akhir. Untuk menyiapkan kualitas koji yang baik, perlu dilakukan beberapa hal berikut (Yokotsuka (1960) di dalam Steinkraus (1983)) :

Mendapatkan pertumbuhan miselia yang cukup,

Menghasilkan jumlah maksimum enzim yang dibutuhkan, seperti protease, amilase dan degradasi enzim jaringan tanaman lainnya, Tidak merusak aktivitas produksi enzim,

Meminimalisasi konsumsi pati yang disebabkan oleh pertumbuhan jamur,

Menghindari kontaminasi jamur dan bakteri.

Koji yang berkualitas tinggi adalah yang berwarna hijau tua, aromanya menyenangkan, aktivitas amilase tinggi, jumlah bakteri yang rendah, populasi ragi yang tinggi, pertumbuhan kapang yang pesat serta rasa yang agak manis dan agak pahit (Hesseltine dan Wang (1978) di dalam Wood (1994)).

2.2. Moromi

(34)

24 oleh enzim pemecah yang dihasilkan koji. Pertama terjadi fermentasi asam laktat, selanjutnya fermentasi alkohol oleh khamir dan yang terakhir fermentasi yang sangat komplek. Warna moromi umumnya akan menjadi gelap (Yokotsuka (1960) di dalam Steinkraus (1983)).

Larutan garam dan koji dahulu digunakan dalam volume yang sama, tetapi belakangan ini volume larutan garam dinaikkan menjadi 110 sampai 120% dari volume koji. Pencampuran dengan air yang berlebihan menyebabkan penggunaan total nitrogen yang baik dari bahan baku, tetapi akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan pada komposisi kecap. Konsentrasi larutan garam biasanya digunakan sebesar 17-19%, dan berbahaya jika digunakan pada konsentrasi dibawah 16%, karena akan menyebabkan pembusukan (Yokotsuka (1960) di dalam Steinkraus (1983)).

Pada tahap fermentasi garam terjadi pembentukan asam amino dan fermentasi oleh bakteri asam laktat akibat aktivitas enzim yang telah diproduksi selama fermentasi kapang. Asam amino yang terbentuk ada 17 jenis, dengan asam glutamat sebagai komponen flavor yang terpenting (Hesseltine dan Wang (1978) dalam Wood (1994)).

Menurut Imai et al. (1969), Tazaki et al. (1969) dan Goan (1957) di dalam Wood (1994), berdasarkan perubahan suhu selama musim panas, persiapan shoyu memiliki karateristik komposisi total nitrogen, asam amino dan asam glutamat lebih kecil sedangkan komposisi asam organik dan evaluasi organoleptik rendah (inferior) lebih baik dibandingkan dengan persiapan shoyu pada saat musim dingin. Melalui penurunan suhu moromi, peningkatan 1-3% pencernaan protein diharapkan, karena suhu yang lebih rendah dapat mencegah cepatnya penurunan nilai pH yang disebabkan oleh fermentasi laktat, dimana protease alkali inaktif.

Selama fermentasi moromi, mikroba yang paling berperan adalah

(35)

25 menurunkan pH larutan garam menjadi 4,8-5,0. Selain itu khamir aktif dan merombak gula pereduksi menjadi senyawa penting dalam pembentukan flavor (Roling, 1995).

Degradasi enzimatik protein dari material sampai menjadi peptida, asam amino bebas dan amonia hampir berhenti dalam 2 atau 3 bulan, tergantung dari suhu. Karbohidrat dihidrolisis menjadi heksosa dan pentosa, dan komponen-komponen tersebut dimetabolisme sebagian menjadi sekitar 1% asam laktat dan asam organik lainnya oleh Pediococci

dan sebagian lagi menjadi 2-3% etanol dan komponen minor pembentuk

flavour oleh khamir.

Berbagai macam pola metabolisme oleh Pediococci dalam moromi, yaitu :

1. Homofermentasi : Glukosa 2 mol asam laktat

2. Heterofermentasi : Glukosa 1 mol asam laktat, etanol, asam asetat, CO2, aseton dan butanol

3. 67 pola aliran metabolisme untuk arabinosa, laktosa, melobiosa, mannitol dan sorbitol.

4. Aliran metabolik untuk asam amino dan asam sitrat Histidin Histamin + CO2

Tirosin Tiramin + CO2

Arginin Ornitin + CO2

Asam sitrat Asam asetat + asam malat  asam laktat + CO2

Asam aspartat Alanin + CO2

(36)

26

BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan Baku

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedelai hitam, koji dan larutan garam dari Perusahaan Kecap ”X”.

2. Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan adalah NaOH, indikator

phenolphtalein (PP), metil merah, kalium oksalat, formaldehida, kalium kromat, perak nitrat, Kjeldahl Reagent Kit, H2SO4, danHCl.

3. Alat

Alat yang digunakan untuk analisis adalah timbangan, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, pipet volumetrik, pipet tetes, buret, pH meter, hidrometer, sudip, labu kjeldahl, gelas sampel, desikator, kertas saring Whatman, alat distilasi protein, oven, cawan porselen, gegep dan plastik sampel.

