• Tidak ada hasil yang ditemukan

KINERJA PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A) KOTA DEPOK DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK TAHUN 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KINERJA PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK (P2TP2A) KOTA DEPOK DALAM PENANGANAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK TAHUN 2017"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA PUSAT PELAYANAN TERPADU

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK

(P2TP2A) KOTA DEPOK DALAM PENANGANAN

KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK

TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Administrasi Publik pada Konsentrasi Manajemen Publik Program Studi Ilmu Administrasi Publik

Oleh

MEGA OKTAULY MUNTHE NIM: 6661131771

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Mega Oktauly Munthe. NIM. 6661131771. Skripsi. Kinerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017. Pembimbing I: Maulana Yusuf M. Si dan Pembimbing II: Riny Handayani. M. Si

Kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak di setiap daerah terus mengalami peningkatan setiap tahun. Salah satu daerah yang mengalami peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah Kota Depok. Maka dari itu, Kota Depok melalui P2TP2A merupakan wahana pelayanan bagi masyarakat, khususnya perempuan dan anak, dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, termasuk perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan perempuan dan anak harus berperan kuat dalam tugas dan fungsinya untuk melakukan kegiatan preventif, kuratif dan pemberdayaan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Kinerja P2TP2A Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017. Dimensi kinerja yang digunakan dalam penelitian ini ialah dimensi kinerja dari Dwiyanto (2012:50) yaitu Produktivitas, Kualitas Layanan, Responsivitas, Responsibilitas dan Akuntabilitas. Metode penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kinerja P2TP2A Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Anak belum berjalan optimal, dikarenakan terbatasnya sumber daya manusia dan anggaran operasional, sosialisasi yang belum menyeluruh, sarana prasarana yang belum terealisasi serta koordinasi yang belum optimal. Sehingga diperlukan pengrekrutan sumber daya manusia, peningkatan anggaran operasional, penyediaan sarana prasarana serta peningkatan koordinasi dengan instansi terkait.

(6)

ABSTRACT

Mega Oktauly Munthe. NIM. 6661131771. Thesis. Performance of Integrated Service Center of Woman and Children (P2TP2A) in Depok City to Handling Cases of Child Sexual Violence 2017. I Advistor Maulana Yusuf, M.Si. The Second Advistor Riny Handayani, M.Si.

Cases of sexual violence against women and children in every regoincontinues to experience increased every year. One of the areas that are experiencing an increase in cases of sexual violence against children is the city of Depok. Thus, the city of Depok through Integrated Services Center of Woman dan Children (P2TP2A) is a vehicle service for people, especially woman and children, in an eforts the information and the needs in the areas of education, health, economic, political, and human right law, including the protection and the response to acts of violence and the trade in women and children should play a role in the tasks and functions to perform preventive, curative and empowerment. The purpose of doing research is to know the performance of the P2TP2A city of Depok in the handling of cases of child sexual violence the year 2017. This study using theory of the performance of Dwiyanto (2012:50) who had dimension such productivity, the quality of services, responsiveness, responsibility, and accountability. Qualitative research method with descriptive data collection techniques through observation, interview and documentation study. The results showed that the performance of the P2TP2A city of Depok in the handling of cases of sexual violence have not run optimally, because of the limited human resources and the operational budget, which has not been thoroughly dissemination, infrastructure that has not been realized and coordination is not optimal. So the necessary recruitment of human resources, an increase in the operational budget, the provision of infrastructure and the improvement of coordination with relevant agencies.

(7)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Yohanes 12:24

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam

tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan

banyak buah.

Kunci dari Pelayanan yang Sejati adalah

Kesetiaan Mutlak dimana saja Allah menempatkanmu Santapan Harian

(8)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat serta syukur tiada hentinya peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan anugerahNya yang selalu dilimpahkan bagi kita semua. Terlebih, peneliti sungguh mengucap syukur karena atas kehendakNyalah skripsi yang berjudul “Kinerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Kota Depok Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017” dapat terselesaikan dengan baik. Ini merupakan salah satu syarat bagi peneliti untuk dapat memperoleh gelar sarjana administrasi publik pada program studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Tersusunnya skripsi ini tentu tidak terlepas dari berbagai pergumulan. Namun, peneliti sungguh bersyukur karena melalui pergumulan tersebut peneliti semakin menikmati dan mengimani kesetiaan Tuhan yang begitu nyata. Dan pada kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus untuk segala kasih dan anugerahNya yang luar biasa serta kepada keluarga yang peneliti kasihi, yang selalu setia mendukung peneliti di dalam segala hal. Serta kepada pihak-pihak yang Tuhan hadirkan, yang membantu peneliti dengan memberikan arahan, bantuan, dan kritikan yaitu:

1. Yth. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Yth. Dr. Agus Sjafari, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Yth. Rahmawati, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Yth. Iman Mukhroman, S.Sos., M.Si., Wakin Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

(9)

ii

6. Yth. Listyaningsih, S.Sos., M.Si., Ketua Jurusan Program Studi Administrasi Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

7. Yth. Dr. Arenawati, M.Si, Sekretaris Jurusan Program Studi Administrasi Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

8. Yth. Maulana Yusuf M,Si., selaku Pembimbing I dan juga merupakan Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan bimbingan serta arahan yang baik kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini..

9. Yth. Riny Handayani M.Si, selaku Pembimbing II yang senantiasa memberikan bimbingan, masukan serta arahan yang baik kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini.

10.Semua Dosen dan Staf Pogram Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat selama perkuliahan.

11.Seluruh Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok yang telah berkenan memberikan data serta informasi untuk penyusunan penelitian ini.

12.Seluruh informan instansi terkait sepert, Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok, Unit PPA Polresta Kota Depok, Dinas Sosial Kota Depok, Dinas Kesehatan Kota Depok, dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah berkenan memberikan data serta informasi penyusunan penelitian ini.

13.Ibu I yang telah terbuka dan berkenan menceritakan kasus yang dialami putrinya sebagai data serta informasi untuk penyusunan penelitian ini. 14.Kak Lena nan jauh disana, yang juga selalu mendoakan dan memberi

penguatan disaat aku mulai lemah.

15.Mega dan Meri si bukan wanita biasa, yang selalu mendukung dan memberikan doa serta nubuat-nubuat yang menguatkan.

(10)

iii

17.Kelompok Tumbuh Bersama Wanita Sok Kuat bersama BF dan keluarga, terimakasih telah menjadi kelompok bertumbuh (pra alumni), tempat berbagi keluh kesah dalam pengerjaan skripsi, tempat saling menguatkan dalam firman dan selalu setia saling mendoakan.

18.PMK di Untirta, baik pengurus-pengurus dan semua anggota. Terimakasih telah menjadi bagian hidupku dan selalu mendukung kami para kakak dan abang yang sedang mengerjakan tugas akhir dalam setiap jam-jam doa kalian. Kiranya kami bisa menjadi alumni yang takut akan Tuhan, berintegritas dan misioner.

19.Dede, Lisma, Ena, Wina, Syifa. Sahabat selama masa-masa menempuh pendidikan. Terimakasih untuk saling menyemangati dan mendoakan serta berbagi keluh kesah dalam menempuh pendidikan bersama.

20.Teman Kostan P2 yaitu Tati, Nana, Meri, Fatiah dan Syifa yang juga menjadi bagian hidup yang tak terlupakan namun juga terkadang memusingkan.

21.Seluruh angkatan Administrasi Publik 2013, yang menjadi rekan selama masa-masa perkuliahan. Semoga kita dapat mengaplikasikan keilmuan kita untuk membangun negara ini menjadi lebih baik kedepannya.

