ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG. Penulis memilih judul ini berdasarkan fenomena kehidupan keluarga Katolik dewasa ini, termasuk dalam kehidupan sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, Paroki Banteng yang sering menyimpang dari spiritualitas Keluarga Kudus. Di antara anggota keluarga semakin jarang berkomunikasi, makan bersama dan doa bersama karena berbagai alasan tertentu. Sementara Keluarga Kudus merupakan model keluarga yang ideal mengenai kesatuan hati, saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain sebagaimana hati Maria dan Yosef yang disatukan kepada Yesus, mengarah kepada sikap takut akan Allah. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui deskripsi penghayatan spiritualitas keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan penentuan informan dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Untuk mencapai validitas data penulis melakukan wawancara beberapa informan tambahan, melakukan penelusuran terhadap dokumen, dan juga diperkuat oleh pengamatan secara langsung terhadap perilaku umat dan keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Banteng.
Hasil penelitian ini bahwa sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan pada umumnya belum memiliki pemahaman yang utuh tentang spiritualitas Keluarga Kudus. Keluarga Katolik di lingkungan tersebut lebih terjebak dalam ‘ilusi ketokohan ataupun tindakan’ daripada tokoh Yesus, Maria dan Yosef. Sementara semangat berserah diri pada kehendak Allah, yang menjadi substansi dari spiritualitas sendiri belum menjadi perhatian serius dalam praktek berkeluarga sehari-hari. Demikian halnya dengan upaya keluarga Katolik untuk menghayati spiritualitas keluarga Kudus juga pada umumnya masih sebatas mengikuti contoh tindakan yang dilakukan oleh tokoh keluarga Kudus, seperti aktif dalam kegiatan lingkungan; mengelola pendapatan secara bijaksana di bawah prinsip kesederhanaan; mengupayakan pendidikan dan perkembangan iman anak; berusaha untuk membangun komunikasi yang baik dengan sesama anggota keluarga dan masyarakat; dan berusaha meningkatkan semangat hidup doa dan menggereja. Hal ini secara nyata menunjukkan bahwa pemahaman dan penghayatan spiritualitas keluarga Kudus masih sebatas mengikuti tindakan konkrit dari Yesus, Maria dan Yosef.
ABSTRACT
This undergraduate thesis entitles: THE DESCRIPTION OF REALIZATION OF THE SPIRITUALITY OF HOLY FAILY IN CATHOLIC FAMILY IN THE REGION ST. JOHN KENTUNGAN, HOLY FAMILY PARISH, BANTENG, YOGYAKARTA. The writer chose this topic based on the phenomenon of Catholic family life today, including in the lives of a Catholic families in St. John Kentungan region, Banteng Parish, which often deviate from the spirituality of the Holy Family. Among the family members increasingly rarely communicate, eat together, and pray together for various reasons. While the Holy Family is a model of the ideal family of the unity of hearts, mutual understanding, obedience and self-denial for others as the heart Mary and Joseph are united to Jesus, to lead to the attitude of the fear of God. This research can be the effort to know well the realization of the Sacred Family Spirituality in their beings.
This type of research is descriptive qualitative determination of informants done intentionally (purposive sampling). To achieve with the validity of the data the writer also interviewed some additional informants, performing a search for documents, and also confirmed by direct observation of the behavior of people and families in region St. John Kentungan Banteng Parish.
The result of this research notice some of families in St. John region have no integrated insight about the spirituality of Sacred Family. The Catolic Families on that region are isolated by an illusion of the role or the act of Jesus, Mary and Joseph. Inspite of that, the willing of self-giving to God’s will that is substance of spirituality itself was not get a serious anttention in their daily lifes. Thus with the strugle of Catolic family to deepend the spirituality of Sacred Family also, generally is still only following the example of what the figures of the Sacred Family did. For examples, participating in region programs, holding the income wisely in simplicity, responsible for education and children’s faith, and also strive to develop the spirit of prayer and acclesiastical. These things perform that the insight and realization of the spirituality of sacred family is still just follow the concrete action of Jesus, Mary and Joseph.
i
DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES
KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG, YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Katolik
Oleh :
Marselina Ase Teme NIM: 121124054
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada Para Suster Ursulin (OSU) di manapun
berada yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar dan kepada
seluruh keluarga besar yang telah mendukung saya dengan caranya
masing-masing selama menjalani proses perkuliahan di IPAK Yogyakarta hingga
v MOTTO
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”
(Mat. 7:12)
“Langkah anda yang pertama senantiasa kembali kepada Yesus Kristus”
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG. Penulis memilih judul ini berdasarkan fenomena kehidupan keluarga Katolik dewasa ini, termasuk dalam kehidupan sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, Paroki Banteng yang sering menyimpang dari spiritualitas Keluarga Kudus. Di antara anggota keluarga semakin jarang berkomunikasi, makan bersama dan doa bersama karena berbagai alasan tertentu. Sementara Keluarga Kudus merupakan model keluarga yang ideal mengenai kesatuan hati, saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain sebagaimana hati Maria dan Yosef yang disatukan kepada Yesus, mengarah kepada sikap takut akan Allah. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui deskripsi penghayatan spiritualitas keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan penentuan informan dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Untuk mencapai validitas data penulis melakukan wawancara beberapa informan tambahan, melakukan penelusuran terhadap dokumen, dan juga diperkuat oleh pengamatan secara langsung terhadap perilaku umat dan keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Banteng.