Peralatan yang digunakan untuk proses produksi adalah mesin pencuci kedelai, mesin pemasak kedelai (NK cooker), lorry, pallet, tangki fermentasi koji yang terbuat dari stainless steel dengan kapasitas kedelai sebesar 1200 kg, tampah, rak, mesin pengering koji (koji drier), tangki fermentasi moromi yang terbuat dari fiber glass

dengan volume 20000 ℓ, vibrosiever dan pompa.

B. METODOLOGI PENELITIAN

(37)

27 yang dilakukan ditampilkan pada Gambar 2. Analisis kimiawi yang dilakukan meliputi total padatan terlarut, kadar NaCl, pH, total asam, formol nitrogen dan total nitrogen. Penilaian organoleptik meliputi parameter warna, rasa dan aroma. Penilaian organoleptik ini dilakukan oleh 1 orang panelis ahli dan sangat terlatih dari Perusahaan Kecap ”X”. Prosedur analisis koji dan moromi terlampir pada Lampiran 1 dan 2.

Gambar 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Filtrat Moromi dan Analisis

2. Pengujian Signifikansi Pengaruh Lama Fermentasi terhadap

Kualitas Filtrat

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan Univariate Analysis of Variance dan uji lanjut Duncan dengan menggunakan program SPSS. Pengujian ini dilakukan terhadap hasil analisa kimiawi yang meliputi total padatan terlarut, kadar NaCl, pH, total asam, formol nitrogen dan total nitrogen. Tingkat kepercayaan yang digunakan sebesar 95%.

3. Penetapan Kualitas dengan Metode Pembobotan

Menurut Yokotsuka dan Sasaki (1985) di dalam Wood (1994), JAS (Japan Agricultural Standard) untuk shoyu pertama kali menentukan kualitas shoyu berdasarkan total nitrogen, yaitu 1% untuk koikuchi dan 0.8% untuk usukuchi. Kemudian JAS membedakan shoyu menjadi 3 tingkat, yaitu Spesial, Upper dan

Koji Larutan Garam 22±2%

Fermentasi Moromi

(38)

28 Standar. Standar kimia yang ditetapkan untuk ketiga tingkat shoyu

adalah :

a. Total Nitrogen

≥ 1,5 g/100 ml (spesial) ; 1,35 (Upper) dan 1,2 (standar) b. Alkohol

≥ 0,8 ml/100 ml hanya untuk special grade

c. Intensitas Warna

Lebih besar dari No.18 standar shoyu.

Penentuan kualitas filtrat moromi yang baik ditentukan dengan metode skoring atau pembobotan. Metode ini dilakukan berdasarkan parameter penentu kualitas filtrat. Parameter penentu kualitas filtrat yang digunakan terdiri dari hasil analisis total nitrogen dan penilaian organoleptik.

Setiap parameter diberi skor, yaitu : 1 = Tidak memenuhi 2 = Memenuhi

Berdasarkan hasil analisis Kikkoman Corporation, kualitas kecap Jepang (shoyu) lebih baik dibandingkan kecap Indonesia terutama dalam hal kandungan protein (nitrogen). Berdasarkan referensi Perusahaan Kecap “X”, parameter pertama (Total Nitrogen) diberikan

skor2 atau memenuhi bila hasil analisis ≥ 1 g/100 ml (1%).

Parameter kedua merupakan hasil penilaian organoleptik yang dilakukan oleh satu orang panelis ahli dan sangat terlatih. Berdasarkan referensi Perusahaan Kecap “X”, penilaian organoleptik dapat dideskripsikan atau dilambangkan dengan skor sebagai berikut : 7. = Aroma kedelai lebih dominan, warna coklat muda

8. = Aroma khas dan agak asam, warna coklat, rasa asin lebih dominan

9. = Aroma khas, warna coklat, rasa gurih mulai muncul 10.= Aroma tajam dan khas, warna coklat tua, rasa gurih

(39)

29 Berdasarkan ketetapan skor kualitas filtrat tersebut filtrat moromi dengan hasil penilaian organoleptik ≥ 6 adalah memenuhi atau diberi

(40)

30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecap secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu kecap manis dan kecap asin. Kedua jenis kecap tersebut menggunakan bahan baku yang sama, yaitu filtrat moromi. Proses pembuatan bahan baku kecap (filtrat moromi) secara fermentasi kedelai terdiri dari beberapa tahap, seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Alir Pembuatan Filtrat Moromi (Sumber : Perusahaan Kecap ”X”, 2008)

Kedelai

Pencucian

Pemasakan

Fermentasi Koji

Koji Modern Koji Tradisional

Pengeringan

Fermentasi Moromi

Ekstraksi

Filtrat Larutan Garam 22±2%

Starter

Air Mengalir

(41)

31 Berdasarkan gambar diagram alir di atas, proses pembuatan filtrat moromi diawali dengan perendaman dan pencucian kedelai hitam. Kedelai hitam yang telah disortir dan direndam selama beberapa menit kemudian dicuci dengan menggunakan air mengalir. Perendaman sebaiknya dilakukan tidak terlalu lama karena dapat menurunkan kandungan nitrogen dalam kedelai. Beberapa tahun yang lalu, metode pencucian dengan cara merendam kedelai dalam air selama kurang lebih 12 jam ternyata dapat memacu pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Maka dari itu, metode pencucian dengan menggunakan air mengalir dipilih sebagai alternatif pencegahan pertumbuhan mikroorganisme pembusuk saat pencucian.

