KINERJA PUSAT PELAYANAN TERPADU
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK
(P2TP2A) KOTA DEPOK DALAM PENANGANAN
KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK
TAHUN 2017
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Administrasi Publik pada Konsentrasi Manajemen Publik Program Studi Ilmu Administrasi Publik
Oleh
MEGA OKTAULY MUNTHE NIM: 6661131771
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
ABSTRAK
Mega Oktauly Munthe. NIM. 6661131771. Skripsi. Kinerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017. Pembimbing I: Maulana Yusuf M. Si dan Pembimbing II: Riny Handayani. M. Si
Kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak di setiap daerah terus mengalami peningkatan setiap tahun. Salah satu daerah yang mengalami peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah Kota Depok. Maka dari itu, Kota Depok melalui P2TP2A merupakan wahana pelayanan bagi masyarakat, khususnya perempuan dan anak, dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, termasuk perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan perempuan dan anak harus berperan kuat dalam tugas dan fungsinya untuk melakukan kegiatan preventif, kuratif dan pemberdayaan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Kinerja P2TP2A Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017. Dimensi kinerja yang digunakan dalam penelitian ini ialah dimensi kinerja dari Dwiyanto (2012:50) yaitu Produktivitas, Kualitas Layanan, Responsivitas, Responsibilitas dan Akuntabilitas. Metode penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kinerja P2TP2A Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Anak belum berjalan optimal, dikarenakan terbatasnya sumber daya manusia dan anggaran operasional, sosialisasi yang belum menyeluruh, sarana prasarana yang belum terealisasi serta koordinasi yang belum optimal. Sehingga diperlukan pengrekrutan sumber daya manusia, peningkatan anggaran operasional, penyediaan sarana prasarana serta peningkatan koordinasi dengan instansi terkait.
ABSTRACT
Mega Oktauly Munthe. NIM. 6661131771. Thesis. Performance of Integrated Service Center of Woman and Children (P2TP2A) in Depok City to Handling Cases of Child Sexual Violence 2017. I Advistor Maulana Yusuf, M.Si. The Second Advistor Riny Handayani, M.Si.
Cases of sexual violence against women and children in every regoincontinues to experience increased every year. One of the areas that are experiencing an increase in cases of sexual violence against children is the city of Depok. Thus, the city of Depok through Integrated Services Center of Woman dan Children (P2TP2A) is a vehicle service for people, especially woman and children, in an eforts the information and the needs in the areas of education, health, economic, political, and human right law, including the protection and the response to acts of violence and the trade in women and children should play a role in the tasks and functions to perform preventive, curative and empowerment. The purpose of doing research is to know the performance of the P2TP2A city of Depok in the handling of cases of child sexual violence the year 2017. This study using theory of the performance of Dwiyanto (2012:50) who had dimension such productivity, the quality of services, responsiveness, responsibility, and accountability. Qualitative research method with descriptive data collection techniques through observation, interview and documentation study. The results showed that the performance of the P2TP2A city of Depok in the handling of cases of sexual violence have not run optimally, because of the limited human resources and the operational budget, which has not been thoroughly dissemination, infrastructure that has not been realized and coordination is not optimal. So the necessary recruitment of human resources, an increase in the operational budget, the provision of infrastructure and the improvement of coordination with relevant agencies.
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Yohanes 12:24
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam
tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan
banyak buah.
Kunci dari Pelayanan yang Sejati adalah
Kesetiaan Mutlak dimana saja Allah menempatkanmu –Santapan Harian
i
KATA PENGANTAR
Segala puji, hormat serta syukur tiada hentinya peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan anugerahNya yang selalu dilimpahkan bagi kita semua. Terlebih, peneliti sungguh mengucap syukur karena atas kehendakNyalah skripsi yang berjudul “Kinerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Kota Depok Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017” dapat terselesaikan dengan baik. Ini merupakan salah satu syarat bagi peneliti untuk dapat memperoleh gelar sarjana administrasi publik pada program studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Tersusunnya skripsi ini tentu tidak terlepas dari berbagai pergumulan. Namun, peneliti sungguh bersyukur karena melalui pergumulan tersebut peneliti semakin menikmati dan mengimani kesetiaan Tuhan yang begitu nyata. Dan pada kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus Kristus untuk segala kasih dan anugerahNya yang luar biasa serta kepada keluarga yang peneliti kasihi, yang selalu setia mendukung peneliti di dalam segala hal. Serta kepada pihak-pihak yang Tuhan hadirkan, yang membantu peneliti dengan memberikan arahan, bantuan, dan kritikan yaitu:
1. Yth. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Yth. Dr. Agus Sjafari, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Yth. Rahmawati, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Yth. Iman Mukhroman, S.Sos., M.Si., Wakin Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
ii
6. Yth. Listyaningsih, S.Sos., M.Si., Ketua Jurusan Program Studi Administrasi Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
7. Yth. Dr. Arenawati, M.Si, Sekretaris Jurusan Program Studi Administrasi Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
8. Yth. Maulana Yusuf M,Si., selaku Pembimbing I dan juga merupakan Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan bimbingan serta arahan yang baik kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini..
9. Yth. Riny Handayani M.Si, selaku Pembimbing II yang senantiasa memberikan bimbingan, masukan serta arahan yang baik kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini.
10.Semua Dosen dan Staf Pogram Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat selama perkuliahan.
11.Seluruh Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok yang telah berkenan memberikan data serta informasi untuk penyusunan penelitian ini.
12.Seluruh informan instansi terkait sepert, Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok, Unit PPA Polresta Kota Depok, Dinas Sosial Kota Depok, Dinas Kesehatan Kota Depok, dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah berkenan memberikan data serta informasi penyusunan penelitian ini.
13.Ibu I yang telah terbuka dan berkenan menceritakan kasus yang dialami putrinya sebagai data serta informasi untuk penyusunan penelitian ini. 14.Kak Lena nan jauh disana, yang juga selalu mendoakan dan memberi
penguatan disaat aku mulai lemah.
15.Mega dan Meri si bukan wanita biasa, yang selalu mendukung dan memberikan doa serta nubuat-nubuat yang menguatkan.
iii
17.Kelompok Tumbuh Bersama Wanita Sok Kuat bersama BF dan keluarga, terimakasih telah menjadi kelompok bertumbuh (pra alumni), tempat berbagi keluh kesah dalam pengerjaan skripsi, tempat saling menguatkan dalam firman dan selalu setia saling mendoakan.
18.PMK di Untirta, baik pengurus-pengurus dan semua anggota. Terimakasih telah menjadi bagian hidupku dan selalu mendukung kami para kakak dan abang yang sedang mengerjakan tugas akhir dalam setiap jam-jam doa kalian. Kiranya kami bisa menjadi alumni yang takut akan Tuhan, berintegritas dan misioner.
19.Dede, Lisma, Ena, Wina, Syifa. Sahabat selama masa-masa menempuh pendidikan. Terimakasih untuk saling menyemangati dan mendoakan serta berbagi keluh kesah dalam menempuh pendidikan bersama.
20.Teman Kostan P2 yaitu Tati, Nana, Meri, Fatiah dan Syifa yang juga menjadi bagian hidup yang tak terlupakan namun juga terkadang memusingkan.