Hasil penelitian ini bahwa sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan pada umumnya belum memiliki pemahaman yang utuh tentang spiritualitas Keluarga Kudus. Keluarga Katolik di lingkungan tersebut lebih terjebak dalam ‘ilusi ketokohan ataupun tindakan’ daripada tokoh Yesus, Maria dan Yosef. Sementara semangat berserah diri pada kehendak Allah, yang menjadi substansi dari spiritualitas sendiri belum menjadi perhatian serius dalam praktek berkeluarga sehari-hari. Demikian halnya dengan upaya keluarga Katolik untuk menghayati spiritualitas keluarga Kudus juga pada umumnya masih sebatas mengikuti contoh tindakan yang dilakukan oleh tokoh keluarga Kudus, seperti aktif dalam kegiatan lingkungan; mengelola pendapatan secara bijaksana di bawah prinsip kesederhanaan; mengupayakan pendidikan dan perkembangan iman anak; berusaha untuk membangun komunikasi yang baik dengan sesama anggota keluarga dan masyarakat; dan berusaha meningkatkan semangat hidup doa dan menggereja. Hal ini secara nyata menunjukkan bahwa pemahaman dan penghayatan spiritualitas keluarga Kudus masih sebatas mengikuti tindakan konkrit dari Yesus, Maria dan Yosef.
ix ABSTRACT
This undergraduate thesis entitles: THE DESCRIPTION OF REALIZATION OF THE SPIRITUALITY OF HOLY FAILY IN CATHOLIC FAMILY IN THE REGION ST. JOHN KENTUNGAN, HOLY FAMILY PARISH, BANTENG, YOGYAKARTA. The writer chose this topic based on the phenomenon of Catholic family life today, including in the lives of a Catholic families in St. John Kentungan region, Banteng Parish, which often deviate from the spirituality of the Holy Family. Among the family members increasingly rarely communicate, eat together, and pray together for various reasons. While the Holy Family is a model of the ideal family of the unity of hearts, mutual understanding, obedience and self-denial for others as the heart Mary and Joseph are united to Jesus, to lead to the attitude of the fear of God. This research can be the effort to know well the realization of the Sacred Family Spirituality in their beings.
This type of research is descriptive qualitative determination of informants done intentionally (purposive sampling). To achieve with the validity of the data the writer also interviewed some additional informants, performing a search for documents, and also confirmed by direct observation of the behavior of people and families in region St. John Kentungan Banteng Parish.
The result of this research notice some of families in St. John region have no integrated insight about the spirituality of Sacred Family. The Catolic Families on that region are isolated by an illusion of the role or the act of Jesus, Mary and Joseph. Inspite of that, the willing of self-giving to God’s will that is substance of spirituality itself was not get a serious anttention in their daily lifes. Thus with the strugle of Catolic family to deepend the spirituality of Sacred Family also, generally is still only following the example of what the figures of the Sacred Family did. For examples, participating in region programs, holding the income wisely in simplicity, responsible for education and children’s faith, and also strive to develop the spirit of prayer and acclesiastical. These things perform that the insight and realization of the spirituality of sacred family is still just follow the concrete action of Jesus, Mary and Joseph.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang mahakuasa, berkat kasih dan
penyertaan-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul
DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES
KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG,
YOGYAKARTA.
Keluarga Katolik pada saat ini sering menghadapi tantangan, terutama
dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang pesat dewasa ini. Setiap anggota
keluarga cenderung memiliki kesibukan masing-masing. Situasi seperti ini tidak
sedikit membawa dampak merugikan bagi keluarga, di mana semakin jauh dari
penghayatan akan nilai-nilai yang mesti dihidupkan oleh setiap anggota keluarga
seturut spiritualitas yang dihidupkan keluarga Kudus Nasaret. Oleh karena itu,
selain menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan pada
Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, skripsi ini juga dapat
menjadi salah satu referensi bagi keluarga Katolik untuk membagun keluarga
seturut semangat hidup Keluarga Kudus.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini telah melibatkan banyak
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, dari hati yang
xi
1. Drs. F.X. Heryatno W.W SJ.,M.Ed selaku Kaprodi IPAK Universitas Sanata
Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh
pendidikan lembaga ini.
2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku dosen pembimbing utama sekaligus sebagai
dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan dan
pendampingan kepada penulis, baik selama perkuliahan maupun selama
penulisan skripsi.
3. F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd. selaku dosen Penguji II sekaligus pembimbing
penelitian, yang penuh kesabaran membimbing penulis sejak persiapan,
pelaksanaan hingga penulisan skripsi ini selesai.
4. Y. Kristianto, SFK., M.Pd. selaku dosen Penguji III yang selalu mendukung
dan memberi masukan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.
5. Segenap staf dosen Prodi IPAK, pegawai dan karyawan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang dengan
penuh keramahan membimbing penulis selama menempuh proses perkuliahan.
6. Keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, khususnya
para indormasn yang telah membuka hati untuk penulis selama proses
wawancara berlangsung, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar
tanpa hambatan.
7. Pimpinan Ursulin Indonesia, para Dewan dan semua Suster Ursulin yang telah
memberikan kesempatan, dukungan dan semangat kepada penulis untuk studi
xii
8. Suster-suster Komunitas Ursulin Pandega Padma Yogyakarta yang selalu
mendukung, memberi motivasi, dan semangat kepada penulis serta
meluangkan waktu untuk mendengarkan penulis.
9. Keluarga besar penulis yang selalu mendoakan kesuksesan penulis.
10.Teman-teman Angkatan 2012 yang selalu kompak dan menjadi inspirasi bagi
penulis.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat
diharapkan penulis dengan hati yang terbuka. Penulis juga berharap agar skripsi
ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, terutama keluarga-keluarga Katolik di
Lingkungan St. Yohanes Kentungan.
