PERANAN KUNJUNGAN KELUARGA
DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN IMAN KELUARGA KATOLIK DI STASI ST. PAULUS PRINGGOLAYAN
PAROKI ST. YUSUP BINTARAN YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Aloysia Paskela Squera NIM: 041124030
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
YOGYAKARTA
iv PERSEMBAHAN
Skripsi ini,saya persembahkan bagi:
Para Suster Puteri Reinha Rosari (PRR) Regio Se-jabatan, dan kepada keluarga katolik di Stasi St. Paulus Pringgolayan
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: ”PERANAN KUNJUNGAN KELUARGA DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN IMAN KELUARGA KATOLIK DI STASI ST. PAULUS PRINGGOLAYAN, PAROKI ST. YUSUP BINTARAN, YOGYAKARTA”. Penulisan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis akan situasi para suster PRR komunitas Yogyakarta yang kurang mau terlibat dalam kegiatan kunjungan keluarga, baik di lingkungan tempat tinggal, maupun lingkungan stasi. Para suster cenderung sibuk dengan tugas studi tanpa mau peduli dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Para suster kurang peduli dengan kegiatan-kegiatan hidup menggereja, bahkan sangat jarang meluangkan waktu khusus untuk terlibat didalamnya.
Skripsi ini akan menguraikan upaya untuk melibatkan para suster PRR komunitas Yogyakarta sebagai tenaga pastoral dalam hidup menggereja melalui kegiatan kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga adalah salah satu bentuk pastoral yang merupakan sarana yang cocok bagi para suster untuk membantu keluarga dalam meningkatkan kesadaran orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka dalam keluarga, sehingga anak-anak memperoleh pendidikan yang layak dalam keluarga. Adapun hipotesis penelitian ini adalah, Ho tidak ada perbedaan kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga sebelum dan sesudah kegiatan kunjungan keluarga, H1 ada perbedaaan kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman sebagai yang pertama dan utama dalam keluarga sebelum dan sesudah kegiatan kunjungan keluarga.
Penulis mengkaji masalah ini dengan menggunakan metode deskripsi analitis dan penelitian yang berbentuk eksperimen prates dan postes satu kelompok tanpa kontrol. Artinya penulis menggambarkan uji lapangan dan menganalisis permasalahan sehingga ditemukan jalan pemecahannya. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga-keluarga katolik di lingkungan Maria Ratu Rosari. Teknik pengambilan sampel bersifat populatif (N) 30 keluarga. Data yang diperoleh dengan menggunakan angket dan wawancara. Pengembangan instrumen terhadap masalah yang dibahas dalam penelitian ini menggunakan uji coba terpakai dengan validitas antara 0,3 sampai 0,7 dan reliabilitas 0,961.
ix ABSTRACT
This thesis entitles: “THE ROLE OF FAMILY VISITS IN EFFORTS TO INCREASE THE FAITH OF CATHOLIC FAMILIES IN THE STATION OF SAINT PAUL OF PRINGGOLAYAN OF ST. JOSEPH'S PARISH BINTARAN YOGYAKARTA". The title is chosen based on the concerns of the author of the family atmosphere that is less conscious of the duties and responsibilities as first and foremost faith educators of children in the family. Fundamental problem of this thesis is how to help the parents to raise awareness in carrying out their duties and responsibilities in families, so children get proper education in the family.
The development is a process forward where the development of one's personality can experience changes in psychological or mental in the process of growing up. Faith development of children in families is affected by education. Family visits as a form of pastoral becomes a process of helping families to develop more faith in living his faith to become mature, independent and responsible and creative in the true faith. Activity family visit can affect the awareness, attitudes and knowledge of parents in the faith. The hypothesis of this research is, H0 means there is no difference of parents’ awareness in the education of faith as an first and foremost educator in the family before and after the activities of family visits, while H1 means there will be differences in parents' awareness of the role of faith education as the first and foremost educators in the family before and after activity of family visit.
The author studied this problem by using the method of analytical description and experimental research pre and paschal test without control groups. This means that the author describes the field tests and analyzes the problems to find a way to solve them. Population in this research is the Catholic families in the neighborhood of Mary Queen of the Rosary. Sampling techniques are (N) 30 families. Data is obtained by using questionnaires and interviews. Development of instruments of the problems discussed in this study uses a test used with validity between 0.3 to 0.7 and 0.961 of reliability.
x
KATA PENGANTAR
Syukur dan pujian kepada Allah Bapa yang Maha Baik yang telah berkenan melimpahkan rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Peranan Kunjungan Keluarga dalam Upaya Untuk Meningkatkan Iman Keluarga Katolik di Stasi Santo Paulus Pringgolayan ini.
Penulisan skripsi ini dimaksud sebagai salah satu sumbangan bagi para keluarga-keluarga Katolik dalam meningkatkan kunjungan keluarga. Di samping itu skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, perhatian serta keterlibatan, baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Maka perkenankanlah penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1. Bapak F.X. Dapiyanta, SFK, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing Utama yang dengan setia dan penuh kesabaran hati memberi pengarahan, semangat dan dorongan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Rm. Drs. M. Sumarno Ds, S.J, M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik dan sekaligus Dosen Penguji II, yang dengan caranya sendiri mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Rm. Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J, selaku ketua Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, sekaligus Dosen Penguji III yang selalu mendukung dan menyediakan waktu bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Seluruh Staf Dosen dan Karyawan Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Katolik
Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, membimbing dan membekali pengetahuan dan teladan yang bermanfaat dan yang mendorong penulis untuk menyusun skripsi ini.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……… HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... HALAMAN PENGESAHAN………... HALAMAN PERSEMBAHAN……… MOTTO………... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……… ABSTRAK………...… ABSTRACT... KATA PENGANTAR………... DAFTAR ISI………. DAFTAR SINGKATAN………... BAB I. PENDAHULUAN………
A. Latar Belakang Penulisan………. B. Identifikasi Masalah………. C. Batasan Masalah……… D. Rumusan Permasalahan………... E. Tujuan Penulisan……… F. Manfaat Penulisan……….. G. Metode Penulisan……….. H. Sistematika Penulisan………. BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS………. A. Kajian Pustaka……… 1. Pastoral……… a. Pengertian Pastoral………. b. Ciri Khas dan Tujuan Pastoral……… c. Bentuk-bentuk Pastoral……….. 2. Kunjungan Keluarga sebagai salah satu bentuk Pastoral…………
xiii
a. Pengertian Kunjungan keluarga……….. b. Maksud dan Tujuan Kunjungan Keluarga……….. c. Manfaat Kunjungan Keluarga……… d. Model-model Kunjungan Keluarga……… e. Metode-metode Kunjungan Keluarga……… f. Sasaran Kunjungan Keluarga………... g. Proses Kunjungan Keluarga……….. h. Pelaksanaan Kunjungan Keluarga……….. 3. Perkembangan Iman Keluarga………
a. Pengertian Iman………. b. Perkembangan Iman……….. c. Keluarga Yang Berkembang Imannya……….. 4. Upaya yang Dilakukan Para Suster dalam Pastoral………….. a. Usaha Melibatkan Suster PRR dalam Pastoral……….. b. Usaha Mengutamakan Sesama yang Lemah dan tertekan……. B. Penelitian Yang Relevan……….. ….. C. Kerangka Pikir……… D. Hipotesis………... BAB III. METODE PENELITIAN………. A. Jenis Penelitian……… B. Desain Penelitian………. C. Tempat Dan Waktu Penelitian……… D. Populasi Penelitian Dan Sampel………... E. Metode Pengumpulan Data……….. …….. 1. Variabel………... 2. Definisi Operasional Variabel………... 3. Instrumen Penelitian………
xiv
4. Kisi- kisi Indikator………. 5. Pengembangan Instrumen……….…... 6. Teknik Analisis Data……….. BAB IV. LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Laporan Hasil Penelitian………. 1. Deskripsi Data Perkembangan Iman Sebelum Kegiatan
Kunjungan keluarga………... 2.Deskripsi Data Perkembangan Iman Keluarga Sesudah Sesudah
xv
DAFTAR SINGKATAN
A. DAFTAR SINGKATAN KITAB SUCI
Seluruh Singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini diambil dari Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, 1987.
KS : Kitab Suci Mat : Matius Mark : Markus Luk : Lukas Yoh : Yohanes
B. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA
AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang kerasulan Awam.
UR : Unitatis Redintegratio, Konsili Dogmatis tentang Ekumenisme. FC : Familiaris Consertio.
KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia.
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex iuris canonici). DV : Dei Verbum.
KV : Konsili Vatikan
GE : Gravissimum educationis. KGK : Katekismus Gereja Katolik
C. DAFTAR SINGKATAN YANG LAIN Art : Artikel
Dll : Dan lain-lain
xvi PIA : Pendampingan Iman Anak KAS : Keuskupan Agung Semarang HP : Hand Phone
KK : Kepala Keluarga ST : Santu
HAL : Halaman
D. SINGKATAN DALAM PENELITIAN H0 : Hipotesis Nol
H1 : Hipotesis Kerja
SPSS : Statistical Product and Service Solution Std : Standard
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini akan diuraikan tentang latar belakang, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penulisan, dan sistematika penulisan.