22.Orang-orang yang istimewa, yang selalu mendukung peneliti dalam doa-doa, support, dan perbuatannya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terimakasih untuk semua dukungan dan konstribusi dari kalian.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam penyusunan skripsi ini dikarenakan keterbatasan diri peneliti. Maka dari itu, peneliti sangat terbuka untuk setiap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan peneliti dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Serang, Maret 2018

(11)

iv DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 13

1.3 Batasan Masalah ... 13

1.4 Rumusan Masalah ... 13

1.5 Tujuan Penelitian ... 14

1.6 Manfaat Penelitian ... 14

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1 Landasan Teori ... 16

2.1.1 Konsep Organisai ... 16

(12)

v

2.1.2 Kinerja Organisasi ... 18

2.1.3 Indikator Kinerja ... 20

2.1.4 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja ... 27

2.1.5 Konsep Pelayanan ... 28

2.1.6 Standar Pelayanan ... 30

2.1.7 Konsep Kekerasan ... 32

2.1.8 Konsep Anak ... 33

2.1.9 Kekerasan Terhadap Anak ... 33

2.1.10 Pelecehan Seksual Terhadap Anak ... 36

2.2 Penelitian Terdahulu ... 38

2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 40

2.4 Asumsi Dasar ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 43

3.2 Fokus Penelitian ... 44

3.3 Lokasi Penelitian ... 45

3.4 Variabel Penelitian ... 45

3.5 Instrumen Penelitian ... 48

3.6 Informan Penelitian ... 50

(13)

vi

3.7.1 Teknik Pengumpulan Data ... 52

3.7.2 Teknik Analisis Data ... 57

3.8 Uji Keabsahan Data ... 60

3.8.1 Triangulasi Data ... 61

3.8.2 Member Check ... 62

3.8 Jadwal Penelitian ... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 64

4.2 Deskripsi Data ... 66

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 121

5.2 Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA

(14)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1Data Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan

Anak Tahun 2011-2016... 3

1.2Rincian Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum ... 4

1.3Rekapitulasi Data Kasus yang Ditangani P2TP2A Kota Depok... 8

3.1 Informan Penelitian... ... 51

3.2 Pedoman Wawancara ... 53

3.3 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 63

4.1 Daftar Informan ... 76

4.2 Data Fasilitas P2TP2A Kota Depok ... 92

(15)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 41

3.1 Proses Analisis Data ... 58

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sejatinya, anak merupakan aset yang paling berharga bagi suatu bangsa.

Anak merupakan generasi penerus yang tentunya akan menjadi investasi jangka

panjang bagi pembangunan nasional. Sudah selayaknya, negara memberikan

perhatian dan perlindungan khusus bagi generasi yang kelak akan

memperjuangkan tujuan serta cita-cita dari bangsa ini. Meresponi hal tersebut,

dewasa ini hampir sebagian besar negara di dunia telah mendeglarasikan kebijakan–kebijakan serta program–program yang mengarah pada perlindungan

dan hak–hak anak. Adanya Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Sidang Umum

PBB pada tahun 1989 yang menghasilkan 54 pasal, merupakan suatu bukti

perhatian dunia terhadap isu yang berkaitan dengan anak. Ini merupakan langkah

awal yang akan membuka mata dunia tentang pentingnya perlindungan anak dan hak–haknya.

Berbicara mengenai perlindungan dan hak anak, bangsa Indonesia sendiri

sebenarnya telah menaruh perhatian khusus terhadap anak sejak tahun 1945 dalam

Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 28B ayat 2, yang

mengamanatkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selain itu, pemerintah juga meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui UU No. 10

Tahun 2012, yang mewajibkan negara untuk melindungi anak dari segala bentuk

(17)

bantuan dan perlindungan bagi korban kekerasan (Pasal 19). Dan kemudian

menerbitkan UU No. 23 Tahun 2002 yang diubah menjadi UU. No 35 Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa negara menyediakan

pendekatan menyeluruh untuk perlindungan anak yang mengacu pada Konvensi

Hak Anak. (STRANAS PTKA 2016-2020)

Mengacu pada beberapa peraturan perundangan yang telah ditetapkan di

atas, lembaga atau instansi pemerintah yang mengurusi hal ini juga turut

dirancangkan untuk mendukung terimplementasinya undang–undang tentang

perlindungan anak tersebut. Misalnya saja seperti instansi pusat yakni

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi

Perlindungan Anak Indonesia, namun seiring dengan otonomi daerah serta

reformasi pelayanan publik, lembaga–lembaga fungsional juga berdiri pada setiap

daerah kabupaten/kota untuk mengurusi hal anak, yang tentunya dibawahi oleh

kedua lembaga tersebut, dengan harapan bahwa lembaga/instansi pemerintah

turunan yang ada dapat memberikan penanganan yang lebih cepat dan intens jika

kelak berbagai masalah anak terjadi pada daerah yang bersangkutan.

Merujuk pada hal tersebut, dewasa ini sebenarnya fenomena sosial yang

menimpa perempuan dan anak semakin lama semakin memprihatinkan. Setiap

tahunnya berbagai kasus yang menimpa perempuan dan anak terjadi di berbagai

daerah di Indonesia. Terlebih lagi kasus yang menimpa anak. Seperti data yang

dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, kasus yang menimpa anak

saja sepanjang tahun 2011-2016 terjadi sebanyak 22.957 kasus yang dibagi ke

(18)

Tabel 1.1

Data Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak Tahun 2011-2016

Sumber: Bidang Data Informasi dan Pengaduan 2016, KPAI

Data di atas merupakan hasil rekapitulasi dari data yang masuk ke KPAI

pada periode 1 Januari 2011 – 24 Oktober 2016, berdasarkan sumber data yang

diperoleh dari pengaduan langsung ke KPAI, pemantauan media cetak dan online,

pengaduan online Bank Data Perlindungan Anak serta data lembaga mitra KPAI

se-Indonesia. Data tersebut merupakan data kasus-kasus yang menimpa anak

berdasarkan klaster perlindungan anak, yang dibagi ke dalam 10 jenis klaster

dengan jumlah kasus yang berbeda-beda. Dan diperoleh bahwa ada 2 klaster yang

mengalami peningkatan jumlah pada tahun 2016, yakni klaster Sosial dan Anak

dalam Situasi Darurat sebanyak 211 dari 174 pada tahun 2015 dan klaster Agama

dan Budaya sebanyak 219 dari 180 pada tahun 2015. Meski dapat dikatakan

bahwa 8 klaster lain mengalami penurunan pada tahun 2016, namun dapat dilihat

(19)

klaster Keluarga dan Pengasuhan Alternatif yakni sebanyak 4.425 kasus dan

klaster Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dengan jumlah terbanyak yakni

7.967 kasus yang dapat dirincikan sebegai berikut.

