• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5. Struktur Kepengurusan P2TP2A

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian

4.3.2 Kualitas Layanan

Kualitas layanan merupakan indikator yang sangat penting untuk menilai sejauh mana organisasi publik telah memberikan kepuasan pelayanan bagi masyarakat atau pengguna layanan. Dalam hal ini, peneliti ingin melihat sejauh mana P2TP2A sebagai wahana pelayanan dan perlindungan bagi perempuan dan anak telah dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat dan dapat memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing dari klien/korban berdasarkan kasus yang dialami. Selain itu, bagaimana sarana serta prasarana dari P2TP2A sendiri diharapkan dapat memaksimalkan pelayanan yang diberikan.

Berkaitan dengan hal tersebut, berikut hasil wawancara peneliti dengan I1-1 bahwa,

”Yaa kita paling tidak sekarang ini harus eksis. P2 itu istilahnya harus dikenal oleh semua lapisan masyarakat sehingga masyarakat sebelum lapor kepolisi ya lapor ke P2.. apakah ini perlu dilaporkan ke polisi atau tidak gitu loh” (Wawancara dengan Ibu Resya selaku Ketua P2TP2A, 25 Agustus 2017 di Kantor Sekretariat P2TP2A)

Seperti yang disampaikan oleh informan di atas, memang lembaga P2TP2A sangat penting untuk eksis dan dikenal oleh setiap kalangan masyarakat. Namun sepertinya P2TP2A masih memerlukan kerja yang ekstra untuk memperkenalkan adanya lembaga ini ditengah-tengah masyarakat, karena jika dilihat dari jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi secara keseluruhan, hanya sedikit jumlah korban yang awalnya memang mengadu

ke P2TP2A. P2TP2A memang mendapatkan kasus dari berbagai sumber dan rujukan seperti dari Komnas HAM, KPAI, Polres, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial maupun korban yang langsung datang ke P2TP2A. Namun, presentasi jumlah korban yang melapor langsung ke P2TP2A jauh lebih sedikit dibandingkan dengan korban rujukan yang diterima oleh P2TP2A. Hai ini membuktikan bahwa lembaga P2TP2A belum sepenuhnya dikenal oleh masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh I1-3 yaitu,

“Sedikit. Ga tau persentasenya berapa. Tapi kalau menurut saya sedikit. Ga tau deh, ga berani sebut angka tapi rasanya sedikit. Itu bisa dilihat dari jumlah kasus berapa banyak orang yang melapor dan minta bantuan ke P2TP dibandingkan dengan orang misalnya langsung lapor ke polisi.” (Wawancara dengan Aisyah selaku Kepala Seksi Perlindungan Anak DPAPMK, 19 Juli 2017 di kantor DPAPMK)

Pendapat informan di atas juga dipertegas oleh I2-1 sebagaimana berikut, “Engga. Engga. Sok aja kamu untuk membuktikan kata ibu, coba kamu pergi ke dua kecamatan. Tanya ibu kader. Ibu tau ga P2TP2A itu apa? kalau ada kasus kekerasan dlm rumah tangga ibu kemana larinya? Ibu tau ga tempat ngadu? Coba tes aja. Kita kan bilang, tapi kalau menurutku sih ga terlalu.” (Wawancara dengan Dr. Devi selaku Kabid Rehabilitasi Sosial dan Pemberdayaan, 16 Juni 2017 di Kantor Dinas Sosial)

Dari wawancara di atas, dapat dipahami bahwa P2TP2A masih membutuhkan usaha yang maksimal untuk memperkenalkan kehadiran lembaga ini mengingat maksud dan tujuan dibentuknya P2TP2A ditingkat kabupaten dan kota ialah supaya terciptanya pelayanan yang cepat, tepat dan terpadu dalam rangka perlindungan perempuan dan anak yang rentan terhadap tindak kekerasan, karena kasus yang menimpa perempuan dan anak ini sebenarnya seperti fenomena gunung es yaitu kasus yang terlaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan

kasus yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, pentingnya masyarakat mengetahui kehadiran lembaga ini serta tugas dan fungsinya akan sangat membantu masyarakat yang mungkin selama ini malu, takut atau mungkin bingung bagaimana cara mengadukan kasus yang dialaminya. Karena lembaga ini akan memberikan pelayanan fisik, pelayanan psikologis, pendampingan hukum, rehabilitasi sosial, dan lain-lain yang sangat dibutuhkan masyarakat dalam penyelesaian permasalahan atau kasus yang menimpanya. Namun, sepertinya belum semua lapisan masyarakat mengenal adanya lembaga ini.