A. Latar Belakang Penulisan
Penulisan skripsi ini berawal dari keprihatinan penulis terhadap suasana keluarga
yang kurang sadar terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik iman anak
yang pertama dan utama dalam keluarga. Persoalan mendasar dari skripsi ini adalah
bagaimana membantu para suster dan keluarga untuk meningkatkan keterlibatan mereka
dalam kegiatan kunjungan keluarga, baik di lingkungan tempat tinggal maupun di
lingkungan paroki. Para suster cenderung sibuk dengan tugas studi tanpa mau peduli
dengan kegiatan-kegiatan hidup menggereja, bahkan sangat jarang meluangkan waktu
khusus untuk kunjungan keluarga. Pada kenyataannya para suster komunitas kurang
banyak terlibat dalam kegiatan kunjungan keluarga, baik di lingkungan tempat tinggal,
maupun di lingkungan paroki.
Kunjungan keluarga merupakan salah satu bentuk pastoral yang diselenggarakan
oleh Paroki atau Gereja dalam usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan iman
keluarga katolik. Melalui kegiatan kunjungan keluarga yang diselenggarakan oleh para
suster ini, diharapkan agar keluarga tidak hanya mengerti ajaran-ajaran Kristus, tetapi
juga mereka dapat mengikuti dan meneladani ajaran-ajaran Kristus itu sendiri dalam
kehidupan keluarga setiap hari, sehingga iman mereka berkembang menjadi dewasa dan
Budyapranata (1994:11) mengatakan bahwa, dewasa ini banyak keluhan yang
muncul berkaitan dengan kenyataan bahwa para biarawan-biarawati dulu dan sekarang
ada perbedaan. Biarawan-biarawati dulu rajin berkunjung ke rumah umat dan memiliki
jadwal kunjungan yang tetap setiap bulan sehingga mereka mengenal semua umatnya
(Abineno:1967:20). Sedangkan biarawan-biarawati sekarang cara berpastoralnya sudah
lain, mereka tidak lagi mengenal semua umat dan hanya berkunjung ke rumah keluarga
tertentu saja. Hal ini pun juga bisa dipahami, karena umat semakin bertambah, urusan
semakin banyak dan pelayanan pastoral lainnya makin lama makin bertambah pula
karena itu para biarawan-biarawati sibuk dengan tugas belajar dan tugas lainnya,
sehingga kesulitan untuk mengatur jadwal kunjungan ke rumah umat. Namun demikian,
tidak berarti bahwa kunjungan keluarga oleh para suster itu tidak lagi. Bagaimanapun
juga kunjungan tetap perlu, bahkan kunjungan keluarga masih tetap sebagai syarat
utama membangun Gereja sebagai paguyuban beriman.
Berdasarkan pengalaman kunjungan menunjukkan bahwa kebanyakan umat
masih mengharapkan kunjungan dari kaum biarawan-biarawati, dan hanya sedikit yang
mengharapkan dari sesama warga. Hal ini merupakan kenyataan, karena kunjungan
awam kepada awam di dalam Gereja katolik masih sangat asing dan belum
memasyarakat. Kecendrungan umat menantikan kunjungan dari kaum
biarawan-biarawati itu disebabkan oleh banyak alasan, antara lain karena adanya pemahaman
yang kurang benar mengenai peranan kaum biarawan-biarawati, dan adanya gambaran
yang salah mengenai kunjungan itu sendiri. Gereja belum dipandang sebagai suatu
hidup persaudaraan, tetapi masih dianggap sebagai suatu organisasi besar, di mana
kaum biarawan-biarawati sebagai pimpinan yang harus mencari dombanya. Maka
Dari pengamatan penulis selama ini, para suster kurang terlibat. Hal ini dapat
dilihat dari keaktifan para suster dalam mengikuti berbagai kegiatan di lingkungan
tempat tinggal dan Gereja. Hanya beberapa suster saja yang termasuk aktif serta
semangat dalam mengadakan kunjungan keluarga. Dalam mengadakan kegiatan
kunjungan keluarga baik di lingkungan tempat tinggal maupun di Gereja, ada juga
suster yang jarang mau terlibat dan ikut dalam kegiatan tersebut, misalnya kunjungan
keluarga, pendalaman iman, doa bersama, latihan koor, dan kegiatan lainnya yang di
adakan di dalam lingkungan. Para suster selalu menggunakan kedoknya sebagai suster
student yang selalu sibuk yang tidak mau dilibatkan dalam setiap kegiatan. Pada hal itu
sangat penting guna menambah pengalaman dan ketrampilan dalam mempersiapkan diri
sebagai tenaga pastoral yang dapat diandalkan pada jaman yang semakin maju ini.
Manfaat lain yang bisa dirasakan jika mau terlibat dalam kegiatan kerasulan
dengan siapa saja, serta membuat diri lebih peka terhadap situasi dan kondisi yang ada
di sekitar. Hal ini sungguh merupakan kesempatan untuk melatih diri untuk mengemban
tugas sebagai tenaga pastoral.
Figur seorang biarawan-biarawati yang aktif, bersahabat serta solider akan selalu
dinanti dan diharapkan oleh umat. Keterlibatan para suster di setiap lingkungan dapat
membantu para suster dalam mengaktualisasikan semua ilmu serta
pengalaman-pengalamannya. Melalui kegiatan kunjungan keluarga tersebut para suster bisa
menunjukkan dan menyumbangkan sesuatu yang baru bagi perkembangan iman
keluarga katolik. Melalui sikap yang mau terlibat, para suster bisa merasakan langsung
permasalahan yang dihadapi keluarga sehingga bisa membantu mencari solusinya.
Para suster adalah orang yang menyediakan diri secara khusus dalam pelayanan
umat. Maka para suster mempunyai kewajiban untuk mengunjungi umatnya, karena
Kunjungan keluarga membuat hubungan gembala dan umatnya menjadi lebih akrab,
dekat dan hangat bukan sekadar hubungan formal dan kaku. Memang wajar bila para
suster sebagai gembala mengetahui atau mengenal domba-domba-Nya satu persatu,
seperti Yesus sendiri-Sang Gembala baik menjadi contoh bagi setiap gembala umatnya,
yang mengenal sungguh-sungguh domba-domba-Nya dan mendengar suara-Nya (Yoh
10 :1-20).
Dalam dunia sekarang ini, dirasa kebanyakan keluarga dalam kehidupan
sehari-hari kurang memperhatikan hidup beriman karena mereka terlalu sibuk dengan
pekerjaan demi mencapai kebutuhan hidup mereka. Hal ini penulis dengar sendiri dari
lingkungan di mana penulis tinggal, melalui sharing dalam kegiatan kelompok bahkan
melalui pertemuan secara pribadi dengan keluarga-keluarga yang ada.
Keluarga-keluarga sendiri sulit untuk meningkatkan iman mereka melalui kegiatan bersama dalam
keluarga, misalnya doa bersama sebelum dan sesudah makan, doa sebelum tidur,
membaca dan merenungkan Kitab Suci bersama, dan lain-lain. Dengan kata lain doa
bersama dalam keluarga sulit untuk dilaksanakan apalagi untuk melibatkan anak-anak
dalam kegiatan rohani atau membiasakan keluarga membuka buku-buku rohani,
misalnya membuka Kitab Suci dan lain-lain. Jangankan untuk mengikuti kegiatan
rohani, komunikasi dengan sesama anggota keluarga saja susah sekali. Hal inipun
penulis alami langsung ketika menangani anak-anak calon komuni pertama. Dalam
kegiatan ini pendamping yang harus mencari dan menunggui para orang-tua. Di sini
nampak bahwa kesadaran orang-tua masih sangat kurang dan beranggapan bahwa ini
merupakan tanggungjawab para pendamping.
Orang tua sebagai pemegang peranan yang besar dalam hidup berkeluarga seharusnya
memberi perhatian dan kasih sayang kepada seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu,
mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan seperti: cinta kasih, pengampunan, kejujuran,
dan lain-lain. Dengan demikian semuanya akan lebih mudah mengingat apa yang
diajarkan ditanamkan dalam keluarga tersebut. Karena itu keluarga-keluarga hendaknya
memiliki iman yang baik yang bisa mengarahkan dan mendidik iman sesuai dengan
perkembangannya.
Tugas pendidikan berakar dalam panggilan keluarga untuk mengambil bagian
dalam karya penciptaan Allah. Keluarga menjadi lahan subur bagi perkembangan iman
keluarga. Bila di dalam keluarga dapat menciptakan keluarga menjadi suatu komunitas
antarpribadi yang membuat semua anggota keluarga seperti: saling mencintai, saling
berkomunikasi, terbuka, jujur, saling menerima, saling memperhatikan, saling
memaafkan, saling menolong, saling berkorban, dan saling mendoakan, maka keluarga
dapat berfungsi sungguh-sungguh sebagai Gereja kecil.
Berawal dari masalah yang dihadapi oleh setiap umat, dalam menghayati hidup
berkeluarga, apa yang menjadi keprihatinan, harapan dan cita-cita umat, maka sebagai
warga Gereja penulis mencoba untuk mengadakan kunjungan keluarga untuk
mengetahui situasi umat di stasi Santo Paulus Pringgolayan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Keterlibatan ini dengan maksud untuk memberi perhatian dan
berbagi cinta kasih kepada keluarga-kelurga katolik di stasi Santo Paulus Pringgolayan
dengan berkunjung dari rumah ke rumah.