21.Seluruh angkatan Administrasi Publik 2013, yang menjadi rekan selama masa-masa perkuliahan. Semoga kita dapat mengaplikasikan keilmuan kita untuk membangun negara ini menjadi lebih baik kedepannya.
22.Orang-orang yang istimewa, yang selalu mendukung peneliti dalam doa-doa, support, dan perbuatannya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terimakasih untuk semua dukungan dan konstribusi dari kalian.
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam penyusunan skripsi ini dikarenakan keterbatasan diri peneliti. Maka dari itu, peneliti sangat terbuka untuk setiap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan peneliti dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Serang, Maret 2018
iv DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 13
1.3 Batasan Masalah ... 13
1.4 Rumusan Masalah ... 13
1.5 Tujuan Penelitian ... 14
1.6 Manfaat Penelitian ... 14
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1 Landasan Teori ... 16
2.1.1 Konsep Organisai ... 16
v
2.1.2 Kinerja Organisasi ... 18
2.1.3 Indikator Kinerja ... 20
2.1.4 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja ... 27
2.1.5 Konsep Pelayanan ... 28
2.1.6 Standar Pelayanan ... 30
2.1.7 Konsep Kekerasan ... 32
2.1.8 Konsep Anak ... 33
2.1.9 Kekerasan Terhadap Anak ... 33
2.1.10 Pelecehan Seksual Terhadap Anak ... 36
2.2 Penelitian Terdahulu ... 38
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 40
2.4 Asumsi Dasar ... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 43
3.2 Fokus Penelitian ... 44
3.3 Lokasi Penelitian ... 45
3.4 Variabel Penelitian ... 45
3.5 Instrumen Penelitian ... 48
3.6 Informan Penelitian ... 50
vi
3.7.1 Teknik Pengumpulan Data ... 52
3.7.2 Teknik Analisis Data ... 57
3.8 Uji Keabsahan Data ... 60
3.8.1 Triangulasi Data ... 61
3.8.2 Member Check ... 62
3.8 Jadwal Penelitian ... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 64
4.2 Deskripsi Data ... 66
BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 121
5.2 Saran ... 122
DAFTAR PUSTAKA
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1Data Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan
Anak Tahun 2011-2016... 3
1.2Rincian Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum ... 4
1.3Rekapitulasi Data Kasus yang Ditangani P2TP2A Kota Depok... 8
3.1 Informan Penelitian... ... 51
3.2 Pedoman Wawancara ... 53
3.3 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 63
4.1 Daftar Informan ... 76
4.2 Data Fasilitas P2TP2A Kota Depok ... 92
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 41
3.1 Proses Analisis Data ... 58
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sejatinya, anak merupakan aset yang paling berharga bagi suatu bangsa.
Anak merupakan generasi penerus yang tentunya akan menjadi investasi jangka
panjang bagi pembangunan nasional. Sudah selayaknya, negara memberikan
perhatian dan perlindungan khusus bagi generasi yang kelak akan
memperjuangkan tujuan serta cita-cita dari bangsa ini. Meresponi hal tersebut,
dewasa ini hampir sebagian besar negara di dunia telah mendeglarasikan kebijakan–kebijakan serta program–program yang mengarah pada perlindungan
dan hak–hak anak. Adanya Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Sidang Umum
PBB pada tahun 1989 yang menghasilkan 54 pasal, merupakan suatu bukti
perhatian dunia terhadap isu yang berkaitan dengan anak. Ini merupakan langkah
awal yang akan membuka mata dunia tentang pentingnya perlindungan anak dan hak–haknya.
Berbicara mengenai perlindungan dan hak anak, bangsa Indonesia sendiri
sebenarnya telah menaruh perhatian khusus terhadap anak sejak tahun 1945 dalam
Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 28B ayat 2, yang
mengamanatkan bahwa setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Selain itu, pemerintah juga meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui UU No. 10
Tahun 2012, yang mewajibkan negara untuk melindungi anak dari segala bentuk
bantuan dan perlindungan bagi korban kekerasan (Pasal 19). Dan kemudian
menerbitkan UU No. 23 Tahun 2002 yang diubah menjadi UU. No 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa negara menyediakan
pendekatan menyeluruh untuk perlindungan anak yang mengacu pada Konvensi
Hak Anak. (STRANAS PTKA 2016-2020)
Mengacu pada beberapa peraturan perundangan yang telah ditetapkan di
atas, lembaga atau instansi pemerintah yang mengurusi hal ini juga turut
dirancangkan untuk mendukung terimplementasinya undang–undang tentang
perlindungan anak tersebut. Misalnya saja seperti instansi pusat yakni
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia, namun seiring dengan otonomi daerah serta
reformasi pelayanan publik, lembaga–lembaga fungsional juga berdiri pada setiap
daerah kabupaten/kota untuk mengurusi hal anak, yang tentunya dibawahi oleh
kedua lembaga tersebut, dengan harapan bahwa lembaga/instansi pemerintah
turunan yang ada dapat memberikan penanganan yang lebih cepat dan intens jika
kelak berbagai masalah anak terjadi pada daerah yang bersangkutan.
Merujuk pada hal tersebut, dewasa ini sebenarnya fenomena sosial yang
menimpa perempuan dan anak semakin lama semakin memprihatinkan. Setiap
tahunnya berbagai kasus yang menimpa perempuan dan anak terjadi di berbagai
daerah di Indonesia. Terlebih lagi kasus yang menimpa anak. Seperti data yang
dihimpun oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, kasus yang menimpa anak
saja sepanjang tahun 2011-2016 terjadi sebanyak 22.957 kasus yang dibagi ke
Tabel 1.1
Data Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak Tahun 2011-2016
Sumber: Bidang Data Informasi dan Pengaduan 2016, KPAI
Data di atas merupakan hasil rekapitulasi dari data yang masuk ke KPAI
pada periode 1 Januari 2011 – 24 Oktober 2016, berdasarkan sumber data yang
diperoleh dari pengaduan langsung ke KPAI, pemantauan media cetak dan online,
pengaduan online Bank Data Perlindungan Anak serta data lembaga mitra KPAI
se-Indonesia. Data tersebut merupakan data kasus-kasus yang menimpa anak
berdasarkan klaster perlindungan anak, yang dibagi ke dalam 10 jenis klaster
dengan jumlah kasus yang berbeda-beda. Dan diperoleh bahwa ada 2 klaster yang
mengalami peningkatan jumlah pada tahun 2016, yakni klaster Sosial dan Anak
dalam Situasi Darurat sebanyak 211 dari 174 pada tahun 2015 dan klaster Agama
dan Budaya sebanyak 219 dari 180 pada tahun 2015. Meski dapat dikatakan
bahwa 8 klaster lain mengalami penurunan pada tahun 2016, namun dapat dilihat
klaster Keluarga dan Pengasuhan Alternatif yakni sebanyak 4.425 kasus dan
klaster Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dengan jumlah terbanyak yakni
7.967 kasus yang dapat dirincikan sebegai berikut.