Tabel 1.2

Rincian Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Tahun 2011-2016

No Kasus Tahun

2011 2012 2013 2014 2015 2016

ABH sebagai Pelaku

1. Anak sebagai Pelaku Kekerasan Fisik

(Penganiayaan, Pengeroyokan, Perkelahian, dsb)

46 53 76 105 81 89

2. Anak sebagai Pelaku Kekerasan Psikis (Ancaman, Intimidasi, dsb)

15 11 21 27 22 31

3. Anak sebagai Pelaku Kekerasan Seksual

(Pemerkosaan, Pencabulan,Sodomi/Pedofilia, dsb)

10. Anak sebagai Korban Kekerasan Fisik

(Penganiayaan, Pengeroyokan, Perkelahian, dsb)

94 57 215 273 197 112

11. Anak sebagai Korban Kekerasan Psikis (Ancaman, Intimidasi, dsb)

35 16 74 41 58 45

12. Anak sebagai Korban Kekerasan Seksual

(Pemerkosaan, Pencabulan, Sodomi/Pedofilia, dsb)

Sumber: Bidang Data Informasi dan Pengaduan 2016, KPAI

Dan dari hasil perincian data di atas, dapat diketahui bahwa bukan hanya

anak yang ditemukan menjadi korban dari tindak kejahatan namun justru sekarang

ini semakin banyak pula anak ditemukan sebagai pelaku dari tindak kejahatan.

(20)

dengan hukum adalah kasus kekerasan seksual, baik itu anak sebagai pelaku

maupun anak sebagai korban. Jumlah anak sebagai pelaku kekerasan seksual pada

kurun waktu tahun 2011-2016 ialah sebesar 1.519 pelaku anak dan jumlah anak

sebagai korban kekerasan seksual pada kurun waktu yang sama ialah sebesar

sebanyak 2.001 korban anak. Hal ini tentu harus menjadi perhatian utama bagi

pemerintah mengingat kasus anak yang semakin tahun semakin banyak terjadi,

apalagi melihat bahwa selisih kasus yang dilakukan anak sebagai pelaku dan anak

sebagai korban tidak terlampau jauh. Belum lagi, ada indikasi bahwa anak yang

menjadi pelaku kekerasan seksual kemungkinan besar merupakan korban dari

kekerasan seksual yang sama sebelumnya membuat kasus ini harus segera diputus

mata rantainya.

Seperti halnya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, sebenarnya

Indonesia sedang mengalami darurat kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan

seksual yang dimaksudkan adalah kasus kekerasan (pelecehan) seksual yang

menimpa anak. Banyaknya kasus kekerasan seksual anak yang akhir-akhir ini

muncul kepermukaan. Misalnya saja kasus JIS, sodomi oleh emon, kasus Yuyun

dan kasus-kasus lainnya yang muncul dalam pemberitaan media massa, memang

menarik perhatian semua elemen masyarakat karena jumlah anak-anak yang

menjadi korban tindak kekerasan tersebut tidaklah sedikit. Bahkan, yang lebih

memprihatinkan, bukan hanya anak yang menjadi korban mengalami trauma berat

akibat kejahatan ini, tak jarang pula untuk menutupi perbuatannya, pelaku

melakukan pembunuhan terhadap korban. Sangat disayangkan, anak yang

(21)

perlindungan yang baik dari pemerintah terlebih oleh pihak keluarga serta

masyarakat sosialnya, justru akhir-akhir ini sedikit mengalami pergeseran nilai.

Banyak kasus yang menimpa anak sekarang justru dikarenakan oleh pihak-pihak

terdekat mereka, seperti saudara, tetangga, guru di sekolah, bahkan orangtua

mereka sendiri.

Sebagaimana diketahui, kasus kekerasan seksual terhadap anak ini

memang merupakan fenomena gunung es, dimana sebenarnya kasus yang

terlaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan kasus yang terjadi di lapangan.

Terlebih lagi, lemahnya ketahanan dan pengawasan keluarga serta mudahnya

mengakses internet dengan situs-situs yang berkonten negatif, membuat kasus ini

setiap tahunnya semakin meningkat di setiap daerah. Namun, permasalahan yang

dimaksud, bukan hanya semata-mata pada jumlah kasus yang meningkat saja

tetapi lebih menyoroti tentang bagaimana daya tanggap pemerintah terkait

pencegahan, penanganan dan perlindungan terhadap anak yang semestinya lebih

dioptimalkan lagi.

Salah satu upaya yang diberikan pemerintah melalui Peraturan Menteri

Negara Penberdayaan Perempuan Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman

Pelaksanaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pasal 1 angka 10 adalah dengan

membentuk suatu pusat pelayanan bagi perempuan dan anak yang dikenal dengan

istilah P2TP2A. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

(P2TP2A) merupakan wahana pelayanan bagi masyarakat, khususnya perempuan

dan anak, dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang

(22)

perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan perempuan

dan anak. Dalam upaya mendukung dan memperkuat perlindungan terhadap

perempuan dan anak, P2TP2A ini akan berada pada tingkat provinsi, kabupaten

serta kota di setiap daerah yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang

prima dan lebih intens bagi masyarakat, terkhususnya dalam pelaksanaan tugas

pokok dan fungsinya yakni pencegahan, penanganan dan pemberdayaan.

Melihat hal ini, pemerintah Kota Depok melalui Peraturan Walikota

Depok No. 37 Tahun 2013 mendukung pembentukan P2TP2A di Kota Depok,

guna memberikan pelayanan dan perlindungan yang lebih intensif bagi

perempuan dan anak yang mengalami tindak kekerasan dan perlakuan yang salah

di Kota Depok. Mengingat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, kasus

kekerasan pada anak dan perempuan di kota Depok mengalami peningkatkan

yang cukup signifikan. Bahkan, berdasarkan data yang dihimpun oleh Komisi

Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dari berbagai lembaga perlindungan

anak, perwakilan dari beberapa provinsi, Kota Depok menempati urutan kedua

sebagai kota terbanyak kasus kekerasan seksual anak untuk wilayah Jabodetabek.

Hal ini seperti yang terlansir pada berita harian depok, bahwa sebelumnya kota

Depok dalam persentase masalah kekerasan seksual anak hanya berkisar pada 22

% namun kini meningkat menjadi 38 %. Peningkatan ini menyebabkan Kota

Depok menempati urutan kedua kasus kekerasan seksual terhadap anak yang

tertinggi se-Jabodetabek menggeser Kota Bekasi. (sumber: www.depoktwiit.com)

Berkaitan dengan tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kota

(23)

Depok haruslah menempatkan masalah kekerasan seksual anak ini pada urutan

yang utama untuk penanganan segera, mengingat pencapaian peningkatan

kategori Kota Layak Anak yang telah disandang Kota Depok selama 3 tahun

terakhir ini, haruslah diiringi dengan penurunan masalah sosial terhadap anak,

bukan malah sebaliknya. Dan, pemerintah Kota Depok diharapkan dapat semakin

meningkatkan komitmennya untuk memaksimalkan pemberian hak dan

perlindungan bagi anak, yang dapat dilakukan dengan mengoptimalkan setiap

elemen pemerintah, dunia usaha serta masyarakat. Salah satunya melalui lembaga

P2TP2A Kota Depok.

P2TP2A Kota Depok, yang dibentuk oleh pemerintah Kota Depok dan

dibawahi oleh Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan

Keluarga tentu diharapkan dapat semakin aktif dalam memberikan pelayanan bagi

masyarakat mengingat kasus anak dan perempuan di Kota Depok semakin lama

semakin meningkat. Seperti halnya dalam data berikut, data kasus yang ditangani

oleh P2TP2A Kota Depok. Berikut peneliti sajikan data bentuk kekerasan

terhadap anak dan perempuan di Kota Depok.