Hal ini diperkuat oleh hasil wawancara peneliti dengan salah satu keluarga korban kekerasan seksual anak yang pada awalnya melaporkan kasus kepada KPAI seperti yang disampaikan oleh I2-4 yaitu,

“Atau gini bu, ibu ke P2TP2A Depok. Apaaan itu mba? Itu yang untuk kasus-kasus seperti ini di Depok. Dimana yaa? Kok aku ga pernah denger? Saya ga tau loh ada P2TP2A itu, saya ga tau. Mungkin bahasanya jangan P2TP2A gitu yaa, saya aja sampai sekarang belum paham kepanjangannya apaan. Kadang saya nanya apa orang-orang tau gitu yaa ada lembaga. Lembaga ini ada gitu. Selama ini ngumpetnya dimana gitu. Yang orang tau KPAI, pasti orang tau gitu. Dibikin yang orang sering denger gitu untuk memudahkan akses sebenernya.”

Seperti wawancara di atas, peneliti juga mencoba mencari informasi kepada salah satu masyarakat Kota Depok mengenai lembaga P2TP2A ini. Berikut seperti yang disampaikan oleh I2-5 bahwa,

”Lembaga? Lembaga P2TP2A? Ohh ga tau ya saya..” (Wawancara dengan salah satu masyarakat Kota Depok)

Berdasarkan wawancara peneliti dengan salah satu keluarga korban dan salah satu masyarakat Kota Depok di atas membuktikan bahwa lembaga P2TP2A

ini memang belum dikenal secara menyeluruh oleh masyarakat. Sehingga diperlukan sosialisasi yang lebih lagi mengenai hadirnya kelembagaan ini serta peran dan fungsinya bagi masyakarat.

Tanpa dipungkiri, kemudahan akses dan informasi tentang kelembagaan P2TP2A ini memang salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dan lembaga P2TP2A itu sendiri, termasuk bagaimana supaya masyarakat pun akhirnya dapat mengetahui kehadiran lembaga ini baik dalam bentuk fisik bangunan maupun sarana dan prasarana yang dapat menunjang kinerja dari P2TP2A. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat diketahui bahwa P2TP2A untuk saat ini belum memiliki bangunan sekretariat secara khusus. Hal ini seperti yang disampaikan oleh I1-1 yaitu,

”Sekarang belum memadai, sekretariatnya numpang di kantor PKK. Ga tau katanya sih dana untuk ngontrak ga ada. Nah ini kita juga ke depan P2TP2A mau jadi apa kita juga ga tau. Kan kalau di kota lain P2TP2A itu udah dikasih bangunan khusus gitu kan, dan yang saya tau tidak ada P2 di pemkot gitu. Biasanya bangunan khusus, ruangan khusus, karna kan di P2 harus ada ruangan untuk kosultasi, ruangan untuk sebagai rumah aman juga, rumah singgah dan sebagainya. Tapi yaa saya juga baru mau liat nih ke depan akan seperti apa, kan ganti terus yaa ini nya apah pejabatnya. Pejabat ganti, kebijakan juga ganti gitu. Sekarang aja ini barang-barang masih ditaro di gudang tapi form sama berkas dibawa sekertaris” (Wawancara dengan Ibu Resya selaku Ketua P2TP2A, 25 Agustus 2017 di Kantor Sekretariat P2TP2A)

Seperti yang dipaparkan oleh informan di atas, saat ini memang sekretariat P2TP2A untuk sementara waktu dipindah ke kantor PKK untuk memenuhi keperluan konsultasi. Hanya form dan berkas kesekretariatan yang dibawa untuk

kebutuhan pelayanan, namun ada beberapa fasilitas yang masih disimpan di gudang balai kota.

