• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penghayatan spiritulaitas perkawinan Katolik oleh keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St. Yohanes Paulus Paroki St. antonius Kotabaru Yogyakarta dalam mewujudkan keluarga Katolik yang beriman - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penghayatan spiritulaitas perkawinan Katolik oleh keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St. Yohanes Paulus Paroki St. antonius Kotabaru Yogyakarta dalam mewujudkan keluarga Katolik yang beriman - USD Repository"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

DI LINGKUNGAN ST. YOHANES PAULUS PAROKI ST. ANTONIUS KOTABARU YOGYAKARTA DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA KATOLIK YANG BERIMAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh : Tiovilla Kleden NIM : 011124034

PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN

KEKHUSUSAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Skripsi ini kupersembahkan kepada: Keluarga di Kalimantan-Barat

dan

(5)

v

“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”

(6)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak termuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaiman layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 26 Maret 2007

(7)

vii

Judul skripsi adalah “PENGHAYATAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK UNTUK KELUARGA-KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO YOHANES PAULUS PAROKI SANTO ANTONIUS KOTABARU YOGYAKARTA DALAM MENGHAYATI DAN MEWUJUDKAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK”. Judul ini dipilih bertitik tolak dari situasi keluarga Katolik yang sedang menghadapi berbagai tantangan hidup yang berdampak pada munculnya persoalan-persoalan rumah tangga. Sebab dari satu sisi yang utama, keluarga-keluarga dipanggil untuk menegakkan Kerajaan Allah juga dalam keluarga, dari sisi lain keluarga-keluarga dihadapkan pada tantangan (tawaran, godaan dan cobaan) masuk dalam kerajaan duniawi.

Pembimbing dan pedoman hidup keluarga Katolik adalah anugerah Roh Kudus yang dicurahkan ke dalam hati suami-istri dalam sakramen perkawinan. Oleh karena itu dalam persekutuan yang erat antara Roh Kudus dan GerejaNya suami-istri dipanggil untuk mengamalkan dan mewujudkan pengabdiaannya sebagai suami-istri dalam iman, harapan dan cinta kasih.

Spiritualitas keluarga akan tetap menjadi suatu teori apabila tidak dihayati dan diwujudnyatakan dalam hidup setiap keluarga. Namun demikian perlu disadari bahwa untuk mewujudkan spiritualitas keluarga, setiap keluarga perlu secara terus menerus menghayati dan mewujudkan nilai-nilai spiritualitas perkawinan mereka dengan penuh kesabaran dan penuh keuletan dalam hidup konkret.

(8)

viii

The title of the thesis is “THE CHATOLIC MARRIAGE SPIRITUALITY COMPREHENSION BY CATHOLIC FAMILIES IS SAINT YOHANES PAULUS PARISH NEIGHBORHOOD SAINT ANTONIUS KOTABARU – YOGYAKARTA IN REALIZING FAMILIES CATHOLIC THE BELIFE.” This title has been chosen toward the situation of Catholic families who have faced a lot of life challenge and gave impacts to the family problems. Because of the first main part, the Catholic families has been faced toward the life offer, temptation, and teasing in the profane kingdom.

The guidance and basic life of Catholic families are the blessing of the holy spirit that is blessed inside husband and wife’s heart in the marriage sacrament. Moreover, in the federation which has connected the power of the holy spirit and God’s churches, the couples are called to practice and realize the serving activities as husband and wife in faith, hopes, and affection.

The family spirituality will become only a theory if it can’t be comprehended and realized in the every family life. But, there must be understood that for realizing family spirituality, every family must comprehend and realize their marriage spiritually value every time with a great passion and afford in the daily life.

(9)

ix

Puji syukur kepada Tuhan yang memberi dan memelihara kehidupan kepada semua orang, karena atas anugerah dan bimbingannyalah penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, setelah melewati perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Namun dalam situasi seperti itulah penulis pada akhirnya sungguh dapat merasakan karya Roh Tuhan dalam hidup penulis.

Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan program studi ilmu pendidikan kekhususan pendidikan agama Katolik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Skripsi ini ingin membantu para keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus, Paroki St.Antonius Kotabaru Yogyakarta, agar semakin mampu mengahayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinannya dalam menghadapi tantangan jaman yang terus merongrong kehidupan setiap manusia tak terkecuali keluarga.

Dengan segala usaha dan kemampuan, serta dukungan dari semua pihak yang berupa petunjuk, nasehat, saran, dan bimbingan serta kesadaran akan bimbingan Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis dengan rasa bahagia menghaturkan terima kasih yang mendalam kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno W.W. SJ. M.Ed selaku dosen pembimbing utama dan sebagai dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini dan yang telah banyak memberi semangat kepada penulis.

2. Yoseph Kristianto, SFK selaku dosen penguji II yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi dosen penguji II.

(10)

x

untuk melakukan penelitian sederhana kepada para keluarga-keluarga Katolik. 5. Mas Wondo selaku sekretaris lingkungan St.Yohanes Paulus, yang telah

memberikan data tentang situasi umum lingkungan St.Yohanes Paulus dan data keluarga-keluarga Katolik sehingga terselesainya skripsi ini.

6. Para keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus yang tak bisa penulis sebutkan namanya masing-masing, yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai.

7. Bapak dan ibu yang ada di Kal-Bar yang telah mendukung dan menyemangati penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

8. Teman-temanku yang telah memberikan dukungan bagi terselesainya skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan memerlukan kritik dan saran yang membantu dan membangun. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat menjadi inspirasi bagi mereka yang memiliki perhatian pada karya pastoral Gereja pada umumnya dan katekese keluarga pada khususnya.

Yogyakarta, 26 Maret 2007 Penulis

(11)

xi

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penulisan... 5

D. Kajian Pustaka... 5

E. Metode Penulisan ... 6

F. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II PENGHAYATAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK.. 8

A. Pengertian Spiritualitas dan Spiritualitas Perkawinan Katolik ... 9

1. Pengertian Spiritualitas ... 9

2. Spiritualitas Perkawinan Katolik ... 11

B. Gambaran Keluarga Katolik yang Menghayati Spiritualitas Perkawinan . 17 C. Makna Spiritualitas Perkawinan Katolik untuk Keluarga-Keluarga Katolik 19 1. Fides (makna kesetiaan)... 20

2. Bonum prolis (makna prokreatif) ... 21

(12)

xii

ANTONIUS KOTABARU YOGYAKARTA DI DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA KATOLIK YANG BERIMAN . 25

A. Gambaran Umum Lingkungan St.Yohanes Paulus... 27

B. Penelitian Sederhana Keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus dalam Mewujudkan Keluarga Katolik Yang Beriman ... 30

1. Pengantar Penelitian... 30

2. Laporan Hasil Penelitian ... 36

3. Pembahasan Hasil Penelitian ... 38

4. Rangkuman ... 43

BAB IV KATEKESE KELUARGA SEBAGAI JALAN UNTUK MENINGKATKAN PENGHAYATAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK MELALUI METODE SCP... 46

A. Pengertian Katekese Keluarga ... 48

1. Pengertian Katekese Keluarga ... 48

2. Tujuan Katekese Keluarga ... 49

3. Isi Katekese ... 49

B. Kekhasan Katekese Keluarga... 51

C. Metode Katekese... 52

D. Model Shared Christian Praxis... 53

1. Shared... 54

2. Christian... 55

3. Praxis... 56

E. Langkah-langkah Shared Christian Praxis... 57

F. Usulan Tema Katekese Keluarga ... 61

1. Alasan Pemilihan Tema ... 63

2. Gambaran Pelaksanaan Katekese... 64

3. Matriks Katekese... 65

(13)

xiii

B. Saran... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

LAMPIRAN... 83

1. Panduan pertanyaan wawancara ... (1)

2. Identitas responden ... (2)

3. Waktu pelaksanaan wawancara... (3)

4. Hasil wawancara dengan responden ... (4)

5. Surat ijin penelitian ... (5)

6. Dokumen Familiaris Consortio... (6)

(14)

xiv A. Daftar Singkatan Kitab Suci

Dalam skripsi ini singkatan Kitab Suci mengikuti daftar singkatan dari Direktorat Jendral Bimas Katolik Departeman Agama Republik Indonesia, Ed, Kitab suci Perjanjian Baru: Dengan Pengantar dan Cacatan Singkat, (Ende:Arnoldus 1995/1996.

B. Daftar Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II tentang Katekese Masa Kini, tanggal 16 Oktober 1979.

DCG : Directorium Catechisticum Generale, Konggresi Suci Para Klerus tentang Pedoman Umum Katekese, tanggal 11 April 1971.