Untuk menyikapi kenyataan kehidupan keluarga katolik yang ada maka penulis
berusaha mengajak keluarga-keluarga untuk kembali melihat peranan mereka sebagai
warga Gereja. Piet Noordermeer dalam Proyek Media keuskupan Agung Semarang (hal
87) menjelaskan bahwa: “Kunjungan rumah itu merupakan bantuan yang penting
dalam pengembangan masyarakat paroki, karena hendak memutuskan rasa keterasingan
Kunjungan keluarga dapat dikatakan berhasil apabila kunjungan tersebut bisa menjawab
kebutuhan umat. Misalnya kebutuhan akan pendidikan anak, pekerjaan yang layak, dan
lain-lain. Karena maksud dari kunjungan bukanlah terutama untuk bersikap terbuka dan
memperhatikan keadaan orang lain tetapi untuk merangkul semua keluarga katolik
secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan.
Melihat uraian di atas, tujuan kunjungan keluarga adalah untuk meningkatkan
sikap saling memperhatikan di antara warga paroki. Setiap umat beriman mempunyai
sikap terbuka dan memperhatikan keadaan serta kebutuhan orang lain. Dengan
demikian kunjungan keluarga terlebih untuk membantu keluarga yang mempunyai
persoalan dalam keluarga, misalnya: persoalan pendidikan anak, ekonomi keluarga,
perkawinan, dan lain-lain. Tujuan ini dapat dicapai apabila orang yang berkunjung
bersikap rendah hati dan mau mendengarkan orang yang dikunjunginya. Mendengarkan
di sini bukan hanya terbatas pada kegiatan mendengar saja, melainkan meliputi
rangkaian kegiatan mendengar, mengerti, dan memahami apa yang dikatakan oleh orang
lain, serta apa yang dirasakan oleh orang lain.
Setiap keluarga yang dikunjungi, mempunyai harapan-harapan yang akan
mereka terima dan dapatkan ketika kunjungan. Banyak di antara mereka ingin
dikunjungi, dengan alasan agar bisa didengarkan atau pun diteguhkan. Memang tidak
dipungkiri bahwa untuk bisa menerima dan mendengarkan mereka tidak mudah,
membutuhkan waktu yang cukup.
Penulis berusaha mengajak keluarga-keluarga untuk menghayati peranan dan
tanggungjawab mereka sebagai anggota Gereja yang mengalami kesulitan dan
tantangan dalam hidup berkeluarga melalui kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga
diharapkan dapat membantu keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan dan tantangan
”PERANAN KUNJUNGAN KELUARGA DALAM UPAYA UNTUK
MENINGKATKAN IMAN KELUARGA KATOLIK DI STASI ST. PAULUS
PRINGGOLAYAN, PAROKI ST. YUSUP BINTARAN, YOGYAKARTA”.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penulisan Skripsi
ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Dari pengamatan menunjukkan bahwa permasalahan atau kesulitan yang terjadi
karena keluarga-keluarga katolik kurang menyadari akan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai pendidik iman anak.
2. Orang tua lebih mementingkan kariernya. Mereka merasa bahwa hal-hal rohani
adalah tanggungjawab Pembina atau pendamping iman di lingkungan.
3. Permasalahan dari segi para suster adalah yang sedang belajar yang selalu sibuk
dengan tugas kampus atau kuliahnya, hal ini menyebabkan para suster tidak mau
terlibat dalam kunjungan keluarga, selain itu juga tidak ada jadwal kunjungan yang
tetap.
C.Batasan Masalah
Setelah melihat permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penulis membatasi pada kunjungan keluarga dan hidup beriman dalam keluarga.
Ruang lingkup penelitian ini adalah keluarga-keluarga katolik di lingkungan Santa
D.Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan batasan di atas maka permasalahan yang muncul dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan perkembangan iman keluarga?
2. Apa yang dimaksud dengan kunjungan keluarga?
3. Seberapa besar dampak kunjungan keluarga terhadap perkembangan
iman keluarga!
E.Tujuan Penulisan
Skripsi ini di tulis dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memberikan pengertian pada para suster bahwa kegiatan kunjungan keluarga itu
sangat penting demi perkembangan iman keluarga.
2. Memberikan masukan pada orang tua katolik di lingkungan agar lebih
memperhatikan perkembangan iman keluarga.
3. Untuk mengetahui seberapa besar dampak kunjungan keluarga terhadap
perkembangan iman keluarga.
4. Memenuhi syarat kesarjanaan strata satu (S1) Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
F. Manfaat Penulisan
Penulisan diharapkan bermanfaat:
1. Bagi keluarga-keluarga katolik : menambah pengetahuan dan informasi tentang
tanggungjawab dan usaha mendidik dan mengembangkan iman keluarga, sehingga
2. Diharapkan dapat memperkaya wawasan pengetahuan dalam usaha meningkatkan
kesadaran bagi para suster dalam mengembangkan iman keluarga melalui kegiatan
kunjungan.
3. Bagi para katekis sebagai landasan langkah berikutnya yaitu menjadi salah satu
bahan acuan bagi para katekis untuk mendampingi orang tua pada khususnya dan
pengembangan iman keluarga pada umumnya.
G.Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis berdasarkan
penelitian. Data yang dibutuhkan dikumpulkan menggunakan angket dan wawancara.
Selain itu, penulis juga mengembangkan refleksi pribadi dengan bantuan buku-buku
pendukung.
H.Sistematika Penulisan
Judul dari skripsi ini adalah “PERANAN KUNJUNGAN KELUARGA
DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN IMAN KELUARGA KATOLIK DI
STASI ST. PAULUS PRINGGOLAYAN, PAROKI ST. YUSUP BINTARAN,
YOGYAKARTA”. Judul ini akan diuraikan menjadi V bab sebagai berikut :
Bab I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, yaitu kajian pustaka. Pada bagian
ini penulis mencoba untuk menjawab masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam
rumusan masalah dengan menggunakan acuan pustaka atau teori-teori. Bagian kedua
menjelaskan atau merumuskan bagaimana hubungan antara variabel sehingga
ditemukan hipotesis. Bagian ketiga adalah hipotesis atau jawaban sementara.
Bab III, yaitu metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, desain
penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel penelitian, dan metode
pengumpulan data serta metode analisis.
Bab IV terdiri dari dua bagian. Dalam bagian ini diuraikan mengenai laporan
hasil penelitian dan pembahasan.
Bab V terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan menyajikan isi
keseluruhan skipsi ini dari Bab I sampai Bab IV. Sedangkan saran ditujukan kepada
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A.Kajian Pustaka
Pada kajian pustaka ini, penulis akan menguraikan tiga hal yaitu: mengenai
pastoral, kunjungan keluarga, dan perkembangan iman keluarga.
1. Pastoral
a. Pengertian Pastoral
Istilah “pastoral” berasal dari kata “Pastor” yang berarti “gembala.” Pastoral
mempunyai arti esensial dalam kehidupan Gereja. Akulah gembala yang baik” kata
Yesus ((Yoh 10:11). Dalam perikop ini Yesus memberikan gambaran tugas gembala.
Maka pengertian Pastoral meliputi karya yang dilakukan oleh seorang Pastor, pelayan
umat Gereja. Oleh karena itu semua yang beriman dalam Gereja ikut ambil bagian
dalam tugas Kristus sebagai imam. Dengan demikian pelayanan pastoral juga menjadi
tugas seluruh umat dan bukan hanya para imam tertahbis saja. Sebagai pelayanan
Gereja pastoral meliputi berbagai wadah atau lingkup iman yang berbeda-beda,
misalnya: Pastoral sekolah, pastoral paroki dalam bidang kemasyarakatan (Sumarno,
2001:1).
Amalorpavadass (1972:5-7), mengatakan ada tiga tugas yang dipenuhi dalam
pelayanan pastoral yaitu: pelayanan dengan mewartakan, pelayanan ibadat dengan
merayakan dan pelayanan pengarahan dengan mengorganisir dan mendidik umat
Kristus supaya penuh cinta kasih dan matang dalam segi iman untuk memberi kesaksian
dan pengabdian.
Tugas Gereja adalah mewartakan misteri keselamatan kepada seluruh dunia dan
ditawarkan lewat pelayanan sabda. Allah disampaikan dengan berbagai cara dan bentuk
dengan tujuan membina, menggairahkan dan memupuk iman. Pelayanan
mengakibatkan Sabda Allah menjadi aktual dan relevan bagi waktu dan tempat serta
kategori pendengar dengan kata-kata manusiawi.
Pelayanan Sabda mempersiapkan dan membimbing kepada liturgi. Liturgi
sendiri memuat pelayanan sabda dan kebaktian, kedua-duanya membutuhkan dan
menuju kepada pelayanan pengarahan demi tercapainya kesaksian nyata dan
pengabdian cinta kasih.