Kepindahan kesekretariatan P2TP2A ini dikarenakan belum adanya anggaran untuk menyewa kantor sekretariat atau memiliki bangunan khusus yang sifatnya tetap. Sejak terbentuknya P2TP2A sampai tahun 2016 yang lalu, P2TP2A memang memiliki kantor sekretariat yang sifatnya sewaan dan berpindah-pindah. Namun untuk tahun ini, kantor sewaan tersebut tidak diperpanjang dikarenakan tidak adanya anggaran. Hal ini seperti didukung oleh pernyataan I1-3 bahwa,

“Anggaran tahun ini sekretariat itu ga ada. Sementara ada di PKK. Selama ini orang tau P2TP2A ya ada di luar. Yang terakhir itu kan ada di Bella Casa, terus data orang nyari di internet itu ternyata yang keluar alamat P2TP2A itu masih di Pesona. Nah, yang di Pesona itu malah sebelum Bella Casa. Bella Casa itu 2015, yg di Pesona itu tahun berapa itu malah sebelum itu. Ruang PKK juga dipakai hanya untuk konsultasi aja” (Wawancara dengan Ibu Aisyah selaku Kasie DPAPMK, 25 Sept 2017 di Kantor Sekretariat P2TP2A)

Dari informasi di atas, dapat dilihat bahwa pembaharuan informasi P2TP2A di internet pun penting untuk akhirnya diperhatikan untuk memudahkan akses masyarakat jika ingin mencari informasi mengenai P2TP2A, namun disisi lain memiliki bangunan atau kantor sekretariat yang bersifat tetap akan memberikan kemudahan akses dan informasibagi masyarakat dalam mencari keberadaan lembaga ini. Disamping itu, pemberian akses pelayanan bagi korban/klien dengan ruangan-ruangan yang khusus serta fasilitas yang memadai juga akan menunjang kualitas layanan yang diberikan. Namun, sepertinya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh P2TP2A saat ini belum semua terpenuhi. Berikut merupakan data sarana dan prasarana yang seharusnya dimiliki oleh P2TP2A.

Tabel 4.2

Data Fasilitas P2TP2A Kota Depok Tahun 2017

Sumber: P2TP2A Kota Depok

Berdasarkan data tersebut, sarana dan prasarana seperti kantor dengan ruangan-ruangan khusus, mobil dinas, dan fasilitas teknis memang sampai saat ini pun belum terealisasi. Hal ini cukup menjadi kendala bagi kinerja P2TP2A. Hal ini seperti yang disampaikan oleh I1-2 yaitu,

“Yaa salah satu kendalanya kendaraan sih yaa. Kita kan ga ada kendaraan operasional. Kan kadang satu hari bisa 2 atau 3 tempat, itu bisa jauh-jauh mba yang satu disini yang satu disana. Katanya sih sudah ada mba, tapi belum ada di depan mata. Masih biaya sendiri kita, dari kantong sendiri.” (Wawancara dengan Ibu Imas selaku Ahli Hukum P2TP2A, 25 Agustus 2017 di Kantor Sekretariat P2TP2A)

Berdasarkan informasi di atas, dapat dipahami bahwa ada beberapa sarana dan prasarana P2TP2A belum semuanya terpenuhi. Hal ini dirasa cukup menjadi kendala untuk mengoptimalkan pelayanan. Salah satu sarana dan prasarana yang dimaksud ialah seperti kendaraan operasional. Selain kantor, rumah aman, dan kendaraan operasional, fasilitas teknis seperti komputer pun juga dirasa masih kurang memadai. Hal ini seperti yang disampaikan oleh I1-4,

No. Fasilitas 1. Kantor 2. Mobil Dinas

3. Ruang Penerimaan Pengaduan Klien 4. Ruang Konsul

5. Kesekretariatan

6. Form pengaduan, penanganan kasus, homevisit 7. Rumah Aman Sementara bekerjasama dengan DINSOS 8. Komputer dan sebagainya

9. RSUD/Puskesmas rujukan DINKES dan RS rujukan PPA Polres Depok sebagai tempat visum

“Fasilitasnya juga masih kurang. Fasilitas teknis kayak komputer masih kurang aja sih, meja kursi udah ada.” (Wawancara dengan Ibu Aisyah selaku Kasie DPAPMK, 25 Sept 2017 di Kantor DPAPMK)

