• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Konsep Kualitas

1. Pengertian Kualitas

Pengertian kualitas dapat berbeda makna bagi setiap orang, karena kualitas memiliki banyak kriteria dan sangat tergantung pada konteksnya. Menurut Yamit (2001: 7) banyak pakar di bidang kualitas

yang mencoba untuk mendefenisikan kualitas berdasarkan sudut pandangnya masing- masing. Beberapa diantaranya yang paling populer adalah yang dikembangkan oleh tiga pakar kualitas tingkat internasional, yaitu:

W. Edwards Demming : mendefenisikan kualitas adalah apapun yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen. Philip B. Crosby : mempresepsikan kualitas sebagai sebagai

nihil cacat, kesempurnaan, dan kesesuaian terhadap persyaratan.

Joseph M. Juran : mendefenisikan mutu sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi.

Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas telah menjadi harapan dan impian bagi semua orang baik konsumen maupun produsen. Kualitas bukan hanya menekankan pada aspek hasil akhir, yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia, kualitas proses dan kualitas lingkungan. 2. Kualitas Jasa

Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Adapun definisi kualitas jasa menurut Wyckof dalam Tjiptono (1996: 59), kualitas jasa adalah

tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.

Apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas dipersepsikan buruk. Dengan demikian, baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. 3. Dimensi Kualitas

Menurut Tjiptono (2000: 54) pengukuran kualitas jasa model Servqual didasarkan pada skala multi-item yang dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan, serta gap diantara keduanya dalam dimensi-dimensi utama kualitas jasa. Parasuraman, et al. (1988) mengidentifikasi lima dimensi pokok, yakni reliabilitas, daya tanggap, jaminan, empati, bukti fisik. Menurut Usmara (2008: 141), lima dimensi pokok diurutkan sesuai derajat kepentingan relatifnya yaitu : a. Reliabilitas (reliability)

Yaitu kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dapat diandalkan, dan memuaskan. Kemampuan menyediakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.

Kemampuan karyawan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan akan mempengaruhi hasil kerja yang dirasakan dan dinilai oleh pelanggan dalam bentuk kualitas pelayanan. Kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan secara benar dapat dilihat dari tingkat kesalahan pelayanan yang diberikan kepada konsumen, sedangkan kemampuan perusahaan akan memberikan pelayanan yang dapat diandalkan, terlihat dari mampunya perusahaan untuk dapat menimbulkan kepercayaan konsumen kepada perusahaan.

b. Daya tanggap ( responsiveness)

Yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap. Daya tanggap dapat dilihat dari kecepatan pelayanan dan kemauan untuk membantu karyawan dalam memberikan pelayanan. Kecepatan pelayanan dan itikad baik dari karyawan dalam memberikan pelayanan akan memberikan kepuasan pelanggan.

c. Jaminan ( assurance)

Mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko, keragu-raguan. Dengan demikian akan menimbulkan kepercayaan dan keyakinan konsumen terhadap perusahaan.

d. Empati ( empathy)

Meliputi kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian, pribadi, dan pemahaman atas kebutuhan individual para pelanggan.

e. Bukti fisik ( tangibles)

Meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi, peralatan dan teknologi yang diberikan dalam memberikan pelayanan. Gambar 2.1:

Dimensi Kualitas Jasa

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 Menurut Tjiptono (2000: 55) variabel harapan dan variabel persepsi masing-masing dijabarkan dalam 22 atribut yang disusun berdasarkan skala likert misalkan dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 7 (sangat setuju), untuk diajukan kepada para responden. Hal ini semakin diperjelas Usmara (2008: 143), bahwa 22 item kinerja tersebut mendefenisikan secara memadai aspek-aspek kualitas pelayanan yang digunakan dalam menguji alternatif

Perceived Service Quality

Empathy Responsiveness

terhadap skala Servqual dan untuk menganalisis kepuasan konsumen.