Tabel 1.2
Rincian Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Tahun 2011-2016
No Kasus Tahun
2011 2012 2013 2014 2015 2016
ABH sebagai Pelaku
1. Anak sebagai Pelaku Kekerasan Fisik
(Penganiayaan, Pengeroyokan, Perkelahian, dsb)
46 53 76 105 81 89
2. Anak sebagai Pelaku Kekerasan Psikis (Ancaman, Intimidasi, dsb)
15 11 21 27 22 31
3. Anak sebagai Pelaku Kekerasan Seksual
(Pemerkosaan, Pencabulan,Sodomi/Pedofilia, dsb)
10. Anak sebagai Korban Kekerasan Fisik
(Penganiayaan, Pengeroyokan, Perkelahian, dsb)
94 57 215 273 197 112
11. Anak sebagai Korban Kekerasan Psikis (Ancaman, Intimidasi, dsb)
35 16 74 41 58 45
12. Anak sebagai Korban Kekerasan Seksual
(Pemerkosaan, Pencabulan, Sodomi/Pedofilia, dsb)
Sumber: Bidang Data Informasi dan Pengaduan 2016, KPAI
Dan dari hasil perincian data di atas, dapat diketahui bahwa bukan hanya
anak yang ditemukan menjadi korban dari tindak kejahatan namun justru sekarang
ini semakin banyak pula anak ditemukan sebagai pelaku dari tindak kejahatan.
dengan hukum adalah kasus kekerasan seksual, baik itu anak sebagai pelaku
maupun anak sebagai korban. Jumlah anak sebagai pelaku kekerasan seksual pada
kurun waktu tahun 2011-2016 ialah sebesar 1.519 pelaku anak dan jumlah anak
sebagai korban kekerasan seksual pada kurun waktu yang sama ialah sebesar
sebanyak 2.001 korban anak. Hal ini tentu harus menjadi perhatian utama bagi
pemerintah mengingat kasus anak yang semakin tahun semakin banyak terjadi,
apalagi melihat bahwa selisih kasus yang dilakukan anak sebagai pelaku dan anak
sebagai korban tidak terlampau jauh. Belum lagi, ada indikasi bahwa anak yang
menjadi pelaku kekerasan seksual kemungkinan besar merupakan korban dari
kekerasan seksual yang sama sebelumnya membuat kasus ini harus segera diputus
mata rantainya.
Seperti halnya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, sebenarnya
Indonesia sedang mengalami darurat kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan
seksual yang dimaksudkan adalah kasus kekerasan (pelecehan) seksual yang
menimpa anak. Banyaknya kasus kekerasan seksual anak yang akhir-akhir ini
muncul kepermukaan. Misalnya saja kasus JIS, sodomi oleh emon, kasus Yuyun
dan kasus-kasus lainnya yang muncul dalam pemberitaan media massa, memang
menarik perhatian semua elemen masyarakat karena jumlah anak-anak yang
menjadi korban tindak kekerasan tersebut tidaklah sedikit. Bahkan, yang lebih
memprihatinkan, bukan hanya anak yang menjadi korban mengalami trauma berat
akibat kejahatan ini, tak jarang pula untuk menutupi perbuatannya, pelaku
melakukan pembunuhan terhadap korban. Sangat disayangkan, anak yang
perlindungan yang baik dari pemerintah terlebih oleh pihak keluarga serta
masyarakat sosialnya, justru akhir-akhir ini sedikit mengalami pergeseran nilai.
Banyak kasus yang menimpa anak sekarang justru dikarenakan oleh pihak-pihak
terdekat mereka, seperti saudara, tetangga, guru di sekolah, bahkan orangtua
mereka sendiri.
Sebagaimana diketahui, kasus kekerasan seksual terhadap anak ini
memang merupakan fenomena gunung es, dimana sebenarnya kasus yang
terlaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan kasus yang terjadi di lapangan.
Terlebih lagi, lemahnya ketahanan dan pengawasan keluarga serta mudahnya
mengakses internet dengan situs-situs yang berkonten negatif, membuat kasus ini
setiap tahunnya semakin meningkat di setiap daerah. Namun, permasalahan yang
dimaksud, bukan hanya semata-mata pada jumlah kasus yang meningkat saja
tetapi lebih menyoroti tentang bagaimana daya tanggap pemerintah terkait
pencegahan, penanganan dan perlindungan terhadap anak yang semestinya lebih
dioptimalkan lagi.
Salah satu upaya yang diberikan pemerintah melalui Peraturan Menteri
Negara Penberdayaan Perempuan Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pasal 1 angka 10 adalah dengan
membentuk suatu pusat pelayanan bagi perempuan dan anak yang dikenal dengan
istilah P2TP2A. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) merupakan wahana pelayanan bagi masyarakat, khususnya perempuan
dan anak, dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang
perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan perempuan
dan anak. Dalam upaya mendukung dan memperkuat perlindungan terhadap
perempuan dan anak, P2TP2A ini akan berada pada tingkat provinsi, kabupaten
serta kota di setiap daerah yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang
prima dan lebih intens bagi masyarakat, terkhususnya dalam pelaksanaan tugas
pokok dan fungsinya yakni pencegahan, penanganan dan pemberdayaan.
Melihat hal ini, pemerintah Kota Depok melalui Peraturan Walikota
Depok No. 37 Tahun 2013 mendukung pembentukan P2TP2A di Kota Depok,
guna memberikan pelayanan dan perlindungan yang lebih intensif bagi
perempuan dan anak yang mengalami tindak kekerasan dan perlakuan yang salah
di Kota Depok. Mengingat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini, kasus
kekerasan pada anak dan perempuan di kota Depok mengalami peningkatkan
yang cukup signifikan. Bahkan, berdasarkan data yang dihimpun oleh Komisi
Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dari berbagai lembaga perlindungan
anak, perwakilan dari beberapa provinsi, Kota Depok menempati urutan kedua
sebagai kota terbanyak kasus kekerasan seksual anak untuk wilayah Jabodetabek.
Hal ini seperti yang terlansir pada berita harian depok, bahwa sebelumnya kota
Depok dalam persentase masalah kekerasan seksual anak hanya berkisar pada 22
% namun kini meningkat menjadi 38 %. Peningkatan ini menyebabkan Kota
Depok menempati urutan kedua kasus kekerasan seksual terhadap anak yang
tertinggi se-Jabodetabek menggeser Kota Bekasi. (sumber: www.depoktwiit.com)
Berkaitan dengan tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kota
Depok haruslah menempatkan masalah kekerasan seksual anak ini pada urutan
yang utama untuk penanganan segera, mengingat pencapaian peningkatan
kategori Kota Layak Anak yang telah disandang Kota Depok selama 3 tahun
terakhir ini, haruslah diiringi dengan penurunan masalah sosial terhadap anak,
bukan malah sebaliknya. Dan, pemerintah Kota Depok diharapkan dapat semakin
meningkatkan komitmennya untuk memaksimalkan pemberian hak dan
perlindungan bagi anak, yang dapat dilakukan dengan mengoptimalkan setiap
elemen pemerintah, dunia usaha serta masyarakat. Salah satunya melalui lembaga
P2TP2A Kota Depok.