Nouwen (1986:17-21), mengatakan bahwa dengan berubahnya zaman dan
berkembangnya hidup para pelayan kristiani ke pelbagai arah yang baru, semakin tidak
jelas pula bagaimana olah rohani yang menyita banyak waktu masih berhubungan
dengan kesibukan hidup paroki. Para pelayan kristiani mulai merasa bahwa doa
semakin dialami sebagai pelarian ke dalam hidup batin yang aman untuk
menghindarkan diri dari masalah-masalah yang seharusnya mengusik suara hati
kristiani dan merupakan tantangan untuk melibatkan diri dalam tindakan yang kreatif.
Kebanyakan dari mereka telah memberikan diri dalam kegiatan pastoral
sehari-hari yang kadang-kadang begitu menuntut sehingga mereka merasa kosong, letih, lelah
dan sering kali kecewa. Kelelahan ini begitu terasa mendalam sehingga kemajuan jarang
terlihat jelas dan hasilnya pun hanya kadang-kadang tampak. Melalui hubungan
pelayanan itulah Sabda Allah sampai kepada manusia. Seperti seorang dokter, psikolog,
psikiater atau pekerja sosial membutuhkan ketrampilan khusus agar mereka dapat
menolong sesama mereka, secara bertanggungjawab tanpa melatih diri dalam
bidang-bidang pokok pelayanan mereka seperti berkhotbah, mengajar, pendampingan,
Pada saat ini ada kehausan besar akan spiritualitas baru, yaitu pengalaman baru
akan Allah dalam hidup kita sendiri. Pengalaman ini hakiki bagi setiap pelayanan
kristiani tetapi tidak dapat ditemukan di luar batas-batas pelayanannya. Seharusnya
benih-benih spiritualitas baru ini dapat ditemukan di tengah-tengah pelayanan kristiani
itu sendiri. Doa bukanlah persiapan sebelum bekerja atau syarat yang tidak dapat
diabaikan kalau pelayanan mau berhasil. Doa adalah hidup: Doa dan pelayanan adalah
sama dan tidak dapat dipisahkan. Kalau keduanya dipisahkan, seorang pelayan kristiani
akan menjadi seorang tukang dan imamat tidak lebih dari sebuah cara lain untuk
meringankan penderitaan hidup sehari-hari.
Nouwen (1986:22), mengatakan bahwa setiap orang kristiani adalah pelayan.
Pelayanan yang dihubungkan dengan tahbisan dapat dianggap sebagai pusat karena
seorang pelayan yang ditahbiskan memberi wujud yang paling kentara dari berbagai
bentuk pelayanan kristiani.
Dalam dunia profesionalisasi, bidang-bidang spesialisasi terus berkembang.
Anggapan dulu bahwa pelayan kristiani adalah dokter, psikolog, pekerja sosial, dan
perawat sekaligus. Dalam masyarakat, yang mengerjakan semuanya adalah mereka.
Mereka menjadi pusat pengetahuan dan kebijaksanaan. Namun saat ini banyak pelayan
kristiani merasa bahwa mereka adalah amatir dalam semua bidang dan bukan seorang
profesional dalam bidang tersebut. Mereka merasa tidak mampu, rendah diri, dan
ragu-ragu apakah mereka dapat menolong orang-orang secara efektif.
Nouwen (1986:22) juga merumuskan dua sisi identitas yang minta perhatian di
1) Peneguhan
Tidak ada pelayanan Kristiani yang dapat hidup secara kreatif dan penuh arti
bila perasaan tersebut begitu menguasai. Orang menganggap diri tidak mempunyai
sumbangan khusus yang dapat diberikan kepada sesamanya dan lebih sebagai hiasan
daripada pribadi yang bernilai untuk kehidupan, lebih dibiarkan daripada dibutuhkan
lama kelamaan akan menjadi tertekan, acuh tak acuh, bosan, dan mudah marah. Atau ia
dengan mudah akan memutuskan untuk meninggalkan pelayanan, pindah ke bidang lain
yang dianggapnya sungguh-sungguh sebuah profesi.
Pelayanan pastoral pribadi adalah yang paling dibutuhkan dan kenyataannya
paling diharapkan sekurangnya apabila kita dapat memahami permasalahannya. Maka
dari itu, latihan pastoral barangkali pertama-tama berarti pendidikan para pastor supaya
mereka dapat mendengarkan persoalan-persoalan, dan menjadi sadar bahwa beribu-ribu
orang terus-menerus mempertanyakan apa yang telah ditanyakan oleh Alfie. Apa arti
semua ini? Mengapa kita harus makan dan minum, bekerja dan bermain, mencari uang
dan mempunyai anak, dan terus-menerus bergulat melawan serangkaian frustrasi yang
tak pernah berakhir? Atau bertanya seperti halnya Yogavasistha, “Kebahagiaan macam
apakah yang dapat ada di dunia di mana setiap orang dilahirkan untuk mati?” (Allport,
1960:23).
2) Penyangkalan diri
Pada saat seseorang mulai merasa percaya diri atau berbangga, ia diganggu oleh
kata-kata Kristus yang melintas di benaknya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia
harus menyangkal dirinya-sebab barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia
akan memperolehnya” (Mat 16:24-25). Yang terpenting, orang ingat akan kata-kata
aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:20).
Peristiwa pada saat pelayanan kristiani menemukan bahwa ia tidak hanya mempunyai
sesuatu untuk disumbangkan namun dapat menyentuh inti kehidupan, pada saat ia siap
untuk meneguhkan dirinya sendiri dan merasa bahwa ia dapat memenuhi
harapan-harapannya dan mewujudkan cita-cita yang terdalam dalam hidupnya, ia dihadapkan
dengan panggilan yang mendesak untuk menyangkal diri, memandang diri sebagai
pelayan, seorang pekerja tak berguna yang ada di garis belakang.
Banyak pelayanan kristiani dan imam sangat ingin masuk ke dalam lingkungan
orang-orang ahli dan mempunyai identitas yang jelas. Namun apakah begitu penting
untuk sampai kepada kepenuhan diri profesional ini. Tetapi apakah merupakan
panggilan kita untuk memenuhi diri kita sendiri sampai ke tingkat yang terakhir dan
untuk menciptakan keadaan di mana kita dapat sampai kepada apa yang kita pandang
paling berarti, paling indah, dan pengalaman intensif.
Thomas Merton (1969:76) dalam salah satu karyanya menulis: Menjadi amat
pentinglah bagi kita untuk lepas dari konsep kita sehari-hari mengenai diri kita sendiri
sebagai subjek-subjek potensial untuk pengalaman unik yang istimewa, atau sebagai
calon-calon (yang mengharapkan) realisasi, hasil dan kepenuhan.
Tak seorang pun dapat melayani sesamanya apabila ia tidak mau menyangkal
dirinya agar dapat menciptakan ruang di mana Allah dapat melaksanakan karya-Nya.
Bagaimana kita dapat sungguh-sungguh menolong orang lain apabila kita tetap
memusatkan perhatian pada diri kita sendiri? Selama kita mencoba untuk
memperhatikan banyak hal, kita tidak dapat sungguh-sungguh berkonsentrasi. Hanya
bila orang dapat melupakan dirinya sejenak, ia dapat menjadi sungguh-sungguh
Formann, seorang imam-psikolog dari Belanda ketika menunggu saat
kematiannya yang segera akan datang menulis: “Persoalan hidup keagamaan di barat
harus dihubungkan dengan inflasi Ego. Kita telah kehilangan kesadaran bahwa ada
pengetahuan yang hanya dapat dicapai melalui sebuah proses penyerahan untuk menjadi
lepas dan kosong” ( Ambo Bilthoven, 1970:6).
Sejak dialog Timur-Barat menjadi bagian dalam hidup banyak orang khususnya
kaum muda, kita menjadi sadar akan kenyataan bahwa ada dua bentuk kesadaran: yang
satu mengatakan jadilah dirimu sendiri supaya engkau menjadi kreatif, dan yang lain
mengatakan lepaskanlah dirimu supaya Allah dapat menjadi kreatif menekankan
penyatuan.
Tidak ada orang yang dapat memberikan dirinya dalam cinta apabila ia tidak
sadar akan dirinya sendiri. Tak seorang pun dapat sampai ke pengalaman kemesraan
sebelum dia menemukan identitasnya. Yesus hidup selama tiga puluh tahun dalam
keluarga sederhana. Di sana Ia menjadi seorang yang tahu siapakah diri-Nya dan ke
mana Ia mau pergi. Baru sesudah itulah Ia siap untuk mengosongkan diri-Nya dan
memberikan hidup-Nya bagi orang lain. Demikianlah jalan dari semua pelayanan.
Melalui pembentukan dan latihan yang lama dan kadang-kadang menyakitkan, pelayan
kristiani harus menemukan dirinya: tidak untuk menggenggamnya kuat-kuat dan
menganggap sebagai miliknya sendiri yang istimewa, akan tetapi untuk keluar,
memberikan pelayanan kepada orang lain, dan mengosongkan diri supaya Allah dapat
berbicara melalui dia dan memanggil orang untuk kehidupan yang baru.
Dengan demikian identitas pastor, seperti dapat kita lihat dalam pelayanan
pastoralnya, lahir dari ketegangan yang sulit ditentukan antara peneguhan diri dan
pengorbanan diri. Ada saat dalam kehidupan di mana tekanan lebih pada yang satu
makin dewasa, ia akan semakin tidak sibuk dengan dirinya sendiri dan lebih bersedia
untuk mengulurkan tangannya dan mengikuti Dia yang menemukan hidup-Nya dengan
merelakannya.