Yogyakarta, 5 Desember 2016
Penulis,
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vii
ABSTRAK ... viii
F. Manfaat Penulisan/Penelitian ... 7
G. Metode Penulisan ... 8
H. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12
A. Spiritualitas Keluarga Kudus ... 12
1. Pengertian Spiritualitas ... 12
2. Spiritualitas Hidup Keluarga Kudus ... 17
3. Tokoh Keluarga Nasaret ... 21
a. Maria ... 22
b. Yosef ... 23
xiv
B. Pengertian Keluarga ... 29
C. Tujuan Keluarga Kristiani ... 33
D. Fungsi Keluarga Kristiani ... 34
E. Hak-Hak dan Kewajiban Dasar Keluarga ... 35
F. Ciri-ciri Keluarga Kristiani ... 36
G. Peranan Keluarga Kristiani ... 37
H. Kewajiban Sesama Anggota Keluarga ... 39
BAB III METODE PENELITIAN... 43
A. Jenis Penelitian ... 43
5. Kisi-kisi Panduan Wawancara dan Observasi ... 51
E. Teknik Analisis Data ... 55
BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 57
A. Temuan Umum... 57
1. Sejarah Singkat Lingkungan St. Yohanes Kentungan ... 57
2. Keadaan Umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan menurut Usia .. 58
3. Keadaan Umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan menurut Mata Pencaharian ... 60
4. Keadaan Sosial Budaya ... 64
B. Temuan Khusus ... 64
1. Bagaimana Pandangan tentang Spiritualitas Keluarga Kudus ... 64
xv
bagi Keluarga Katolik ... 65
3. Bagaimana Keluarga Katolik Mengelola Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga ... 67
4. Bagaimana Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Pendidikan dan Perkembangan Iman Anak ... 68
5. Bagaimana Keluarga Katolik Membangun Komunikasi dengan Anggota Keluarga dan Masyarakat Sekitar ... 70
6. Bagaimana Keluarga Katolik Menyikapi Perbedaan Cita-cita Anak dan Keinginan Orangtua... 71
7. Bagaimana Keluarga Katolik Membangun Hidup Doa dan Menggereja ... 73
C. Uji Validitas ... 74
D. Pembahasan ... 77
1. Pandangan Keluarga Katolik tentang Spiritualitas Keluarga Kudus ... 77
2. Cara Hidup Keluarga Kudus Menjadi Model bagi Keluarga Katolik ... 80
3. Pengelolaan Pendapatan dan Pengeluaran dalam Keluarga Katolik .. 84
4. Tanggung Jawab Keluarga Katolik terhadap Pendidikan dan Pengembangan Iman Anak ... 89
5. Komunikasi Keluarga Katolik dengan Sesama Anggota Keluarga dan Masyarakat di Sekitarnya ... 94
6. Menyikapi Perbedaan Antara Cita-Cita Anak dan Keinginan Orangtua ... 97
7. Hidup Doa, Menggereja dan Hambatan bagi Keluarga Katolik ... 101
E. Usulan Program Untuk Meningkatkan Penghayatan Penghayatan Keluarga Katolik terhadap Spiritualitas Keluarga Kudus ... 105
1. Latar Belakang ... 106
2. Sekilas Pengertian Rekoleksi ... 107
3. Tujuan Program ... 108
xvi
BAB V PENUTUP ... 125
A. Kesimpulan ... 125
B. Saran ... 127
DAFTAR PUSTAKA ... 128
LAMPIRAN Lampiran 1 Panduan Wawancara ... (1)
Lampiran 2 Data Wawancara Asli ... (4)
Lampiran 3 Surat Permohonan Ijin Penelitian ... (24)
Lampiran 4 Hymne Keluarga Kudus dan Santo Yosef ... (25)
Lampiran 5 Doa Penyerahan diri kepada Keluarga Kudus Nazaret ... (26)
Lampiran 6 Gambar Keluarga Kudus ... (27)
Lampiran 7 Kegiatan Rohani di Lingkungan St. Yohanes Kentungan ... (28)
xvii
DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Kitab Suci
Semua singkatan dalam skripsi ini mengikuti singkatan Kitab Suci sesuai
daftar singkatan dalam Perjanjian Baru dan Alkitab Katolik Deutrakanonik yang
diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia.
Mat. : Matius
Luk. : Lukas
Mark. : Markus
Yoh. : Yohanes
Kis. : Kisah Para Rasul
Rom. : Roma
Ams. : Amsal
Ef. : Efesus
B. Singkatan Resmi Dokumen Gereja
AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang
Kerasulan Awan, 7 Desember 1965
AL : Amoris Laetitia, Intisari Ajaran Paus Fransiskus tentang Perkawinan dan Keluarga, 2014
Art. : Artikel
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes
Paulus II tentang Peranan Keluarga Kristen Dalam Dunia
xviii
GS : Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang
Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh
Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983
KGK : Katekismus Gereja Katolik. Dicetak oleh Percetakan Arnoldus
Ende, 1995
KAS : Keuskupan Agung Semarang
ST : Santa/Santo
C. Singkatan Umum
KK : Kepala Keluarga
PNS : Pegawai Negeri Sipil
IRT : Ibu Rumah Tangga
TK : Taman Kanak-Kanak
SD : Sekolah Dasar
SMTA : Sekolah Menengah Tingkat Atas
IP : Indeks Prestasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga Katolik memegang peranan yang
sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai Kristiani. Baik atau buruknya
tingkah laku seorang Kristiani sangat ditentukan oleh situasi hidup dan pendidikan
yang diperoleh dalam keluarga. Demikian halnya dengan keberlanjutan
perkembangan Gereja Katolik sangat ditentukan oleh keberadaan keluarga
Katolik, baik dalam aspek jumlah maupun kualitas. Hal ini berarti bahwa semakin
banyak keluarga Katolik yang berkualitas akan mempengaruhi kualitas kehidupan
umat dalam menggereja secara keseluruhan, yang pada gilirannya layak menjadi
cerminan dari gereja mini di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.