P2TP2A Kota Depok, yang dibentuk oleh pemerintah Kota Depok dan
dibawahi oleh Dinas Perlindungan Anak, Pemberdayaan Masyarakat dan
Keluarga tentu diharapkan dapat semakin aktif dalam memberikan pelayanan bagi
masyarakat mengingat kasus anak dan perempuan di Kota Depok semakin lama
semakin meningkat. Seperti halnya dalam data berikut, data kasus yang ditangani
oleh P2TP2A Kota Depok. Berikut peneliti sajikan data bentuk kekerasan
terhadap anak dan perempuan di Kota Depok.
Tabel 1.3
Rekapitulasi Data Kasus yang Ditangani P2TP2A Kota Depok Tahun 2014-2017
Jenis Kasus Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017
Kekerasan Fisik 1 Kasus 1 Kasus 4 Kasus 3 Kasus
Dari data di atas dapat dilihat bahwa kasus-kasus yang ditangani oleh
P2TP2A Kota Depok semakin tahun semakin meningkat. Di tahun 2017 saja, ada
sebanyak 60 kasus yang menimpa anak dengan latar belakang usia yang
berbeda-beda. Usia anak yang paling banyak mengalami kekerasan adalah anak usia SD
yakni sebanyak 33 orang. Lalu kemudian usia SMP sebanyak 10 orang, SMA
sebanyak 9 orang dan tidak sekolah sebanyak 8 orang. Belum lagi, dari jumlah
kasus tersebut kasus yang paling tinggi adalah kasus kekerasan seksual yakni
sebanyak 43 kasus.
Dominannya kasus tersebut, tentulah memerlukan
penanganan-penanganan psikis yang ekstra, baik kasus yang menimpa perempuan terlebih lagi
bagi kasus yang menimpa anak guna memulihkan setiap trauma-trauma berat
yang dirasakan, apalagi jika kasus tersebut sampai dibawa ke dalam ranah hukum.
Anak, yang masa depannya masih sangat panjang, yang kelak akan menjadi
generasi penerus bagi bangsa haruslah diperhatikan, apalagi jika melihat
kasus-kasus diatas pastilah anak yang menjadi korban diliputi trauma-trauma yang akan
menghambat pertumbuhannya, baik dalam kondisi kepercayaan dirinya,
pendidikannya juga lingkungan sosialnya. Inilah alasan mengapa pemerintah
melalui lembaga P2TP2A berperan penting bagi pencegahan, penanganan dan
pemberdayaan terhadap kasus perempuan dan anak.
Melihat kondisi tersebut, Kota Depok yang merupakan kota metropolitan,
yang tergabung dalam Jabodetabek, tentu akan sangat rawan terhadap kasus-kasus
demikian. Maka dari itu, kerja keras pemerintah untuk meningkatkan pelayanan
pemerintah dalam hal pencegahan, penanganan serta pemberdayaan sangatlah
diperlukan. Maka dari itu, pemerintah Kota Depok melalui Dinas Perlindungan
Anak dan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga serta Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak harus meningkatkan kinerja yang lebih
dalam rangka memberikan pelayanan yang prima bagi masyarakat. Keseriusan
dan komitmen pemerintah sangat dibutuhkan dalam mengelola dan
memaksimalkan P2TP2A sebagai wadah penyelenggarakan pelayanan terpadu,
yang nantinya akan memberikan pelayanan pengaduan dan pendampingan,
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial, bantuan hukum, serta
pemberdayaan bagi korban kasus kekerasan, baik perempuan maupun anak-anak.
P2TP2A dalam melaksanakan setiap tugas dan fungsinya diharapkan juga lebih
intensif dalam melakukan koordinasi dengan setiap organisasi-organisasi
perangkat daerah yang terkait, guna memberikan pelayanan bagi masyarakat
terlebih bagi korban kekerasan.
Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti yang melakukan observasi serta
wawancara awal dengan ketua P2TP2A, menemukan beberapa masalah yang saat
ini cukup menghambat P2TP2A dalam memaksimalkan pelayanan yang
diberikan. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya ialah Pertama,
berkaitan dengan Produktivitas. Produktivitas P2TP2A dirasa belum optimal
dikarenakan tenaga relawan/pengurus dari P2TP2A masih terbatas, baik dari sisi
jumlah maupun kapasitas masing-masing relawan/pengurus yang ada saat ini. Hal
ini berdampak pada jumlah kasus yang ditangani dan waktu untuk penanganan
Kedua, kualitas layanan dari P2TP2A juga masih belum baik. Hal ini
dilihat dari masih kurang eksisnya lembaga P2TP2A di masyarakat. Masih banyak
masyarakat yang belum tau tentang adanya lembaga P2TP2A, tugas serta
fungsinya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bu Resya selaku Ketua P2TP2A
bahwa saat ini, P2TP2A masih harus lebih meningkatkan eksistensinya supaya
semakin dikenal oleh masyarakat. Pernyataan tersebut juga didukung oleh seorang
ibu DA dari kecamatan Pancoran Mas, yang sudah mendapatkan sosialisasi dari
pemerintah terkait kekerasan seksual anak, namun mengatakan bahwa ia tidak
mengetahui adanya lembaga P2TP2A. (wawancara tanggal 16 Agustus 2017)
Selain itu, terkait fasilitas utama P2TP2A yakni kantor kesekretariatan.
Kurang lebih 4 tahun semenjak pembentukan, P2TP2A belum memiliki kantor
kesekretariatan yang tetap. Bahkan untuk tahun 2017 ini, P2TP2A tidak
memperpanjang kantor kesekretariatan tahun lalu. Hal ini dikarenakan tidak
adanya anggaran untuk penyewaan kesekretariatan. Sebagaimana diketahui,
adanya kantor yang tetap akan sangat menunjang kinerja dari P2TP2A sendiri
mengingat semua aktivitas pelayan dilakukan di kantor, mulai dari pengaduan
korban dengan ruangan khusus penerimaan pengaduan klien, ruang konsul sampai
pada penanganan kasus. Adanya kantor yang tetap dengan letak yang strategis
akan sangat mempermudah korban/klien, instansi terkait, serta masyarakat untuk
menemukan lembaga P2TP2A.
Ketiga, masih kurang responsifnya P2TP2A dalam memenuhi kebutuhan
klien/korban masih adanya klien/korban yang kurang puas dengan pelayanan yang
Dan belum adanya kesepakatan alur rujukan antara P2TP2A dan Unit PPA
Polresta Kota Depok. koordinasi berbagai sektor/instansi yang masih kurang.
Koordinasi P2TP2A dengan instansi-instansi seperti DPAPMK, DINSOS,
DINKES, POLRES, serta LSM dan lembaga-lembaga lainya masih perlu
dioptimalkan, terlebih dalam rapat-rapat untuk membahas kasus dan program.
Saat ini, belum ada jadwal rapat yang rutin yang dilakukan P2TP2A dengan
instansi terkait, hanya jika ada masalah yang urgent saja. Disamping itu, P2TP2A
masih kurang menjalin koordinasi dengan LSM seperti LPA dan LBH serta
RSUD dan rumah sakit swasta terdekat untuk penyediaan visum bagi
klien/korban.