FC : Familiaris Concortio, Anjuran Apostolik Yohanes Paulus II tentang Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modren, tanggal 22 November 1981. GS : Gaudium et Spes, Kontitusi Pastoral Dokumen Konsili Vatikan II

tantang Gereja Dalam Dunia Modern. KHK : Kitab Hukum Kanonik

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja

C. Daftar Singkatan Umum CT : Catechesi Tradendae

DCG : Directorium Catechisticum Generale Ef : Efesus

GS : Gaudium et Spes Kan : Kanon

(15)

xv SCP : Shared Christian Praxis St : Santo

(16)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman tidak akan pernah berhenti, permasalahan keluargapun tidak akan pernah habis. Setiap perubahan jaman membawa akibat positif dan negatif bagi masyarakat tidak terkecuali keluarga. Perubahan-perubahan yang meliputi hampir seluruh segi kehidupan itu berlangsung sangat cepat dan menimbulkan ketegangan bagi manusia dan dalam keluarga sebagai masyarakat kecil. Pertanyaan sekarang adalah: bagaimana keluarga dapat berdiri teguh mempertahankan keutuhan dan perannya dalam jaman yang terus berkembang, karena kehidupan keluarga dari generasi ke generasi akan ikut berkembang seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan jaman. Jika keluarga berdiri kokoh dengan identitasnya dan menjalankan peranannya sesuai dengan ajaran gereja, maka perubahan apapun yang dialami tidak akan menjadi batu sandungan keluarga Katolik tersebut.

(17)

Kualitas keluarga sangat dituntut untuk menghadapi berbagai tuntutan jaman, karena apapun ancaman atau akibat perkembangan jaman bagi keluarga adalah tanggung jawab dan tugas keluarga untuk mempersiapkan pribadi-pribadi yang merupakan anggota masyarakat dan anggota gereja. Oleh sebab itu tanggung jawab keluarga-keluarga Katolik dalam menghayati spiritualitas perkawinan masih sangat perlu dikembangkan secara terus menerus dan berkesinambungan, agar cinta kasih antar suami-istri, antar orang tua dan anak, antar sanak saudara, membuat keluarga menjadi komunitas cinta yang semakin dalam dan kuat.

Setiap pribadi yang ada atau dipercayakan kepada keluarga patut dihargai dan dihormati karena melalui keluarga Allah melaksanakan pengembangan umat-Nya. Keluarga mempunyai tanggung jawab untuk mencintai dan mendidik anak-anak yang dipercayakan kepada mereka. Sebagai generasi baru anak-anak-anak-anak perlu didampingi baik moral maupun spiritual sehingga mereka menjadi anggota masyarakat dan Gereja yang lebih baik dan lebih siap dalam menghadapi tantangan jaman.

Melihat kenyataan ini Gereja tidak bisa menutup mata terhadap keadaan yang terjadi didalam keluarga Katolik yang merupakan Gereja kecil. Gereja mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan menolong kelangsungan hidup keluarga Katolik terutama menyadari peranannya bagi Gereja dan dunia dengan berbagai usaha.

(18)

Kudus yang menggerakkan para suami-istri untuk selalu hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus. Roh Kudus inilah yang dapat mengaktualisasikan seluruh hidupnya sehingga bertumpu pada Allah, dan bila para suami-istri hidup di dalam Allah berarti para suami-istri harus membangun hidup yang harmonis dan erat dengan Allah sehingga para suami-istri akan dikuatkan oleh Roh Kudus di dalam mengembangkan hidupnya.

Kehadiran Allah dalam keluarga merupakan aspek yang hendak dituju melalui spiritualitas keluarga. Namun perlu diingat bahwa menyadari dan mewujudkan kehadiran Allah dalam keluarga bukanlah suatu hal yang mudah. Dari diri mereka dituntut sikap percaya, pengampunan, keberanian, ketekunan dan kesabaran untuk mewujudkan sakramen perkawinan di tengah kompleksitas kehidupan mereka. Agar hubungan suami-istri sungguh-sungguh menghadirkan apa yang di simbolkan itu, dibutuhkan spiritualitas perkawinan. Adapun spiritualitas perkawinan yaitu iman, harapan dan kasih Ilahi, yang mendorong dan memperkuat mereka yang kawin agar mereka mampu mewujudkan sakramen perkawinan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa spiritualitas merupakan sikap dasar yang menjiwai keluarga Katolik dalam menghayati dan mewujudkan panggilan hidup mereka.

(19)

mempelajarinya karena hal ini sangat penting tetapi sering kali kurang disadari oleh keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus. Hal ini penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Penghayatan Spiritualitas Perkawinan Katolik Oleh Keluarga-Keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru Yogyakarta dalam Mewujudkan Keluarga Katolik Yang Beriman”. Alasan penulis memilih judul ini yaitu: Perkawinan adalah sakramen. Yang terpenting disini adalah bagaimana para suami-istri merealisasikan janji perkawinan mereka dalam sakramen dengan kehidupan sehari-hari secara konkret dengan dasar iman yang tulus. Kasih Kristus yang menjadi dasar hidup suami-istri dalam sakramen perkawinan mereka. Maka dari itu, kasih Kristus disalurkan kepada suami-istri melalui mereka sendiri yaitu mereka sendirilah yang menjadi tanda atau sakramen satu bagi yang lain. Dengan demikian diharapkan para suami-istri akan berusaha untuk mampu mewujudkan kasih Kristus dalam perkawinan mereka. Kristus adalah dasar hidup yang paling kuat untuk hidup perkawinan mereka.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan pokok-pokok pemikiran tersebut di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang spiritualitas perkawinan? 2. Bagaimana keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus

(20)

3. Apa saja permasalahan yang mereka hadapi dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinannya?

4. Apakah melalui usaha katekese dapat menemukan pemecahan dari setiap persoalaan yang mereka hadapi dalam menghayati spiritualitas perkawinan?

C. Tujuan Penulisan

Dengan memperhatikan latar belakang dan permasalahan yang telah di sajikan di atas, maka tujuan penulisan proposal ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sejauh mana pandangan Gereja Katolik tentang spiritualitas perkawinan.

2. Untuk mendalami hakekat dan makna spiritualitas perkawinan Katolik. 3. Untuk menemukan usaha yang telah keluarga-keluarga Katolik dalam

menghayati spiritualitas perkawinan.

4. Melalui katekese keluarga-keluarga Katolik mampu mewujudkan spiritualitas perkawinan.

5. Guna memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

D. Manfaat Penulisan

Sumbangan pemikiran ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

(21)

Katolik yang dialami perlu disikapi dengan baik sehingga dapat dihayati dan ditekuni dengan lebih bersemangat dalam mewujudkan keluarga Katolik melalui spiritualitas keluarga.

2. Memberikan gambaran bagi keluarga kristiani agar dapat mengembangkan diri dengan setia dan tekun dalam menanggapi panggilan hidup sebagai suami-istri.

3. Bagi penulis manfaat yang dapat dipetik adalah penulis semakin diperkaya (pengetahuan dan wawasan) tentang spiritualitas perkawinan Katolik.

E. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini menggunakan dua metode pendekatan yaitu melalui wawancara dengan 10 (sepuluh) responden di lingkungan St. Yohanes Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru, serta studi kepustakaan yang saya peroleh sebagai bahan pengetahuan dan pengalaman yang dapat membantu demi tercapainya penulisan skiripsi ini.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan dibagi dalam lima bab yang akan diuraikan sebagai berikut: bab I, berupa pendahuluan yang akan menguraikan pokok latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, kajian pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

(22)

perkawinan Katolik, gambaran keluarga Katolik yang menghayati spiritualitas perkawinan dan maknanya untuk keluarga-keluarga Katolik.

Selanjutnya bab III membahas gambaran keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru, Yogyakarta di dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan. Berkaitan dengan topik tersebut akan dijelaskan tentang gambaran umum lingkungan St.Yohanes Paulus dan penelitian sederhana keluarga-keluarga Katolik dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan Katolik, yang terbagi dalam tiga bagian yaitu pengantar penelitian, hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.

Bab IV akan membahas katekese keluarga sebagai jalan untuk meningkatkan penghayatan spiritualitas perkawinan Katolik. Berkaitan dengan topik tersebut bagian pertama akan menjelaskan tentang pengertian katekese keluarga, tujuan dan isi katekese keluarga. Pada bagian kedua akan memaparkan tentang kekhasan katekese keluarga. Bagian ketiga akan menjelaskan metode katekese keluarga. Pada bagian keempat akan menguraikan model Shared Christian Praxis, berkaitan dengan topik tersebut bagian keempat akan dibagi menjadi empat sub bagian yaitu Shared, Christian, Praxis dan langkah-langkah Shared Christian Praxis. Bagian kelima akan memaparkan tentang usulan tema katekese keluarga. Dalam bagian kelima ini akan dibagi menjadi empat sub bagian yaitu alasan pemilihan tema, gambaran pelaksanaan katekese dan matriks program katekese keluarga. Akan disertakan juga contah persiapan katekese keluarga.

