• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

2. Kunjungan Keluarga sebagai salah satu bentuk Pastoral

Kata “kunjungan” dalam Kamus Bahasa Indonesia (Depertemen Pendidikan Nasional, 2007:635) berarti, pergi (datang) untuk menengok, mendatangi untuk menjumpai, hal (perbuatan) mengunjungi atau berkunjung.

Budyapranata, dalam buku Menjadi Saudara bagi sesama, Peningkatan Mutu Kunjungan (1987:8-10), mengatakan bahwa kunjungan Keluarga dapat diartikan sebagai pertemuan pribadi yang dapat menimbulkan saling pemahaman terhadap pribadi lain, yang dilandasi oleh kesediaan seseorang untuk memahami dan melibatkan diri pada situasi orang yang dikunjungi (Rohani, 1988:74). “Pribadi” tidak selalu menunjuk seolah-olah, baik yang dikunjungi maupun yang mengunjungi, masing-masing seorang diri. Sebaliknya kata pribadi lebih menunjuk pada situasi.

Dalam kunjungan keluarga, pengunjung bukanlah orang yang mau mencampuri masalah orang yang dikunjungi, atau mengambil alih perannya, melainkan mau memberi perhatian, oleh orang yang dikunjungi, sedemikian rupa sehingga orang mau dikunjungi merasa bahwa kehadiran pengunjung sebagai suatu pertolongan.

Dengan demikian jelaslah, bahwa dalam kunjungan keluarga yang menjadi pusat perhatian adalah yang dikunjungi, dan bukan sebaliknya. Kunjungan merupakan peristiwa “Penyelamatan’ atau “Pertolongan” yang lebih-lebih diarahkan bagi orang yang dikunjungi. Hal tersebut tidak berarti bahwa dalam setiap kunjungan keluarga tidak terdapat pengalaman di mana si pengunjung mengalami pertolongan. Sesungguhnya, baik si pengunjung maupun yang dikunjungi, keduanya dapat mengalami pengalaman pertolongnan yang diberikan oleh kedua belah pihak. Misalnya: pada saat orang yang dikunjungi mensharingkan pengalamannya bisa jadi orang yang mengunjungi diteguhkan, dikritik, dipercaya karena pengalaman tersebut.

Selanjutnya Budyapranata (1987:76), mengatakan kunjungan keluarga pada hakekatnya adalah pertemuan pribadi. Artinya bahwa kunjungan itu bukan hanya sekadar datang ke rumah orang lain dengan suatu urusan, tetapi menyapa orang lain sebagai pribadi. Pertemuan ini harus dibedakan antara kepentingan untuk, atau karena tugas, atau karena keperluan lain.

Yang menjadi tujuan kunjungan adalah pertemuan terbuka, artinya ialah bahwa orang yang harus menjadi perhatian kita. Kita datang sebagai saudara untuk memberi perhatian dan untuk mendengarkan orang lain, (Budyapranata 1987:1). Dengan demikian kunjungan bisa menjadi tanda solidaritas atau kesediaan kita untuk menjadi saudara bagi yang lain.

Tujuan kunjungan keluarga adalah untuk mempersatukan semua orang dari bermacam-macam kedudukan golongan dan bangsa, tanpa pemisahan ras, kedudukan, pangkat dan sebagainya.

Budyapranata (1994:34), mengatakan bahwa: Kunjungan keluarga sebagai suatu usaha untuk membentuk kelompok pengunjung yang tetap atau terorganisir, melainkan hanyalah suatu tawaran atau ajakan kepada seluruh umat untuk memperhatikan masalah kunjungan. Kunjungan yang dimaksudkan bukan kunjungan resmi atau kunjungan dari atas ke bawah (dari utusan atau pejabat paroki kepada umatnya), melainkan sebagai kunjungan sejajar (kunjungan persaudaraan).

Kunjungan keluarga merupakan sarana yang efektif untuk menciptakan komunikasi dan menumbuhkan relasi yang akrab antara sesama umat beriman di suatu paroki. “Kalau Gereja ingin menjadi masyarakat yang hidup dan terdiri dari umat yang percaya kepada Tuhan, tubuh yang hidup, maka umat itu harus saling berkunjung dan saling bertemu”.