Tabel 1.3

Rekapitulasi Data Kasus yang Ditangani P2TP2A Kota Depok Tahun 2014-2017

Jenis Kasus Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017

Kekerasan Fisik 1 Kasus 1 Kasus 4 Kasus 3 Kasus

(24)

Dari data di atas dapat dilihat bahwa kasus-kasus yang ditangani oleh

P2TP2A Kota Depok semakin tahun semakin meningkat. Di tahun 2017 saja, ada

sebanyak 60 kasus yang menimpa anak dengan latar belakang usia yang

berbeda-beda. Usia anak yang paling banyak mengalami kekerasan adalah anak usia SD

yakni sebanyak 33 orang. Lalu kemudian usia SMP sebanyak 10 orang, SMA

sebanyak 9 orang dan tidak sekolah sebanyak 8 orang. Belum lagi, dari jumlah

kasus tersebut kasus yang paling tinggi adalah kasus kekerasan seksual yakni

sebanyak 43 kasus.

Dominannya kasus tersebut, tentulah memerlukan

penanganan-penanganan psikis yang ekstra, baik kasus yang menimpa perempuan terlebih lagi

bagi kasus yang menimpa anak guna memulihkan setiap trauma-trauma berat

yang dirasakan, apalagi jika kasus tersebut sampai dibawa ke dalam ranah hukum.

Anak, yang masa depannya masih sangat panjang, yang kelak akan menjadi

generasi penerus bagi bangsa haruslah diperhatikan, apalagi jika melihat

kasus-kasus diatas pastilah anak yang menjadi korban diliputi trauma-trauma yang akan

menghambat pertumbuhannya, baik dalam kondisi kepercayaan dirinya,

pendidikannya juga lingkungan sosialnya. Inilah alasan mengapa pemerintah

melalui lembaga P2TP2A berperan penting bagi pencegahan, penanganan dan

pemberdayaan terhadap kasus perempuan dan anak.

Melihat kondisi tersebut, Kota Depok yang merupakan kota metropolitan,

yang tergabung dalam Jabodetabek, tentu akan sangat rawan terhadap kasus-kasus

demikian. Maka dari itu, kerja keras pemerintah untuk meningkatkan pelayanan

(25)

pemerintah dalam hal pencegahan, penanganan serta pemberdayaan sangatlah

diperlukan. Maka dari itu, pemerintah Kota Depok melalui Dinas Perlindungan

Anak dan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga serta Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak harus meningkatkan kinerja yang lebih

dalam rangka memberikan pelayanan yang prima bagi masyarakat. Keseriusan

dan komitmen pemerintah sangat dibutuhkan dalam mengelola dan

memaksimalkan P2TP2A sebagai wadah penyelenggarakan pelayanan terpadu,

yang nantinya akan memberikan pelayanan pengaduan dan pendampingan,

rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial, bantuan hukum, serta

pemberdayaan bagi korban kasus kekerasan, baik perempuan maupun anak-anak.

P2TP2A dalam melaksanakan setiap tugas dan fungsinya diharapkan juga lebih

intensif dalam melakukan koordinasi dengan setiap organisasi-organisasi

perangkat daerah yang terkait, guna memberikan pelayanan bagi masyarakat

terlebih bagi korban kekerasan.

Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti yang melakukan observasi serta

wawancara awal dengan ketua P2TP2A, menemukan beberapa masalah yang saat

ini cukup menghambat P2TP2A dalam memaksimalkan pelayanan yang

diberikan. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya ialah Pertama,

berkaitan dengan Produktivitas. Produktivitas P2TP2A dirasa belum optimal

dikarenakan tenaga relawan/pengurus dari P2TP2A masih terbatas, baik dari sisi

jumlah maupun kapasitas masing-masing relawan/pengurus yang ada saat ini. Hal

ini berdampak pada jumlah kasus yang ditangani dan waktu untuk penanganan

(26)

Kedua, kualitas layanan dari P2TP2A juga masih belum baik. Hal ini

dilihat dari masih kurang eksisnya lembaga P2TP2A di masyarakat. Masih banyak

masyarakat yang belum tau tentang adanya lembaga P2TP2A, tugas serta

fungsinya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bu Resya selaku Ketua P2TP2A

bahwa saat ini, P2TP2A masih harus lebih meningkatkan eksistensinya supaya

semakin dikenal oleh masyarakat. Pernyataan tersebut juga didukung oleh seorang

ibu DA dari kecamatan Pancoran Mas, yang sudah mendapatkan sosialisasi dari

pemerintah terkait kekerasan seksual anak, namun mengatakan bahwa ia tidak

mengetahui adanya lembaga P2TP2A. (wawancara tanggal 16 Agustus 2017)

Selain itu, terkait fasilitas utama P2TP2A yakni kantor kesekretariatan.

Kurang lebih 4 tahun semenjak pembentukan, P2TP2A belum memiliki kantor

kesekretariatan yang tetap. Bahkan untuk tahun 2017 ini, P2TP2A tidak

memperpanjang kantor kesekretariatan tahun lalu. Hal ini dikarenakan tidak

adanya anggaran untuk penyewaan kesekretariatan. Sebagaimana diketahui,

adanya kantor yang tetap akan sangat menunjang kinerja dari P2TP2A sendiri

mengingat semua aktivitas pelayan dilakukan di kantor, mulai dari pengaduan

korban dengan ruangan khusus penerimaan pengaduan klien, ruang konsul sampai

pada penanganan kasus. Adanya kantor yang tetap dengan letak yang strategis

akan sangat mempermudah korban/klien, instansi terkait, serta masyarakat untuk

menemukan lembaga P2TP2A.

Ketiga, masih kurang responsifnya P2TP2A dalam memenuhi kebutuhan

klien/korban masih adanya klien/korban yang kurang puas dengan pelayanan yang

(27)

Dan belum adanya kesepakatan alur rujukan antara P2TP2A dan Unit PPA

Polresta Kota Depok. koordinasi berbagai sektor/instansi yang masih kurang.

Koordinasi P2TP2A dengan instansi-instansi seperti DPAPMK, DINSOS,

DINKES, POLRES, serta LSM dan lembaga-lembaga lainya masih perlu

dioptimalkan, terlebih dalam rapat-rapat untuk membahas kasus dan program.

Saat ini, belum ada jadwal rapat yang rutin yang dilakukan P2TP2A dengan

instansi terkait, hanya jika ada masalah yang urgent saja. Disamping itu, P2TP2A

masih kurang menjalin koordinasi dengan LSM seperti LPA dan LBH serta

RSUD dan rumah sakit swasta terdekat untuk penyediaan visum bagi

klien/korban.

Dan yang keempat, Akuntabilitas dari P2TP2A terkait pelaporan kasus

masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari sistem pelaporan yang belum detail (tidak

lengkap) serta belum tepat waktu sesuai tanggal yang ditetapkan. Berdasarkan

latar belakang masalah yang telah dipaparkan penulis di atas, penulis tertarik

untuk mengkaji lebih dalam tentang kinerja pelayanan P2TP2A dalam

mengoptimalkan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Untuk itu, penulis memberikan judul penelitian ini ialah “Kinerja Pusat Pelayanan Terpadu

Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dalam Penanganan

(28)

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti dapat mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan “Kinerja Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017”. Identifikasi

masalah penelitian ini ialah:

1. Minimnya tenaga relawan/pengurus yang dimiliki oleh P2TP2A dan

kapasitas waktu dari pengurus yang ada saat ini.

2. Kurangnya sosialisasi kelembagaan P2TP2A serta masih adanya sarana

dan prasarana yang belum terpenuhi seperti kantor kesekretariatan.

3. Kurang responsifnya P2TP2A dalam memenuhi kebutuhan korban/klien

serta koordinasi dengan instansi terkait terlebih LSM, RSUD serta rumah

sakit swasta terdekat masih belum optimal. Belum adanya rapat-rapat rutin

untuk membahas kasus dan program.