(23)

PENGHAYATAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK

Pada bab II ini akan dibahas tentang permasalahan keluarga dan perubahan jaman

yang membawa akibat postif dan negatif bagi keluarga-keluarga Katolik di jaman

sekarang ini. Di sini keluarga dituntut untuk menghadapi berbagai akibat dari perubahan

jaman, yang membawa keluarga pada situasi yang sulit. Artinya dalam menghadapi

tantangan jaman, para suami-istri diharapkan sungguh-sungguh menghayati spiritualitas

dan hakikat perkawinan mereka. Untuk itu, penulis secara khusus membicarakan dan

memaparkan secara panjang lebar dalam bab II tentang penghayatan spiritualitas

perkawinan Katolik yang pada bab I hanya dibicarakan secara singkat.

Dalam bab II ini penulis membagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama penulis akan

memaparkan secara singkat pengertian spiritualitas yang akan dilanjutkan dengan

spiritualitas perkawinan Katolik, yang terbagi dalam tiga sub bagian yaitu: perkawinan

sebagai sumber dari misteri kasih Allah, unitas, dan tak-terputuskan

(Indissolubility

).

Bagian kedua akan menggambarkan keluarga Katolik yang menghayati spiritualitas

perkawinan. Dan bagian ketiga akan menjelaskan makna spiritualitas perkawinan Katolik

bagi keluarga-keluarga Katolik, yang terdiri dari tiga sub bagian yaitu:

Fides

(makna

kesetiaan),

Bonum prolis

(makna prokreatif) dan

Sacramentum

(makna kesatuan erat

karena

“sakramentalis”

perkawinan sebagai simbol hubungan cinta kasih sempurna

antara Kristus dan GerejaNya). Pengahayatan spiritualitas perkawinan Katolik

merupakan tema yang akan penulis bicarakan dalam bab II ini. Yang terpenting dalam

(24)

misteri dari kasih Allah, karena dalam kenyataannya timbul krisis dalam perkawinan

yang disebabkan suami maupun istri sering tidak lagi menyakini perkawinan sebagai

peristiwa yang luhur dan suci.

Tuhan itu setia di dalam cinta kasih dan mencintai masing-masing manusia secara

pribadi, maka di dalam perkawinanpun Tuhan menuntut kesetiaan itu. Oleh karenanya

perkawinan kristiani itu haruslah monogam, tidak terceraikan untuk seumur hidup.

Dengan demikian, melalui bab II ini suami-istri diharapkan terbantu untuk

menyelamatkan krisis perkawinan menuju kehidupan keluarga yang penuh kedamaian,

cinta kasih, kesetiaan dan kebahagiaan melalui perwujudan makna spiritualitas

perkawinan.

A.

Pengertian Spiritualitas dan Spiritualitas Perkawinan Katolik

1.

Pengertian Spiritualitas

Istilah spiritualitas agak kabur dalam pemahaman, maka perlu dijelaskan

terlebih dahulu bagaimana istilah tersebut dipahami, dan apa spiritualitas perkawinan

Katolik untuk keluarga Katolik.

Sejak tahun 70an, berkat kebangkitan kerohanian Gereja yang diseponsori oleh

Konsili Vatikan II, pembicaraan tentang hidup dalam roh (Roma 8:4.9) atau

spiritualitas makin mendapat tempat yang sentral di kalangan jemaat beriman.

Meskipun sudah secara meluas dipakai, sesungguhnya kata spiritualitas belum

(25)

pendidikan maupun di dalam hidup beriman. Karena realitas hidup jemaat bersifat

kompleks maka juga ada berbagai pendapat tentang arti spiritualitas.

Telah banyak tokoh atau pengarang spiritualitas secara berbeda-beda di

antaranya yaitu:

a.

Heryatno (2006:71-72) menyatakan bahwa makna atau arti kata spiritualitas

dapat ditemukan di dalam konteks hidup jemaat beriman. Artinya spiritualitas

mencakup hidup doa, penghayatan iman secara mendalam, seluruh

pengalaman hidup, dan juga mencakup dimensi sosial politiknya.

b.

J. Darminta (2005: menegaskan bahwa spiritualitas merupakan inti iman yang

menyatukan seluruh daya dan unsur kehidupan.

c.

A. Heuken (2002:11) menyatakan bahwa spiritualitas adalah istilah yang agak

baru yang menandakan ‘kerohanian’ atau hidup ‘rohani’. Kata ini

menekankan segi kebersamaan, bila dibandingkan dengan kata yang lebih tua,

yaitu ‘kesalehan’, yang menandakan hubungan orang perorangan dengan

Allah.

Berdasarkan pemahaman para tokoh yang telah pengertian dan makna

spiritualitas di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa spiritualitas

berhubungan erat dengan tindakan konkret seseorang yang berusaha

memperkembangkan hidupnya dan hal itu dikaitkan dengan relasinya dengan Tuhan,

sesama dan lingkungannya.

Spiritualitas berkaitan erat dengan segi interioritas seseorang, dengan kedalaman

hidup (jiwa), yang membentuk sikap, menentukan cara seseorang mempertimbangkan

(26)

nilai-nilai yang dipegang, diwujudkan serta dikembangkan. Dengan demikian

spiritualitas dapat disebut cara mengamalkan seluruh kehidupan sebagai seorang

beriman yang berusaha merancang dan menjalankan hidup ini seperti Tuhan

menghendakinya.

2.

Spiritualitas Perkawinan Katolik

Pembimbing dan pedoman hidup keluarga kristiani adalah anugerah Roh

Kudus yang dicurahkan ke dalam hati suami-istri dalam sakramen perkawinan. Oleh

karena itu dalam persekutuan yang erat antara Roh Kudus dan GerejaNya suami-istri

dipanggil untuk mengamalkan dan mewujudkan pengabdiannya sebagai suami-istri

dalam iman, harapan dan cinta kasih.

a.

Perkawinan sumber dari misteri kasih Allah.

Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan Allah sendiri

adalah kasih. Karena itu panggilan untuk mengasihi merupakan panggilan khas

manusia. Manusia mirip dengan Allah sejauh ia menjadi manusia yang mencintai dan

mengasihi.

Dari relasi manusia dan Tuhan itulah bersumber ikatan yang tak terputuskan

antara roh yang mengekspresikan diri dalam tubuh. Tubuh dihidupi oleh roh yang tak

dapat mati. Karena itu, tubuh pria dan wanita bukanlah sekedar tubuh, melainkan

memiliki karekter teologis (Heuken, 2002 : 17-19).

Dari kedua ikatan itu, yakni ikatan manusia dengan Allah dan kesatuan tubuh

(27)

dan institusi. Dalam ikatan ketiga ini seluruh pribadi manusia dituntut secara total

untuk mewujudkan dan membuahkan kesetiaan. Hanya dengan demikian kesetiaan

dapat berkembang, memberi harapan di masa depan, dan memungkinkan anak-anak

fruit of love,

untuk menaruh kepercayaan kepada manusia dan masa depannya dalam

situasi-situasi sulit sekalipun. Maka tanggung jawab ini menjamin juga masa depan

masyarakat yang lebih baik.

Perkawinan adalah sebuah perjanjian timbal balik antara seorang pria dan

seorang wanita. Pertama-tama perjanjian ini digerakkan oleh cinta kasih. Karena

cinta dan demi cinta Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan sekaligus

Allah memanggil mereka untuk saling mencintai. Sebagaimana Allah adalah cinta

dan hidup di dalam persekutuan cinta kasih tritunggal demikian juga Allah menaruh

dalam hati laki-laki dan perempuan daya dan panggilan untuk mencintai dan

membentuk persaudaraan, kesatuan dan persekutuan hidup.

Allah sendirilah yang mendirikan perkawinan itu dan menganugerahinya

dengan rahmat dan tujuan, maka secara kodratinya perkawinan itu suci (GS 48).

Dengan demikian Tuhan sendirilah yang menjadi jaminan stabilitas persekutuan

cinta kasih itu.

Cinta kasih suami-istri merupakan dasar dari perkawinan. Ikatan pribadi

yang mau diusahakan dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan

penyerahan diri secara total. Salah satu ungkapan penyerahan diri itu adalah dengan

persetubuhan yang berdasarkan cinta kasih.

Cinta kasih yang diikat dalam suatu perkawinan hendaknya dikembangkan

(28)

dinyatakan dalam janji perkawinan semakin nyata. Cinta kasih suami-istri bersifat

total, menyeluruh serta melibatkan seluruh pribadi dan hidup manusia. Hal ini

meliputi seluruh aspek, misalnya persaan hati, akal budi dan kehendak

(Budyapranata 1981:13-32).