Masih adanya sarana dan prasarana penting yang tidak terpenuhi membuat pelayanan yang diberikan oleh P2TP2A bisa dikatakan belum optimal. Jika merujuk pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 05 Tahun 2010 Tentang Panduan Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu, dimana ada sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pusat pelayanan terpadu. Sarana dan prasarana yang dimaksudkan ialah seperti:

1. Ruangan (kantor, pemeriksaan, konseling, kamar tindakan, rawat inap, rumah aman, kamar mandi/wc, dan lain-lain)

2. Meubeler (kursi, meja, lemari, tempat tidur, dan lain-lain) 3. Komputer, mesin faks, telepon

4. Buku pedoman dan media komunikasi, informasi dan edukasi 5. Alat tulis kantor

6. Peralatan medis 7. Alat transportasi

Selain kemudahan akses dan informasi serta ketersediaan fasilitas di atas, ukuran utama dari kepuasan korban/klien sebagai penerima pelayanan juga tak kalah penting untuk dibahas. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut peneliti paparkan hasil wawancara peneliti dengan I1-1 mengenai kepuasan pemberian layanan yang diberikan yaitu,

“Yaa minimal bisa memberikan ketenangan atau solusi bagi klien dan bisa mencegah terjadinya kasus yang tidak diharapkan.” (Wawancara dengan Ibu Resya selaku Ketua P2TP2A, 25 Agustus 2017 di Kantor Sekretariat P2TP2A)

Pernyataan informan di atas juga didukung oleh I1-2 seperti berikut,

“Yaaa minimal dia puas dan ga dateng lagi, alhamdulilah gitu. Yaa pasti masalahnya selesai kan dan mereka ga balik-balik lagi. Yang kedua adalah hak-hak korban kembali seperti sedia kala. Nah itu, itu yang setau saya tidak bisa dipahami semua orang ya..” (Wawancara dengan Ibu Imas selaku Ahli Hukum P2TP2A, 25 Agustus 2017 di Kantor Sekretariat P2TP2A)

Disisi lain, peneliti mewawancarai I2-4 mengenai kepuasan pelayanan yang diberikan oleh P2TP2A untuk kasusnya dan informan tersebut merasa kurang puas dan cenderung kecewa dengan pelayanan P2TP2A. Namun, informan tersebut tetap berterimakasih dengan pelayanan yang sudah diberikan. Hal ini seperti yang disampaikan berikut ini,

“Kalau pun saya, kalau pun misalnya gini yaa, P2TP2A itu tanggap dari awal, ini psikolog ini pengacara mungkin sayaa.. karna sidang belum berjalan waktu itu mungkin ga .. ga sampai sejauh ini kecewanya saya gituu .. cuman kan yang saya dapat hanya gitu. Tapi apapun yang udah dilakukan bu Resya sebenernya sih saya berterimakasih sekali yaa.” (Wawancara dengan Ibu I selaku Keluarga Korban, 13 Sept 2017 di Balai Kota)

Berkaitan dengan kepuasan pemberian layanan tersebut, Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok selaku dinas induk dari P2TP2A mengatakan belum mengevaluasi terkait kepuasan klien terhadap penanganan dari P2TP2A. Hal ini seperti yang dikatakan oleh I1-3 yaitu,

“Belum, belum dievaluasi. Jadi, apakah klien puas dengan penanganan P2TP kita belum evaluasi sampai kesana.” (Wawancara dengan Ibu Aisyah selaku Ahli Hukum P2TP2A, 25 Sept 2017 di Kantor DPAPMK) Pentingnya mengevaluasi sejauh mana korban/klien sebagai penerima layanan telah mendapatkan pelayanan yang sesuai dan memuaskan seharusnya menjadi indikator penting yang semestinya tidak luput dari perhatian lembaga atau organisasi penyedia pelayanan. Hal ini dimaksudkan guna menghasilkan perbaikan dan peningkatan pelayanan bagi masyarakat kedepannya.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas layanan dari P2TP2A masih belum optimal dilihat dari aspek kemudahan akses layanan dan sarana prasarana pendukung pelayanan serta kualitas dari pelayan yang diberikan. Hal ini dapat dilihat dari masih sedikitnya masyarakat yang mengetahui kehadiran dari lembaga P2TP2A ini serta tugas dan fungsinya. Disamping itu, belum terealisasinya sarana dan prasarana penting yang menunjang kinerja P2TP2A seperti kantor sekretariat yang tetap dan memiliki ruangan-ruangan khusus, kendaraan operasional, serta fasilitas teknis yang masih menjadi kendala bagi P2TP2A untuk memaksimalkan pelayanannya dan yang terpenting adalah kepuasan pelayanan bagi korban/klien yang harus lebih diperhatikan sesuai dengan kasus-kasus yang dialaminya.