Piet Noordermeer (1981:8), mengatakan bahwa kunjungan keluarga adalah kegiatan Gerejani yang dilakukan oleh umat beriman untuk memberi perhatian dan berbagi cinta kasih kepada keluarga-keluarga katolik di lingkungan atau stasi dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah. Kalau pada mulanya suatu kunjungan keluarga hanya dilakukan oleh para biarawan atau biarawati sebagai Gembala Gereja yang memperhatikan dan mendampingi umat katolik, untuk mendekati dan menyapa umat

yang mau meninggalkan imannya. Sekarang ini suatu kunjungan lebih ditekankan sebagai salah satu usaha usaha pendampingan dan pelayanan untuk memelihara, membina, dan memimpin keluarga-keluarga katolik, di mana seluruh umat beriman di stasi ikut terlibat dan turut bertanggungjawab atas kehidupan keluarga-keluarga katolik dalam masyarakat.

Kunjungan keluarga adalah kegiatan Gerejani yang dilakukan oleh umat beriman untuk memberi perhatian dan berbagi cinta kasih kepada keluarga-keluarga katolik di lingkungan atau stasi dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah. Dulu kunjungan keluarga hanya dilakukan oleh para biarawan-biarawati sebagai Gembala Gereja yang memperhatikan dan mendamping umat katolik, untuk mendekati dan menyapa umat yang mau meninggalkan imannya. Sekarang suatu kunjungan lebih ditekankan sebagai salah satu usaha pendampingan dan pelayanan untuk memelihara, membina, dan memimpin keluarga-keluarga katolik, di mana seluruh umat beriman di stasi ikut terlibat dan turut bertanggungjawab atas kehidupan keluarga-keluarga katolik dalam masyarakat.

Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas penulis dapat merumuskan pengertian kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga adalah kegiatan gerejani yang dilakukan oleh umat beriman untuk memberi perhatian dan cinta kepada keluarga-keluarga katolik di stasi atau paroki dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah.

b. Maksud dan Tujuan Kunjungan keluarga

Tujuan dari kunjungan keluarga menurut Piet Noordemeer, bukanlah terutama untuk mempertobatkan atau membujuk seseorang agar aktif dalam kegiatan-kegiatan Gerejawi atau membantu keluarga memecahkan masalah mereka, namun maksud dari kunjungan keluarga adalah mau bersikap terbuka dan memperhatikan keadaan orang

lain. Kemungkinan akibat dari kunjungan mempertobatkan mereka untuk aktif di Gereja lagi atau menemukan masalah hidupnya, tetapi ini bukan tujuan pokok (Hardiwiratno, 1994:203).

Memperhatikan orang atau keluarga adalah suatu usaha untuk menolong atau membantu mereka berkembang dalam aspeknya dan berkembang menjadi dirinya sendiri. Perkembangan seseorang atau keluarga juga merupakan kebahagiaan kita sendiri. Kita tidak boleh memaksakan untuk mengikuti apa yang kita kehendaki namun berusaha untuk menghargai mereka sebagai orang yang mandiri dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus dihormati.

Hardiwiratno (1994:204-210) mengatakan, hal yang perlu diperhatikan dalam kunjungan keluarga adalah:

1) Jangan menawarkan apa-apa

Bila bertemu dengan orang lain atau keluarga tertentu, langsung spontan mau mengajak orang atau keluarga itu untuk ikut kegiatan seperti kita karena dianggap bermanfaat bagi hidupnya. Apa yang kita anggap baik, mau kita limpahkan kepada orang lain. Hal tersebut memang tidak salah juga. Namun kalau kita sedang melakukan kunjungan keluarga, hendaklah hati-hati.

2) Pertemuan Terbuka

Sikap yang perlu diperhatikan dalam kunjungan keluarga adalah sikap terbuka. Jangan berpikir apa yang akan kita katakan, karena persoalannya bukan terletak pada apa yang kita anggap penting bagi kita, yang mau diungkapkan kepada mereka, tetapi apa yang penting bagi mereka atau apa yang mereka kemukakan. Bila menghadapi keluarga yang belum kita kenal, tidak perlu cemas karena Sabda Yesus memberi kekuatan kepada kita “Roh Kuduslah yang akan memberikan kata-kata yang harus