Dan yang keempat, Akuntabilitas dari P2TP2A terkait pelaporan kasus
masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari sistem pelaporan yang belum detail (tidak
lengkap) serta belum tepat waktu sesuai tanggal yang ditetapkan. Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dipaparkan penulis di atas, penulis tertarik
untuk mengkaji lebih dalam tentang kinerja pelayanan P2TP2A dalam
mengoptimalkan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Untuk itu, penulis memberikan judul penelitian ini ialah “Kinerja Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dalam Penanganan
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti dapat mengidentifikasi permasalahan yang terkait dengan “Kinerja Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017”. Identifikasi
masalah penelitian ini ialah:
1. Minimnya tenaga relawan/pengurus yang dimiliki oleh P2TP2A dan
kapasitas waktu dari pengurus yang ada saat ini.
2. Kurangnya sosialisasi kelembagaan P2TP2A serta masih adanya sarana
dan prasarana yang belum terpenuhi seperti kantor kesekretariatan.
3. Kurang responsifnya P2TP2A dalam memenuhi kebutuhan korban/klien
serta koordinasi dengan instansi terkait terlebih LSM, RSUD serta rumah
sakit swasta terdekat masih belum optimal. Belum adanya rapat-rapat rutin
untuk membahas kasus dan program.
4. Sistem pelaporan kasus yang dilakukan oleh P2TP2A masih belum tepat
waktu dan belum lengkap.
1.3 Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, peneliti akan
membatasi ruang lingkup penelitian yang berkaitan dengan Kinerja Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok
Sedangkan untuk rumusan masalah dari penelitian ini ialah Bagaimana
Kinerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
Kota Depok dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun
2017?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari dilakukannya penelitian
ini ialah untuk mengetahui bagaimana Kinerja Pusat Pelayanan Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Depok dalam
Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tahun 2017.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat dari dilakukannya penelitian ini ialah untuk:
1. Meningkatkan dan memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang sosial
yang akan memberikan konstribusi pemikiran bagi pengembangan
ilmu administrasi negara, khususnya pada ilmu yang berkaitan dengan
organisasi, kinerja, serta pelayanan bagi masyarakat terkhususnya di
bidang perempuan dan anak.
2. Meningkatkan dan memperdalam pemahaman peneliti maupun
mahasiswa lain serta dapat menjadi bahan pedoman bagi penelitian
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini juga memiliki manfaat yakni:
1. Bagi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) Kota Depok
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan konstribusi saran atau
masukan yang tepat dan konkrit untuk pengambilan keputusan serta
langkah ke depan guna mengoptimalkan kinerja pelayanan dalam
penganganan kasus kekerasan seksual terhadap anak.
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat
luas tentang kasus kekerasan seksual anak, pentingnya perlindungan bagi
anak serta pentingnya koordinasi antara masyarakat dengan instansi
pemerintah guna pengendalian peningkatan kasus kekerasan seksual
terhadap anak.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
peneliti untuk menyandang gelar strata satu (S1). Selain itu, dari
penelitian ini peneliti juga diberikan kesempatan untuk mengaplikasikan
ilmu yang diperoleh selama perkuliahan untuk mengatasi permasalahan
16 BAB II
KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN
2.1 Landasan Teori
Merupakan hasil kajian dari berbagai teori dan konsep yang relevan
dengan permasalahan dan variabel penelitian, yang kemudian disusun secara
teratur dan rapi untuk merumuskan hipotesis. Dalam bab ini, peneliti akan
menjelaskan beberapa teori dan bahan pustaka yang digunakan untuk mengkaji
permasalahan penelitian yaitu sebagai berikut.
2.1.1 Konsep Organisasi
Organisasi merupakan elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Organisasi biasanya dibuat dan dibentuk untuk mencapai tujuan serta kepentingan
bersama. Seperti yang dikemukakan oleh Moeheriono (2012:3) bahwa organisasi
adalah jaringan tata kerja dari sekelompok orang secara teratur dan kontinu untuk
mencapai tujuan bersama, antara atasan dan bawahan.
Thoha (2014:4) mengungkapkan bahwa organisasi adalah kesatuan (entity)
sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif
dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk
mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Oleh karena itu,
diseimbangkan dan diselaraskan untuk meminimalkan keberlebihan namun juga
memastikan bahwa tugas-tugas kritis telah diselesaikan.
Disisi lain Wursanto (2005:42) mengatakan bahwa organisasi dipandang
sebagai jaringan dari hubungan kerja yang bersifat formal seperti yang tergambar
dalam suatu bagan dengan mempergunakan kotak-kotak yang beraneka ragam.
Kotak-kotak tersebut memberikan gambaran-gambaran tentang kedudukan atau
jabatan yang harus diisi oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sesuai
dengan fungsi masing-masing. Organisasi juga dipandang sebagai saluran hirarki
kedudukan atau jabatan yang ada menggambarkan secara jelas tentang garis
wewenang, garis komando, dan garis tanggungjawab. Sedangkan Mahsun
(2006:1) menjelaskan bahwa organisasi sering dipahami sebagai kelompok orang
yang berkumpul dan bekerja sama dengan cara yang terstruktur untuk mencapai
tujuan atau sejumlah sasaran yang telah ditetapkan bersama.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
organisasi merupakan suatu elemen sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih,
yang akan melaksanakan fungsinya dengan berbagai kegiatan untuk mencapai
tujuan bersama. Di dalam suatu organisasi, tentunya harus didukung dengan
sistem kerja yang baik, baik antar individu, antar divisi atau bagian maupun antar
organisasi yang satu dengan yang lainnya demi terealisasinya setiap tujuan yang
2.1.2 Kinerja Organisasi
Kata kinerja adalah terjemahan dari kata performance, yang berarti
prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil kerja, unjuk kerja atau
penampilan kerja. Fahmi (2011:2) berpendapat bahwa kinerja adalah hasil yang
diperoleh dari suatu organisasi baik organisasi tersebut bersifat profit oriented dan
non profit oriented yang dihasilkan selama satu periode waktu.
Sedangkan Mangkunegara (2009:67) berpendapat bahwa kinerja adalah
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Pendapat ini menunjukkan bahwa kinerja itu merupakan hasil dari pekerjaan.
Hasil pekerjaan itu dapat dilihat dari aspek mutu.
Hasibuan (2011) mengemukakan bahwa kinerja merupakan suatu hasil
kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta
waktu. Di sisi lain, Bernardian dan Russel dalam Serdamayanti (2010:260)
mendefinisikan kinerja sebagai catatan mengenai outcome yang dihasilkan dari
suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu tertentu pula. Kinerja juga merupakan
perbuatan, pelaksanaan pekerjaan, prestasi kerja, dan pelaksanaan pekerjaan yang
berdaya guna.
Secara lebih tegas Armstrong dan Baron dalam Fahmi (2011:2)
mengatakan kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat
konstribusi ekonomi. Dan lebih jauh, Indra Bastian dalam Fahmi (2011:2)
menyatakan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijaksanaan dalam mewujudkan
sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema
strategis (strategic planning) suatu organisasi.