4. Sistem pelaporan kasus yang dilakukan oleh P2TP2A masih belum tepat

waktu dan belum lengkap.

1.3 Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, peneliti akan

membatasi ruang lingkup penelitian yang berkaitan dengan Kinerja Pusat

Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok

(29)

Sedangkan untuk rumusan masalah dari penelitian ini ialah Bagaimana

Kinerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)

Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun

2017?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari dilakukannya penelitian

ini ialah untuk mengetahui bagaimana Kinerja Pusat Pelayanan Pusat Pelayanan

Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dalam

Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, manfaat dari dilakukannya penelitian ini ialah untuk:

1. Meningkatkan dan memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang sosial

yang akan memberikan konstribusi pemikiran bagi pengembangan

ilmu administrasi negara, khususnya pada ilmu yang berkaitan dengan

organisasi, kinerja, serta pelayanan bagi masyarakat terkhususnya di

bidang perempuan dan anak.

2. Meningkatkan dan memperdalam pemahaman peneliti maupun

mahasiswa lain serta dapat menjadi bahan pedoman bagi penelitian

(30)

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini juga memiliki manfaat yakni:

1. Bagi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak

(P2TP2A) Kota Depok

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan konstribusi saran atau

masukan yang tepat dan konkrit untuk pengambilan keputusan serta

langkah ke depan guna mengoptimalkan kinerja pelayanan dalam

penganganan kasus kekerasan seksual terhadap anak.

2. Bagi Masyarakat

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat

luas tentang kasus kekerasan seksual anak, pentingnya perlindungan bagi

anak serta pentingnya koordinasi antara masyarakat dengan instansi

pemerintah guna pengendalian peningkatan kasus kekerasan seksual

terhadap anak.

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh

peneliti untuk menyandang gelar strata satu (S1). Selain itu, dari

penelitian ini peneliti juga diberikan kesempatan untuk mengaplikasikan

ilmu yang diperoleh selama perkuliahan untuk mengatasi permasalahan

(31)

16 BAB II

KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

Merupakan hasil kajian dari berbagai teori dan konsep yang relevan

dengan permasalahan dan variabel penelitian, yang kemudian disusun secara

teratur dan rapi untuk merumuskan hipotesis. Dalam bab ini, peneliti akan

menjelaskan beberapa teori dan bahan pustaka yang digunakan untuk mengkaji

permasalahan penelitian yaitu sebagai berikut.

2.1.1 Konsep Organisasi

Organisasi merupakan elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Organisasi biasanya dibuat dan dibentuk untuk mencapai tujuan serta kepentingan

bersama. Seperti yang dikemukakan oleh Moeheriono (2012:3) bahwa organisasi

adalah jaringan tata kerja dari sekelompok orang secara teratur dan kontinu untuk

mencapai tujuan bersama, antara atasan dan bawahan.

Thoha (2014:4) mengungkapkan bahwa organisasi adalah kesatuan (entity)

sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif

dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk

mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Oleh karena itu,

(32)

diseimbangkan dan diselaraskan untuk meminimalkan keberlebihan namun juga

memastikan bahwa tugas-tugas kritis telah diselesaikan.

Disisi lain Wursanto (2005:42) mengatakan bahwa organisasi dipandang

sebagai jaringan dari hubungan kerja yang bersifat formal seperti yang tergambar

dalam suatu bagan dengan mempergunakan kotak-kotak yang beraneka ragam.

Kotak-kotak tersebut memberikan gambaran-gambaran tentang kedudukan atau

jabatan yang harus diisi oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sesuai

dengan fungsi masing-masing. Organisasi juga dipandang sebagai saluran hirarki

kedudukan atau jabatan yang ada menggambarkan secara jelas tentang garis

wewenang, garis komando, dan garis tanggungjawab. Sedangkan Mahsun

(2006:1) menjelaskan bahwa organisasi sering dipahami sebagai kelompok orang

yang berkumpul dan bekerja sama dengan cara yang terstruktur untuk mencapai

tujuan atau sejumlah sasaran yang telah ditetapkan bersama.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa

organisasi merupakan suatu elemen sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih,

yang akan melaksanakan fungsinya dengan berbagai kegiatan untuk mencapai

tujuan bersama. Di dalam suatu organisasi, tentunya harus didukung dengan

sistem kerja yang baik, baik antar individu, antar divisi atau bagian maupun antar

organisasi yang satu dengan yang lainnya demi terealisasinya setiap tujuan yang

(33)

2.1.2 Kinerja Organisasi

Kata kinerja adalah terjemahan dari kata performance, yang berarti

prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil kerja, unjuk kerja atau

penampilan kerja. Fahmi (2011:2) berpendapat bahwa kinerja adalah hasil yang

diperoleh dari suatu organisasi baik organisasi tersebut bersifat profit oriented dan

non profit oriented yang dihasilkan selama satu periode waktu.

Sedangkan Mangkunegara (2009:67) berpendapat bahwa kinerja adalah

hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam

melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Pendapat ini menunjukkan bahwa kinerja itu merupakan hasil dari pekerjaan.

Hasil pekerjaan itu dapat dilihat dari aspek mutu.

Hasibuan (2011) mengemukakan bahwa kinerja merupakan suatu hasil

kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta

waktu. Di sisi lain, Bernardian dan Russel dalam Serdamayanti (2010:260)

mendefinisikan kinerja sebagai catatan mengenai outcome yang dihasilkan dari

suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu tertentu pula. Kinerja juga merupakan

perbuatan, pelaksanaan pekerjaan, prestasi kerja, dan pelaksanaan pekerjaan yang

berdaya guna.

Secara lebih tegas Armstrong dan Baron dalam Fahmi (2011:2)

mengatakan kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat

(34)

konstribusi ekonomi. Dan lebih jauh, Indra Bastian dalam Fahmi (2011:2)

menyatakan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian

pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijaksanaan dalam mewujudkan

sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema

strategis (strategic planning) suatu organisasi.

Chaizi Nasucha dalam Fahmi (2011:3) mengemukakan bahwa kinerja

organisasi adalah sebagai efektivitas organisasi secara menyeluruh untuk

memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan

dengan usaha-usaha yang sistemik dan meningkatkan kemampuan organisasi

secara terus menerus untuk mencapai kebutuhannya secara efektif. Sedangkan

Moeheriono (2012) mengungkapkan bahwa kinerja atau disebut performance

dapat didefinisikan sebagai pencapaian hasil atau the degree of accomplishment,

atau prestasi kerja atau kinerja.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

kinerja adalah kemampuan organisasi, baik secara individu maupun organisasi

secara keseluruhan, untuk mencapai hasil kerja yang maksimal dalam

mengerjakan semua proses kegiatan organisasi. Kinerja akan menggambarkan

sejauh mana keefektifan dan keefisienan organisasi dalam memberdayakan semua

komponen yang dimilikinya demi mencapai setiap tujuan serta sasaran dari

(35)

2.1.3 Indikator Kinerja

Untuk menilai sejauh mana suatu organisasi telah menjalankan tugas dan

fungsinya secara efektif dan efisien, tentu diperlukan dimensi atau indikator

pencapaian suatu kinerja. Penilaian kinerja adalah suatu penilaian yang dilakukan

kepada pihak manajemen perusahaan baik para karyawan maupun manajer yang

selama ini telah melakukan pekerjaannya. Dalam pemerintahan, penilaian kinerja

sangat berguna untuk menilai kualitas, kuantitas dan efisiensi pelayanan dan

memotivasi birokrat pelaksana untuk melakukan pekerjaan lebih baik lagi.