Seiring dengan perkembangan jaman, fungsi keluarga pun semakin
bergeser dan bahkan berubah. Belum lagi adanya fenomena kehidupan
masyarakat modern yang cenderung individualistis dewasa ini
sekurang-kurangnya mempengaruhi dinamika kehidupan keluarga Katolik, baik langsung
maupun tidak langsung. Salah satu gejala yang melanda hampir semua keluarga,
termasuk keluarga Katolik dewasa ini adalah perubahan pola komunikasi dalam
keluarga, yang sebelumnya dilakukan secara langsung penuh perhatian dan
kehangatan, namun dalam kekinian cenderung menggunakan alat komunikasi
modern. Hal itu diperparah lagi gaya hidup masyarakat kota yang cenderung
mengejar karier demi materi, sehingga waktu untuk membangun komunikasi
semakin terbatas. Oleh sebab itu, perhatian orangtua terhadap perkembangan
kepribadian dan iman anak-anak pun seakan menjadi hal yang kurang
diperhitungkan dalam sebagian keluarga modern dewasa ini.
Berdasarkan temuan penelitian bahwa pada para informan umumnya
mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Setiap anggota keluarga lebih
memilih mengurus kepentingan masing-masing, sehingga interaksi dalam
keluarga untuk saling berbagi pengalaman cenderung terabaikan. Oleh karena itu,
penanaman nilai-nilai hidup atau spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret kepada
sesama anggota keluarga semakin sulit untuk dilakukan oleh orangtua.
Dalam hubungannya dengan hidup doa dan menggereja, pola hubungan
antar personal anggota keluarga Katolik seperti ini menimbulkan kecenderungan
untuk lalai atau kurang terlibat dalam kehidupan menggereja, kegiatan rohani di
lingkungan, dan kurang peduli dengan sesama di sekitarnya. Sebagaimana
pengalaman keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, gejala
seperti ini mulai muncul ketika anggota keluarga mulai jarang berdoa bersama,
makan bersama, dan melakukan pekerjaan rumah secara bersama-sama karena
alasan sibuk dan keterbatasan waktu. Padahal doa bersama dalam keluarga
Kristiani merupakan hal yang sangat penting, selain menjadi momen untuk
membangun hubungan yang mesra dengan Tuhan juga menjadi saat yang tepat
untuk membangun hubungan emosional yang kuat di antara anggota keluarga.
Dalam penutupan Sinode Keluarga, Paus Fransiskus menghimbau agar
keluarga Katolik memahami peran keluarga dalam hidup sehari-hari. Keluarga
sama lain, bukan terjebak atau tergoda dalam ilusi spiritualitas, tidak peduli dan
mengabaikan orang lain. Keluarga Katolik juga diharapkan tidak jatuh pada ‘iman
yang terjadwal’ menjalankan agenda pribadi yang tidak sejalan dengan agenda
gereja. Paus Fransiskus juga menegaskan bahwa panggilan keluarga bertolak dari
refleksi atas kehidupan keluarga Nasaret; Yesus, Maria dan Yusuf yang
mengajarkan cara mengalami sukacita secara sederhana dalam keluarga.
Kehidupan keluarga ditandai dengan kesabaran di tengah aneka kesulitan dan
bertumbuh dalam semangat pelayanan. Demikian halnya dengan persaudaraan
yang ditumbuhkan dalam keluarga mesti berakar pada cinta antara satu dengan
yang lain, semua adalah anggota dari satu tubuh yakni Kristus (Wuarmanuk,
2015: 28-29). Hal ini berarti bahwa keluarga Katolik harus mampu mewujudkan
diri sebagai gereja mini, yakni menjadi persekutuan yang mesra sebagai tubuh
Kristus.
Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang mampu memberi
kesempatan kepada setiap anggota keluarga mengambil peran untuk menciptakan
kehidupan rumah tangga yang damai, rukun, saling mendengarkan, menghargai
dan mengasihi satu dengan yang lain. Peran ayah seperti Yosef sebagai kepala
keluarga bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluarga. Peran ibu seperti
Maria sebagai pendengar yang setia, bersikap tulus, bijaksana, pendidik dan
pengatur rumah tangga. Peran anak seperti Yesus, mendengarkan orangtua,
menghargai dan menghormati orangtua, taat dan belajar hidup dari orangtua
(KHK: art. 1136). Oleh karena itu, keharmonisan keluarga juga ditentukan oleh
Paus Fransiskus juga mengeluarkan anjuran Apostolik terbaru “Amoris
Laetitia” atau sukacita kasih di Vatikan, yang membahas nilai-nilai fundamental
dalam membangun keluarga. Beliau mengakui bahwa dewasa ini banyak keluarga
masih berjuang keluar dari jerat hidup yang keras, banyak pengangguran, keluarga
gelandangan, para migran, korban kekerasan dan eksploitasi keluarga, yang
berefek negatif pada perkembangan iman anak. Hal ini menjadi tugas gereja untuk
merangkul dan mengembalikan kepercayaan hidup mereka yang telah lama
hilang (Wuarmanuk, 2016: 24). Dengan demikian, semua keluarga yang berada
dalam penderitaan diharapkan akan melihat pancaran sinar kasih Allah.
Dalam konteks kehidupan umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan
Paroki Banteng, secara umum kehidupan keluarga di lingkungan ini terlihat
berjalan secara normal. Namun berdasarkan temuan di lapangan bahwa ada
sebagian informan dihadapkan dengan situasi komunikasi di antara anggota
keluarga yang kurang berjalan sesuai harapan. Sebagian orangtua ataupun
anak-anak lebih sibuk bekerja ataupun belajar, sehingga jarang untuk saling berdiskusi
dan membagi kasih atau sekedar berkumpul dan bersenda gurau, makan bersama
dan doa bersama. Dengan kata lain rumah hanya sebagai tempat untuk tidur di
waktu malam, sehingga kebersamaan dan nuansa kekeluargaan dalam keluarga
menjadi hal yang mahal untuk dibangun oleh keluarga.