4. Pengukuran Kualitas Jasa

Menurut Yamin (2001: 19) ada beberapa cara pengukuran kualitas. Hal ini diperjelas dalam Tjiptono (1996: 97), meskipun sukar kualitas jasa dapat diukur dengan berbagai macam cara. Dari banyak cara pengukuran kualitas, pendapat yang sering digunakan dalam penilaian jasa adalah yang dikemukakan oleh Parasuraman, et al.

Mengukur kualitas jasa berarti mengevaluasi/membandingkan kinerja suatu jasa dengan seperangkat standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk mengukur model pengukuran Parasumanan, et al. telah dibuat sebuah skala multi-item yang diberi nama Servqual. Alat ini dimaksudkan untuk mengukur persepsi pelanggan, kesenjangan (gap) dalam kualitas jasa. Pengukuran dilakukan dengan skala likert dimana responden tinggal memlih derajat kesetujuan/ketidaksetujuan atas pernyataan mengenai penyampaian kualitas jasa. Hasil multi-item dapat dipergunakan untuk pengukuran kualitas berdasarkan (Tjiptono, 1996: 100);

5. Kualitas Jasa Pelayanan

Menurut Collier dalam Yamit (2005: 22), kualitas jasa pelayanan lebih menekankan pada kata pelanggan, pelayan, kualitas dan level atau tingkatan pelayanan yang terbaik pada pelanggan (excellent)

dan tingkat kualitas pelayanan merupakan cara terbaik yang konsisten untuk dapat mempertemukan harapan konsumen (standar pelayanan internal, biaya dan keuntungan).

Pelayanan terbaik pada pelanggan dan tingkat kualitas dapat dicapai secara konsisten dengan meperbaiki pelayanan dan memberikan perhatian khusus pada standar kinerja pelayanan baik standar pelayanan internal maupun standar pelayanan eksternal.

Bagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa, memuaskan kebutuhan pelanggan berarti perusahaan harus memberikan pelayanan berkualitas (service quality) kepada pelanggan. Secara umum kualitas jasa pelayanan dapat dilihat dari perbandingan antara harapan konsumen dan kinerja kualitas jasa pelayanan.

6. Keterbatasan Model Servqual

Masalah yang sering dihadapi berkaitan dengan aplikasi model Servqual adalah paradoks kepuasan pelanggan. Meskipun fakta menunjukan bahwa terjadi kegagalan penyampaian jasa, namun dapat saja pelanggan merasa puas.

Menurut Swan dan Bomers dalam Tjiptono (2000: 56), kepuasan total banyak ditentukan oleh pengalaman keseluruhan dalam mengkonsumsi jasa, daripada penilaian atas aspek-aspek individual jasa tersebut. Kedua pakar ini mengidentifikasi tiga keterbatasan utama model Servqual yaitu:

(a) Model Servqual hanya berfokus pada individual dan mengabaikan arti penting proses “people doing things together”, “interaksi di antara sesama konsumen”.

(b) Model Servqual mengasumsikan bahwa para pelanggan adalah “attribute accountants” yang selalu menilai kualitas jasa berdasarkan atribut-atribut terukur yang ditetapkan oleh peneliti. Faktanya kualitas jasa dan kepuasan pelanggan mencakup pula berbagai interprestasi atas pengalaman pelanggan selama mengkonsumsi jasa, yang tidak termasuk dalam atribut-atribut Servqual.

(c) Model Servqual hanya potret parsial atas proses jasa yang sesungguhnya. Model Servqual lebih bersifat output-oriented, yang menekankan penilaian atas kualitas jasa sesudah proses komunikasi jasa yang bersangkutan. Padahal menurut Swan dan Bomers, jasa merupakan proses sosial yang melibatkan interaksi antar manusia. Konsekuensinya, di dalamnya termasuk pula interprestasi atas makna berbagai obyek, perkataan, dan sikap, baik sebelum, saat, maupun setelah proses jasa berlangsung.