(Moeheriono, 2012:162)

Robert L. Mathis & John H. Jacsonn dalam Fahmi (2011:65) mengatakan

penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi seberapa baik karyawan

mengerjakan pekerjaan mereka ketika dibandingan dengan satu set standar, dan

kemudian mengkomunikasikan informasi tersebut. Penilaian tersebut nantinya

akan menjadi bahan masukan yang berarti dalam menilai kinerja yang dilakukan

dan selanjutnya dapat dilakukan perbaikan, atau yang biasa disebut perbaikan

yang berkelanjutan.

Mahsun (2006:7) mendefinisikan indikator kinerja yakni mengacu pada

penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya

merupakan indikasi-indikasi kerja. Indikator kinerja juga merupakan sekumpulan

indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kerja kunci, baik yang bersifat

financial maupun non-financial untuk melaksanakan operasi dan kinerja unit

(36)

kinerja merupakan suatu variabel yang digunakan untuk mengekspresikan secara

kuantitatif efektivitas dan efisiensi proses atau operasi dengan berpedoman pada

target-target dan tujuan organisasi.

Disisi lain, Serdamayanti dalam bukunya Manajemen Sumber Daya

Manusia (2010:198) mengungkapkan bahwa indikator kinerja adalah ukuran

kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu

sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja merupakan sesuatu

yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau

melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun

setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Indikator kinerja digunakan untuk

meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari organisasi/unit kerja bersangkutan

menunjukkan kemampuan dalam rangka dan/atau menuju tujuan dan sasaran yang

telah ditetapkan.

Berkaitan dengan penilaian kinerja, sebenarnya telah banyak organisasi

memberikan pengertian penilaian atau indikator kinerja atau bermacam-macam

seperti:

1. Indikator kinerja sebagai nilai atau karakteristik tertentu yang

dipergunakan untuk mengukur output atau outcome suatu kegiatan.

2. Sebagai alat ukur yang dipergunakan untuk menentukan derajat

keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya.

3. Sebagai ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat

(37)

4. Suatu informasi operasional yang berupa indikasi mengenai kinerja atau

kondisi suatu fasilitas atau kelompok fasilitas. (Moeheriono, 2012:32)

Moeheriono dalam bukunya Indikator Kinerja Utama mengemukakan

bahwa indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung

yaitu, hal-hal yang bersifat hanya merupakan indikasi kinerja saja, sehingga

bentuknya cenderung kualitatif atau tidak dapat dihitung (peningkatan, ketepatan,

perputaran, tingkat, efektivitas dan lain-lain).

Menurut Palmer (1995) dalam Mahsun (2006:74), suatu indikator yang

baik dan ideal seharusnya mencakup beberapa persyaratan-persyaratan di bawah

ini, yakni:

1. Consistency. Berbagai definisi yang digunakan untuk merumuskan indikator kinerja harus konsisten, baik antara periode waktu maupun antar unit-unit organisasi.

2. Comparability. Indikator kinerja harus mempunyai daya banding secara layak.

3. Clarity. Indikator kinerja harus sederhana, didefinisikan secara jelas dan mudah dipahami.

4. Controllability. Pengukuran kinerja terhadap seorang manajer publik harus berdasarkan pada area yang dapat dikendalikan.

5. Contigency. Perumusan indikator kinerja bukan variabel yang independen dari lingkungan internal dan eksternal.

6. Comprehensiveness. Indikator kinerja harus merefleksikan semua aspek berlaku yang cukup penting untuk pembuat keputusan manajerial.

7. Boundedness. Indikator kinerja harus difokuskan pada faktor-faktor utama yang merupakan keberhasilan organisasi.

8. Relevance. Berbagai penerapan membutuhkan indikator spesifik sehingga relevan untuk kondisi dan kebutuhan tertentu.

(38)

Sedangkan Serdamayanti (2010:198) merumuskan bahwa syarat indikator

kinerja yang baik ialah meliputi aspek-aspek di bawah ini, yakni:

a. Spesifik dan jelas, sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.

b. Dapat diukur secara objektif, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualiatif yaitu: dua atau lebih yang mengukur indikator kinerja mempunyai kesimpulan sama.

c. Relevan, harus melalui aspek obyektif yang relevan.

d. Dapat dicapai, penting, dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan input, output, hasil, manfaat, dan dampak serta proses.

e. Harus fleksibel dan sensitif terhadap perubahan/penyesuaian, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan.

f. Efektif, data/informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang tersedia.

Ada beberapa indikator pengukuran kinerja yang umum telah dikenal,

yakni ukuran kualitatif dan kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian

sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan

elemen-elemen sebagai berikut :

1. Indikator masukan (inputs), yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar

organisasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa yang

meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya.

2. Indikator keluaran (outputs), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung

dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau pun non fisik.

3. Indikator hasil (outcomes), yaitu segala sesuatu yang mencerminkan

(39)

4. Indikator manfaat (benefit), yaitu sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir

dari pelaksanaan kegiatan.

5. Indikator dampak (impact), yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik positif

maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang

telah ditetapkan.

Sedangkan Mangkunegara (2009:67) merumuskan bahwa indikator kinerja

ialah meliputi:

1. Kualitas Kerja

Menunjukkan kerapihan, ketelitian, keterkaitan hasil kerja dengan tidak

mengabaikan volume pekerjaan. Adanya kualitas kerja yang baik dapat

menghindari tingkat kesalahan, dalam penyelesaian suatu pekerjaan yang

dapat bermanfaat bagi kemajuan perusahaan.

2. Kuantitas kerja

Menunjukkan banyaknya jumlah jenis pekerjaaan yang dilakukan dalam

suatu waktu sehingga efisiensi dan efektifitas dapat terlaksana sesuai

dengan tujuan perusahaan.

3. Tanggungjawab

Menunjukkan seberapa besar karyawan dalam menerima dan

melaksanakan pekerjaannya, mempertanggungjawabkan hasil kerja serta

(40)

4. Kerjasama

Kesediaan karyawan untuk berprestasi dengan karyawan yang lain secara

vertikal dan horizontal baik di dalam maupun di luar pekerjaan.

5. Inisiatif

Adanya inisiatif dari dalam diri anggota organisasi untuk melakukan

pekerjaan serta mengatasi masalah dalam pekerjaan tanpa menunggu

perintah.

Adapun Moeheriono (2012:162) menyebutkan tiga konsep yang dapat

digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, yakni:

1. Responsivitas (responsiveness), yaitu menggambarkan kemampuan

organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya adalah untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat.

2. Responsibilitas (responsibility), yaitu pelaksanaan kegiatan organisasi

publik dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar

atau sesuai dengan kebijakan secara implisit maupun eksplisit.

3. Akuntabilitas (accountability), yaitu menunjuk pada seberapa besar

kebijakan dan kegiatan organisasi publik yang diharapkan dari

masyarakat, bisa berupa penilaian dari wakil rakyat, pejabat dan

masyarakat.

Disisi lain, Agus Dwiyanto (2012;50) dalam bukunya mengenai Reformasi

(41)

diukur dengan indikator yakni produktivitas, kualitas layanan, responsivitas,

responsibilitas dan akuntabilitas. Penjelasan dari indikator-indikator tersebut

ialah:

1. Produktivitas

Konsep produktifitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga

efektifitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai

resiko antara input dengan output.