Dengan demikian cinta kasih yang total dan menyeluruh ini menggabungkan

yang manusiawi dan ilahi, serta mendorong suami-istri untuk saling memberi diri

dengan bebas. Ini diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari melalui perkataan

dan perbuatan. Cinta kasih yang seperti ini meresapi seluruh kehidupan suami-istri

dan mendorong mereka untuk saling menyerahkan diri dengan bebas dan

bertanggung jawab. Misalnya, cinta kasih penyerahan diri ini terwujud dalam

persetujuan yang bebas dan bertanggung jawab .

b.

Unitas

Dalam Gereja Katolik, sifat hakiki perkawinan adalah unitas, artinya

kesatuan dan monogam, sebagai berikut:

1)

Unity

Perkawinan mempertemukan dan mempersatukan dua pribadi yang

berbeda. Kesatuan ini tidak menghilangkan leprinadian tiap pihak tetapi saling

melengkapi antara pria dan wanita yang telah sepakat dengan rela untuk

bersama-sama melaksanakan seluruh rencana hidup mereka dalam hidup

(29)

Membangun suatu rumah tangga berarti mengembangkan hubungan

cinta kasih antara para anggota keluarga, baik antara suami-istri, antara orang

tua anak mapun sesama anggota keluarga lainnya. Dengan demikian, keluarga

Katolik dipanggil untuk melaksanakan tugas pokok ajaran Kristus yakni

“Kasih” dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai kesatuan mereka dituntut untuk

menerima satu sama lain apa adanya, saling berbagi dan saling melengkapi

serta saling mendukung baik dalam untung dan malang karena ketaatan

kepada kehendak Allah yang kudus “apa yang telah dipersatulam oleh Allah,

janganlah diceraikan oleh manusia” (Mat 19;16). Dalam perkawinan

suami-istri mempersatukan diri dengan bebas bahkan dikukuhkan oleh kehendak

Allah melalui sakramen.

Kitab Kejadian 2:24 menyatakan “Sebab itu seorang laki-laki akan

meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga

keduanya menjadi satu daging”. Berdasarkan Kej 2:24 ini, cinta kasih

suami-istri bersifat penuh atau utuh karena meliputi seluruh pribadi, jiwa dan raga.

Oleh akrena itu, seorang laki-laki akan meninggalkan kedua orang tuanya

untuk bersatu dengan istrinya. Hanya kepada seorang istri saja seorang suami

memberikan seluruh hidupnya termasuk tubuhnya seperti terungkap dalam

hubungan seksual. Demikian juga seorang istri memberikan seluruh diri

(30)

2)

Monogam

Perkawinan monogam adalah perkawinan yang antara seorang pria dan

seorang wanita yang ingin mempersatukan diri dan hidupnya. Dalam hal ini

tidak dibenarkan adanya poligami atau poliandri, yaitu bahwa seorang pria

atau seorang wanita mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang dalam

waktu yang bersamaan.

Pesekutuan suami-istri membutuhkan kesetiaan yang utuh dan

dinamis. Setia berarti rela dan berani memberikan diri kepada seorang pribadi

yang menuntut ketunggalan, yaitu hanya seorang pria dan seorang wanita

yang mengambil bagian dalam hidupnya.

Dengan demikian diharapkan para suami-istri saling mengasihi dengan

kasih yang utuh dan setia. Sebab bila kasih mereka tidak utuh dan tidak setia,

perkawinan mereka tidak layak menjadi lambang dari hubungan antara Allah

dengan GerejaNya, yang juga bersifat utuh dan setia (GS 48-49). Karena itu

perkawinan bersifat monogam baik secara hukum maupun secara moral.

c.

Tak-terputuskan

(Indissolubility

)

Yang dimaksud dengan tak terceraikan atau

indissolubilitas

adalah

perkawinan antara pria dan wanita yang telah dilangsungkan secara sah dengan

mengungkapkan kesepakatan nikah secara bebas, penuh, dan sungguh-sungguh

menurut tuntutan

hukum (kan.1101) mempunyai akibat tetap dan tidak bisa

(31)

2002: 12). Sifat tak terceraikan atau

indissolubilitas

perkawinan ini dibedakan

menjadi dua yaitu:

1)

Indissolubilitas absoluta

Indissolubilitas absoluta,

yaitu ikatan perkawinan tidak bisa

diputuskan oleh kuasa manapun kecuali oleh kematian, misalnya perkawinan

antara dua orang dibaptis, baik Katolik maupun Kristen (sakramen) yang

sudah disempurnakan dengan persetubuhan

(ratum et consummatum).

Kanon

1141 menerangkan bahwa perkawinan

ratum

dan disempurnakan dengan

persetubuhan tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun juga dan

atas alasan apapun, selain oleh kematian. Injil Markus 10:9 juga menyatakan

“Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan

manusia”, karena perkawinan tersebut melambangkan secara penuh dan

sempurna hubungan kasih antara Kristus dengan GerejaNya dan tidak pernah

meninggalkan GerejaNya, demikian juga antara suami-istri yang telah dibaptis

tidak dapat saling memisahkan diri (Ef. 5:22-32).

2)

Indissolubilitas relativ

Indissolubilitas relativ,

berarti bahwa ikatan perkawinan tersebut

memang tidak bisa diputuskan atas dasar consensus dan kehendak suami-istri,

namun bisa diputuskan oleh kuasa gerejani yang berwenang atas alasan yang

berat. Tujuan perkawinan ini baru dapat terjadi setelah terpenuhinya

(32)

untuk perkawinan

ratum et non consummatum.

Perkawinan ini artinya

perkawinan yang tidak dapat disempurnakan dengan persetubuhan antara

orang-orang yang telah dibaptis. Untuk perkawinan non sakramen

ketentuan-ketentuan hukumnya diatur oleh kanon 1142-1149.

B.

Gambaran Keluarga Katolik yang Menghayati Spiritualitas Perkawinan

Bagi kita perkawinan merupakan “ikatan cinta mesra dan hidup bersama yang

diadakan oleh Sang Pencipta dan dilindungi oleh hukum-hukumNya” (

Gaudium et spes,

48

). Kasih suami-istri bersumber pada cinta Ilahi, dan seharusnya diwujudkan menurut

pola persatuan Kristus dengan GerejaNya. Perkawinan suami-istri didukung dan

disucikan oleh Kristus Sang Penyelamat dan Gereja mempelaiNya.

Kristus tetap menyertai suami-istri supaya mereka tetap saling mengasihi dan

saling menyerahkan diri, dan setia untuk selamanya, seperti Kristus telah mengorbankan

diri demi GerejaNya. Mereka harus dibimbing sungguh-sungguh menuju Allah. Mereka

perlu dibantu dan diteguhkan untuk mengamalkan panggilan luhur sebagai ayah dan ibu.

Demikian suami-istri dikuatkan dan seolah-olah ditahbiskan dengan sakramen khusus

untuk menunaikan tugas mereka yang luhur. Berkat daya sakramen inilah mereka

melaksanakan kewajiban dalam hidup berkeluarga. Semangat Kristus harus meresapi

seluruh hidup mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Begitulah mereka saling

menyempurnakan dan menyucikan (

Gaudium et spes, 48).

Kita semakin sadar bahwa perkawinan itu persekutuan cinta kasih antara pria dan

wanita, yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya

(33)

menyempurnakan dan bantu-membantu. Hanya dalam suasana hormat-menghormati,

saling menerima, saling memberi baik dalam dalam keadaan suka dan duka inilah,

persekutuan cinta kasih itu dapat berkembang sehingga tercapai kesatuan hati yang

dicita-citakan. Suasana ini pun merupakan dasar paling serasi untuk menerima

buah-buah kesatuan itu, yakni keturunan.

Tuhan bermaksud menyelamatkan manusia melalui sesamanya. Secara sangat

konkrit ini berlangsung dalam perkawinan dan kehidupan keluarga Katolik. Suami-istri

ditahbiskan untuk mengamalkan cinta kasih dan melanjutkan karya penyelamatan Kristus

dalam keluarga mereka. Demikianlah rumah tangga menjadi sel hidup Gereja (

ecclesiola:

Gereja kecil).

Daya tarik dan pengaruh cita-cita Katolik janganlah diabaikan dalam menghadapi

kungkungan adat dan materialisme modern, yang keduanya sangat kuat. Kenyataan

sebagaimana adanya sering masih jauh dari cita-cita itu.

Inilah kenyataan lain yang lebih mendalam, persekutuan hidup dan cinta mereka

yang menunju pada persekutuan hidup yang lebih luhur, yaitu bahwa hubungan

suami-istri merupakan tanda dari hidup Kristus yang diserahkanNya demi keselamatan kita dan

hidup kita yang harus kita serahkan kepadaNya. Saling serah diri antara suami-istri

melambangkan kenyataan, bahwa Kristus mengorbankan diri untuk kita dan kita harus

bersedia menjadi milikNya. Sakramen perkawinan menandakan, betapa nyatanya cinta

kasih Allah, yang menyayangi manusia sehingga menyerahkan putraNya.