diucapkan (Mrk 13:11). Hal yang terpenting adalah berkata dengan jujur, sederhana yang keluar dari hati. Bagi keluarga yang belum kita kenal perlu dijelaskan untuk apa dan atas nama siapa kita datang berkunjung. Kita juga mengungkapkan alasan kunjungan dan bertanya apakah kunjungan kita mengganggu atau tidak. Kadang dalam kunjungan kehadiran kita ditolak namun tidak perlu kecewa karena itu hak mereka. Tetapi juga sering kunjungan kita diterima dengan gembira, dipersilakan masuk dalam rumah. Pembicaraan hendaknya berlangsung dua arah. Dalam berbicara hendaknya jangan terlalu cepat. Kadang-kadang keluarga yang kita kunjungi berbicara tentang sesuatu hal atau mungkin dia bertanya sesuatu. Maka hendaklah kita menjawab dengan jelas dan jujur. Seandainya tidak tahu jawabannya maka dengan jujur mengatakan bahwa tidak tahu. Mereka berbicara tentang rumah, kebun dan peralatan dapurnya atau berterus terang berbicara tentang keadaan rumah tangga, imannya dan lain-lain. Kalau sudah terbuka seperti ini maka kita bisa mengarahkan pada tema yang kita anggap penting untuk mereka namun tetap membiarkan mereka untuk meneruskan cerita dan yang menjadi titik pusat perhatian adalah keluarga. Maka keluarga sendiri yang akan menentukan apa yang akan dibicarakan bersama dan apa yang tidak dibicarakan bersama.

3) Menciptakan Suasana yang Kondusif

Sangat penting dalam menciptakan suasana yang kondusif yang terbuka memahami atau mengerti situasi orang yang kita ajak bicara (understanding) artinya sikap positif dari kita yang diekspresikan melalui pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada keluarga yang kita kunjungi untuk mengekspresikan dirinya secara tepat. Oleh karena itu perlu mengosongkan perspektif atau pandangan-pandangan kita sendiri dan ikut ambil bagian dalam perspektif mereka. Maka kita perlu menahan diri, mengontrol

diri dan menunggu saat yang tepat untuk menyatakan kebenaran-kebenaran yang perlu atau harus diketahui oleh keluarga tersebut. Sikap understanding bukan sandiwara tetapi benar-benar muncul dari cinta atau compassion (rasa belaskasih yang mendalam) seperti sikap Yesus terhadap orang-orang berdosa.

4) Cara Mempraktekkan Understanding a). Empati

Empati adalah sikap positif yang diekspresikan melalui kesediaan untuk menempatkan diri pada tempat orang yang sedang diajak bicara. Ikut merasakan apa yang dirasakan orang tersebut atau mengerti dengan pengertian orang tersebut. Unsur utama dalam agape adalah sikap hati atau Compassion (sikap penuh belaskasih) yang diekspresikan dalam kerinduan untuk betul-betul mau menyelami dan mengerti orang lain.

b) Penerimaan

Penerimaan adalah kesediaan untuk menerima keberadaan orang lain sebagaimana adanya. Penerimaan apa adanya bukanlah sikap yang membenarkan atau menetralisir apa yang salah, yang ada pada orang lain, tetapi sikap positif yang perlu dikembangkan dan dipraktekan karena menyadari bahwa hanya melalui cara ini sebagai jalan untuk menemukan inti persoalan yang sedang dirasakan mengganggu hidup mereka. Penerimaan sejati memampukan kita untuk dapat mendorong orang lain untuk melakukan perbuatan-perbuatan tetapi kita menunggu sampai inti persoalannya ditemukan. Penerimaan menciptakan suasana aman dan mendorong orang lain menemukan kembali kepercayaan akan dirinya sendiri, agar mampu mengenali apa yang sedang terjadi pada dirinya. Pengalaman tersebut membuka hati untuk menilai

sikap dan cara berpikir selama ini. Dengan demikian menumbuhkan pengertian baru yaitu cara untuk mempraktekan hidup dengan semangat baru.

c) Mendengarkan yang efektif

Mendengarkan adalah unsur utama dari memahami. Tanpa ada kesediaan untuk mendengarkan dengan baik, maka penerimaan pun tak pernah menghasilkan hal-hal yang positif. Sikap mendengarkan adalah salah satu syarat utama yang harus ada dalam pembicaraan dengan orang lain, jika kunjungan keluarga ingin berhasil. Mendengarkan secara efektif adalah mendengarkan dengan penuh perasaan dan perhatian serta disiplin yang tinggi, dengan maksud menangkap dengan baik kata-kata yang diucapkan oleh yang sedang diajak bicara, mengerti perasaannya dan melihat ekspresi wajahnya sehingga mampu menangkap apa yang dirasakan dibalik kata-kata yang diucapkan.

d) Memberikan tanggapan yang membangun

Memberi tanggapan secara efektif adalah suatu sikap yang sangat penting dalam menciptakan suasana yang kondusif. Untuk menciptakan suasana yang kondusif maka dibutuhkan:

(1) Kehangatan

Belajar dari sikap Yesus terhadap wanita yang berdosa di sumur (Yoh 4:1-42), Sikap yang tidak mengadili dapat dirasakan sebagai kehangatan yang membantu menciptakan suasana aman dalam diri mereka yang kita ajak bicara.