Di samping itu, dalam kehidupan berkomunitas pun terlihat bahwa
semangat untuk saling kontrol, terutama saling mengingatkan sesama umat yang
kurang aktif dalam menjalankan tugas dan doa bersama masih tergolong rendah.
maupun paroki dapat dikatakan sangat minim. Kondisi demikian setidaknya
menjadi gambaran awal bahwa semangat Keluarga Kudus Nasaret belum
sepenuhnya dihayati oleh semua keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan,
sehingga perlu ditelusuri untuk menemukan solusi. Hal ini mendorong penulis
melakukan penelitian yang berjudul: “Deskripsi Penghayatan Spiritualitas
Keluarga Kudus Dalam Keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan
Paroki Keluarga Kudus Banteng”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikan
permasalahan penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan keluarga tentang Spiritualitas Keluarga Kudus?
2. Bagaimana hidup Keluarga Kudus menjadi model dalam kehidupan keluarga
Katolik?
3. Bagaimana keluarga Katolik mengelola pendapatan keluarga?
4. Bagaimana tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan dan perkembangan
iman anak?
5. Bagaimana strategi keluarga Katolik membangun komunikasi dalam keluarga
dan masyarakat di sekitarnya?
6. Bagaimana keluarga Katolik menyikapi perbedaan antara cita-cita anak dan
keinginan orangtua?
7. Bagaimana keluarga Katolik mengembangkan hidup doa dalam keluarga,
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari bias dalam pembahasan hasil penelitian ini, maka
ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada deskripsi penghayatan
spiritualitas Keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes
Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng. Dengan demikian, pembahasan
skripsi ini lebih fokus pada obyek dan permasalahan yang diteliti.
D. Rumusan Masalah
Dari beberapa masalah yang diidentifikasikan di atas, maka rumusan
masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penghayatan keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes
Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng terhadap spiritualitas Keluarga
Kudus Nasaret?
2. Bagaimana upaya-upaya keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes
Kentungan meningkatkan penghayatan terhadap spiritualitas Keluarga Kudus
dalam kehidupan keluarga?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ataupun penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1. Mengetahui gambaran tentang penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus
Nasaret pada keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes
Kentungan, Paroki Keluarga Kudus Banteng.
2. Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga-keluarga Katolik
dalam meningkatkan penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus dalam
F. Manfaat Penulisan/Penelitian
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat
sebagai berikut:
1. Bagi keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan
Menjadi sarana yang membantu setiap keluarga dalam memahami dan
menghayati spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret secara utuh, yang pada
gilirannya dijadikan sebagai pedoman dalam hidup berkeluarga.
2. Bagi Keluarga Katolik pada umumnya
Menjadi inspirasi bagi semua keluarga Katolik dalam membangun keluarga
yang baik dan harmonis.
3. Bagi pihak Paroki
Sebagai referensi yang berguna dalam pengembangan program pendampingan
terhadap keluarga-keluarga Katolik di Paroki Banteng, terutama berkaitan
dengan upaya untuk menginternalisasikan semangat Keluarga Kudus dengan
harapan agar seluruh keluarga Katolik memiliki pemahaman yang utuh
tentang spiritualitas keluarga Kudus. Dengan pemahaman yang utuh dimaksud
memungkinkan kehidupan keluarga Katolik semakin selaras dengan
kehidupan keluarga yang dicontohkan oleh keluarga Kudus Nasaret.
4. Bagi penulis sendiri
Menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan tentang seluk-beluk
kehidupan berkeluarga, yang sangat bermanfaat kelak dalam melakukan
pendampingan terhadap keluarga Katolik di tempat perutusan.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis, di mana
metode ini lazim digunakan dalam penelitian kualitatif. Sugiyono (2008)
menyatakan bahwa metode deskriptif analisis merupakan metode atau cara
mengumpulkan data-data sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kemudian
data-data tersebut disusun, diolah dan dianalisis untuk dapat memberikan
gambaran mengenai masalah yang ada (https://www.pengertian analisis deskriptif
menurut para ahli, diunduh tanggal 11 Nopember 2016 pukul 16:18). Penelitian ini pun berupaya untuk menggambarkan secara jelas dan mendalam tentang
penghayatan keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan terhadap
spiritualitas Keluarga Kudus dengan menggunakan data-data kualitatif yang
diperoleh melalui wawancara sebagai data primer dan dokumentasi serta hasil
observasi sebagai data sekunder (pendukung). Sedangkan untuk membahas hasil
penelitian ini penulis menggunakan beberapa konsep yang berkaitan dengan
spiritualitas Keluarga Kudus, keluarga dan beberapa literatur yang relevan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulis dalam penulisan skripsi ini, maka dibuat
kerangka atau sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Berisi latar belakang penulisan, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
juga membahas pengertian keluarga Katolik, tujuan keluarga, fungsi keluarga,
hak-hak dasar keluarga dan kewajiban sesama anggota keluarga.
BAB III METODE PENELITIAN. Berisi gambaran tentang metode penelitian yang digunakan mencakup: jenis penelitian, unit analisis, penentuan
informan, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, lokasi dan waktu
penelitian.