2. Kualitas layanan

Kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan

kinerja organisasi pelayanan publik. Kepuasan masyarakat bisa menjadi

parameter untuk menilai kinerja organisasi publik. Keuntungan utama

menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah

informasi mengenai kepuasan masyarakat sering kali tersedia secara

mudah dan murah yang dapat diperoleh dari media massa dan diskusi

publik.

3. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan

masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan

mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan

kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimaksudkan sebagai

salah satu indikator kinerja organisasi publik karena responsivitas secara

langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam

(42)

masyarakat. Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik

karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk

mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas

pelayanan serta mengembangkan program-program pelayan publik sesuai

dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

4. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi

publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang

benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit

maupun implisit.

5. Akuntabilitas

Akuntabilitas publik menunjukkan seberapa besar kebijakan dan kegiatan

organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh

rakyat, asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut dengan

sendirinya akan selalu mempresentasikan kepentingan rakyat.

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja merupakan suatu konstruk multidimensional yang mencakup

banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

adalah :

(43)

2. Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader; 3. Faktor tim, meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh

rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim;

4. Faktor sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi;

5. Faktor konstekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal. (Mahmudi, 2013:20)

2.1.5 Konsep Pelayanan

Berkaitan dengan pelayanan, ada dua istilah yang perlu diketahui yaitu

definisi melayani dan pelayanan. Definisi melayani ialah membantu menyiapkan

(mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Sedangkan pengertian pelayanan

dalam KBBI adalah usaha melayani kebutuhan orang lain (Modul LAN, 2014).

Pelayanan dapat diartikan sebagai suatu proses atau tindakan yang dilakukan oleh

pemberi layanan (baik individu maupun organisasi) kepada penggna layanan

untuk memberikan kepuasan sesuai yang diharapkan.

Gronroos dalam Raminto dan Atik (2005:2) memaparkan bahwa

pelayanan merupakan suatu atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat

mata (tidak dapat diraba) yang terjadi akibat adanya interaksi antara konsumen

dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi

pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen atau

pelanggan. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi

(44)

fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Definisi lain disampaikan Moenir

(2008:16) yakni pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas

orang lain yang langsung diterima. Dengan kata lain bahwa pelayanan merupakan

tindakan yang dilakukan orang lain agar masing-masing memperoleh keuntungan

yang diharapkan dan mendapat kepuasan.

Berbicara mengenai pelayanan, kepuasan para konsumen merupakan

tujuan utama yang harus diberikan oleh para pemberi layanan. Dalam organisasi

sektor publik, kepuasan masyarakat adalah tonggak ukur keberhasilan pemerintah.

Pemerintah dapat dikatakan berhasil jika setiap kebutuhan atau kepentingan

masyarakat dapat terakomodir dengan baik melalui pelayanan yang prima.

Berkaitan dengan hal tersebut, Moenir (2008:26-27) mendefinisikan pelayanan

publik sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang

dengan landasan faktor materiil melalui sistem, prosedur, dan metode tertentu

delam rangka memenuhi kepentingan orang lain sesuai haknya.

Disisi lain Norman dalam Modul LAN (2014) mencoba memaparkan

mengenai karakteristik pelayanan, diantaranya ialah:

1. Pelayanan bersifat tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan sifatnya dengan barang jadi.

2. Pelayanan itu kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindakan sosial.

(45)

Sedangkan dalam Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 memberikan pengertian

pelayanan publik atau pelayanan umum yaitu segala bentuk pelayanan yang

dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan

Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang

dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat

maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan

penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima

pelayanan maupun pelaksanaaan peraturan perundang-undangan. (Raminto dan

Atik, 2005:4-5)

2.1.6 Standar Pelayanan

Untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan, setiap organisasi haruslah

memiliki standar yang akan menjadi acuan atau indikator untuk dapat menilai

sejauh mana pelayanan itu telah diberikan. Standar pelayanan sangatlah penting

untuk menunjang pelayanan prima yang akan diberikan setiap organisasi.

“Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai

pembakuan pelayanan yang baik. Dalam standar pelayanan ini juga terdapat baku mutu pelayanan”. (Modul LAN)

Pelayanan prima memang diharapkan dapat terwujud dengan baik oleh

semua pihak. Pelayanan yang bersifat prima harusnya mampu memberikan

kepuasan maksimal kepada pelanggan, yakni dengan mencapai setiap standar

(46)

dalamnya harus bekerja secara optimal sesuai dengan tugas dan fungsinya

masing-masing. Karena hal ini akan berkaitan dengan kinerja yang dihasilkan.

Dalam Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, tertulis bahwa standar pelayanan

sekurang-kurangnya ialah,

1. Prosedur pelayanan, prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.

2. Waktu pelayanan, waktu pelayanan yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan. 3. Biaya pelayanan, biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang

ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.

4. Produk pelayanan, hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah diharapkan.

5. Sarana dan prasarana, penyedia sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh pengelenggara pelayanan publik.

6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan, kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang

Pelayanan Publik, standar pelayanan yang dijelaskan ialah,

1. Penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan.

2. Dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait.

(47)

4. Penyusunan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dilakukan dengan pedoman tertentu yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Komponen standar pelayanan, sekurang-kurangnya meliputi,

1. Dasar hukum; 2. Persyaratan;

3. Sistem, mekanisme dan prosedur; 4. Jangka waktu penyelesaian; 5. Biaya/tarif;

6. Produk pelayanan;

7. Sarana, prasarana dan/atau fasilitas; 8. Kompetensi pelaksana;

9. Pengawasan internal;

10.Penanganan pengaduan, saran dan masukan; 11.Jumlah pelaksana;

12.Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya dan resiko keragu-raguan; dan

13.Evaluasi kinerja pelaksana.

2.1.7 Konsep Kekerasan

Dalam PERMEN PPPA No. 01 Tahun 2010 pasal 1 ayat 2, kekerasan

adalah setiap perbuatan secara melawan hukum dengan dan atau tanpa

menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi

nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.

Sedangkan WHO mengemukakan kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik

dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau

sekelompok atau masyarakat yang kemungkinan besar mengakibatkan memar,

trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan

(48)

2.1.8 Konsep Anak

Secara umum, definisi anak ialah sekumpulan manusia, baik laki-laki

maupun perempuan yang berusia dibawah 18 tahun (termasuk ke dalamnya ialah

anak yang masih didalam kandungan) dan berstatus belum menikah. Definisi yang

lebih spesifik mengatakan bahwa anak merupakan amanat dan karunia Tuhan

Yang Maha Esa yang memiliki hak di dalam dirinya melekat secara harkat dan

martabat sebagai manusia seutuhnya, serta merupakan generasi penerus cita-cita

perjuangan bangsa yang perlu mendapat kesempatan seluasnya untuk terpenuhi

haknya, yakni hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak

partisipasi serta menjalankan hidupnya secara wajar.

Sedangkan dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,

pada pasal 1 ayat 2 dikatakan anak ialah seseorang yang belum mencapai umur 21

tahun dan belum kawin. Namun, dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa anak merupakan seseorang yang belum

berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan

beberapa definisi di atas, pada dasarnya anak merupakan sekumpulan manusia

dengan batasan usia tertentu, yang belum menikah dan memiliki hak-hak dasar

sebagai manusia seutuhnya.