Chaizi Nasucha dalam Fahmi (2011:3) mengemukakan bahwa kinerja
organisasi adalah sebagai efektivitas organisasi secara menyeluruh untuk
memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan
dengan usaha-usaha yang sistemik dan meningkatkan kemampuan organisasi
secara terus menerus untuk mencapai kebutuhannya secara efektif. Sedangkan
Moeheriono (2012) mengungkapkan bahwa kinerja atau disebut performance
dapat didefinisikan sebagai pencapaian hasil atau the degree of accomplishment,
atau prestasi kerja atau kinerja.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
kinerja adalah kemampuan organisasi, baik secara individu maupun organisasi
secara keseluruhan, untuk mencapai hasil kerja yang maksimal dalam
mengerjakan semua proses kegiatan organisasi. Kinerja akan menggambarkan
sejauh mana keefektifan dan keefisienan organisasi dalam memberdayakan semua
komponen yang dimilikinya demi mencapai setiap tujuan serta sasaran dari
2.1.3 Indikator Kinerja
Untuk menilai sejauh mana suatu organisasi telah menjalankan tugas dan
fungsinya secara efektif dan efisien, tentu diperlukan dimensi atau indikator
pencapaian suatu kinerja. Penilaian kinerja adalah suatu penilaian yang dilakukan
kepada pihak manajemen perusahaan baik para karyawan maupun manajer yang
selama ini telah melakukan pekerjaannya. Dalam pemerintahan, penilaian kinerja
sangat berguna untuk menilai kualitas, kuantitas dan efisiensi pelayanan dan
memotivasi birokrat pelaksana untuk melakukan pekerjaan lebih baik lagi.
(Moeheriono, 2012:162)
Robert L. Mathis & John H. Jacsonn dalam Fahmi (2011:65) mengatakan
penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi seberapa baik karyawan
mengerjakan pekerjaan mereka ketika dibandingan dengan satu set standar, dan
kemudian mengkomunikasikan informasi tersebut. Penilaian tersebut nantinya
akan menjadi bahan masukan yang berarti dalam menilai kinerja yang dilakukan
dan selanjutnya dapat dilakukan perbaikan, atau yang biasa disebut perbaikan
yang berkelanjutan.
Mahsun (2006:7) mendefinisikan indikator kinerja yakni mengacu pada
penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya
merupakan indikasi-indikasi kerja. Indikator kinerja juga merupakan sekumpulan
indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kerja kunci, baik yang bersifat
financial maupun non-financial untuk melaksanakan operasi dan kinerja unit
kinerja merupakan suatu variabel yang digunakan untuk mengekspresikan secara
kuantitatif efektivitas dan efisiensi proses atau operasi dengan berpedoman pada
target-target dan tujuan organisasi.
Disisi lain, Serdamayanti dalam bukunya Manajemen Sumber Daya
Manusia (2010:198) mengungkapkan bahwa indikator kinerja adalah ukuran
kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja merupakan sesuatu
yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau
melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun
setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Indikator kinerja digunakan untuk
meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari organisasi/unit kerja bersangkutan
menunjukkan kemampuan dalam rangka dan/atau menuju tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan.
Berkaitan dengan penilaian kinerja, sebenarnya telah banyak organisasi
memberikan pengertian penilaian atau indikator kinerja atau bermacam-macam
seperti:
1. Indikator kinerja sebagai nilai atau karakteristik tertentu yang
dipergunakan untuk mengukur output atau outcome suatu kegiatan.
2. Sebagai alat ukur yang dipergunakan untuk menentukan derajat
keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya.
3. Sebagai ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat
4. Suatu informasi operasional yang berupa indikasi mengenai kinerja atau
kondisi suatu fasilitas atau kelompok fasilitas. (Moeheriono, 2012:32)
Moeheriono dalam bukunya Indikator Kinerja Utama mengemukakan
bahwa indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung
yaitu, hal-hal yang bersifat hanya merupakan indikasi kinerja saja, sehingga
bentuknya cenderung kualitatif atau tidak dapat dihitung (peningkatan, ketepatan,
perputaran, tingkat, efektivitas dan lain-lain).
Menurut Palmer (1995) dalam Mahsun (2006:74), suatu indikator yang
baik dan ideal seharusnya mencakup beberapa persyaratan-persyaratan di bawah
ini, yakni:
1. Consistency. Berbagai definisi yang digunakan untuk merumuskan indikator kinerja harus konsisten, baik antara periode waktu maupun antar unit-unit organisasi.
2. Comparability. Indikator kinerja harus mempunyai daya banding secara layak.
3. Clarity. Indikator kinerja harus sederhana, didefinisikan secara jelas dan mudah dipahami.
4. Controllability. Pengukuran kinerja terhadap seorang manajer publik harus berdasarkan pada area yang dapat dikendalikan.
5. Contigency. Perumusan indikator kinerja bukan variabel yang independen dari lingkungan internal dan eksternal.
6. Comprehensiveness. Indikator kinerja harus merefleksikan semua aspek berlaku yang cukup penting untuk pembuat keputusan manajerial.
7. Boundedness. Indikator kinerja harus difokuskan pada faktor-faktor utama yang merupakan keberhasilan organisasi.
8. Relevance. Berbagai penerapan membutuhkan indikator spesifik sehingga relevan untuk kondisi dan kebutuhan tertentu.
Sedangkan Serdamayanti (2010:198) merumuskan bahwa syarat indikator
kinerja yang baik ialah meliputi aspek-aspek di bawah ini, yakni:
a. Spesifik dan jelas, sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.
b. Dapat diukur secara objektif, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualiatif yaitu: dua atau lebih yang mengukur indikator kinerja mempunyai kesimpulan sama.
c. Relevan, harus melalui aspek obyektif yang relevan.
d. Dapat dicapai, penting, dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan input, output, hasil, manfaat, dan dampak serta proses.
e. Harus fleksibel dan sensitif terhadap perubahan/penyesuaian, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan.
f. Efektif, data/informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang tersedia.
Ada beberapa indikator pengukuran kinerja yang umum telah dikenal,
yakni ukuran kualitatif dan kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan
elemen-elemen sebagai berikut :
1. Indikator masukan (inputs), yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar
organisasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa yang
meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya.
2. Indikator keluaran (outputs), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung
dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau pun non fisik.
3. Indikator hasil (outcomes), yaitu segala sesuatu yang mencerminkan
4. Indikator manfaat (benefit), yaitu sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir
dari pelaksanaan kegiatan.
5. Indikator dampak (impact), yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik positif
maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang
telah ditetapkan.
Sedangkan Mangkunegara (2009:67) merumuskan bahwa indikator kinerja
ialah meliputi:
1. Kualitas Kerja
Menunjukkan kerapihan, ketelitian, keterkaitan hasil kerja dengan tidak
mengabaikan volume pekerjaan. Adanya kualitas kerja yang baik dapat
menghindari tingkat kesalahan, dalam penyelesaian suatu pekerjaan yang
dapat bermanfaat bagi kemajuan perusahaan.
2. Kuantitas kerja
Menunjukkan banyaknya jumlah jenis pekerjaaan yang dilakukan dalam
suatu waktu sehingga efisiensi dan efektifitas dapat terlaksana sesuai
dengan tujuan perusahaan.
3. Tanggungjawab
Menunjukkan seberapa besar karyawan dalam menerima dan
melaksanakan pekerjaannya, mempertanggungjawabkan hasil kerja serta
4. Kerjasama
Kesediaan karyawan untuk berprestasi dengan karyawan yang lain secara
vertikal dan horizontal baik di dalam maupun di luar pekerjaan.