BAB IV PEMAPARAN DATA. Berisi gambaran lokasi penelitian dan hasil penelitian berupa data verbatim (kata per kata) dari hasil wawancara dengan
informandan hasil observasi serta dokumentasi, yang berkaitan dengan deskripsi
penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan
St. Yohanes Kentungan. Kemudian hasil penelitian tersebut dikelompokkan ke
tema-tema yang sama untuk memudahkan penulis dalam membahasnya. Adapun
tema-tema dimaksud, yakni: Pandangan Keluarga tentang Spiritualitas Keluarga
Kudus; Spiritualitas Keluarga Kudus Menjadi Model Bagi Keluarga Katolik;
Pengelolaan Pendapatan dan Pengeluaran serta Hambatannya Bagi Keluarga di
Lingkungan St. Yohanes Kentungan; Tanggung Jawab Orangtua Terhadap
Pendidikan dan Perkembangan Iman Anak; Strategi Untuk Membangun
Komunikasi Dalam Keluarga dan Masyarakat serta Hambatannya; Menyikapi
Perbedaan Antara Cita-Cita Anak Dengan Keinginan Orangtua; dan Hidup Doa,
Menggereja dan Hambatan Bagi Keluarga. Hasil penelitian tersebut menjadi
acuan bagi penulis dalam menganalisis dua topik besar, yang sebelumnya sebagai
rumusan masalah ataupun tujuan penelitian ini, yakni: Gambaran penghayatan
Lingkungan St. Yohanes Kentungan dan urgensinya dalam kehidupan keluarga
Katolik pada umumnya; dan upaya keluarga Katolik untuk menghayati
spiritualitas Keluarga Kudus di era globalisasi. Di akhir bagian ini penulis
menyertakan usulan program untuk Paroki dalam rangka meningkatkan
penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret, yang dilakukan melalui
kegiatan rekoleksi bagi keluarga di setiap lingkungan di wilayah Paroki Banteng.
Melalui kegiatan tersebut diharapkan setiap keluarga dapat menginternalisasikan
semangat hidup Keluarga Kudus Nazaret dalam kehidupan nyata setiap hari.
BAB V PENUTUP, berisi kesimpulan atas hasil pembahasan penulisan ini. Selain itu, penulis juga memberi saran atau rekomendasi kepada Pastor
Paroki, dewan Paroki, pengurus lingkungan dan seluruh umat di Lingkungan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka dalam tulisan ini berkaitan dengan konsep tentang
spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret yang dihidupkan oleh Yesus, Maria dan
Yusuf. Konsep-konsep tersebut dikutip dari pendapat beberapa ahli, yakni
konsep-konsep tentang pengertian spiritualitas, spiritualitas Keluarga Kudus, pengertian
keluarga, tujuan dan fungsi keluarga, hak dan kewajiban, ciri-ciri dan peranan
Keluarga Kristiani serta tugas keluarga Kristiani dalam membangun sebuah
keluarga yang baik dan harmonis, di tengah keluarga, masyarakat dan Gereja.
A. Spiritualitas Keluarga Kudus 1. Pengertian Spiritualitas
Kata spiritualitas berasal dari kata Latin ”spiritus” menunjuk sesuatu
yang sangat konkrit berupa tiupan, aliran udara, nafas hidup dan nyawa. Spiritus
dimengerti sebagai ilham, sukma, jiwa, hati dan Roh. Spiritualitas pada umumnya
dimaksudkan sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan Allahnya dan
aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan. Spiritualitas dapat diartikan
juga sebagai hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus yang mengembangkan iman,
harapan dan cinta kasih, atau sebagai sebuah usaha mengintegrasikan segala segi
kehidupan yang bertumpu pada iman akan Yesus Kristus yang diwujudkan
melalui pengalaman iman Kristiani dalam situasi konkrit (Heuken, 1995: 277).
Dalam Injil Yohanes (16:5-15) menuliskan bahwa umat beriman
menjadikan orang beriman ”ciptaan baru” yakni seorang yang seluruh
keberadaannya terbuka pada kenyataan rohani. Roh yang diterima orang beriman
bukan Roh perbudakan melainkan Roh yang membuat orang menjadi anak-anak
yang berseru dalam hati “Allah ya Bapa”, Roma 8:15 (Heuken, 1995:277).
Kerohanian atau spiritualitas merupakan kenyataan hidup, yang tumbuh
dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia
di dunia. Spiritualitas dimengerti sebagai yang paling fundamental ialah kekuatan
hidup yang harus menciptakan kehidupan yang kudus. Manusia hidup dan
dipanggil untuk berbagi energi kehidupan yang diperoleh dari energi Ilahi yang
bersumber pada Allah (Darminta, 2007:63).
Kerohanian juga menjadi dasar dan pijakan untuk selalu dibangun
bangunan baru atau diperbaharui, seperti yang dikatakan oleh Paulus: “Kamu
bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dengan
orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar
para rasul dan para nabi dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia
tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di
dalam Dia kamu juga turut dibangun menjadi tempat kediaman Allah di dalam
Roh” (Ef., 2: 19-22) (Darminto, 2007:68).
Spiritualitas sejatinya berhubungan dengan roh, yaitu daya yang
menghidupkan dan menggerakkan setiap pribadi untuk mewujudkan,
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan. Hidup spiritualitas berarti
hidup berdasarkan Roh Kudus yang membantu mengembangkan iman, harapan,
segi kehidupan berdasarkan iman akan Yesus Kristus. Spiritualitas sejati terwujud
dalam kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan politik. Dengannya memampukan
manusia untuk bertahan dalam mewujudkan tujuan dan pengharapannya serta
berusaha untuk mencari dan mengenal jalan-jalan Allah (Banawiratma, 1990:57).
Di samping itu, spiritualitas menjadi sumber untuk menghadapi
penganiayaan, kesulitan, penindasan dan kegagalan yang dialami oleh seseorang
atau kelompok tertentu. Spiritualitas Kerajaan Allah tidak bisa bertumbuh dan
berkembang hanya di dalam rumah ibadah melainkan diwujudkan melalui
tindakan yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Umat Allah dipanggil dan
diutus untuk terlibat serta ambil bagian dalam upaya mewujudkan Kerajaan Allah.
Dalam menjalankan tugas pengutusannya, mitra Allah membutuhkan Roh untuk
bisa tahan uji (Banawiratma, 1990: 58).