Nouwen (1986:22) merumuskan bahwa ada dua konsep yang dapat membantu
kita untuk memahami lebih baik keistimewaan hubungan pastoral konsep kontrak dan
konsep perjanjian:
a) Kontrak
Banyak hubungan antarorang yang sifatnya profesional gagal oleh karena
kontrak yang tidak jelas. Apabila dua orang saling berkencan, ada satu kontrak formal
untuk bertemu. Apabila yang satu meminta bantuan dan yang lain memberikannya,
kontrak informal adalah bahwa persoalan tersebut akan menjadi fokus dari pertemuan.
Namun sering kali ada suatu kontrak rahasia, yang tidak selalu menjadi jelas.
Kadangkala seseorang mencari nasihat tetapi malah diberi khotbah, atau ia ingin
didengarkan tetapi malah dinasihati, atau ia mengharapkan informasi tetapi tidak
mendapatkan apa-apa. Di dalam hubungan pastoral antara dua orang dapat ada
harapan-harapan yang berbeda, yang menjadi sebab frustrasi besar.
Orang dapat ditolong dengan bermacam-macam cara: dengan dorongan, nasihat,
instruksi, koreksi, penjernihan perasaan-perasaan, atau dengan sekadar mendengarkan.
Namun mereka tidak pernah merasa dibantu seandainya mengharapkan suatu hal dan
menerima hal lain. Tanggungjawab utama pastor adalah membantu umatnya agar sadar
akan pertolongan yang diharapkannya, dan memberi tahu dia kalau ia dapat
memberikan hal itu kepadanya.
Nouwen (1986:76), mengatakan: Selama kontrak rahasia itu tetap rahasia,
banyak pastor adalah mereka terlalu terpaku hanya pada suatu model hubungan personal
saja: yaitu bimbingan pastoral. Model tersebut dapat menjernihkan perasaannya dan
mengumpulkan kekuatannya untuk menemukan jalan sendiri. Sering kali hal ini
memerlukan banyak pertemuan yang terencana baik, ketrampilan-ketrampilan khusus
dari pihak pastor sendiri, dan sikap tertentu dari pihak umat. Namun kontrak semacam
itu agak jarang dalam paroki biasa. Yang lebih sering adalah hubungan dan
pembicaraan-pembicaraan pendek dan sambil lalu. Dalam keadaan seperti itu banyak
sedikitnya yang dapat terjadi, tergantung pada kepekaan pastor.
Beberapa pastor mengatakan bahwa mereka selalu sibuk, namun merasa tidak
pernah menyelesaikan apa pun. Mungkin hal ini hanya disebabkan oleh perencanaan
yang jelek. Namun apabila seorang pastor sungguh-sungguh menemukan identitasnya
sendiri, pada saat itu pula ia menyadari bahwa berhubungan dengan macam-macam
orang dan dengan macam-macam cara itulah persis tugasnya. Sebetulnya
alternatif-alternatif dalam berhubungan itulah yang memungkinkan dia melaksanakan suatu
pelayanan yang mempunyai banyak bentuk dan banyak kemungkinan yang
berbeda-beda. Banyaknya bentuk pelayanan dapat mengakibatkan frustrasi, namun frustrasi
tersebut dapat termasuk inti sari dari pelayanan dan menunjuk ke suatu cara
berhubungan yang lebih dari sekadar hubungan kontrak yang terjadi dalam
profesi-profesi lain.
b) Perjanjian
Perbedaan antara kontrak formal, informal dan kontrak rahasia sangat banyak
membantu dalam menjelaskan banyaknya kegagalan dalam hubungan profesional
antarorang. Namun seperti halnya peneguhan diri bukan satu-satunya segi identitas dari
membunyikan bel, dan memasuki rumah-rumah meskipun tidak ada seorang pun yang
menantikannya. Namun pastor mengambil inisiatif dan bahkan dapat dipandang sebagai
seorang pekerja lapangan yang agresif, yang ingin “mewartakan kabar, disambut
ataupun tidak disambut, dan mendesaknya” (2 Tim 4:2). Kenyataan bahwa kata
“kontrak” tidak dapat sungguh-sungguh mengungkapkan hubungan pastoral,
menunjukkan bahwa andaikata pastor senang menganggap hubungannya dengan
seseorang sebagai hubungan profesional, profesinya berbeda dengan semua profesi lain
yang sifatnya memberi bantuan pula. Dalam hal ini istilah alkitabiah “perjanjian”
menambah satu catatan kritis bagi hubungan pastoral yang dipandang sebagai kontrak.
Allah tidak mengadakan kontrak dengan umat-Nya, tetapi suatu perjanjian. Suatu
kontrak berakhir seandainya satu pihak tidak setia lagi kepada janji-janjinya.
Namun Allah bersabda, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya,
sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya,
Aku tidak akan melupakan engkau” (Yes 49:15). Dan siapa yang mengerti perjanjian
ini akan menjawab, “Sekalipun ayah dan ibuku meninggalkan aku, namun Tuhan
menyambut aku” (Mzm 27:10). Akhirnya yang menjadi dasar hubungan pastoral
bukanlah kontrak profesinya, namun perjanjian Ilahi. Dalam perjanjian tidak ada syarat
yang diajukan untuk kesetiaan. Perjanjian itu berarti keterlibatan tanpa syarat untuk
melayani.
Inilah tantangan paling besar bagi siapa pun yang ingin membuat perjanjian
Allah dapat dilihat di dunia ini: sebab siapakah yang tidak mengharapkan imbalan atas
pelayanannya yang baik? Kita tidak meminta uang sesudah pembicaraan pastoral,
bahkan tidak mengharapkan hadiah kecil pada hari Natal atau ucapan terima kasih,
tetapi dapatkah kita melepaskan diri dari keinginan kita untuk memasang tarif imbalan
yang halus bahwa ia haruss berhenti minum banyak, menjauhkan diri dari obat bius,
mengurang pergi ke pelacuran, memotong rambut panjangnya, pergi ke pengadilan, ke
Gereja, atau ke balai kota, saya belum sungguh-sungguh bersama-sama dengan dia
tetapi masih bersama-sama dengan kekuatiran-kekuatiran saya, sistem nilai dan
harapan-harapan saya sendiri, dan membuat diri saya sendiri seorang pelacur, dan
merendahkan sesama saya dengan menjadikan korban manipulasi rohani saja”.
Banyak pelayan kristiani mengeluh bahwa tak seorang pun berterima kasih
kepada mereka, bahwa waktu berjam-jam yang dihabiskannya bersama orang-orang
tidak membawa perubahan apa pun pada mereka, bahwa sesudah bertahun-tahun
mengajar, berkhotbah, membimbing, mengorganisasi, dan merayakan, orang-orang
tetap acuh tak acuh, Gereja tetap otoriter, dan masyarakat masih korup. Tetapi jika
kepuasan kita harus datang dari perubahan-perubahan yang dapat dilihat, kita
menjadikan Allah seorang penguasa dan diri kita sebagai kepala bagian penjualan.
Demikianlah kita telah melihat bahwa hubungan pastoral tidak dapat sepenuhnya
dimengerti dalam rangka kontrak profesional. Setiap orang menantikan ucapan terima
kasih, mengharapkan keberhasilan dan merindukan adanya perubahan. Ini berlaku bagi
pelayan kristiani seperti halnya bagi setiap orang lain. Akan tetapi Allah tidak
mengadakan kontrak dengan kita, melainkan suatu perjanjian, dan menantang siapa saja
yang mau menampakkan perjanjian-Nya di dunia ini, untuk tidak memakai keberhasilan
manusiawi sebagai ukuran bagi cinta mereka kepada sesama.
Bila identitas pelayan kristiani ditemukan dalam ketegangan kreatif antara
peneguhan diri dan penyangkalan diri dan bila hakikat hubungan pastoral mengandung
unsur kontrak profesional tetapi akhirnya dilandaskan pada perjanjian Allah dengan
umat-Nya, maka masih ada persoalan mengenai pendekatan pastoral. Banyak pelayan
kebutuhan mereka untuk semakin terampil dalam hubungan pastoral pribadi. Banyak
psikolog, sosiolog, pembimbing, dan pelatih kepekaan perasaan saat ini menjadi kaya
dengan mengajarkan cara-cara mereka kepada pelayan kristiani yang berhasrat besar,
yang mengagumi kepandaian mereka dan berharap dapat menemukan pemecahan atas
perasaan-perasaan tidak cakap yang tertanan dalam diri mereka.
Salah satu hal yang paling penting, yang dipelajari para pastor dalam latihan
mereka adalah menuliskan pengalaman-pengalaman mereka. Charles Hall 1936:6)
sekretaris eksekutif Pendidikan pastoral Klinis, berkata, “Apa yang pantas dikatakan
adalah pantas ditulis.” Tetapi apakah yang dapat dipelajari dari sana? Saya akan
mendiskusikannya dengan menggunakan dua istilah, yaitu: Penentuan peranan dan
kontemplasi.