4.3.3 Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal

tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Untuk itu, berikut akan dibahas mengenai sejauh mana P2TP2A telah responsif mengenali kebutuhan korban dan apa saja program-program yang telah dilakukan P2TP2A.

Sebagaimana diketahui, lembaga P2TP2A merupakan wahana pelayanan bagi masyarakat, khususnya perempuan dan anak, dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, termasuk perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan perempuan dan anak. Dalam rangka memenuhi kebutuhan korban/klien biasanya P2TP2A akan melakukan assesment terhadap setiap kasus yang datang untuk mengetahui pelayanan apa yang dibutuhkan klien untuk kasus yang dialaminya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh I1-1 bahwa,

“Kalau ada klien ngadu ke kita, kita lakukan assesment dulu yaa. Kasus-kasus kita tulis dulu pengaduannya apa, terjadinya dimana, terus pelakunya siapa data-data semua masuk. Udah begitu apa yang dibutuhkan oleh klien ini, apakah konsultasi, ataukah memang misalnya kalau pemerkosaan kan lapor ke polisi itu alurnya ada. Semua kasus yang datang ke siapapun baik itu nanti ke kepolisian atau ke BPMK, kita kan ada dibawah BPMK yaa P2. Itu semua akan dilaporkan ke P2TP2A. Semua data-data itu ada di P2TP2A, kecuali, kecuali yang lebih konkrit lagi ada di kepolisian. Yang ada di kepolisian itu kasus-kasus yang memang tidak ditangani oleh P2 seperti misalkan pencurian, kalau misalkan dewasa dengan dewasa. Tapi kalau misalkan ada kelainan psikologi mereka pasti minta,bu Resya ada psikolog dewasa/anak ga? Ada kasus gini gini gini gitu kan biasanya.. kalau memang kasus ini larinya ke hukum yaa udah kita pendampingan hukum, kita ada pendampingan hukum juga, mendampingin dari mulai tahap pelaporan sampai pengadilan. Kalau

misalkan tidak sampai di visum atau apa.. apa cuman ada trauma di anak ini, kita tangani dengan terapi psikolognya aja.” (Wawancara dengan Ibu Resya selaku Ketua P2TP2A, 10 Nov 2017 di Kantor Sekretariat P2TP2A) Berdasarkan wawancara di atas, dapat dipahami bahwa assesment yang dilakukan oleh P2TP2A merupakan proses awal yang sangat penting untuk mengetahui dan menentukan pelayanan apa yang dibutuhkan oleh korban/klien sesuai dengan kasus yang dialaminya, seperti pelayaan konsultasi dan pendampingan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh I1-2 yakni,

“Kalau kita istilah apa namanya, sebenarnya manajer kasus ya istilahnya. Itu bunda Resya. Jadi semua kasus itu masuk ke beliau, terus beliau, beliau apa namanya pilah-pilah mana yang butuh pendampingan lanjutan atau engga. Kalau pendampingan lanjutan dalam bentuk apa. Apakah konselor keluarga, atau hukum. Kalau hukum lari ke saya. Nah, kalau itu saya selesaikan nanti, kalau butuh advokasi tambahan saya advokasi lagi gitu. Jadi memang semua kasus harus sampai ke bu Resya dulu.” (Wawancara dengan Imas selaku Ahli Hukum P2TP2A, 25 Agustus 2017 di Kantor Sekretariat P2TP2A)

Seperti yang disampaikan beberapa informan di atas, setiap kasus-kasus yang masuk, baik itu laporan langsung ke P2TP2A maupun hasil rujukan dari instansi terkait akan dilakukan assesment oleh Ketua P2TP2A untuk mengetahui tindakan pelayanan yang akan diberikan.Tindakan-tindakan dan proses pelayanan tersebut, dapat dilihat secara jelas melalui gambar pada alur pelayanan P2TP2A sebagaimana berikut ini.