Spiritualitas sebenarnya cara orang menyadari, memikirkan dan
menghayati hidup rohani. Spiritualitas Katolik berarti saat seseorang menerima
iman (fides quae creditur) dengan cara melakukan sebuah tindakan iman (fides
qua creditur), maka seseorang menjalankan imannya itu melalui praktek spiritual (Harjawiyata, 1979: 20-21). Spiritualitas berarti kehidupan yang dijiwai dan
dipimpin oleh roh yaitu Roh Kudus, yang menunjuk pada pola atau gaya hidup
yang dipengaruhi dan dipimpin oleh Roh Kudus (Martasudjita, 2002:11).
Menurut Harjawiyata (1979:22-24) bahwa unsur-unsur pokok dalam
proses pengembangan spiritualitas Kristiani, yaitu:
a. Tawaran Allah yang bersabda. Allah menyingkapkan seluruh maksud dan
wujud yang nyata dan konkrit dalam diri Yesus. Seluruh hidup, karya,
sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya menyingkapkan betapa besar kasih
setia Allah kepada umat-Nya.
b. Jawaban manusia adalah melalui iman. Ketika Allah bersabda dan
mewartakan kasih-Nya, Ia mengharapkan jawaban dan persetujuan manusia.
Jawaban kita tidak hanya di mulut, tetapi juga harus diwujudkan dalam
tindakan. Jawaban “Ya” ini disebut “iman”. Iman melibatkan seluruh aspek
kehidupan manusia. Iman perlu dihayati dan diamalkan terus-menerus dalam
kehidupan sehari-hari. Iman merupakan dasar hidup rohani dan spiritualitas
Kristiani.
c. Liturgi dan hidup sakramental. Tawaran kasih Allah yang terpusat pada
Kristus dirayakan dan dihadirkan dalam liturgi Gereja. Liturgi merupakan
sumber kehidupan rohani orang Kristen. Hidup yang menimba kekuatannya
dari perayaan sakramen-sakramen dapat disebut ”hidup sakramental”, dan
merupakan unsur mutlak bagi orang kristiani dan membantu untuk
menghayati hidupnya sebagai orang kristiani secara penuh.
d. Kitab Suci. Melalui sabda Allah terjadi dialog yang intens antara Allah dengan
manusia. Hal ini terjadi apabila manusia sedang membaca, mendalami dan
merenungkan kitab suci dalam perayaan liturgi sabda. Perayaan sabda perlu
disiapkan dan diresapkan dalam bacaan suci pribadi atau dalam pendalaman
e. Hidup Doa. Doa diadakan dalam liturgi, baik doa pribadi maupun
bersama-sama. Sikap yang perlu dibina dalam doa adalah mendengarkan Allah yang
bersabda kemudian kita menjawab.
f. Tobat dan asketis. Iman harus mempengaruhi seluruh hidup. Manusia adalah
orang yang lemah, rapuh dan berdosa. Kesediaan untuk diubah disebut
“bertobat”. Tobat merupakan suatu perjuangan yang berlangsung
terus-menerus sepanjang hidup dan perlu melatih diri membuka hati di hadapan
Allah melalui pemeriksaan batin.
g. Persekutuan Kasih. Persekutuan kasih berlandaskan pada perintah Kristus
yang utama yakni cinta kasih. Cinta kasih dapat menjadi hal yang utama
dalam hidup kita, dalam keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara.
Cinta kasih dapat mengalahkan kebencian, iri hati, balas dendam dan
kesombongan.
Dari pengertian-pengertian di atas penulis memahaminya bahwa
spiritualitas adalah kehidupan orang Kristiani yang dikuasai Roh Kudus dan
menjiwai seluruh segi kehidupan manusia. Roh Kudus yang selalu memberi daya
kekuatan Ilahi dan semangat yang baru kepada manusia dalam menjalani seluruh
aspek kehidupannya, memampukan setiap orang untuk semakin bertumbuh dan
berkembang dalam iman kepada Yesus Kristus dengan berpasrah kepada
kehendak Allah.
Melalui rahmat Roh Kudus, seseorang yang menerima tawaran rahmat
itu dibimbing pada kepenuhan, kesempurnaan atau kesucian dalam hubungan
spiritualitas manusia dalam aspek intelektual, kehendak, perasaan, tubuh dan
segala keutuhan sebagai pribadi (Olla, 2010: 44).
2. Spiritualitas Hidup Keluarga Kudus
Gambaran Keluarga Kudus Nasareth ditemukan mulai dari bab-bab awal
Injil Mateus dan Lukas (bab 1 dan 2). Warna kepribadian Maria dan Yusuf
dikonkritkan melalui pergulatan-pergulatan yang dialami sepanjang pertumbuhan
Yesus. Sosok Yusuf sebagai pribadi yang sederhana, taat pada tradisi keagamaan
dan pada kehendak Ilahi dan ia adalah seorang beriman yang tidak menuntut
banyak syarat, tidak ingin mencemarkan nama baik orang lain, dan
bertanggungjawab. Seperti Yusuf, Maria juga beriman dan terbuka akan
bimbingan Ilahi, yang selalu mencoba memahami peristiwa demi peristiwa sekitar
Yesus dengan tidak mengedepankan kepentingan dirinya sendiri. Bagi Maria
panggilan hidup adalah Kasih Karunia Allah. Allah telah memilih Maria menjadi
ibu Tuhan Yesus (Luk 1:30-31) dan Yusuf dipanggil untuk mengambil Maria
sebagai isterinya (Mat 1:20) (Dedi Dismas. Membangun Spiritualitas Keluarga
Kudus. Dalam http://dedismas.blogspot.co.id/membangun-spiritualitas-keluarga-kudus.html, diakses 7/12/2016).