(1) Penentuan peranan
Russel Dicks (1936:256), salah seorang perintis gerakan latihan Klinis,
mengatakan, “Kami yakin selama pelayanan kristiani belum memperkembangkan suatu
cara membuat catatan-catatan pribadi mengenai hubungan dengan pribadi-pribadi, ia
tidak mempunyai hak untuk menempatkan diri diantara para pekerja ahli dalam bidang
kepribadian manusia.”
Dengan mempelajari laporan-laporan tertulis menganai karya pastoralnya
dengan pribadi-pribadi, pelayan kristiani dapat menjernihkan
pengalaman-pengalamannya sendiri. Ia juga mempunyai suatu cara konkret untuk mengenali secara
persis apa yang terjadi dalam karya pastoralnya dan suatu kesempatan istimewa untuk
berpikir secara realistis mengenai cara-cara tindakan pastoral lain. Dengan cara ini ia
dapat merumuskan apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Namun pengalaman
bertahun-tahun sebagai suatu alasan untuk menampilkan kecakapannya, cenderung
melupakan bahwa hanya sedikitlah orang yang belajar dari pengalamannya. Suatu
peristiwa yang dilaporkan secara teliti dan dievaluasi secara kritis sering kali dapat
mengajar seseorang lebih daripada pengalaman bertahun-tahun tanpa pemahaman.
Bagaimanapun juga, jika seseorang dapat menentukan dimana ia berdiri, dapat juga
menggambarkan peta ke mana ia akan pergi. Setiap orang yang profesional
bertanggungjawab atas definisinya sendiri. Apabila seorang imam tidak dapat
menentukan perananya secara teliti, ia tidak akan pernah dapat membuatnya jelas bagi
orang lain.
Akan tetapi jika ia berpikir bahwa penentuan peranan adalah kata akhir dalam
pelayanan pastoral pribadi, kita tidak menangkap inti pelayanan, yang bukan melupakan
praktek kemahiran namun kontemplasi yang dalam. Maka dari itu baiklah kiranya untuk
akhirnya membahas arti kontemplasi.
(2) Kontemplasi
Keprihatinan yang besar dari banyak pembimbing seperti russel Dicks ialah
untuk menolong para pelayan kristiani mempelajari tanggapan yang terbaik terhadap
satu rangsangan tertentu. Seorang pelayan kristiani hendaknya meninggalkan semua
ketrampilan khusus, peralatan, dan teknik khusus dalam hubungan manusiawi kita
bahkan mungkin berharap ia mempunyai lebih banyak-namun tanggapan yang terampil
bukanlah merupakan inti pelayanan. Orang yang menuliskan
pengalaman-pengalamannya tidak hanya mempunyai kesempatan untuk merumuskan peristiwa dan
tanggapan-tanggapan yang paling baik, tetapi juga mempunyai suatu sumber yang tak
terhingga nilainya untuk suatu kontemplasi teologis. Anton Boisen (1963:267) bapak
pengalaman-pengalaman mereka, ia tidak pertama-tama berpikir mengenai “bagaimana mengerjakan
hal itu dengan baik”, tetapi lebih mengenai pertanyaan “Apa yang dapat saya pelajari
dari orang yang saya temui sebagai pastor ini?” baginya sumber teologi yang paling
sering dilupakan adalah apa yang disebutnya “dokumen manusia hidup”. Dalam
Eksploration of the Inner World (1977:135), ia menulis:
Seperti halnya tidak ada ahli sejarah yang layak menyandang julukan itu, puas
dengan menerima atas dasar kuasa, pertanyaan yang disederhanakan dari beberapa ahli
sejarah mengenai soal-soal yang sedang diselidiki, demikian pula saya mencoba untuk
memulai tidak dengan rumusan-rumusan yang siap pakai dari buku, tetapi mulai dengan
dokumen manusia hidup dan dengan keadaan-keadaan sosial yang aktual dengan segala
seluk beluknya yang rumit, (Harper, 1979:135).
Pelayanan pastoral mempunyai arti yang lebih jauh daripada
kecemasan-kecemasan pastoral. Pelayanan pastoral berarti suatu kontemplasi yang teliti dan kritis
mengenai keadaan manusia. Melalui kontemplasi ini pastor dapat membuka selubung
dan memperlihatkan kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, kenyataan bahwa
kebaikan dan kejahatan bukan sekadar kata, melainkan realitas yang dapat dilihat dalam
kehidupan setiap orang. Dalam arti ini, setiap hubungan pastoral merupakan suatu
tantangan untuk memahami dalam suatu cara baru, karya Allah bagi manusia dan untuk
semakin peka membedakan cahaya dan kegelapan dalam hati manusia.
Dalam arti ini, kontemplasi bukan hanya suatu segi yang penting dalam
kehidupan iman atau suatu syarat yang tidak dapat tidak harus dipenuhi untuk
berhasilnya pelayanan. Pelayanan adalah kontemplasi. Pelayanan merupakan
penyingkapan realitas yang terus-menerus terjadi, perwahyuan cahaya Allah dan
sekaligus kegelapan manusia. Dalam perspektif ini, pelayanan pastoral pribadi tidak
pelayanan adalah pencarian Allah terus-menerus yang berlangsung dalam kehidupan
orang yang ingin kita layani. Paradoks dari pelayanan adalah bahwa kita akan
menemukan Allah yang ingin kita berikan, dalam hidup orang yang mau kita beri.
Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas penulis dapat merumuskan
pengertian pastoral sebagai berikut: pastoral merupakan suatu refleksi iman atas
anugerah Allah kepada manusia dan bagaimana manusia menghayatinya dengan
penyerahan diri secara total dan radikal. Mengingat bahwa pastoral itu adalah salah satu
karya yang dilakukan oleh seorang pastor, pelayan umat Gereja. Maka semua yang
beriman dalam Gereja ikut ambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam. Dengan
demikian pelayanan pastoral juga menjadi tugas seluruh umat dan bukan hanya para
imam terthabis saja.
b. Ciri Khas dan Tujuan Pastoral
Menurut hooijdonk (1980:7-8) dalam buku Seri Pastoral (No.26:6) bahwa:
“Pastoral tidak sama dengan menggurui atau memperlakukan umat sebagai anak atau
bawahan, melainkan justru menghormati sebagai sesama beriman, selanjutnya
mendorong mereka menuju pada perkembangan dan kedewasaan kristiani”.
1) Ciri Khas Pastoral
Semua kegiatan atau ilmu mempunyai ciri-ciri tertentu, sehingga kegiatan atau
ilmu tersebut dapat disebut sesuai dengan namanya. Misalnya kegiatan atau ilmu yang
mempelajari tentang masyarakat. Kegiatan atau ilmu tersebut mempunyai ciri yaitu
selalu berkaitan dengan permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat.
Demikian pula pastoral selalu berkecimpung di dalam permasalahan-permasalahan
Menurut Hooijdonk (1980:17) dalam berpastoral kita tetap menekankan
ketrampilan berkomunikasi, namun kita tidak boleh berperan sebagai guru, orang tua
atau atasan, melainkan kita harus berperan sebagai pendamping yang mendorong umat
untuk lebih mampu memperkembangkan iman menuju pada ke kedewasaan kristiani.
Jadi ciri khas pastoral adalah tidak menggurui dan menghormati orang lain sebagai
sesama.
a) Tidak menggurui atau memperlakukan umat sebagai bawahan atau anak
Dalam karya pastoral petugas pastoral berfungssi sebagai pendamping umat.
Dengan kata lain petugas pastoral menjadi patner umat dalam memperkembangkan
iman dan mengatasi krisis iman. Krisis iman dapat dipengaruhi oleh beberapa hal antara
lain: permasalahan-permasalahan hidup, misalnya ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Oleh sebab itu petugas pastoral mempunyai tuntutan agar selalu menyadari bahwa
dirinya adalah bagian dari kehidupan umat dengan harapan dapat meneguhkan serta
mencari jalan keluar guna mengatasi permasalahan. Maka petugas pastoral perlu
penyangkalan diri, sebab tidak ada seorangpun dapat melayani sesamanya apabila ia
sendiri tidak mau menyangkal dirinya.
b) Menghormati orang lain sebagai sesama iman.
Memandang orang lain sebagai manusia yang mempunyai hak serta derajat yang
sama dihadapan Allah adalah penting.
Berkat sakramen baptis yang kita terima, kita dipersatukan menjadi anggota Gereja.
Dengan kata lain kita menjadi bagian hidup kelompok beriman kristiani. Dengan
bersekutu dengan anggota umat beriman kristiani lainnya. Sehingga kita menjadi
sesama mereka dalam satu iman (Kis 4:32-35).
Paulus sendiri menasehatkan agar kita umat beriman kristiani berani
menghormati atau bertindak tidak keras kepada siapa pun, baik kepada orang tua, orang
muda maupun kepada para perempuan (1 Tim 5:3-6). Paulus mengajak agar kita hidup
dalam satu iman yang harus berani menghormati, menghargai serta berani menyapa
setiap orang sebagai saudara.
Berkaitan dengan ciri khas pastoral yaitu menghormati orang lain sebagai
sesama umat beriman, maka dalam pelaksanaan karya pastoral, kita harus berani
bergaul, menghormati, menyapa, menegur serta menunjukkan belas kasihan kepada
setiap orang (Mat 13:24–30).