Kedelai yang telah dicuci kemudian dimasak selama kurang lebih 1 jam. Metode pemasakan yang dilakukan dengan menggunakan NK cooker dimana suhu yang digunakan sebesar 121ºC dan tekanan sebesar 2 bar. Metode NK atau North Korea ini telah ditemukan oleh Tateno dan Umeda puluhan tahun silam. Selain untuk memperlunak tekstur kedelai, pemasakan kedelai ini juga bertujuan untuk meningkatkan volume kedelai sekaligus meningkatkan luas permukaan kedelai sehingga kapang (starter) yang ditambahkan pada fermentasi koji semakin banyak. Peningkatan pertumbuhan kapang inilah yang akan mempengaruhi kualitas koji.

Proses pendinginan perlu dilakukan setelah kedelai dimasak. Hal ini bertujuan untuk menurunkan suhu kedelai sehingga kapang dapat tumbuh saat dicampurkan dengan kedelai. Toleransi suhu kedelai yang dapat diterima saat penambahan starter (kapang) berkisar antara 35-40ºC. Starter yang digunakan merupakan kultur campuran (mixed cultures) yang terdiri dari tiga jenis kapang dan yang paling dominan adalah Aspergillus sojae. Jumlah starter yang ditambahkan pada kedelai adalah 0,2-0,3% dari total kedelai yang digunakan (1200 kg). Menurut Fardiaz (1989), kebanyakan kapang bersifat mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-30°C, tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-37°C.

(42)

32 hari) lebih cepat daripada koji tradisional (empat hari). Kedua jenis koji ini (koji modern dan koji tradisional) kemudian dicampur dengan komposisi masing-masing 50% pada tahapan fermentasi moromi.

Peralatan yang digunakan pada koji tradisional sangat sederhana, yaitu rak dan tampah dengan kondisi fermentasi tergantung pada kondisi lingkungan, sedangkan koji modern menggunakan bioreaktor besar atau disebut dengan

kojiroom dimana kondisi fermentasi disesuaikan, yaitu suhu berkisar pada 28-32°C, RH berkisar pada 90-98% dan ketersediaan oksigen sebesar 22%.

Koji yang telah dipanen kemudian dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering atau koji drier. Koji drier terdiri dari rak-rak dengan suhu yang berbeda-beda berkisar antara 50-60°C tergantung dengan lokasi sumber panas untuk mencapai kadar air sebesar 13%. Proses pengeringan dilakukan selama kurang lebih 3 jam setiap batch dengan sistem kontinyu. Pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air dari koji yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada proses fermentasi moromi sekaligus untuk mempermudah proses ekstraksi, karena koji tidak mudah hancur dan larut dalam filtrat.

Koji yang telah dikeringkan (dried koji) kemudian dimasukkan ke dalam tangki besar dan dicampur dengan larutan garam dengan konsentrasi 22±2%. Setiap tangki fermentasi berisi 4 batch koji atau sebesar 1200 kg kemudian ditambahkan dengan larutan garam hingga volumenya mencapai 20000 ℓ. Proses inilah yang disebut dengan fermentasi moromi. Fermentasi ini dilakukan selama minimal enam bulan dengan beberapa perlakuan selama proses fermentasi berlangsung, diantaranya agitasi (pengadukan) dan penambahan larutan garam pada waktu-waktu tertentu dengan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan pada awal penambahan larutan garam untuk mencegah konsentrasi garam yang terlalu tinggi sehingga dapat menyebabkan mikroorganisme halotoleran inaktif.

(43)

33 Setiap tahapan proses memiliki fungsinya masing-masing dan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas filtrat moromi. Adapun hal-hal yang mempengaruhi kualitas filtrat adalah sebagai berikut :

A. Bahan Baku dan Persiapan

1. Kedelai Hitam

Tahap awal pembuatan filtrat moromi adalah persiapan bahan baku. Proses persiapan bahan baku terdiri dari dua tahap, yaitu pencucian sekaligus perendaman dan pemasakan. Proses perendaman dan pemasakan memiliki tujuan yang sama, yaitu meningkatkan volume kedelai sehingga memperluas permukaan kedelai untuk ditumbuhi kapang dan menjadikan kualitas koji semakin baik. Kisaran peningkatan volume kedelai dapat dideskripsikan dengan peningkatan kadar air kedelai pada setiap prosesnya yang ditampilkan pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Hasil Analisis Kadar Air Kedelai

Proses Kadar Air (%)

Sebelum Pencucian 6,10 - 10,36

Sesudah Pencucian 20,09 - 22,42 Setelah Pemasakan 44,55 - 56,38

Berdasarkan hasil Analisis kadar air kedelai pada Tabel 6, ditunjukkan bahwa setiap proses mengalami peningkatan kadar air kedelai hingga sekitar 200%. Peningkatan kadar air diimbangi dengan peningkatan volume kedelai.