2.1.9 Kekerasan Terhadap Anak

UNICEF mengungkapkan pengertian kekerasan terhadap anak dari

pandangan anak-anak Indonesia adalah penggunaan kekuatan fisik dengan sengaja

(49)

orang lain atau terhadap suatu kelompok atau komunitas, yang mengakibatkan

atau memiliki kemungkinan besar mengakibatkan cedera, kematian, kerugian

psikologis, salah perkembangan atau deprivasi. Indra Sugiarno, Ketua Satuan

Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak PP IDAI menyatakan bahwa

kekerasan pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh

seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi (caretaker) seorang anak

baik secara fisik, seksual maupun emosi. (Herlina, 2010:31)

Sedangkan dalam PERMEN PPPA No. 01 Tahun 2010, kekerasan

terhadap anak dapat diartikan yakni setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis,

termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan

merendahkan martabat anak.

Dan dalam PERMEN PPPA No. 02 Tahun 2010 tentang Rancangan Aksi

Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2010-2014, yang dimaksud

dengan kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk tindakan fisik, mental,

seksual, termasuk penelantaran dan perlakuan salah yang mengancam integritas

tubuh dan perlakuan merendahkan anak oleh pihak-pihak yang seharusnya

bertanggungjawab terhadap tumbuh kembang anak atau mereka yang memiliki

otoritas terhadap perlindungan anak yang seharusnya dapat dipercaya. Berdasarkan pengertian tersebut, berikut merupakan bentuk–bentuk kekerasan

(50)

1. Kekerasan Fisik Terhadap Anak

Merupakan penggunaan kekuatan fisik secara sengaja kepada anak yang

kemungkinan memiliki dampak buruk yang besar terhadap kesehatan,

keselamatan, perkembangan atau martabat anak. Contohnya memukul,

menendang, mengguncang, menggigit, mencekik, menjemur, membakar,

meracuni dan menyengsarakan, yang banyak diasosiasikan sebagai hukuman fisik.

Hukuman fisik didefinisikan sebagai segala bentuk hukuman yang menggunakan

kekuatan fisik dan bertujuan untuk menimbulkan rasa sakit atau tidak nyaman,

yang biasanya termasuk pula memukul (menghantam; menampar; memecut) anak

dengan tangan atau benda. Dapat pula berbentuk tendangan, pengguncangan,

pencakaran, penggigitan, penarikan rambut atau telinga, pengurungan, memaksa

anak untuk diam di posisi yang tidak nyaman, dibakar/dijemur atau memaksa

menelan sesuatu.

2. Kekerasan Seksual

Didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan seksual, usaha untuk

melakukan tindakan seksual atau komentar seksual yang tidak diinginkan yang

ditujukan terhadap seksualitas seseorang dengan menggunakan pemaksaan, oleh

siapapun terlepas dari hubungannya dengan korban, dalam latar belakang apapun.

Hal ini juga mencakup bentuk-bentuk yang bersifat kontak fisik dan non-kontak,

diantaranya namun tidak terbatas pada, (a) bujukan atau paksaan kepada seorang

anak untuk terlibat dalam kegiatan seksual yang berbahaya secara psikologis

maupun ilegal, (b) penggunaan anak dalam eksploitasi seksual komersial, (c)

(51)

(d) prostitusi anak, perbudakan seksual, eksploitasi seksual dalam dunia

pariwisata, perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual (di dalam dan

antar negara), penjualan anak untuk tujuan seksual dan pernikahan paksa.

3. Kekerasan Emosional

Mencakup kegagalan dalam menyediakan lingkungan yang sesuai dan

mendukung, sehingga anak dapat mengembangkan kompetensi sosialnya secara

menyeluruh dan stabil sesuai dengan potensi pribadi yang dimilikinya dan konteks

masyarakat. Suatu tindakan kekerasan emosional mungkin dapat menyebabkan

kerugian pada aspek fisik dan kesehatan anak, mental, spiritual, moral atau

perkembangan sosial. Contohnya (a) segala bentuk interaksi yang berbahaya dan

terus menerus terhadap anak; (b) menakut-nakuti, mengintimidasi, dan

mengancam; mengeksploitasi dan mengkorupsi, memandang rendah dan menolak,

mengisolasi, mengabaikan, dan membedakan perlakuan dengan anak lainnya; (c)

mengabaikan respon emosional, mengabaikan kesehatan mental, kebutuhan medis

dan pendidikan; (d) menghina, membuat seseorang malu, meremehkan, mengejek,

dan menyakiti perasaan anak; (e) kekerasan dalam rumah tangga; (f)

menempatkan dalam kurungan, isolasi, atau mempermalukan atau merendahkan;

dan (g) penindasan psikologis dan perpeloncoan oleh orang dewasa atau anak

(52)

4. Penelantaran atau Perlakuan Lalai

Kegagalan dalam menyediakan perkembangan anak dalam segala

cakupan; kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, gizi, tempat tinggal,

perlindungan sosial dan lainnya. Dapat juga termasuk (a) pengabaian fisik, yaitu

gagal dalam melindungi anak dari bahaya, gagal menyediakan kebutuhan dasar

termasuk makanan yang mencukupi, tempat tinggal, pakaian, dan pengobatan

dasar; (b) pengabaian psikologis atau emosional, termasuk minimnya dukungan

emosional dan kasih sayang, pengabaian kronis, pengasuhan tidak tersedia dengan

mengabaikan tanda-tanda yang diberikan anak kecil, dan kekerasan dalam

pasangan atau penggunaan obat-obatan atau alkohol; (c) penelantaran dari

kesehatan mental atau fisik anak dengan perampasan hak atas pengobatan medis;

(d) pengabaian pendidikan, gagal menaati hukum terkait perlunya pengasuh untuk

memastikan pendidikan anak melalui kehadiran anak di sekolah; dan (e)

ditinggalkan.

5. Eksploitasi

Merujuk pada penggunaan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang

menguntungkan pihak lain, termasuk prostitusi anak, perdagangan anak dan

penggunaan anak dalam konflik bersenjata (Krug et all., 2007).

6. Penindasan (Bullying)

Bentuk dari kekerasan fisik, juga tindakan agresif yang dimaksudkan dan

melibatkan kekuatan atau kekuasaan yang tidak seimbang. Hal ini terjadi lintas

geografis, ras, dan batasan sosial-ekonomi.

Gambar

Tabel 1.1
Tabel 1.2 Rincian Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)
Tabel 1.3 Rekapitulasi Data Kasus yang Ditangani P2TP2A Kota Depok
Tabel 3.1 Informan Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Pelanggan digalakkan untuk bersiap dari dalam bilik dan dilarang berlegar di kawasan locker atau kawasan umum setelah tamat rawatan. Pelanggan

Ketiga berkaitan dengan spiritualitas, wawasan dunia Kris- ten memperluas pemahaman tentang Allah dan Trinitas yang peran, natur dan eksistensinya memben- tuk

Tabel 4.16 Hasil pengujian respon sistem terhadap perubahan

Pada tahap ini pelaksanaan dilakukan oleh peneliti sendiri sebagai guru sekaligus praktis dalam pembelajaran dikelas dalam kolaborasi dengan guru kelas IV SD N citigeu

kelompoktani kelas madya memiliki persentase dari pernyataan keberdayaan yang telah terpenuhi adalah sebesar 100% sehingga bisa dikatakan sudah sangat baik,

Ekstrak kasar enzim lipase kemudian diuji aktivitasnya dengan metode Titrimetri dan diukur kadar proteinnya dengan metode Lowry.. Uji aktivitas enzim lipase metode Titrimetri

Kerjasamanya bisa antar pustakawan maupun dengan sesama perpustakaan.” Lebih lanjut Epstein menyatakan bahwa “ide­ide kreatif tidak muncul begitu saja dari dalam otak kita, melainkan

Ketut Tunas, Msi selaku pembimbing statistik, yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Pendidikan Spesialis