Dengan demikian bagi suami-istri yang mau membangun “Gereja kecil” yakni

rumah tangga, tidak pernah sumber cinta kasih Ilahi itu akan kering. Itulah warta gembira

(34)

mereka pun akan menyampaikan warta gembira itu secara nyata bagi sesama, yaitu

bahwa kita semua tetap dicintai Allah (

Gaudium et spes, 17a.)

C.

Makna Spiritualitas Perkawinan Katolik untuk Keluarga-Keluarga Katolik

Menurut Agustinus perkawinan kristiani

mempunyai tiga makna yang luhur

yaitu:

fides

(makna kesetiaan),

bonum prolis

(makna prokreatif), dan sacramentum

(makna kesatuan erat karena “sakramentalis” perkawinan sebagai symbol hubungan cinta

sempurna antara Kristus dan GerejaNya) (Purwahadiwardoyo, 1988:88).

Fides

adalah

memberikan kesetiaan. Artinya para suami-istri tidak punya ikatan dengan orang lain,

proles

yaitu mendorong mereka menerima anak-anak dengan penuh cinta, memberikan

nafkah secara layak, dan mendidik secara agamawi dan

sacramentum

menyatukan para

suami-istri sehingga tak akan bercerai.

1.

Fides (

makna kesetian)

Ciri-ciri perkawinan kristiani yang mengandung kesetiaan merupakan ukuran

bagi suami-istri dalam membina kelanggengan hidup perkawinan mereka bersama ke

arah iman kristiani yang semakin sempurna dan menyatu dalam hidup sehari-hari.

Unsur pokok di dalam cinta kasih perkawinan adalah kesetiaan akan

pasangannya dalam segala situasi baik dalam kebahagian maupun kesedihan. Cinta

suami-istri menunjukkan kesetiaan itu juga lewat hubungan mereka yang murni,

mengikuti norma-norma ilahi dan hukum-hukum kodrati. Kesetiaan itu juga didukung

(35)

yakni cinta yang tunggal, suci dan murni seperti cinta kasih Kristus kepada Gereja

(Ef.5:25).

Cinta kasih suami-istri itu tidak hanya mempersatukan mereka satu sama lain,

melainkan juga mendorong mereka kepada kesempurnaan, sampai pada cinta kepada

Allah dan sesama (Mat 22:40). Cinta kasih itulah alasan dan motif pokok perkawinan,

tak hanya sebagai lembaga

prokreatif

, malainkan juga sebagai persekutuan hidup

seluruhnya.

Perkawinan menjadi tempat diwujudnyatakannya kesetiaan dalam cinta kasih

antara suami-istri. Dalam perkawinan ini suami-istri berhubungan atas dasar kesetiaan

dalam cinta kasih. Ikatan kesetiaan ini pulalah yang membuat mereka saling

memperkembangkan dan saling menyempurnakan.

Kesetiaan dalam cinta kasih suami-istri ini perlu diwujudnyatakan dalam

seluruh kehidupan perkawinan mereka. Kesetiaan dalam cinta kasih suami-istri

hendaknya terungkap makin sempurna dalam perbuatan mereka. Untuk itu banyak

cara yang khas dan paling mesra untuk mengungkapkan kesetiaan dalam cinta kasih

suami-istri adalah tindakan penyerahan diri secara penuh satu sama lain.

2.

Bonum prolis

(makna prokreatif)

Cinta kasih suami-istri merupakan partisipasi istimewa dalam misteri

kehidupan dan cinta kasih Allah sendiri. Partisipasi ini merupakan pengabdian pada

kehidupan yang nyata secara konkret diwujudkan melalui prokreasi. Akan tetapi tidak

(36)

rohani dan adikodrati, yang oleh ayah-ibu seturut panggilan mereka disalurkan

kepada anak-anak mereka, dan melalui anak-anak itu Gereja dan dunia.

Sebagai pelayan kehidupan, keluarga juga berperan sebagai pembela

kehidupan, karena dalam kehidupan setiap manusia, ia melihat Kristus sendiri. Gereja

dan keluarga bersama-sama berjuang melawan segala macam ancaman yang merusak

kehidupan, misalnya pengaturan aborsi.

Dalam rencana Allah, suami-istri melalui perkawinan, dipanggil pada

kekudusan. Dan panggilan luhur ini terpenuhi sejauh manusia berusaha menciptakan

kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menanggapi rencana Allah itu, sehingga

mereka dapat menghayati spiritualitas perkawinan serta menyadari tujuannya sebagai

pengabdian pada kehidupan.

Suami-istri adalah penentu dan harapan masa depan bagi anak-anaknya

sekaligus contoh iman yang baik. Maka terletak peranan suami-istri dalam membina

keturunan mereka menuju ke arah yang lebih baik. Tanggung jawab itulah peranan

suami-istri dalam membina keturunan mereka menuju ke arah hidup yang baik

merupakan tugas yang berat. Meskipun tugas panggilan suami-istri sangat mulia,

karena semua tanggung jawab yang meliputi kebutuhan rumah tangga dan segala

kewajiban seperti mendidik anak dan bekerja. Maka suami-istri mempunyai peran

ganda, yakni sekaligus menjadi suami dan istri dan menjadi orang tua yang baik.

Teladan orang tua menjadi cermin anak dan lingkungan menuju kesejahteraan hidup

yang sehat.

Dengan demikian bagi orang tua kristiani, tugas mendidik anak-anak mendapat

(37)

sakramen perkawinan menghiasi orang tua kristiani dengan martabat dan panggilan

khusus untuk mendidik anak-anak secara kristiani. Mereka dipercaya dengan

kebijaksanaan, kekuatan, nasehat dan anugerah Roh Kudus agar dapat membantu

anak-anak mereka bertumbuh secara manusiawi dan kristiani.

3.

Sacramentum

Nilai tertinggi dari perkawinan adalah nilai sakramentalnya. Nilai-nilai

tertinggi perkawinan itu dihayati oleh orang beriman sebagai karya Allah sendiri yang

mencintai umatNya dan telah diangkat menjadi sakramen. Persatuan cinta kasih

suami-istri melambangkan cinta kasih Kristus pada GerejaNya. Sifat sakramentalis

perkawinan secara resmi diwujudkan sewaktu suami-istri mengikrarkan janji

perkawinan dan sifat ini perlu dikembangkan dalam kehidupan nyata dengan saling

mencintai dan saling menyerahkan diri secara terus menerus.

Perkawinan kristiani disebut

sacramentum

karena perkawinan dilihat sebagai

simbol kesatuan Trinitas: seperti hubungan Bapa-Putra-Roh Kudus, begitulah

hubungan suami-istri-anak. Artinya Putra berasal dari Bapa, Roh Kudus berasal dari

Bapa dan Putra, anak-anak berasal dari suami-istri (Purwa, 1988: 40).

Ciri tak terceraikannya perkawinan yang diberikan oleh Kristus sebagai tanda

yang menghasilkan rahmat. Sakramentalis perkawinan secara khusus memberikan arti

dan menjadikan persekutuan yang memberikan rahmat sebagai sumber hidup,

menyempurnakan serta meneguhkan cinta serta kesatuan suami-istri yang di dalami

(38)

Sakramen perkawinan dan persetujuan nikah sangat erat hubungannya,

sehingga persetujuan itu mengandung makna yang bersifat sacral. Suami-istri saling

meneguhkan melalui janji perkawinan di hadapan Tuhan sendiri dan melalui

sakramen perkawinan suami-istri dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab hidup

berkeluarga dengan kesetiaan yang mereka bina. Suami-istri harus tetap ingat bahwa

perkawinan kristiani merupakan sakramen, maka perkawinan kristiani bersifat

monogam.

Dengan demikian melalui kekuatan sakramen perkawinan ini suami-istri

diharapkan mampu menghadirkan Allah dalam kehidupannya dan mampu

mewujudkan kesetiaan dalam cinta kasih sebagai kesatuan yang tak terpisahkan,

karena dengan kesetiaan dalam cinta kasih mereka dapat merasakan kehadiran Allah

(39)

GAMBARAN KELUARGA-KELUARGA KATOLIK

DI LINGKUNGAN SANTO YOHANES PAULUS PAROKI KOTABARU YOGYAKARTA DI DALAM MENGHAYATI DAN MEWUJUDKAN

SPIRITUALITAS PERKAWINAN

Spiritualitas merupakan segi hidup kita yang sangat pribadi, yakni mengamalkan iman akan Yesus Kristus pada masa kini, di tempat ini, bersama dengan orang ini dan masyarakat kita ini sebagaimana adanya. Berkat Roh Kudus orang beriman diikutsertakan dalam kepenuhan hidup Allah Tritunggal (Ef. 3,19). Artinya umat Allah dipanggil, diutus dan dikuatkan untuk ikut serta mengembangkan, memanusiakan atau menguduskan dunia kita ini.