5. Inisiatif
Adanya inisiatif dari dalam diri anggota organisasi untuk melakukan
pekerjaan serta mengatasi masalah dalam pekerjaan tanpa menunggu
perintah.
Adapun Moeheriono (2012:162) menyebutkan tiga konsep yang dapat
digunakan untuk mengukur kinerja organisasi publik, yakni:
1. Responsivitas (responsiveness), yaitu menggambarkan kemampuan
organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya adalah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
2. Responsibilitas (responsibility), yaitu pelaksanaan kegiatan organisasi
publik dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar
atau sesuai dengan kebijakan secara implisit maupun eksplisit.
3. Akuntabilitas (accountability), yaitu menunjuk pada seberapa besar
kebijakan dan kegiatan organisasi publik yang diharapkan dari
masyarakat, bisa berupa penilaian dari wakil rakyat, pejabat dan
masyarakat.
Disisi lain, Agus Dwiyanto (2012;50) dalam bukunya mengenai Reformasi
diukur dengan indikator yakni produktivitas, kualitas layanan, responsivitas,
responsibilitas dan akuntabilitas. Penjelasan dari indikator-indikator tersebut
ialah:
1. Produktivitas
Konsep produktifitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektifitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai
resiko antara input dengan output.
2. Kualitas layanan
Kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan
kinerja organisasi pelayanan publik. Kepuasan masyarakat bisa menjadi
parameter untuk menilai kinerja organisasi publik. Keuntungan utama
menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah
informasi mengenai kepuasan masyarakat sering kali tersedia secara
mudah dan murah yang dapat diperoleh dari media massa dan diskusi
publik.
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimaksudkan sebagai
salah satu indikator kinerja organisasi publik karena responsivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam
masyarakat. Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik
karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan serta mengembangkan program-program pelayan publik sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
4. Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi
publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang
benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit
maupun implisit.
5. Akuntabilitas
Akuntabilitas publik menunjukkan seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh
rakyat, asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut dengan
sendirinya akan selalu mempresentasikan kepentingan rakyat.
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja merupakan suatu konstruk multidimensional yang mencakup
banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
adalah :
2. Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader; 3. Faktor tim, meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh
rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim;
4. Faktor sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi;
5. Faktor konstekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal. (Mahmudi, 2013:20)
2.1.5 Konsep Pelayanan
Berkaitan dengan pelayanan, ada dua istilah yang perlu diketahui yaitu
definisi melayani dan pelayanan. Definisi melayani ialah membantu menyiapkan
(mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Sedangkan pengertian pelayanan
dalam KBBI adalah usaha melayani kebutuhan orang lain (Modul LAN, 2014).
Pelayanan dapat diartikan sebagai suatu proses atau tindakan yang dilakukan oleh
pemberi layanan (baik individu maupun organisasi) kepada penggna layanan
untuk memberikan kepuasan sesuai yang diharapkan.
Gronroos dalam Raminto dan Atik (2005:2) memaparkan bahwa
pelayanan merupakan suatu atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat
mata (tidak dapat diraba) yang terjadi akibat adanya interaksi antara konsumen
dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi
pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen atau
pelanggan. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi
fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Definisi lain disampaikan Moenir
(2008:16) yakni pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas
orang lain yang langsung diterima. Dengan kata lain bahwa pelayanan merupakan
tindakan yang dilakukan orang lain agar masing-masing memperoleh keuntungan
yang diharapkan dan mendapat kepuasan.
Berbicara mengenai pelayanan, kepuasan para konsumen merupakan
tujuan utama yang harus diberikan oleh para pemberi layanan. Dalam organisasi
sektor publik, kepuasan masyarakat adalah tonggak ukur keberhasilan pemerintah.
Pemerintah dapat dikatakan berhasil jika setiap kebutuhan atau kepentingan
masyarakat dapat terakomodir dengan baik melalui pelayanan yang prima.
Berkaitan dengan hal tersebut, Moenir (2008:26-27) mendefinisikan pelayanan
publik sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
dengan landasan faktor materiil melalui sistem, prosedur, dan metode tertentu
delam rangka memenuhi kepentingan orang lain sesuai haknya.
Disisi lain Norman dalam Modul LAN (2014) mencoba memaparkan
mengenai karakteristik pelayanan, diantaranya ialah:
1. Pelayanan bersifat tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan sifatnya dengan barang jadi.
2. Pelayanan itu kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindakan sosial.
Sedangkan dalam Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 memberikan pengertian
pelayanan publik atau pelayanan umum yaitu segala bentuk pelayanan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan
Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang
dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaaan peraturan perundang-undangan. (Raminto dan
Atik, 2005:4-5)
2.1.6 Standar Pelayanan
Untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan, setiap organisasi haruslah
memiliki standar yang akan menjadi acuan atau indikator untuk dapat menilai
sejauh mana pelayanan itu telah diberikan. Standar pelayanan sangatlah penting
untuk menunjang pelayanan prima yang akan diberikan setiap organisasi.
“Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai
pembakuan pelayanan yang baik. Dalam standar pelayanan ini juga terdapat baku mutu pelayanan”. (Modul LAN)
Pelayanan prima memang diharapkan dapat terwujud dengan baik oleh
semua pihak. Pelayanan yang bersifat prima harusnya mampu memberikan
kepuasan maksimal kepada pelanggan, yakni dengan mencapai setiap standar
dalamnya harus bekerja secara optimal sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing-masing. Karena hal ini akan berkaitan dengan kinerja yang dihasilkan.
Dalam Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, tertulis bahwa standar pelayanan
sekurang-kurangnya ialah,
1. Prosedur pelayanan, prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.
2. Waktu pelayanan, waktu pelayanan yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan. 3. Biaya pelayanan, biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang
ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.
4. Produk pelayanan, hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah diharapkan.
5. Sarana dan prasarana, penyedia sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh pengelenggara pelayanan publik.
6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan, kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik, standar pelayanan yang dijelaskan ialah,
1. Penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan.
2. Dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait.
4. Penyusunan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dilakukan dengan pedoman tertentu yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Komponen standar pelayanan, sekurang-kurangnya meliputi,
1. Dasar hukum; 2. Persyaratan;
3. Sistem, mekanisme dan prosedur; 4. Jangka waktu penyelesaian; 5. Biaya/tarif;
6. Produk pelayanan;
7. Sarana, prasarana dan/atau fasilitas; 8. Kompetensi pelaksana;
9. Pengawasan internal;
10.Penanganan pengaduan, saran dan masukan; 11.Jumlah pelaksana;
12.Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya dan resiko keragu-raguan; dan
13.Evaluasi kinerja pelaksana.
2.1.7 Konsep Kekerasan
Dalam PERMEN PPPA No. 01 Tahun 2010 pasal 1 ayat 2, kekerasan
adalah setiap perbuatan secara melawan hukum dengan dan atau tanpa
menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi
nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
Sedangkan WHO mengemukakan kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik
dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok atau masyarakat yang kemungkinan besar mengakibatkan memar,
trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan
2.1.8 Konsep Anak
Secara umum, definisi anak ialah sekumpulan manusia, baik laki-laki
maupun perempuan yang berusia dibawah 18 tahun (termasuk ke dalamnya ialah
anak yang masih didalam kandungan) dan berstatus belum menikah. Definisi yang
lebih spesifik mengatakan bahwa anak merupakan amanat dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang memiliki hak di dalam dirinya melekat secara harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya, serta merupakan generasi penerus cita-cita
perjuangan bangsa yang perlu mendapat kesempatan seluasnya untuk terpenuhi
haknya, yakni hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak
partisipasi serta menjalankan hidupnya secara wajar.