2) Tujuan Pastoral
Tujuan pastoral pada umumnya adalah mengembangkan dan mendewasakan
iman umat. Dengan mengandaikan bahwa benih-benih iman sudah tertanam dan
dimiliki oleh umat. Dengan demikian petugas pastoral hanyalah menyirami, menyusui
serta mendorong agar benih iman yang sudah dimiliki itu dapat berkembang menjadi
lebih dewasa. Jadi peranan petugas pastoral hanyalah sebagai pendamping umat, yang
berusaha dan memperkembangkan imannya, walaupun masih dalam taraf perjuangan.
Ada juga yang mengungkapkan bahwa tujuan formal karya pastoral adalah
menciptakan bentuk dan kondisi untuk kegiatan gerejani dalam situasi khusus dan setiap
saat. Maka dalam pelaksanaan karya pastoral, kita harus memperhitungkan kondisi dan
situasi umat, baik dari segi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Sehingga karya
pastoral tetap memanusiakan manusia dengan berlandaskan kabar gembira.
“Aku datang agar mereka mendapatkan hidup dalam segala kelimpahan” (Yoh
tujuan kedatangan Kristus sebagai sang Gembala merupakan dasar dari pelayanan
pastoral dan sekaligus menjadi tujuan utama pastoral ini.
Pelayanan pastoral ini bersifat universal, artinya bahwa pelayanan ini terbuka
untuk semua tanpa ada batas-batas yang menghalang. Maka dari pelayanan pastoral
tidak boleh berpuas diri dengan kehidupan seperlunya, baik dalam kehidupan kristiani
maupun masyarakat pada umumnya, karena lebih dari itu bahwa kedatangan Yesus
telah menyediakan segala sesuatu untuk disalurkan kepada orang-orang membutuhkan
sehingga tujuan pastoral untuk membimbing manusia menuju kehidupan seutuhnya
tercapai. “Seutuhnya” ini menyangkut pandangan yang tidak membatasi, melainkan
luas dan manusia seperti yang dikonsepkan Tuhan (Go, 1991:1-2). Tujuan pastoral
adalah membawa “Kabar Baik”, karena Yesus sendiri bersabda; bahwa Ia diurapi oleh
Allah dengan Roh Kudus untuk menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang
miskin (Luk 4:18). Pelayanan pastoral juga disebut sebagai salah satu perwujudan
kedatangan kerajaan Allah. Pelayanan pastoral merupakan tanda kasih sayang Allah
bagi manusia yang dengan kehadiran Allah sendiri di dunia ini malalui perjuangan dan
kerja keras (KWI, 1996:456).
Dengan kata lain, bahwa pelayanan pastoral ini adalah tugas mengabdi dan
melayani rencana Allah untuk menyadarkan segenap umat manusia secara integral
dalam diri Yesus Kristus, dengan perantaraan Roh Kudus. Rencana Allah ini adalah
pembebasan dan perkembangan umat manusia secara utuh sehingga kerajaan Allah
dialami oleh segenap umat manusia. Dalam tujuan pastoral ini menghadirkan kerajaan
Allah timbul dari keyakinan Gereja bahwa dirinya memperoleh warisan “misteri” yang
diwahyukan oleh Allah dalam misteri dan tugas perutusan untuk menyinari,
membimbing, menyuburkan dan mendorong segenap umat manusia menjadi wahana
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pastoral adalah mendampingi
umat yang berada dalam perjuangan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Dengan mengusahakan perkembangan iman umat yang menuju pada ke kedewasaan
kristiani.
Kerinduan untuk menghadirkan kerajaan Allah tersebut terungkap dan
terlaksana dalam lima bidang pastoral Gereja. Lima bidang pastoral Gereja adalah
sebagai berikut:
a) Liturgi
Liturgi yang berarti iman tidak hanya diwartakan, tetapi diungkapkan dan
dirayakan dalam liturgi. Tujuan dari pastoral ini adalah untuk memuji serta merayakan
kedatangan Allah kepada manusia. Lewat upacara tersebut kita mengenang kembali
bahwa Allah berkenan hadir di tengah-tengah kita. Dalam kehadirannya itu Allah selalu
berkenan menyapa manusia lewat Sabda-sabda-Nya. Hal ini dapat kita lihat di dalam
liturgi Sabda. Jadi liturgi dapat kita bedakan menjadi dua, yaitu liturgi Ekaristi dan
liturgi Sabda.
b) Diakonia
Diakonia yang berarti pelayanan, merupakan ciri yang paling menonjol dalam
kehidupan Kristus. Sebagai pelayan yang melayani manusia seutuhnya. Diakonia
adalah bidang karya pastoral Gereja yang menekankan pada pelayanan pada kaum
miskin. Dengan kata lain kegiatan pelayanan ini menitik beratkan pada pengabdian,
pendidikan dan pembebasan. Yang semuanya direalisasikan lewat kesediaan, kemauan
masyarakat. Misalnya dengan mendirikan sebuah sekolah dan asrama untuk anak-anak
paling miskin, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang.
c) Koinonia
Koinonia yang berarti persekutuan, seperti yang dilukiskan dalam jemaat
perdana di Yerusalem, bahwa mereka adalah “Sehati Sejiwa”. Membangun jemaat
lewat persekutuan iman, harapan dan kasih. Berkat iman kepercayaan kepada Kristus,
serta sakramen baptis yang telah diterima, umat kristen dipersatukan menjadi anggota
Gereja. Sebab dengan pembaptisan tersebut kita menjadi saudara dalam satu ikatan,
yaitu dalam Kristus yang selalu diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan
hubungan persaudaraan ini akan mengantar umat beriman kristiani ke dalam kesatuan
yang penuh dan sempurna menurut kehendak Tuhan (UR, art.5). Wujud dan tanda
persaudaraan tersebut dapat berupa sebuah paguyuban, kelompok religius, serta
kegiatan-kegiatan religius dan lain-lain (UR, art.6).
d) Kerygma
Kata “Kerygma” dapat diartikan dengan pewartaan. Dalam melaksanakan
pewartaan, semua umat beriman kristiani dipanggil untuk ambil bagian dalam karya
keselamatan Allah (AA, art.2,3). Jadi semua orang kristiani dipanggil sebagai pewarta.
Pewartaan Sabda dapat berbentuk khotbah, katekese atau evangelisasi. Tujuan
pastoral ini adalah membantu umat untuk tumbuh dan berkembang dalam komunitas
iman. Selain itu untuk menunjukkan makna hidup yang lebih mendalam. Dengan
demikian persekutuan yang dihimpun oleh Sabda Allah ini hidup dalam pewartaan
e) Martyria
Martyria yang berarti kesaksian. Menjadi saksi Kristus yang hidup merupakan
tugas dan tanggungjawab dalam menyampaikan kabar gembira. Dengan demikian
kehadiran Tuhan Allah semakin tampak jelas dalam hidup setiap orang, agar dunia
percaya bahwa Yesus diutus oleh bapa-Nya.
Pelayanan pastoral pada masa kini, hanya dapat menjawab serta menghadapi
tantangan-tantangan zaman dengan semangat jiwa kristiani. Pelayanan pastoral juga
berusaha agar manusia di abad modern ini tentang mendengarkan suara Allah dalam diri
Yesus lewat saksi-saksi-Nya dalam pelayanan terhadap segenap umat manusia.
c. Bentuk-bentuk Pastoral
Beberapa bentuk pastoral keluarga yang dapat dilaksanakan di lingkungan, stasi,
dan paroki adalah sebagai berikut:
1) Kursus Persiapan Perkawinan
Menurut ajaran Gereja Roma Katolik, perkawinan yang dilaksanakan oleh dua
orang yang sudah dibaptis adalah sakramen, dan perkawinan syah yang sudah
dilengkapi dengan hubungan seksual adalah tak terceraikan oleh apapun juga. Groenem,
(1993:387:8), menjelaskan tentang arti sakramen dalam perkawinan ini sebagai berikut:
“Artinya perkawinan merupakan suatu symbol, dimensi kelihatan tegas bagi relasi peyelamatan yang berdasarkan peristiwa Yesus Kristus terjalin antara Kristus dan jemaah-Nya yang tercermin dalam Gereja-Nya di dunia dan dalam sejarah”
Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia
karena dapat menjadi pangkal terbentuknya keluarga, yaitu bapak, ibu, dan anak.
Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup keluarga sangat tergantung pada pemahaman dan
penghargaan pasangan suami-istri terhadap nilai-nilai yang ada dalam perkawinan
kepada anak-anaknya sejak anak-anak berusia remaja dengan pendidikan seksualitas
yang baik, pendampingan pacaran, tunangan, dan lain-lain.
Kursus persiapan perkawinan juga mempunyai arti dan fungsi yang penting
dalam persiapan hidup berkeluarga. Yang dimaksud dengan kursus perkawinan di sini
adalah persiapan dalam jangka waktu dekat yang sungguh-sungguh mempersiapkan
calon pengantin untuk memasuki kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Setiap
orang yang akan berumah tangga selalu mempunyai cita-cita untuk membangun sebuah
keluarga yang bahagia dan sejahtera. Cita-cita yang luhur dan mulia ini sangat didukung
oleh ajaran Gereja Roma Katolik. Namun pasangan suami-istri tetap harus berjuang
untuk menata kehidupan rumah tangga mereka.