Allah meletakkan dasar perkawinan manusia dengan menciptakan laki-laki dan perempuan. Perbedaan itu dimaksudkan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan kehidupan perkawinan mereka (Budyapranata, 1981:73).

(40)

Melalui bab II, kita telah mengetahui dan memahami tentang spiritualitas keluarga-keluarga Katolik. Spiritualitas keluarga akan tetap menjadi suatu teori apabila tidak dihayati dan diwujudnyatakan dalam hidup setiap keluarga. Namun demikian perlu disadari bahwa untuk mewujudkan spiritualitas keluarga, setiap keluarga perlu secara terus menerus menghayati dan mewujudkan nilai-nilai spiritualitas perkawinan mereka dengan penuh kesabaran dan penuh keuletan dalam hidup konkret.

(41)

A. Gambaran Umum Lingkungan St.Yohanes Paulus

Lingkungan St.Yohanes Paulus adalah salah satu lingkungan bagian dari Paroki St.Antonius Kotabaru Yogyakarta. Lingkungan St.Yohanes Paulus ini, jika dilihat dari letak geografisnya sangat strategis. Karena letak lingkungan ini bisa dilalui oleh kendaraan baik mobil, motor, becak dan hanya berjarak + 800m dari pusat Paroki.

Untuk memperoleh data mengenai gambaran umum di lingkungan St.Yohanes Paulus ini, penulis meminta ijin kepada ketua lingkungan untuk melakukan penelitian dengan metode wawancara. Adapun penelitian tersebut akan dilakukan kepada sepuluh responden. Maka penulis dianjurkan oleh ketua lingkungan untuk meminta langsung kepada sekretaris lingkungan yang kebetulan juga sebagai mudika senior di lingkungan St.Yohanes Paulus. Hal ini cukup banyak membantu penulis, karena beliau mengetahui tentang gambaran umat di lingkungan St.Yohanes Paulus sehingga dalam memperolah data penulis merasa sangat terbantu dan tidak mengalami kesulitan.

Dalam menentukan kesepuluh responden, penulis mencoba untuk meminta bantuan kepada sekretaris lingkungan. Adapun alasannya karena beliau cukup mengetahui tentang usia perkawinan di bawah sepuluh tahun dan di atas sepuluh tahun serta mengetahui keadaan keluarga yang masih utuh dan keluarga yang sudah tidak utuh lagi.

(42)

kegiatan-kegiatan yang ada, serta karya-karya umat yang ada di lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru, Yogyakarta.

Umat Katolik yang tinggal di lingkungan St.Yohanes Paulus sebagian besar berasal dari suku Jawa asli atau sering disebut sebagai masyarakat pribumi. Akan tetapi di lingkungan ini juga terdapat beberapa warga pendatang yang berasal dari berbagai macam daerah (Sumatra, Kalimantan, Papua, Flores dan Timor-Timor). Dalam prosentasinya bisa dikatakan bahwa 60% adalah penduduk asli dan 40% adalah warga pendatang. Meskipun dalam lingkungan ini terdapat beraneka suku dan kebudayaan, namun dalam kehidupan sehari-hari keluarga-keluarga Katolik tidak pernah mempersoalkan tentang latar belakang suku, ras dan budaya yang berbeda.

Umat Katolik menilai perbedaan merupakan peluang bagi mereka untuk membangun kehidupan bersama dengan semangat persaudaraan sejati. Keadaan ini terbukti dengan adanya semangat solidaritas yang tinggi antara umat yang hidup berdampingan dengan umat yang berbudaya lain.

Lingkungan St.Yohanes Paulus dibatasi oleh: sebelah Utara dengan rel kereta api Stasiun Lempuyangan Yogyakarta, sebelah Barat dengan Lingkungan St.Yusuf Ledok Tukangan, sebelah Selatan dengan Jl. Mas Suharto, dan sebelah Timur dengan Tukangan.

(43)

Paulus berada pada tingkat ekonomi kalangan menengah yang rata-ratanya sebagai pekerja swasta dan menengah ke bawah, ini dapat diukur dari pendapatan perharian mereka yang tidak tetap. Jika di lihat dari prosentasenya menengah sekitar 50% dan menengah ke bawah 50%. Mata pencarian umat di lingkungan St.Yohenes Paulus ini mayoritas ada yang bertoko, berjualan makanan, dan buruh bagunan/toko, PNS tetapi ada juga yang wiraswasta.

Umat Lingkungan St.Yohanes Paulus berjumlah 60 KK dengan 200 jiwa dan mayoritas umatnya adalah orang tua. Hal ini disebabkan setelah selesai kuliah anak-anak muda pergi merantau untuk mencari pekerjaan. Perkembangan umatnya tidak tetap. Artinya umat yang dibaptis waktu bayi dan baptis dewasa dalam tiap tahunnya tidak menentu, dan umat yang datang dan pergi adalah para mahasiswa yang datang dari luar dari Yogyakarta untuk kuliah.

(44)

B. Penelitian Sederhana Keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus dalam Menghayati dan Mewujudkan Spiritualitas Perkawinan Katolik

1. Pengantar Penelitian

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, jenis penelitian, teknik pengumpulan data, responden penelitian, waktu dan tempat penelitian, variabel penelitian, hasil penelitian serta pembahasan data penelitian di lingkungan St.Yohanes Paulus Paroki St.Antonius Kotabaru Yogyakarta.

a.Latar Belakang Penelitian

Sakramen perkawinan adalah tanda perjanjian antara Kristus dan GerejaNya. Ia memberi rahmat kepada suami-istri, agar saling mencintai dengan cinta, yang dengannya Kristus mencintai Gereja. Ini berarti rahmat sakramen menyempurnakan cinta manusiawi suami-istri, meneguhkan kesatuan yang tak terhapuskan dan menguduskan mereka di jalan menuju hidup abadi.

(45)

Perkawinan juga “sakramen iman”, di dalamnya dinyatakan iman akan Kristus sebagai dasar dan kekuatan ikatan perkawinan. Perkawinan dan hidup keluarga sendiri bagi umat beriman menjadi sarana mengungkapkan imannya dan dengan demikian juga menghayatinya. Keistimewaan sakramen perkawinan tidak terletak dalam bentuk upacaranya, tetapi dalam pengungkapan iman itu.

Keluarga Katolik adalah tempat anak-anak menerima pewartaan pertama mengenai iman. Karena itu tepat sekali ia dinamakan “Gereja rumah tangga” satu persekutuan rahmat dan doa, satu sekolah untuk membina kebijakan-kebijakan manusia dan cinta kasih kristiani.

Hal ini pula sekaligus menjadi tantangan bagi keluarga-keluarga di lingkungan St.Yohanes Paulus. Berdasarkan keprihatinan dan hasil wawancara dengan sekretaris lingkungan St.Yohanes Paulus, berkurangnya semangat keluarga-keluarga Katolik dalam menghadirkan dan mewujudkan gambaran hidup keluarga sebagai Gereja rumah tangga. Hal ini disebab karena kesibukan para orang tua bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Bahkan ada beberapa keluarga yang tergolong cukup berpengalaman dalam mengarungi hidup berkeluarga belum mengetahui dan memahami sepenuhnya peranan dan tugas serta sumber kekuatan panggilan hidup perkawinan.

(46)

malalui apa yang mereka harapkan. Kehadiran Allah inipun kurang mereka sadari. Dalam kehidupan sehari-harinya para orang tuapun kurang memperhatikan perkembangan iman dan kebutuhan rohani bagi anak-anaknya, karena terlalu sibuk berkerja di luar rumah mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan segala materi bagi keluarga.

Kehadiran Allah dalam keluarga merupakan aspek yang hendak dituju melalui spiritualitas keluarga. Namun perlu diingat bahwa menyadari dan mewujudkan kehadiran Allah dalam keluarga bukanlah suatu hal yang mudah. Dari diri mereka dituntut sikap percaya, pengampunan, keberanian, ketekunan, kesabaran untuk mewujudkan sakramen perkawinan di tengah kompleksitas kehidupan mereka.

Maka dari itu, Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas cinta kasih yang beraneka ragam yang berasal dari sumber cinta kasih Ilahi, dan terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian kasih dan kesetiaan, begitu pula sekarang Penyelamat umat manusia dan mempelai Gereja, melalui sakramen perkawinan menghampiri suami-istri Katolik. Oleh Karena itu suami-istri dikuatkan dan dikuduskan untuk tugas dan kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas.

(47)

Mereka makin mendekati kesempurnaan mereka dan makin saling menguduskan, dan bersama-sama makin memuliakan.

Jadi keberadaan keluarga sebagai anggota gereja, masyarakat dan negara ikut mempergaruhi seluruh kehidupan. Semua keluarga harus mengambil peran terhadap keluarganya dan berusaha mengembangkan hidup beriman, agar gambaran Gereja sungguh-sungguh hadir dalam keluarga.