(2)Dukungan

Kadang dalam percakapan, keluarga yang dikunjungi tidak mampu mengungkapkan dan mengekspresikan apa yang mau diucapkan, malahan dikuasai oleh emosinya. Situasi seperti ini mereka sangat membutuhkan dukungan dari kita untuk

membantu mereka menjernihkan persoalan atau menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.

(3)Kemurnian sikap

Dalam percakapan, kadang-kadang keluarga yang dikunjungi memperoleh dorongan dan kekuatan untuk maju atau memperbaiki situasi. Maka kita perlu mempunyai sikap yang sungguh-sungguh murni untuk menolong mereka. Sikap yang lahir bukan karena terpaksa namun lahir dari kasih yang memperkembangkan mereka.

(4)Menstimulir

Menstimulir adalah cara yang kita pakai untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam percakapan, di mana kita harus aktif menolong lawan bicara agar bersemangat dan berpartisipasi secara aktif dalam pembicaraan tersebut. Mungkin dengan memberikan ide-ide baru yang akan menyempurnakan atau melengkapi apa yang mereka katakan.

Menurut lembaga Pendidikan kader (1985:1) tujuan atau maksud dari kunjungan pastoral adalah:

- Pertemuan atau kontak: Manusia membutuhkan manusia untuk dapat mengungkapkan isi hatinya. Manusia membutuhkan orang lain untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya, tentang siapakah dia ini. Hanya dengan dan berhadapan dengan orang lain kita dapat sungguh-sungguh merasa sebagai manusia. Pertemuan atau perjumpaan dengan orang lain adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

- Saling mengingatkan akan Allah, bapa kita, dan Kristus dan Gembala Agung kita. Yang sudah memilih kita untuk menjadi umat-Nya dan kawanan domba-Nya, dan

yang senantiasa membimbing kita menuju kepada kedatangan kerajaan-Nya secara yang sempurna dan penuh.

Dalam Alkitab Tuhan tiap kali berbicara melalui manusia-para nabi, para rasul kepada manuisa. Tuhan sendiri juga menjadi manusia di dalam Yesus, Sang Mesias untuk manusia.

Demikian Tuhan dapat berbicara kepada kita melalui sesama manusia yang percaya. Melalui orang yang sedang mencari, meragukan, dan melanjutkan mencari sampai menemukan hal-hal yang paling dalam mengenai Tuhan dan makna kehidupan, Tuhan dapat berbicara kepada kita. Dalam pertemuan atau perjumpaan dengan sesama manusia yang percaya, orang dapat dibantu untuk berpikir lebih jauh, untuk mencari dan menemukan.

- Saling mendampingi atau membantu dalam menghadapi berbagia persoalan dan kesulitan.

“Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah”. (I Petrus 4:10). “bertolong-tolonglah menanggung bebanmu!” (Galatia 6:2). Seorang juga membutuhkan orang lain untuk dapat menghadapi berbagai persoalan dan mengatasi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Sebagai orang-orang yang beriman kita dipanggil untuk saling mendampingi dan saling membantu (Hardiwiratna, 1994:203).

c. Manfaat kunjungan keluarga

(1) Umat dapat saling mengenal manfaat kunjungan keluarga adalah: lebih akrab satu sama lain, karena sikap orang yang terlibat dalam kunjungan keluarga tersebut dimungkinkan untuk saling mengenal satu dengan yang lain dalam keterlibatannya masing-masing. Misalnya: para pengurus lingkungan yang tergabung dalam team pemandu, dalam tugasnya menghubungi keluarga-keluarga dan mendata keluarga katolik di lingkungannya, menjadi semakin mengenal lebih dekat kehidupan

keluarga yang dikunjunginya, dan semakin akrab dengan kehidupan sesama yang lain dalam lingkungan.