Kegiatan kursus perkawinan biasanya dipusatkan di paroki dan berlangsung
empat kali pertemuan. Mengingat sedikitnya waktu pertemuan bila dibandingkan
dengan materi-materi yang harus disampaikan seperti: pengetahuan hidup berkeluarga,
moral, teologi perkawinan, pendidikan, ekonomi rumah tangga, kesehatan, dan lain-lain,
maka dibutuhkan kerjasama dari kedua belah pihak, baik mereka yang tergabung dalam
team pembinaan keluarga, maupun para calon pengantin yang bersangkutan. Dengan
demikian calon pengantin diharakan menjadi lebih siap untuk membangun keluarga
kristiani dalam terang iman dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang akan
dihadapi dalam pejalanan hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
Kursus persiapan perkawinan biasanya merupakan prasyarat bagi calon
pengantin untuk pernikahan Gerejani yang dituntut oleh Hukum Gereja Roma Katolik.
Maka selalu ada kemungkinan bahwa para peserta kursus perkawinan mengikuti kursus
hanya karena keharusan dari Gereja dan hanya sebagai formalitas untuk mengejar
sertifikat. Meskipun demikian kursus ini harus tetap ada karena sangat penting dan
demikian kegiatan pastoral keluarga dalam bentuk kursus persiapan perkawinan ini
bertujuan untuk mendukung keluarga kristiani dalam membangun keluarga bahagia dan
sejahtera sesuai dengan kehendak Allah di surga.
2) Konseling Pastoral Keluarrga
Konseling pastoral keluarga di paroki merupakan suatu tindak lanjut dari
pembinaan keluarga katolik setelah dilaksanakannya kursus persiapan perkawinan, dan
suami-istri sudah menjalani kehidupan berkeluarga. Konseling pastoral keluarga
merupakan suatu proses pertolongan yang diberikan kepada keluarga-keluarga yang
membutuhkan pertolongan dengan maksud menolongnya secara tulus dari kesulitannya,
dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi rohaniah dan suatu perspektif yang
menyeluruh dalam kehidupan keluarga (Beek, 1989:9).
Konseling yang dimaksud di sini mempunyai arti dan fungsi yang penting dalam
bina dan reksa keluarga di paroki. Keberadaan konseling dalam karya pastoral paroki
menunjukkan perhatian Gereja dalam memelihara dan menjaga, serta menggembalakan
keluarga-keluarga katolik, supaya mereka mampu melaksanakan tugas kewajibannya
sebagai pengikut Kristus yang sejati dan ikut ambil bagian dalam tugas perutusannya.
Biasanya yang bertindak sebagai konselor (orang yang mau mendengarkan dan
membantu memecahkan persoalan) adalah para pastor dan biarawan-biarawati. Dalam
melaksanakan tugas penggembalaannya, pastor paroki biasanya membuka diri dan
memberi kesempatan kepada keluarga yang mengalami kesulitan untuk datang
kepadanya, dan berusaha membantu memecahkan persoalan-persoalan yang mereka
hadapi secara bersama-sama. Betapa penting dan bergunanya kegiatan konseling
pastoral keluarga dalam pendampingan dan penggembalaan umat di paroki, kegiatan ini
sangat membutuhkan tenaga-tenaga yang mempunyai keahlian khusus untuk membantu
keluarga-keluarga katolik yang mengalami kesulitan dalam kehidupannya.
3) Kursus permandian
Yang dimaksud dengan kursus permandian di sini adalah kursus persiapan bagi
orang tua yang ingin mempermandikan anak mereka yang masih bayi. Gereja
memandang perlu untuk menolong mereka yang ingin masuk ke dalam persekutuan
umat Allah yang Kudus, melalui pembinaan khusus yang berupa kursus permandian.
Kursus ini ditujukan kepada orang tua dan bapa ibu permandian tentang tanggung jawab
yang harus dipikul oleh mereka apabila mempermandikan anaknya.
“Sebab dari persatuan suami-istri itu tumbuhlah keluarga, tempat lahirnya warga-warga baru masyarakat manusia, yang berkat rahmat Roh Kudus karena baptis diangkat menjadi anak-anak Allah, untuk melestarikan umat Allah dari abad ke abad. Dalam Gereja keluarga itu hendaknya orang tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka, orang tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG, art.11).
Sakramen permandian merupakan tanda keselamatan dari Allah. Setiap orang
yang telah menerima sakramen permandian berhak atas Kerajaan Allah, dan
mempunyai hak serta kewajiban sebagai anak-anak Allah. Dengan menerima sakramen
permandian seseorang melepaskan manusia lama (dosa). Dengan demikian sakramen
permandian telah mempersatukan manusia dengan Kristus yang terwujud dalam
persatuan Umat Allah yang melakukan ibadat dan berkarya di hadapan sesamanya.
Para baptisan baru adalah bagian dari keluarga yang membutuhkan
pendampingan dan pembinaan. Mengingat pentingnya peranan orang tua dalam
mendidik iman anak-anak, Gereja tidak hanya membantu orang tua katolik, tetapi juga
memperhatikan lingkup di mana anak-anak merupakan tumpuan masa depan Gereja.
Lingkup keluarga merupakan tempat di mana iman dapat tumbuh dan berkembang.
peranan yang berebeda dalam fungsi, namun memiliki kesamaan dalam tujuan, yaitu
untuk membangun keluarga yang harmonis. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan
berbagai usaha dalam meningkatkan pendapatan keluarga, pendidikan keluarga,
memperluas pergaulan, dan lain-lain. Tetapi tujuan tersebut akan dapat mencapai hasil
yang semakin baik apabila diusahakan dengan landasan iman yang cukup mendalam
dari seluruh anggota keluarga (Empat Lingkup Iman, Seri Pastoral No.56, 1981:6-7).
4) Kunjungan Keluarga
Piet Noordermeer (1981:8) mengatakan: Kunjungan keluarga adalah kegiatan
Gerejani yang dilakukan oleh umat beriman untuk memberi perhatian dan berbagi cinta
kasih kepada keluarga-keluarga katolik di lingkungan atau paroki dengan cara
berkunjung dari rumah ke rumah. Kalau pada mulanya suatu kunjungan keluarga hanya
dilakukan oleh seorang pastor sebagai Gembala Gereja yang memperhatikan dan
mendampingi umat katolik, untuk mendekati dan menyapa umat yang mau
meninggalkan imannya. Sekarang ini suatu kunjungan lebih ditekannkan sebagai salah
satu usaha pendampingan dan pelayanan untuk memelihara, membina, dan memimpin
keluarga-keluarga katolik, di mana seluruh umat beriman di paroki ikut terlibat dan
turut bertanggung jawab atas kehidupan keluarga-keluarga katolik dalam masyarakat.
Hal ini akan dibahas secara mendalam pada bagian berikut.
2. Kunjungan keluarga sebagai salah satu bentuk pastoral a. Pengertian Kunjungan keluarga
Kata “kunjungan” dalam Kamus Bahasa Indonesia (Depertemen Pendidikan
Nasional, 2007:635) berarti, pergi (datang) untuk menengok, mendatangi untuk
Budyapranata, dalam buku Menjadi Saudara bagi sesama, Peningkatan Mutu
Kunjungan (1987:8-10), mengatakan bahwa kunjungan Keluarga dapat diartikan
sebagai pertemuan pribadi yang dapat menimbulkan saling pemahaman terhadap
pribadi lain, yang dilandasi oleh kesediaan seseorang untuk memahami dan melibatkan
diri pada situasi orang yang dikunjungi (Rohani, 1988:74). “Pribadi” tidak selalu
menunjuk seolah-olah, baik yang dikunjungi maupun yang mengunjungi,
masing-masing seorang diri. Sebaliknya kata pribadi lebih menunjuk pada situasi.
Dalam kunjungan keluarga, pengunjung bukanlah orang yang mau mencampuri
masalah orang yang dikunjungi, atau mengambil alih perannya, melainkan mau
memberi perhatian, oleh orang yang dikunjungi, sedemikian rupa sehingga orang mau
dikunjungi merasa bahwa kehadiran pengunjung sebagai suatu pertolongan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa dalam kunjungan keluarga yang menjadi pusat
perhatian adalah yang dikunjungi, dan bukan sebaliknya. Kunjungan merupakan
peristiwa “Penyelamatan’ atau “Pertolongan” yang lebih-lebih diarahkan bagi orang
yang dikunjungi. Hal tersebut tidak berarti bahwa dalam setiap kunjungan keluarga
tidak terdapat pengalaman di mana si pengunjung mengalami pertolongan.
Sesungguhnya, baik si pengunjung maupun yang dikunjungi, keduanya dapat
mengalami pengalaman pertolongnan yang diberikan oleh kedua belah pihak. Misalnya:
pada saat orang yang dikunjungi mensharingkan pengalamannya bisa jadi orang yang
mengunjungi diteguhkan, dikritik, dipercaya karena pengalaman tersebut.
Selanjutnya Budyapranata (1987:76), mengatakan kunjungan keluarga pada
hakekatnya adalah pertemuan pribadi. Artinya bahwa kunjungan itu bukan hanya
sekadar datang ke rumah orang lain dengan suatu urusan, tetapi menyapa orang lain
sebagai pribadi. Pertemuan ini harus dibedakan antara kepentingan untuk, atau karena