Dengan demikian kesadaran akan tugas perutusan yang diterima dalam sakramen perkawinan akan membantu orang tua kristiani dalam mendidik iman bagi anak-anak dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab dihadapan Allah yang memanggil dan memberi mereka perutusan untuk membantu Gereja dalam diri anak-anak mereka.

b.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah-masalah yang akan di bahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1) Apakah keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St.Yohanes Paulus sudah cukup memahami spiritualitas perkawinan?

2) Apa saja permasalahan yang mereka hadapi dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinannya?

(48)

c. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif naturalistik. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Sedangkan naturalistik adalah penelitian yang mengungkapkan subyek sejauh mungkin apa adanya. Jadi penelitian kualitatif naturalistik menunjukan bahwa pelaksanaan penelitian dilakukan dalam situasi lapangan yang bersifat natural atau wajar (Moleong,1988:6).

d.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara. Metode wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Artinya percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,1988:186). Dengan menggunakan metode wawancara ini, penulis ingin mengetahui bagaimana keluarga-keluarga Katolik memahami spiritualitas perkawinan mereka secara lebih jelas. Wawancara dilakukan di rumah masing-masing keluarga, hal ini dimaksudkan agar setiap keluarga dapat dengan leluasa mensharingkan pengalaman keluarga dengan bebas, tanpa curiga dan takut.

(49)

e.Responden Penelitian

Responden dari kata asal “respon” atau tanggap, yaitu orang yang menanggapi. Dalam penelitian ini, responden yang diminta untuk memberikan keterangan tentang fakta yang berkaitan dengan penghayatan spiritualitas perkawinan Katolik adalah keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus, yang berjumlah 10 (sepuluh) keluarga.

Responden ini dipilih berdasarkan keadaan keluarga, artinya keluarga yang masih utuh dan keluarga yang sudah tidak utuh lagi. Keluarga yang masih utuh maksudnya adalah keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anak dan keluarga yang sudah tidak utuh lagi maksudnya ialah keluarga yang istri atau suaminya sudah meninggal dunia.

f. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian diadakan di Lingkungan St.Yohanes Paulus Kotabaru Yogyakarta dan waktu dilaksanakan pada bulan September 2006.

g.Variabel Penelitian

(50)

dilakukan keluarga dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan mereka.

Variabel penelitian secara jelas diuraikan dalam empat bagian pokok masing-masing dalam pokok variabel penelitian dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

No Variabel Item Jumlah

1 Identitas responden 1,2,3,4,5 5

2 Penelitian terhadap paham spiritualitas dan perwujudannya

6,7,8 3

3 Permasalahan yang dihadapi keluarga Katolik dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan

9,10,11 3

4 Usaha yang telah dilakukan keluarga Katolik dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan mereka.

12,13,14,15 4

Total 15 15

2. Laporan Hasil Penelitian

(51)

Responden ditentukan oleh sekretaris lingkungan. Adapun alasannya karena sekretaris lingkungan mengetahui mana keluarga muda (keluarga di bawah sepuluh tahun) dan mana keluarga sudah tua (di atas sepuluh tahun).

Penelitian dengan metode wawancara ini berlangsung selama kurang lebih satu minggu dan wawancara dilakukan di rumah masing-masing responden agar responden lebih leluasa dan terbuka dalam menjawab setiap pertanyaan. Dalam melakukan wawancara penulis telah mempersiapkan daftar pertanyaan yang berfungsi sebagai acuan (lihat lampiran 1).

Selama proses wawancara berlangsung penulis menemui responden yang terdiri dari dua pasang suami-istri, empat orang bapak dan empat orang ibu (lihat lampiran 2).

Lamanya proses wawancara tiap responden berbeda-beda ada yang sampai satu setengah jam karena selain para responden menjawab pertanyaan juga bercerita panjang lebar tentang situasi kehidupan keluarganya dan ada juga responden hanya menjawab apa adanya dari tiap pertanyaan yang penulis ajukan dan hanya membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit serta ada responden yang menangis ketika menjawab salah satu pertanyaan karena teringat akan masa lalunya.

(52)

Dalam pelaksanaan wawancara penulis mengajak salah satu teman. Alasannya untuk menghindari kecurigaan responden terhadap penulis ketika sedang melakukan wawancara dan untuk memudahkan responden dalam mensheringkan pengalaman mereka.

Ketika melakukan wawancara banyak pengalaman yang penulis alami. Pengalamannya antara lain yaitu penulis merasa sangat diterima dan dihargai oleh para responden, ada beberapa responden yang tanpa merasa malu untuk menceritakan pengalaman hidupnya selama membina hidup berumah tangga bersama pasangannya, ada responden yang usia perkawinannya sudah cukup tua memberikan nasehat pada penulis dan pengalaman penulis pernah ditolak oleh salah satu responden. Alasannya karena responden mau mengikuti arisan WK. Pengalaman yang sangat melelahkan penulis yaitu harus bolak-balik ke rumah responden berulang kali karena terlalu sibuk dan harus manjat tembok setiap harinya serta penulis banyak belajar dari kehidupan para responden dalam membina hidup berumah tangga.

3. Pembahasan Hasil Penelitian a. Identitas responden

No Usia perkawinan Jumlah anak Pekerjaan Keterangan 1 7 tahun 2 orang Wiraswasta Pasutri

2 8 tahun 2 orang PNS Bapak

3 18 tahun 2 orang PNS Bapak

4 21 tahun 2 orang PNS Bapak

(53)

6 30 tahun 2 orang Swasta Bapak 7 42 tahun 5 orang Pensiunan P dan K Pasutri 8 42 tahun 3 orang Wiraswasta Ibu 9 46 tahun 2 orang Pensiunan ABRI Bapak 10 47 tahun 5 orang Wiraswasta Bapak

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis usai perkawinan paling muda berusia tujuh tahun paling lama berusia empat puluh tujuh tahun. Jika dilihat dari usia perkawinannya di atas sepuluh tahun para responden telah berhasil melewati masa-masa kritis di dalam mengarungi bahtera rumah tangga bersama pasangannya, bahkan ada responden yang perkawinannya pada saat itu baru berusia lima tahun telah ditinggal oleh suami tapi sampai saat ini cintanya pada suami belum berubah.

Dari sepuluh responden yang berhasil diwawancarai jumlah anak tiap responden berbeda-beda dari dua orang sampai dengan lima orang (lihat lampiran 2). Dengan jumlah anak dua orang mereka tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mendampingi, mengawasi dan mendidik anak-anak bila dibandingkan dengan keluarga yang memiliki jumlah anak-anak lima orang.

(54)

responden yang dulunya bekerja di pemerintahan karena peralihan dari orde lama ke orde yang baru responden ini dipecat dengan alasan dituduh sebagai anggota PKI.

b. Paham keluarga Katolik tentang spiritualitas perkawinan

Setiap responden mengatakan bahwa tiap keluarga Katolik mempunyai tujuan dan cita-cita yakni membangun keluarga yang penuh dengan keharmonisan dan kebahagiaan. Untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut tiap-tiap keluarga membutuhkan perjuangan, pergulatan dan usaha tanpa henti dalam membangun suasana penuh keharmonisan dan kebahagiaan baik terhadap pasangannya maupun terhadap anak-anaknya. Dalam perkawinan cinta kasih suami-istri diwujudkan dalam kesetiaan baik dalam suka dan duka, untung dan malang, bersikap lemah-lembut, penuh kesabaran dan penuh pengampunan bila pasangan melakukan suatu kesalahan tanpa menyimpannya.

(55)

suami-istri diharapkan selalu mencintai dan selalu setia dalam membina mahligai hidup rumah tangga.

c. Permasalahan yang dihadapi keluarga Katolik dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan

Bagi kesepuluh responden yang berhasil penulis wawancarai semua mengatakan bahwa perjalanan dalam membangun hidup berumah tangga penuh dengan lika-liku. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai keluarga tak jarang pertengkaran dan perselisihan bahkan kejenuhan dan keputuasaan kerap kali terjadi. Hal ini disebabkan bukan masalah besar tapi hanya masalah kecil yang menjadi rutinitas di dalam rumah tangga yang sering kali memicu terjadinya konflik. Tapi hal ini bisa mereka selesaikan dengan kepala dingin sehingga rumah tangga yang telah lama mereka bina bisa bertahan lama.

Salah satu tujuan dalam perkawinan Katolik adalah membesarkan dan mendidik anak menjadi orang kristiani. Untuk itu orang tua mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak baik masalah pendidikan iman, pendidikan formal dan kebutuhannya sehari-hari. Intinya adalah bagaimana orang tua bisa menjadi teladan dan panutan bagi anak-anaknya.