(2) Kunjungan keluarga dapat memperbesar rasa persaudaraan antar umat katolik, yaitu sebagai satu saudara berdasarkan iman yang sama akan Yesus Kristus, dan dapat memperdalam ikatan kekeluargaan dengan warga yang lain. Sebagai contoh para pengunjung semula tidak mengenal keluarga yang akan dikunjungi, mereka datang hanya dengan membawa bekal iman yang sama. Para pengunjung tidak merasa kuatir kalau kunjungannya akan ditolak.

(3) Kunjungan keluarga dapat meningkatkan sikap saling memperhatikan diantara sesama warga stasi, karena kunjungan datang dengan sikap ramah dan berusaha memperhatikan keadaan keluarga yang dikunjungi. Pembicaraan dalam pertemuan biasanya berkisar pada pengalaman hidup dan keprihatinan yang ada dalam keluarga serta masyarakat, sehingga suasana pertemuan cukup mendukung untuk menciptakan sikap saling memperhatikan kebutuhan sesama.

(4) Umat dapat saling membantu didalam kesulitan. Oleh karena para pengunjung memberikan perhatian yang tulus terhadap keluarga-keluarga yang dikunjungi, terutama keluarga-keluarga yang membutuhkan bantuan, maka keluarga yang mengalami kesulitan merasa perlu membuka diri dan menceritakan kesulitan-kesulitan hidupnya dalam pertemuan kunjungan tersebut, sehingga kesulitan-kesulitan dapat dihadapi secara bersama-sama.

(5) Umat dapat saling mengokohkan iman dan saling meneguhkan dalam penderitaan serta kesetiaan terhadap Gereja. Dalam kunjungan keluarga, para pengunjung sering menjumpai keluarga yang sering tertimpa musibah, atau keluarga yang tempat tinggalnya terpencil dan jauh dari keluarga katolik yang lain. Keluarga yang dijumpai biasanya merasa senang karena dengan pertemuan tersebut mereka dapat

mencurahkan segala kesedihan dan beban batinnya serta merasa dikuatkan dalam doa bersama.

(6) Kegiatan kunjungan keluarga merupakan kesempatan yang baik bagi keluarga untuk membangun komunikasi dalam keluarga, karena dengan kunjungan tersebut biasanya anggota keluarga dapat dikumpulkan di ruang dalam keadaan santai dan akrab.

d. Model-model Kunjungan keluarga

Secara garis besar, sesuai dengan tujuannya,kita dapat membedakan antara dua macam kunjungan pastoral. Lembaga Pendidikan Kader (1985:3) membedakan atas dua macam kunjungan pastoral, yaitu:

1) Kunjungan pastoral biasa

Tujuan dari kunjungan pastoral biasa ialah satu: pertemuan atau kontak. Dua: saling mengingatkan akan Allah, Bapa kita, dan Kristus, Gembala Agung kita. Kita berjumpa dengan sesama manusia yang percaya, dan sebagai sesama manusia yang percaya, dan sebagai sesama manusia yang percaya kita saling mengingatkan akan apa yang menjadi inti dari Injil yang kita percayai.

2) Kunjungan pastoral khusus

Kunjungan pastoral khusus adalah kunjungan pastoral yang dilakukan terhadap mereka yang mempunyai masalah, dan yang karenanya membutuhkan pendampingan dan bantuan khusus seperti misalnya orang yang sedang sakit, orang yang dalam kedukaan, dan sebagainya.

Tujuan dari pastoral khusus adalah terutama saling mendampingi dan membantu dalam menghadapi berbagai persoalan dan kesulitan.

Menurut Budyapranata. dalam buku Kunjungan membangun Persaudaraan (1994:11), mengatakan : kunjungan sebenarnya bukan hanya kunjungan pastor terhadap umat, tetapi kunjungan antar sesama umat.

Kunjungan pastor terhadap umat dalam hal ini hanya akan memupuk hubungan atas-bawah, yaitu pastor sebagai pimpinan yang berkunjung kepada umat sebagai bawahan, dan kurang membangun hubungan yang sejajar. Jadi kunjungan pastor saja belum mampu menciptakan iklim persaudaraan yang didambahkan, sebab iklim paguyuban itu hanya terjadi kalau antar umat juga saling mengenal dan saling menerima satu sama lain sebagai saudara.