Gambar 4.1

Sumber: P2TP2A Kota Depok

Berdasarkan alur pelayanan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat lima tindakan yang akan dilakukan oleh P2TP2A setelah melakukan penggalian informasi (assesment) . Kelima tindakan tersebut ialah tindakan medis, tindakan hukum, tindakan psikologis, shelter dan tindakan rujukan. Lalu setelah itu, jika korban memerlukan penanganan yang lebih lanjut dengan konseling, ada dua jenis konseling yang disediakan oleh P2TP2A yaitu konseling psikologis dan konseling (pendampingan) hukum. Konseling tersebut akan disediakan oleh P2TP2A dengan melihat pelayanan apa yang dibutuhan korban. Maka dari itu, dibutuhkan kepekaan dan sensitifitas dari pengurus saat melakukan assesment suatu kasus. Namun, saat ini P2TP2A dalam mengasesment kasus masih tersentral pada satu

orang saja yaitu Bu Resya selaku ketua P2TP2A. Hal ini seperti yang dikatakan oleh I1-3 yakni,

Asssesment kasus memang suka lama, pending beberapa hari. Jadi nanti ada kasus yang datang emang ga bisa langsung ditindaklanjuti, jadi kepending beberapa hari gitu. Perlu pengkaderan memang. Maksudnya, yang bisa mengassesment kasus diharapkan bisa nurunin ilmunya gitu ke yang lain. Jadi ga terpusat sama satu orang aja, itu sih.” (Wawancara dengan Ibu Aisyah selaku Kasie DPAPMK, 25 September 2017 di Kantor DPAPMK)

Namun sepertinya responsivitas dari pengurus dalam melakukan assesment terhadap kasus yang masuk masih harus lebih dioptimalkan lagi, untuk meminimalisir pelayanan yang tidak sesuai ataupun pelayanan kurang maksimal dari P2TP2A demi memenuhi kebutuhan klien/korban. Hal ini seperti yang dipaparkan oleh I2-4 terkait pelayanan yang didapatkan yaitu,

“Pendampingan psikologis yaa. Hukum? Ga ada. Saya tanya ke bu Resya, bisa sih nanti akan ada pendampingan hukum katanya tapi kita ga dapet infonya lagi. Saya juga WA bu Resya, bu ini pengadilan sudah jalan, apa kita butuh pengacara atau tidak? Cuman ga dibales ya sama bu Resya, apa lagi sibuk atau gimana.. Dan saya ga terlalu fokus lagi kesana, saya fokusnya ke pengadilan. Kita di pengadilan itu kayak orang bego, kayak orang bego mba, kita ga tau..” (Wawancara dengan Ibu I selaku Keluarga Korban, 13 Sept 2017 di Balai Kota)

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat dilihat bahwa sebenarnya keluarga korban tidak hanya memerlukan pendampingan psikologis untuk menyembuhkan psikis dari korban, namun keluarga korban juga memerlukan pendampingan hukum atau konsultasi hukum terkait proses-proses yang harus ditempuh dalam kasusnya. Dilihat dari pernyataan informan tersebut, dapat

dipahami bahwa responsifitas sangatlah penting untuk memaksimalkan pelayanan yang diberikan.

Selain upaya P2TP2A dalam mengenali kebutuhan korban/klien di atas, penyusunan agenda kegiatan P2TP2A pun sangat diperlukan untuk dapat melihat sejauh mana organisasi tersebut dapat mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhkan masyarakat. Program-program yang dilakukan P2TP2A untuk memaksimalkan pelayanan terhadap perempuan dan anak sesungguhnya mengacu pada ketiga fungsi dari P2TP2A itu sendiri yaitu preventif, kuratif dan pemberdayaan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh I1-1 bahwa,

“Ada, ada sosialisasi. Sosialisasi biasanya tidak hanya P2TP2A. Pernah, hanya P2 itu di majelis taklim, ke kecamatan, ke tokoh-tokoh yang ada di

Dokumen terkait