(56)

Dalam mendidik anak-anaknya usaha yang dilakukan oleh para orang tua adalah dengan tidak pernah bosan-bosannya untuk mengingatkan, mendampinggi, mengarahkan dan membimbing anak-anaknya untuk rajin berdoa, pergi ke Gereja, mengikuti PIA, dan aktif terlibat di mudika dengan harapan anak-anaknya mengisi waktu mereka dengan kegiatan-kegiatan positif.

d. Usaha yang telah di lakukan keluarga Katolik dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan mereka

(57)

Hasil wawancara penulis dengan sepuluh responden mereka mengatakan sebagai orang tua sangat penting menanamkan kebiasaan mengikuti perayaan ekaristi sejak mereka kecil dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada didalam Gereja. Tujuannya tidak lain adalah agar iman mereka tumbuh dan berkembang akan Kristus sehingga kelak mereka mampu menghadapi segala cobaan hidup.

Doa adalah sarana komunikasi antara manusia dengan Allah untuk itu mengajarkan cara berdoa kepada anak-anak sangatlah penting. Oleh karena itu anak-anak tidak hanya diajarkan cara berdoa saja tetapi bagaimana orang tuanya juga ikut ambil bagian dalam doa bersama tersebut. Adapun makna doa bersama yaitu mempererat hubungan antara anggota keluarga dan menjadi kekuatan bagi keluarga ketika dalam menghadapi cobaan hidup.

Rangkuman

Setelah penulis melakukan penelitian sederhana dan mengolah hasilnya maka penulis dapat menarik kesimpulan.

(58)

Katolik. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan mereka tentang perkawinan khususnya perkawinan Katolik.

Dari kesepuluh responden seluruhnya menjawab dengan memadai dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penulis tentang inti perkawinan Katolik. Inti dari perkawinan Katolik adalah bersifat monogam dan tak-terceraikan. Artinya perkawinan Katolik dilaksanakan satu kali untuk seumur hidup dan tidak boleh diceraikan oleh manusia kecuali oleh kematian.

Dari hasil wawancara dengan sepuluh responden, 50% lebih mengatakan mereka mempunyai permasalahan. Permasalahan itu adalah kesulitan dalam bidang ekonomi. Hal ini di karenakan yang mncari nafkah hanya satu orang yaitu bapak kepala keluarga, sedangkan yang harus dinafkahi lebih dari tiga orang. Faktor lainnya yaitu belum adanya pekerjaan tetap atau penghasilan tetap suami maupun istrinya.

Dalam membina hidup berumah tangga, bukan saja mengalami permasalahan dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam hal menyatukan dua orang pribadi yang berbeda. Perbedaan itu antara lain: perbedaan karakter, perbedaan prinsip, perbedaan pendidikkan, perbedaan sosial dan budaya, perbedaan latar belakang keluarga yang sudah tertaman dari sejak kecil. Perbedaan-perbedaan ini kerap kali menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, tetapi tidak sampai pada percaraian.

(59)

Komunikasi yang terjalin dengan baik dan lancar antara suami maupun istrinya, secara tidak langsung menghindari adanya pertengkaran atau perselisihan diantara keduanya. Dan hal ini juga untuk menghindari krisis cinta serta perceraian diantara keduanya. Karena dengan komunikasi yang terjalin dnegan baik dan lancar diantara keduanya dapat menyelesaikan tiap permasalahan secara dewasa dan matang.

Kesepuluh responden mengatakan sebagai bentuk perwujudan iman mereka, mereka aktif terlibat dalam berbagai kegiatan Gerejani dan kemasyarakatan. Kegiatan gerejani antara lain mengikuti pendalaman iman, pendalaman Kitab Suci, mengikuti Rosario, mengikuti sarasehan dengan dewan paroki dan aktif diwanita Katolik. Sedangkan kegiatan yang diadakan oleh masyarakat antara lain yaitu bakti sosial dan kegiatan hari-hari besar.

(60)

KATEKESE KELUARGA SEBAGAI JALAN UNTUK MENINGKATKAN PENGHAYATAN SPIRITUALITAS PERKAWINAN KATOLIK MELALUI METODE SHARED

CHRISTIAN PRAXIS

Pola kehidupan keluarga sedang berubah, modernisasi mempergaruhi keluarga juga. Anak-anak mendapat pendidikan yang lain dari pada orang tuanya. Modernisasi kehidupan keluarga tidak selalu membawa kebaikan. Bisa terjadi bahwa orang tua terbuka dan membicarakan masalah secara bersama-sama. Tetapi bisa juga terjadi bahwa anak-anak mencari jalannya sendiri, dengan anggapan bahwa orang tua tidak mengerti masalah anak-anaknya sehingga dalam berbagai pandangan hidup orang tua dan anak-anak hidup terpisah.

(61)

kesempatan memperdalam hidup imannya, sehingga anaknya lebih berkembang kehidupan imannya dari pada orang tuanya.

Katekese keluarga adalah sarana untuk membantu keluarga kristiani dalam menghayati imannya. Katekese keluarga menekankan aspek komunikasi iman dan tukar pengalaman antara keluarga atau orang tua. Pembahasan tentang katekese keluarga sebagai sarana untuk membantu keluarga kristiani dalam menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinan mereka.

(62)

dibagi menjadi dua sub bagian yaitu alasan pemilihan tema, penjabaran tema utama dan gambaran pelaksanaan katekese.

A. Pengertian Katekese Keluarga

1. Pengertian Katekese Keluarga

Katekese keluarga merupakan salah satu pelayanan pendewasaan iman dalam keluarga. Ketekese keluarga yang dimaksud oleh penulis adalah katekese orang tua. Katekese ini merupakan pertemuan orang tua untuk memperdalam penghayatan iman mereka dengan berdialog, sehingga orang tua lebih menghayati dan mewujudkan spiritualitas perkawinannya sebagai keluarga kristiani. Oleh sebab itu katekese keluarga ingin menolong orang tua untuk sadar dan yakin akan tugasnya yakni membina iman anak-anak mereka. Sudah sejak bertahun-tahun tugas dan tanggungjawab pembinaan iman anak-anak diambil alih oleh sekolah dan paroki. Akibatnya orang tua tidak berani memikul tanggung jawab, sebab mereka ragu-ragu apakah mereka mampu. Mereka kurang yakin bahwa membina iman anak-anak merupakan tugas mereka yang utama.

(63)

dan didewasakan, sehingga menjadi bapak- ibu yang mampu mendidik anak-anak mereka sesuai dengan iman Kristiani.

2. Tujuan Katekese Keluarga

Sesuai dengan pengertian katekese keluarga, katekese mempunyai tujuan untuk membangkitkan kesadaran dan pandangan lebih terang tentang tugas orang tua dengan memandang mereka sebagai pertner percakapan yang sungguh-sungguh, serta membangkitkan kesadaran bahwa betapa pentingnya spiritualitas perkawinan dalam keluarga.

Tekanan katekese ini diletakkan pada usaha bersama-sama untuk memperdalam dan menghayati iman mereka sendiri serta memperoleh pandangan lebih jelas tentang tugas dan tanggung jawab mereka selaku pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak yang telah dipercayakan kepada mereka. Tidak hanya tentang tugas dan tanggungjawab, tetapi juga tentang kesadaran iman dalam hidup mereka sebagian orang beriman.

3. Isi Katekese

(64)

mereka, yang kemudian diolah bersama-sama dan dikonfrontasikan dengan ajaran Kitab Suci atau jaran Gereja.

Katekese merupakan salah satu komunikasi iman, melalui kegiatan katekese tersebut keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus dapat memperkembangkan imannya. Yang dikomunikasikan adalah pengalaman hidup keluarga (PKKI II, 1980). Pengalaman itu akan memiliki arti atau makna bila ditafsirkan oleh terang sabda Allah dan tradisi Gereja:

Katekese selalu akan menggali isinya dari sumber hidup, yakni Sabda Allah, yang disalurkan dalam tradisi Kitab Suci. Sebab tradisi Kitab Suci merupakan satu khazanah Kudus Sabda Allah, yang dipercayakan kepada Gereja (CT,a.27).

Pengalaman hidup merupakan sumber katekese yang penting. Setiap keluarga dalam membina hidup berumah tangga pasti mengalami masa-masa sulit dan menyenangkan. Hal ini pula yang dialami oleh keluarga-keluarga Katolik di lingkungan St.Yohanes Paulus. Melalui katekese keluarga inilah pengalaman masa-masa sulit dan menyenangkan disharingkan. Dengan katekese ini, diharapkan keluarga-keluarga Katolik dapat menggali dan mensharingkan pengalamannya dan dihubungkan dengan harta kekayaan iman jemaat yaitu Sabda Allah. Sabda Allah adalah harta kekayaan Gereja, yang tak pernah kering dan memberikan inspirasi kepada setiap keluarga-keluarga Katolik bahwa dalam membina hidup berumah tangga Allah senantiasa hadir menyertai dan membimbing mereka.

(65)

perumpamaan-perumpamaan yang dibuatNya serta seluruh pengalaman hidupNya. Demikianlah katekese d

Referensi

Dokumen terkait