(44)

34 menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana yang dapat digunakan pada proses fermentasi berikutnya (fermentasi moromi).

2. Kualitas Koji

Menurut Junaidi (1987), beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembuatan koji adalah kadar air kedelai, pH, kelembaban ruang, suhu dan aerasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses fermentasi koji dilakukan dengan dua metode, yaitu koji modern dan koji tradisional.

Fermentasi koji modern dilakukan selama dua hari dengan menggunakan ruangan fermentasi (bioreaktor besar) yang kondisi lingkungannya disesuaikan terutama suhu, RH dan ketersediaan oksigen sehingga kapang dapat tumbuh dengan optimal, sedangkan fermentasi koji tradisional dilakukan selama empat hari dengan menggunakan tampah yang disimpan pada rak-rak dengan suasana fermentasi tergantung pada kondisi lingkungan yang lembab dan suhu ruang.

Tabel 7 berikut ini menunjukkan nilai rata-rata persentase kadar air dan pH koji modern dan koji tradisional pada pengadukan 1, 2 dan 3 yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, yaitu jam ke 0 sesaat setelah starter

dicampurkan dengan kedelai yang telah masak dan kondisi suhu berkisar antara 35-40°C. Hasil keseluruhan analisis kadar air dan pH untuk kedua jenis koji dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 7. Hasil Analisis Rata-rata Kadar Air dan pH Koji

Pengadukan Kadar Air (%) pH

(jam ke-) Koji modern Koji tradisional Koji modern Koji tradisional

0 38,5 37,8 6,14 6,58

16 36,9 31,4 6,14 6,75

24 30,6 22,7 6,45 6,97

(45)

35 fermentasi. Hal ini terjadi sebagai salah satu dampak dari pengadukan karena pengadukan merupakan salah satu cara untuk homogenisasi dan melakukan aerasi selama proses fermentasi koji. Kadar air yang dihasilkan pada koji tradisional lebih rendah dibandingkan dengan koji modern. Hal ini diduga karena kelembaban udara dalam ruang penyimpanan koji tradisional lebih rendah dibandingkan dengan koji modern sehingga kandungan air yang dihasilkan menjadi lebih rendah pula.

Menurut Narahara et al. (1984) dan Nakadai dan Nasuno (1988) di dalam Wood (1994), kandungan air media berperan penting dalam produksi sel dan enzim selama fermentasi koji berlangsung. Pada fermentasi koji, kandungan air juga berperan dalam pencegahan kontaminasi bakteri dan khamir (Yokotsuka (1988) di dalam Wood (1994)). Menurut Battaglino et al. (1991) di dalam Wood (1994), kandungan air untuk produksi maksimal protease adalah berkisar pada selang 35% sampai 40%.

Kandungan air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kontaminasi oleh bakteri pembusuk sehingga menghasilkan koji dengan aroma yang tidak sedap dan berpengaruh terhadap kualitas moromi terutama dari segi penilaian organoleptik (warna dan aroma). Maka dari itu, kadar air pada kedua jenis koji diatas dipertahankan hingga di bawah 40%.

Pada proses fermentasi koji, enzim yang paling berperan adalah amilase dan protease. Menurut Njoku (1989) di dalam Wood (1994), secara umum, protease kapang yang diproduksi selama fermentasi koji terbagi ke dalam tiga kelompok utama, yaitu protease asam, netral dan basa, sedangkan menurut Flegel (1988) di dalam Wood (1994), diantara ketiga kelompok enzim tersebut, kelompok protease yang paling penting dalam fermentasi koji adalah kelompok protease netral dan basa.

(46)

36 dan basa yang semakin meningkat sehingga produk hasil proteolitik juga meningkat.

Kualitas koji dapat dilihat dengan penilaian organoleptik terhadap aroma dan warna, terutama pada pertumbuhan kapang. Pada umumnya, jenis kapang yang digunakan untuk fermentasi koji adalah Aspergillus oryzae atau sojae. Berdasarkan hasil analisis visual koji modern dan koji tradisional secara umum menunjukkan bahwa koji modern menghasilkan warna putih kehijauan, sedangkan koji tradisional menghasilkan warna hijau kekuningan dengan aroma lebih baik daripada koji modern.