Seorang pastor dengan kemampuannya yang maksimal atau dengan kemauan baiknya yang optimal kiranya masih belum mampu untuk mengenal seluruh umatnya secara pribadi. Itu berarti pembangunan paguyuban tidak mungkin diserahkan hanya kepada para pastor saja, melainkan perlu melibatkan seluruh umat. Maka adanya kebiasaan bahwa umat hanya mengharapkan dikunjungi oleh pastor saja dan tidak mau ganti mengunjungi saudaranya yang lain, itulah yang sekarang ini perlu ditinjau kembali, karena cara untuk mengenal sesama umat yang paling intensif adalah dengan saling mengunjungi.

e.Metode-metode Kunjungan Keluarga

Kalau pada mulanya suatu kunjungan keluarga hanya dilakukan oleh seorang pastor sebagai gembala Gereja memperhatikan dan mendampingi umat katolik, untuk mendekati dan menyapa umat yang mau meninggalkan imannya. Sekarang ini suatu kunjungan lebih ditekankan sebagai salah satu usaha pendampingan dan pelayanan untuk memelihara, membina dan memimpin keluarga-keluarga katolik, di mana seluruh

umat beriman di paroki ikut terlibat dan turut bertanggungjawab atas kehidupan keluarga-keluarga katolik dalam masyarakat.

f. Sasaran Kunjungan Keluarga

Sebagaimana terdapat pada pengertian pastoral, yaitu bahwa pastoral terarah pada semua manusia, demikian pula halnya dengan kunjungan keluarga. Kunjungan sudah seharusnya tertuju tidak hanya bagi umat yang mau meninggalkan imannya tapi untuk keluarga-keluarga katolik di lingkungan atau paroki atau stasi dengan cara berkunjungan dari rumah ke rumah. Bahkan juga harus menjangkau seluruh anggota keluarga.

Dalam kunjungan hendaknya kebutuhan, harapan, persoalan seluruh anggota keluarga yang dikunjungi dapat dilayani oleh si pengunjung, entah dalam waktu yang berbeda-beda atau secara terencana.

g. Proses Kunjungan Keluarga

1) Bagaimana pengunjung menjadi sejajar dengan yang dikunjungi?

Sikap sejajar dan bahkan “menjadi sesama” bagi saudaranya sangat ditekankan oleh Tuhan Yesus. Pesan Yesus terhadap murid-murid-Nya yang diutus berdua-dua, mengatakan secara jelas bahwa para murid harus berani meninggalkan fasilitas yang dimilikinya serta mau tinggal bersama dengan orang yang didatangi. Sejajar berarti solider dan senasib dengan orang yang dikunjungi, sehingga yang dikunjungi merasa mendapatkan teman. Sikap sejajar dalam kunjungan itu sangatlah diperlukan.

Memberi perhatian itu bukan hanya secara formal bertemu dengan orang lain, tetapi ikut merasakan keprihatinan dari orang yang dikunjungi dan mencoba membantu untuk mengubah situasinya.

Memberi perhatian berarti suatu usaha untuk mengerti dan memahami orang lain. Dengan dipahami persoalannya, orang itu akan merasa lega dan merasa diperkuat. Maka keberhasilan kunjungan lebih ditentukan oleh sikap orang yang dikunjungi, yaitu: si terkunjung merasa dapat membuka keadaannya dan merasa ada yang mendampingi dalam kesulitannya. Secara positif memberi perhatian berarti berani menerima kenyataan dari orang yang dikunjungi dan memberi kesempatan bagi orang itu untuk membeberkan keadaannya.

3) Bagaimana pengunjung menjadi pendengar yang baik?

Mendengar berarti menerima suara dari luar yang masuk ke telinga. Mendengarkan adalah suatu kegiatan yang disengaja atau dengan perhatian atau minat dari dalam. Maka mendengarkan itu tidak bisa hanya sepintas lalu, melainkan harus dengan kesungguhan, sehingga terjadi proses interaksi antara saya dengan lawan bicara.

Untuk bisa mendengar dengan baik, kita harus mengidentifikasikan diri dengan lawan bicara kita. Artinya selama orang lain berbicara, kita berpihak pada orang lain itu dan mengikuti jalan pikirannya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa “mendengarkan” itu tidak mudah, karena membutuhkan kemauan, kesediaan serta perhatian khusus.

4) Bagaimana pengunjung membangun dialog?

Dialog yang baik akan terjadi bila kedua belah pihak dapat saling memahami. Maka mutlak perlu adanya sikap mau mendengarkan dan mau mengerti.

5) Bagaimana pengunjung melibatkan diri pada yang dikunjungi?

Dokumen terkait