Sedangkan dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
pada pasal 1 ayat 2 dikatakan anak ialah seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun dan belum kawin. Namun, dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa anak merupakan seseorang yang belum
berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan
beberapa definisi di atas, pada dasarnya anak merupakan sekumpulan manusia
dengan batasan usia tertentu, yang belum menikah dan memiliki hak-hak dasar
sebagai manusia seutuhnya.
2.1.9 Kekerasan Terhadap Anak
UNICEF mengungkapkan pengertian kekerasan terhadap anak dari
pandangan anak-anak Indonesia adalah penggunaan kekuatan fisik dengan sengaja
orang lain atau terhadap suatu kelompok atau komunitas, yang mengakibatkan
atau memiliki kemungkinan besar mengakibatkan cedera, kematian, kerugian
psikologis, salah perkembangan atau deprivasi. Indra Sugiarno, Ketua Satuan
Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak PP IDAI menyatakan bahwa
kekerasan pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh
seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi (caretaker) seorang anak
baik secara fisik, seksual maupun emosi. (Herlina, 2010:31)
Sedangkan dalam PERMEN PPPA No. 01 Tahun 2010, kekerasan
terhadap anak dapat diartikan yakni setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis,
termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan
merendahkan martabat anak.
Dan dalam PERMEN PPPA No. 02 Tahun 2010 tentang Rancangan Aksi
Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2010-2014, yang dimaksud
dengan kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk tindakan fisik, mental,
seksual, termasuk penelantaran dan perlakuan salah yang mengancam integritas
tubuh dan perlakuan merendahkan anak oleh pihak-pihak yang seharusnya
bertanggungjawab terhadap tumbuh kembang anak atau mereka yang memiliki
otoritas terhadap perlindungan anak yang seharusnya dapat dipercaya. Berdasarkan pengertian tersebut, berikut merupakan bentuk–bentuk kekerasan
1. Kekerasan Fisik Terhadap Anak
Merupakan penggunaan kekuatan fisik secara sengaja kepada anak yang
kemungkinan memiliki dampak buruk yang besar terhadap kesehatan,
keselamatan, perkembangan atau martabat anak. Contohnya memukul,
menendang, mengguncang, menggigit, mencekik, menjemur, membakar,
meracuni dan menyengsarakan, yang banyak diasosiasikan sebagai hukuman fisik.
Hukuman fisik didefinisikan sebagai segala bentuk hukuman yang menggunakan
kekuatan fisik dan bertujuan untuk menimbulkan rasa sakit atau tidak nyaman,
yang biasanya termasuk pula memukul (menghantam; menampar; memecut) anak
dengan tangan atau benda. Dapat pula berbentuk tendangan, pengguncangan,
pencakaran, penggigitan, penarikan rambut atau telinga, pengurungan, memaksa
anak untuk diam di posisi yang tidak nyaman, dibakar/dijemur atau memaksa
menelan sesuatu.
2. Kekerasan Seksual
Didefinisikan sebagai segala bentuk tindakan seksual, usaha untuk
melakukan tindakan seksual atau komentar seksual yang tidak diinginkan yang
ditujukan terhadap seksualitas seseorang dengan menggunakan pemaksaan, oleh
siapapun terlepas dari hubungannya dengan korban, dalam latar belakang apapun.
Hal ini juga mencakup bentuk-bentuk yang bersifat kontak fisik dan non-kontak,
diantaranya namun tidak terbatas pada, (a) bujukan atau paksaan kepada seorang
anak untuk terlibat dalam kegiatan seksual yang berbahaya secara psikologis
maupun ilegal, (b) penggunaan anak dalam eksploitasi seksual komersial, (c)
(d) prostitusi anak, perbudakan seksual, eksploitasi seksual dalam dunia
pariwisata, perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual (di dalam dan
antar negara), penjualan anak untuk tujuan seksual dan pernikahan paksa.
3. Kekerasan Emosional
Mencakup kegagalan dalam menyediakan lingkungan yang sesuai dan
mendukung, sehingga anak dapat mengembangkan kompetensi sosialnya secara
menyeluruh dan stabil sesuai dengan potensi pribadi yang dimilikinya dan konteks
masyarakat. Suatu tindakan kekerasan emosional mungkin dapat menyebabkan
kerugian pada aspek fisik dan kesehatan anak, mental, spiritual, moral atau
perkembangan sosial. Contohnya (a) segala bentuk interaksi yang berbahaya dan
terus menerus terhadap anak; (b) menakut-nakuti, mengintimidasi, dan
mengancam; mengeksploitasi dan mengkorupsi, memandang rendah dan menolak,
mengisolasi, mengabaikan, dan membedakan perlakuan dengan anak lainnya; (c)
mengabaikan respon emosional, mengabaikan kesehatan mental, kebutuhan medis
dan pendidikan; (d) menghina, membuat seseorang malu, meremehkan, mengejek,
dan menyakiti perasaan anak; (e) kekerasan dalam rumah tangga; (f)
menempatkan dalam kurungan, isolasi, atau mempermalukan atau merendahkan;
dan (g) penindasan psikologis dan perpeloncoan oleh orang dewasa atau anak
4. Penelantaran atau Perlakuan Lalai
Kegagalan dalam menyediakan perkembangan anak dalam segala
cakupan; kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, gizi, tempat tinggal,
perlindungan sosial dan lainnya. Dapat juga termasuk (a) pengabaian fisik, yaitu
gagal dalam melindungi anak dari bahaya, gagal menyediakan kebutuhan dasar
termasuk makanan yang mencukupi, tempat tinggal, pakaian, dan pengobatan
dasar; (b) pengabaian psikologis atau emosional, termasuk minimnya dukungan
emosional dan kasih sayang, pengabaian kronis, pengasuhan tidak tersedia dengan
mengabaikan tanda-tanda yang diberikan anak kecil, dan kekerasan dalam
pasangan atau penggunaan obat-obatan atau alkohol; (c) penelantaran dari
kesehatan mental atau fisik anak dengan perampasan hak atas pengobatan medis;
(d) pengabaian pendidikan, gagal menaati hukum terkait perlunya pengasuh untuk
memastikan pendidikan anak melalui kehadiran anak di sekolah; dan (e)
ditinggalkan.
5. Eksploitasi
Merujuk pada penggunaan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang
menguntungkan pihak lain, termasuk prostitusi anak, perdagangan anak dan
penggunaan anak dalam konflik bersenjata (Krug et all., 2007).
6. Penindasan (Bullying)
Bentuk dari kekerasan fisik, juga tindakan agresif yang dimaksudkan dan
melibatkan kekuatan atau kekuasaan yang tidak seimbang. Hal ini terjadi lintas
geografis, ras, dan batasan sosial-ekonomi.