Menurut Hesseltine dan Wang (1978) di dalam Steinkraus (1983), koji yang berkualitas tinggi adalah yang berwarna hijau tua, aromanya menyenangkan, aktivitas amilase tinggi, jumlah bakteri yang rendah, populasi ragi yang tinggi, pertumbuhan kapang yang pesat serta rasa yang agak manis dan agak pahit, seperti terlihat pada Gambar 4 berikut ini :

Gambar 4. Koji Tradisional Berwarna Hijau Kekuningan

(47)

37 B. Proses Fermentasi Moromi

Fermentasi moromi merupakan campuran antara koji dengan larutan garam pada konsentrasi 22±2% dalam waktu minimal enam bulan. Pada fermentasi moromi terjadi dua tahapan fermentasi, yaitu fermentasi asam laktat oleh bakteri asam laktat (BAL) dan fermentasi alkohol oleh khamir. Selama proses fermentasi, terjadi perubahan mikrobiologis dan biokimiawi yang mempengaruhi kualitas filtrat.

Kedua jenis mikroorganisme tersebut tumbuh secara spontan karena kondisi lingkungan yang mendukung dan selektif. Tujuan akhir dari kedua tahapan fermentasi tersebut adalah untuk menghasilkan filtrat dengan aroma dan cita rasa yang khas. Kedua tahap fermentasi tersebut akan berjalan dengan baik bila kondisi baik internal maupun eksternal mendukung.

Kondisi internal mendukung yang dimaksudkan adalah kualitas koji. Bila kualitas koji yang digunakan untuk fermentasi moromi baik dan didukung dengan kondisi eksternal yang mendukung, maka kualitas filtrat moromi yang dihasilkan akan baik. Beberapa faktor eksternal yang turut berperan mempengaruhi kualitas filtrat antara lain suhu dan aerasi (pengadukan).

Suhu merupakan hal yang sangat penting dalam fermentasi moromi. Menurut beberapa peneliti di Jepang, kualitas moromi pada musim panas jauh lebih baik dibandingkan dengan musim dingin. Hal ini disebabkan oleh karakteristik mikroorganisme yang diharapkan hidup selama proses fermentasi moromi optimal hidup pada suhu 30-35°C.

1. Pengaruh Agitasi Terhadap Kualitas Filtrat Moromi

(48)

38 Berdasarkan referensi di atas, faktor pengadukan (aerasi) diduga dapat mempengaruhi kualitas filtrat moromi. Berikut ini adalah hasil analisis filtrat moromi dengan perlakuan agitasi yang ditunjukkan pada Tabel 8.

e. Sampel 1 adalah tangki dengan waktu pengadukan mekanis berlebih f. Sampel 2 adalah tangki dengan pengadukan manual

g. Sampel 3 adalah tangki dengan waktu pengadukan standar

Ketiga jenis sampel ini mengalami perlakuan pengadukan yang berbeda. Waktu pengadukan standar dilakukan selama 2 sampai 5 menit sebanyak 3 kali sehari. Namun, sampel 1 mengalami waktu pengadukan mekanis berlebih yakni berkisar antara 30 menit sampai 1 jam sebanyak 3 kali sehari dan sampel 2 mengalami pengadukan secara manual oleh operator sehingga diduga terjadi homogenisasi yang tidak sempurna.

Analisis yang dilakukan untuk mengamati pengaruh pengadukan terhadap kualitas filtrat adalah kadar NaCl, pH, total asam, formol nitrogen, total nitrogen dan penilaian organoleptik. Berdasarkan Tabel 8 hasil analisis di atas, ketiga jenis sampel memiliki perbedaan.

(49)

39 merupakan sampel dengan kandungan garam rendah karena pengadukan terjadi tidak sempurna (tidak homogen).

Analisis selanjutnya adalah analisis nilai pH. Nilai pH dipengaruhi oleh pertumbuhan mikroorganisme. Kedua tahapan fermentasi yang terjadi pada tahap fermentasi moromi cenderung menurunkan nilai pH. Bila aerasi dilakukan dengan baik maka mikroorganisme akan tumbuh dengan baik pula dan menghasilkan asam baik asam amino esensial dan asam organik. Kandungan asam inilah yang mempengaruhi nilai pH.

Nilai pH merepresentasikan banyaknya mikroorganisme yang tumbuh dalam fermentasi moromi. Semakin banyak mikroorganisme (BAL dan khamir) maka nilai pH akan semakin rendah karena asam-asam yang dihasilkan semakin banyak. Hasil analisis pH pada sampel 1 lebih rendah dibandingkan dengan sampel 2 dan sampel 3. Hal ini terjadi karena waktu pengadukan yang berlebihan cenderung menyebabkan kandungan asam yang terdapat pada koji keluar melebur bersama larutan garam yang menjadi filtrat moromi sehingga menghasilkan asam lebih banyak dibandingkan dengan sampel lainnya. Sifat mikroorganisme yang anaerob fakultatif membuat mikroorganisme pada sampel 2 tidak tumbuh dengan subur karena garam cenderung membentuk lapisan film sehingga menutup kemungkinan oksigen dapat masuk ke dalamnya.

Hasil analisis total asam dipengaruhi oleh nilai pH. Semakin rendah nilai pH maka total asam akan semakin tinggi. Dapat dilihat pada hasil analisis di atas bahwa nilai pH sampel 2 dan sampel 3 lebih tinggi dibandingkan dengan sampel 1 sehingga memiliki total asam lebih rendah. Adapun asam organik yang dominan dihasilkan adalah asam laktat, asam asetat, asam suksinat dan beberapa asam amino.