7. Implikasi Keterbatasan Model Servqual

Untuk mengatasi ketiga keterbatasan model Servqual tersebut Swan dan Bomers dalam Tjiptono (2000: 57), menawarkan aplikasi konsep symbolic interaction dan etnographic methods yang diadaptasi dari disiplin psikologi dan antopologi sosial sebagai perspektif baru

dalam penilaian kepuasan pelanggan dan kualitas jasa. Kedua pakar ini berpendapat bahwa kombinasi dari dua metode tersebut memungkinkan peneliti dan manajer jasa mempelajari dan memahami cara pelanggan menginterpretasikan pengalamannya dengan jasa tertentu. Selain itu juga kombinasi ini diharapkan dapat memberikan perspektif terhadap jasa sebagai “obyek” yang dijadilan acuan dan bukan semata-mata sebagai kinerja (performance).

Penanganan kegagalan jasa (service failures) juga merupakan salah satu determinan penting yang mempengaruhi kualitas jasa dan kepuasan pelanggan. Bila kegagalan jasa dapat ditangani sedini mungkin secara efektif, maka ada kemungkinan pelanggan merasa puas. Ada tiga strategi pokok yang diajukan oleh Swan dan Bomers untuk merealisasikan hal ini:

(a) Menggunakan humor untuk meredakan kekecewaan pelanggan. (b) Mencari dan menegosiasikan berbagai alternatif solusi dengan

pelanggan dan penyedia jasa.

(c) Mengambil tindakan perbaikan sesegera mungkin.

Pada intinya, paradigma yang ditawarkan Swan dan Bomers merupakan ajakan „back to basics‟, memahami jasa sebagai proses sosial yang melibatkan proses interaksi, interprestasi, dan penyesuaian antar individu. Implikasi penting dari penggunaan symbolic interaction

dan etnographic methods adalah perlunya kajian lebih mendalam mengenai konseptualisasi “kepuasan pelanggan”, “kualitas jasa”, dan

keterkaitan keduanya agar tidak terjadi kerancuan konsep di antara dua variabel tersebut.

Faktor determinan kepuasan pelanggan, selain ditentukan oleh atribut-atribut kualitas, kepuasan juga sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, diantaranya norma-norma sosial menyangkut interaksi antar individu. Penerapan konsep symbolic interaction juga memberikan alternatif cara meneliti hubungan teoritikal baru di antara tindakan penyedia jasa, konsumen, kepuasan konsumen terhadap pengalaman jasa. Faktor penanganan kegagalan jasa juga perlu diteliti lebih lanjut, terutama kontibusi terhadap terwujudnya kepuasan pelanggan.

Penggunaan metode kualitatif memberikan daya tarik tersendiri bagi para praktisi. Hasil penelitian tidak berwujud angka dan simbolik stastik, namun berupa kata-kata dan rangkaian tindakan subyek yang teridentifikasi sebagai respon terhadap situasi nyata.

Peningkatan kemampuan karyawan sangat penting untuk memberikan kepuasan dan sekaligus mencegah atau meminimisasi ketidakpuasan pelanggan. Keterampilan semacam ini dapat dikembangkan lewat berbagai pelatihan intensif, baik on-the-job

maupun off-the-job. Dalam kebijakan rekrutmen dan seleksi karyawan, kemampuan semacam ini juga perlu ditekankan. Salah satu caranya adalah dengan metode role play. Para calon karyawan dihadapkan pada berbagai kemungkinan situasi service encounter. Reaksi mereka

terhadap setiap situasi direkam dan kemudian dievaluasi berdasarkan kemampuan mereka masalah- masalah seperti kegagalan jasa atau komplain dari pelanggan.

Penilaian kinerja karyawan juga harus mencerminkan pentingnya keterampilan. Cara yang ditempuh antara lain: menggunakan survai kepuasan pelanggan sebagai ukuran kinerja karyawan, atau dapat pula mempraktikan metode “ghost shopping”

untuk menilai kemampuan karyawan berinteraksi dengan pelanggan.

Dokumen terkait