(50)

40 protease saja melainkan juga dipengaruhi oleh kandungan nitrogen dalam kedelai.

Berdasarkan hasil analisis di atas, hasil analisis formol nitrogen pada sampel 1 (0,13 g/100 ml) dan sampel 2 (0,16 g/100 ml) lebih rendah dibandingkan dengan sampel 3 (0,17 g/100 ml). Namun, hasil analisis total nitrogen pada ketiga sampel menunjukkan sampel 2 (1,54 g/100 ml) lebih tinggi dibandingkan dengan sampel 1 (1,25 g/100 ml) dan sampel 3 (1,26 g/100 ml) .

Hasil penilaian organoleptik (warna, aroma dan rasa) pada ketiga sampel tersebut menunjukkan bahwa penilaian organoleptik pada sampel 3 dengan skor 6,7 lebih tinggi dibandingkan dengan sampel 1 yang memiliki

skor 5 dan sampel 2 dengan skor 6. Bila dideskripsikan, sampel 1 memiliki warna lebih pekat daripada sampel 2 dan sampel 3 namun aroma dan rasa yang ditimbulkan lebih baik pada sampel 2 dan sampel 3 daripada hasil penilaian organoleptik pada sampel 1.

Pengadukan yang berlebihan menyebabkan koji menjadi hancur sehingga warna filtrat yang dihasilkan menjadi lebih pekat. Selain itu, pengadukan yang berlebihan menyebabkan aroma filtrat hilang karena terlalu banyak kontak dengan udara. Hal ini disebabkan karena filtrat mengandung senyawa volatil dimana salah satu tahapan fermentasi yang terjadi adalah fermentasi alkohol yang dilakukan oleh khamir. Rasa gurih yang dihasilkan dipengaruhi oleh banyaknya asam organik yang dipecah menjadi komponen-komponen sederhana seperti asam glutamat. Jadi, semakin besar kadar formol nitrogen dan total nitrogen maka kemungkinan untuk menghasilkan rasa gurih juga semakin besar.

12.Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Filtrat Moromi

(51)

41

Penambahan larutan garam 16±2%

1. Total Padatan Terlarut dan Kadar NaCl

Analisis total padatan terlarut dilakukan untuk mengamati padatan terlarut yang dihasilkan selama proses fermentasi. Hal ini disebabkan karena selama proses fermentasi moromi akan menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang larut dalam filtrat, sehingga analisis total padatan terlarut ini perlu dilakukan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan hidrometer.

Analisis kadar NaCl juga perlu dilakukan untuk mengontrol kandungan garam pada filtrat selama fermentasi moromi. Kandungan garam yang terlalu rendah dapat menyebabkan tumbuhnya bakteri-bakteri pembusuk karena disfungsi larutan garam sebagai selektor mikroba. Namun konsentrasi garam yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian mikroorganisme yang seharusnya hidup selama fermentasi moromi. Berikut ini adalah Grafik hasil analisis kandungan garam (NaCl) dan TSS (total soluble solid) selama fermentasi disajikan pada Gambar 5 berikut.

Gambar 5. Pengaruh Lama Fermentasi Moromi terhadap Hasil Analisis Total Padatan terlarut dan Kadar NaCl

(52)

42 Pada umumnya, fermentasi moromi yang baik dilakukan dengan kisaran suhu 30-35˚C atau di bawah sinar matahari. Dengan kisaran suhu tersebut air dalam larutan garam akan menguap seiring dengan lama fermentasi sehingga kadar garam cenderung meningkat dari waktu ke waktu karena garam tidak mengalami penguapan. Namun, konsentrasi garam yang terlalu tinggi dapat merusak proses fermentasi. Untuk menghindari hal tersebut, pengenceran melalui penambahan larutan garam dengan konsentrasi yang lebih rendah yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi perlu dilakukan.

Berdasarkan grafik analisis total padatan terlarut dan kadar NaCl di atas, konsentrasi garam mengalami fluktuasi. Salah satu faktor yang menyebabkan konsentrasi garam mengalami fluktuasi adalah penambahan larutan garam dengan konsentrasi lebih rendah pada waktu tertentu, yaitu 15 hari, 2, 5 dan 7 bulan. Selain itu, lama fermentasi juga mempengaruhi padatan terlarut yang dihasilkan.

Konsentrasi garam pada awal fermentasi sebesar 22±2%. Pada sampel berumur 0 bulan, hasil analisis total padatan terlarut menunjukkan sebesar 24,6%, sedangkan hasil analisis kadar NaCl sebesar 25,9%. Ketika penambahan larutan garam dengan konsentrasi yang lebih rendah saat moromi berumur 15 hari maka kadar NaCl cenderung mengalami penurunan dan kemudian akan meningkat kembali pada waktu berikutnya saat air pada moromi mengalami penyusutan sedangkan garam tidak.

Hal yang sama juga terjadi pada sampel bulan berikutnya dimana sampel akan mengalami penurunan kadar NaCl ketika ditambahkan dengan larutan garam dengan konsentrasi yang lebih rendah. Secara umum, total padatan terlarut selama fermentasi akan mengalami peningkatan.

(53)

43 analisis terutama kadar NaCl. Penambahan larutan garam ini cenderung menurunkan kadar NaCl dan mengganggu konsentrasi garam.

2. Keasaman (pH dan Total Asam)

Suasana asam tercipta selama proses fermentasi moromi yang dihasilkan oleh BAL (bakteri asam laktat) dan khamir. Maka dari itu, analisis keasaman yang meliputi analisis pH dan total asam perlu dilakukan untuk mengetahui keberhasilan proses fermentasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa selama proses fermentasi moromi terjadi 2 tahapan fermentasi, yaitu fermentasi asam laktat dan fermentasi alkohol. Kedua jenis fermentasi tersebut memberikan pengaruh terhadap nilai pH dan total asam.

Nilai pH pada tahap fermentasi koji berkisar pada fase netral dan basa. Namun, sampel akan mengalami penurunan nilai pH dan peningkatan total asam selama fermentasi moromi. Berikut ini adalah gambar grafik pengaruh lama fermentasi terhadap hasil analisis pH dan total asam yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Hasil Analisis pH dan Total Asam

(54)

44 Pola yang digambarkan dari grafik di atas, tidak menunjukkan adanya perubahan penurunan nilai pH dari waktu ke waktu. Salah satu faktor utama perubahan pH yang dinamis ini disebabkan oleh penambahan larutan garam dengan konsentrasi yang lebih rendah. NaCl memiliki sifat netral dan bila ditambahkan ke dalam larutan yang memiliki kondisi asam maka cenderung akan menaikkan nilai pH seperti yang terlihat pada Gambar 6.

Berdasarkan hasil analisis, sampel filtrat moromi berumur 0 bulan memiliki pH sebesar 5,5. Pada sampel filtrat moromi yang berumur 1 bulan memiliki nilai pH sebesar 5,6 kemudian nilai pH yang dimiliki oleh sampel berumur 2 bulan jauh lebih rendah dibandingkan dengan sampel pada bulan 0 dan 1, yaitu 5,2. Perbedaan nilai pH juga terjadi pada sampel lainnya. Namun, perubahan nilai pH pada seluruh sampel menunjukkan berlangsungnya proses fermentasi.

Menurut Yong dan Wood (1972) di dalam Steinkraus (1983), pada awal proses, pH berkisar antara 6 sampai 7. Setelah beberapa hari nilai pH akan turun menjadi 5,0 sampai 4,5 sehingga dapat lebih memudahkan pertumbuhan khamir.

Menurut Syaripuddin (1995), terjadinya penurunan pH mencapai dibawah 5,5 memberikan isyarat yang tepat untuk pengalihan (switching) fermentasi dari fermentasi asam laktat ke fermentasi alkohol oleh khamir. Berdasarkan grafik hasil analisis di atas, fermentasi alkohol diduga terjadi pada sampel berumur 4 bulan. Karena pada umur tersebut, nilai pH mencapai kurang dari 5,5.

Selama fermentasi moromi, mikroba yang paling berperan adalah

(55)

45 Adapun analisis yang dapat dilakukan untuk melihat besarnya perombakan oleh bakteri asam laktat dan khamir selama fermentasi moromi yang menghasilkan senyawa asam ini adalah analisis total asam yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Perubahan total asam dipengaruhi oleh perubahan nilai pH. Semakin kecil nilai pH maka nilai total asam akan semakin besar. Proses mikrobiologis dan biokimiawi yang terjadi selama proses fermentasi moromi menghasilkan senyawa-senyawa sederhana, salah satunya adalah senyawa asam. Perubahan nilai total asam ini menunjukkan adanya aktivitas mikroorganisme yang semakin lama akan semakin besar.

Berdasarkan grafik hasil analisis total asam filtrat moromi, nilai total asam pada sampel berumur 0, 1 dan 2 bulan meningkat, yaitu 0,57, 1,30 dan 1,87 g/100 ml. Kemudian hasil analisis total asam pada sampel berumur 3 dan 4 bulan sebesar 1,66 dan 1,67 g/100 ml. Hasil analisis sampel dengan lama fermentasi 5 dan 6 bulan lebih besar dibandingkan dengan sampel berumur 3 dan 4 bulan, yaitu 1,89 dan 1,93 g/100ml.

Secara umum, nilai total asam dari hasil analisis menunjukkan peningkatan seiring dengan waktu fermentasi. Semakin banyak bakteri dan khamir yang hidup dalam moromi dengan kondisi pertumbuhan optimum, maka asam yang dihasilkan akan semakin tinggi.

3. Total N (Nitrogen Formol dan Total N)

Komponen utama yang terkandung di dalam kedelai adalah protein, sehingga protein memiliki peranan utama selama proses fermentasi. Berawal dari fermentasi koji, protein dipecah menjadi senyawa-senyawa sederhana seperti asam amino dan peptida. Protein yang berhasil dipecah dapat dianalisis dengan menggunakan analisis formol nitrogen.

Menurut Judoamidjojo et al.(1989), pada umumnya kualitas produk sejenis kecap dinilai dari kadar protein yang dikandungnya (total nitrogen). Walaupun preferensi konsumen lebih dominan terhadap flavor

(56)

46 terhadap nitrogen total dapat menunjukkan tingkat konversi protein yang berhasil dipecah menjadi peptida terlarut dan asam amino.

Menurut Junaidi (1987), formol nitrogen merupakan ukuran jumlah protein yang terpecahkan menjadi senyawa yang lebih sederhana, baik peptida maupun asam amino. Semakin tinggi nilai formol nitrogen maka semakin banyak protein yang terpecahkan.

Menurut Syaripudin (1995), jumlah peptida yang diikat oleh formaldehida akan mempengaruhi nilai pH larutan. Dengan demikian, jumlah peptida yang merupakan hasil perombakan protein dapat ditentukan dengan menghitung perubahan pH akibat penambahan formaldehida. Berdasarkan hal tersebut, analisis formol nitrogen hanya menghitung peptida terlarut, bukan keseluruhan hasil degradasi protease.

Berdasarkan hasil analisis nitrogen formol pada sampel berumur 0 sampai 8 bulan, nitrogen formol berkisar antara 0,12 sampai 0,18% dan

(57)

47 Berdasarkan grafik hasil analisis nitrogen formol di atas, sampel moromi berumur 0 bulan memiliki nilai terendah dibandingkan dengan sampel lainnya, yaitu sebesar 0,12%. Hal ini diduga karena proses fermentasi belum berlangsung sempurna sehingga pemecahan protein masih sedikit. Kemudian sampel berumur 1 bulan memiliki nilai nitrogen formol lebih tinggi, yaitu 0,16%. Nilai tersebut juga dimiliki oleh sampel moromi berumur 2, 3, 4 dan 5 bulan. Kestabilan nilai nitrogen formol ini diduga karena enzim proteolitik telah habis memutus rantai protein menjadi senyawa-senyawa sederhana.

Nilai tertinggi hasil analisis nitrogen formol dimiliki oleh filtrat moromi yang berumur 6 dan 8 bulan. Diduga pada umur tersebut, proses fermentasi telah berlangsung dengan sempurna sehingga protein yang dipecah lebih banyak dari bulan-bulan sebelumnya.

Menurut Syaripudin (1985), rasa gurih dibangkitkan oleh keberadaan senyawa garam glutamat yang cukup pada media fermentasi. Pada fermentasi moromi, pembentukan senyawa glutamat mungkin terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kedua senyawa sederhana pembentuk natrium glutamat didapati pada tahapan moromi. Konstituen pertama yaitu glutamat didapat dalam bentuk asam glutamat sebagai hasil degradasi protein atau peptida-glutamin oleh γ-glutamil transferase (GGT), sedangkan konstituen lainnya, yaitu natrium, didapat dalam bentuk garam klorida (NaCl) sebagai bahan yang ditambahkan untuk membentuk suasana garam pada moromi. Melalui reaksi kimiawi, enzimatis dan perubahan fisik diduga terbentuk senyawa natrium glutamat dalam jumlah yang cukup untuk membangkitkan rasa gurih.

Nitrogen merupakan komponen penting untuk mengamati keberhasilan fermentasi. Menurut beberapa peneliti Jepang, komponen total nitrogen terlarut merupakan faktor penentu kualitas kecap. Waktu proses fermentasi moromi menyebabkan perubahan kandungan nitrogen dalam filtrat.

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Kedelai per 100 g
Tabel 2. Komposisi Asam Amino Kedelai
Gambar 1. Struktur Kimia HEMF
Tabel 3. Komposisi kimia beberapa kecap Indonesia (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

acara : Workshop Uji Publik Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tentang Nama Program Studi Pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).. Mengingat

(2) Bupati berdasarkan berbagai pertimbangan teknis dan ekonomis dapat memberikan perizinan kepada pemegang izin yang sudah ada, berupa luas wilayah IUP atau

Hal ini dikarenakan kepercayaan tinggi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan primer di daerah tersebut (puskesmas) dan pelaksanaan BPJS yang berjalan lancar serta

Berdasarkan observasi dan permasalahan yang penulis temui pada SMK Bagimu Negeriku tersebut, maka penulis membangun sistem informasi pendataan peserta didik yang dapat

LEDs, log file, syslog, port mirroring, cable diagnostics (TX), address conflict and network fault detection, SFP diagnostics (temperature, optical input and output

The paper proposes a spatiotemporal change- oriented three-domain model with the emphasis on the semantic interaction relationship of object, event and process.. Based on this model,

After all, approaches such as procedural modeling with shape grammars have many advantages such as automatic generation, great flexibility for variation, object hierarchy,

Sahabat dan teman-teman yang terkasih.. Pengaruh Penggunaan Mind Map terhadap Kemampuan Mengaplikasikan dan Mencipta pada Pelajaran IPA di SD Kanisius Wirobrajan.