Selanjutnya, sikap Maria selaras dengan Yusuf yang mendengarkan dan
menerima panggilan Tuhan. Dalam hal ini kesetiaan, hormat, dan kasih menjadi
dasar hidup bersama bagi Kelurga Kudus Nasaret, dan kasih itu membuat orang
berani menjadi korban bahkan diam demi kebaikan orang lain. Seperti yang ditulis
dalam Injil Mateus bahwa setelah Yusuf mengetahui bahwa Maria sudah
Namun hal itu tidak dilakukan Yusuf demi kehormatan dan nama baik Maria.
Sikap Yusuf tersebut bermakna bahwa kasih itu membuat orang berani menjadi
korban bahkan diam demi kebaikan orang lain. Di samping itu, di balik perbuatan
Yusuf itu juga mempunyai makna untuk menjaga nama baik orang lain.
Sementara itu, kesetiaan Maria dan Yusuf untuk menjaga Yesus
memungkinkan terjadinya komunikasi batin dan tumbuhnya kepekaan intuisi
untuk bisa mengerti dan memahami orang lain. Kisah pencarian Maria dan Yusuf
terhadap Yesus dengan penuh kecemasan, yang akhirnya ditemukan dalam bait
Allah merupakan suatu kisah kesetiaan Maria dan Yusuf dalam mendampingi
Putera-Nya. Dalam peristiwa ini Maria dan Yusuf menyingkirkan agenda pribadi,
begitu juga dengan Yesus seperti yang ditulis bahwa “pulang bersama-sama
mereka ke Nazareth” (Luk2:51).
Sikap yang dikembangkan oleh Maria, Yusuf, dan Yesus mencerminkan
bahwa Keluarga Kudus Nasaret menjadi tempat yang ideal untuk tumbuhnya
pribadi-pribadi yang dewasa. Keluarga Kudus juga merupakan kesatuan tiga
pribadi yang menjalani hidup berdasarkan gerak hati atas situasi yang ada pada
saat itu, yang selalu berusaha mempertemukan keputusan-keputusan mereka yang
mengarah kepada kehendak Allah. Segi hidup bersama yang dihidupi Keluarga
Kudus menjadi daya dan kebahagiaan untuk saling medukung dalam mencari dan
melaksanakan kehendak Bapa (Dedi Dismas. Membangun Spiritualitas Keluarga
Dalam konteks kelembagaan, keluarga menjadi tempat yang
memungkinkan Yusuf, Maria dan Yesus mengalami dan merasakan kepenuhan
akan kebutuhan jasmani maupun rohani yang sangat mendalam. Latar belakang
kehadiran mereka masing-masing sebagai utusan yang bersatu membentuk sebuah
keluarga baru yang di dalamnya saling memberi dan menerima, mendidik dan
dididik. Keluarga Kudus menjadi wahana saling belajar satu sama lainnya baik
dalam menyelesaikan berbagai macam masalah kehidupan maupun dalam
meningkatkan perkembangan rohani. Walau mereka memiliki keterikatan batin
yang kuat namun ketiganya tetaplah pribadi-pribadi yang tidak melebur dalam
pribadi yang lainnya. Masing-masing tetap memiliki kekhasannya, pribadi yang
mandiri dan utuh serta yang memiliki perannya masing-masing. Dalam
pemahaman yang lebih jauh, mereka memiliki kesamaan problem yang
membutuhkan keterlibatan dari masing-masing pribadi mereka. Kepadanya,
masing-masing mereka harus mampu mengambil sebuah tindakan tegas untuk
ikut serta dalam karya keselamatan Allah atau tidak. Karena itu dalam kebebasan,
tanpa paksaan dari apapun dan siapapun keputusan penting harus mereka ambil.
Sambil berdiri dihadapan misteri Ilahi, mereka menemukan bahwa mereka hanya
mempunyai satu hidup yang harus dihidupi yakni hidup demi Allah. Menerima
kenyataan tersebut dan menghayatinya berarti mereka menerima rahmat dan
menemukan bahwa semua yang dari kehidupan adalah baik. Hal ini menandakan
bahwa kehidupan keluarga yang berlandaskan pada kasih, kepercayaan,
penghormatan dan penghargaan dapat membawa sebuah wahana spiritual. (Viktor
https://msfmusafir.wordpress.com/keluarga-kudus-nazaret-cermin-pelayan-kreatif,
diakses 7/12/2016.
Dalam konteks keluarga Kristiani pada umumnya, pemaknaan
spiritualitas hidup keluarga sebenarnya semangat hidup yang hanya berpusat pada
Allah sendiri. Hal ini sudah terungkap nyata dalam pribadi Yesus Kristus yang
menjadi utusan-Nya dan menjadi bagian dari keluarga Santu Yosef dan Bunda
Maria. Keluarga Kudus adalah keluarga yang hidup damai, harmonis dengan
berlandaskan hukum cinta kasih. Keluarga Kudus menjadi contoh bagi realitas
hidup keluarga pada zaman sekarang. Sementara keluarga Kudus Nasaret sendiri
adalah “model yang sempurna mengenai kesatuan hati, saling memahami,
ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain”. Bunda Maria dan Santu Yosef
digambarkan sebagai dua pribadi yang disatukan dan diarahkan kepada Yesus.
Barthier mengungkapkan bahwa hati mereka disatukan kepada Yesus, mengarah
kepada (sikap) takut akan Allah, untuk menyampaikan rasa terima kasih mereka
atas pengampunan dosa dan penebusan umat manusia, sehingga kemuliaan Tuhan
tinggal dalam hati Maria dan Yosef. Yesus, Maria dan Yosef dengan cara yang
paling tinggi menaruh hormat dan berpasrah kepada Allah Bapa dalam Roh dan
kebenaran (Yoh 4:24) (Sutrisnaatmaka, 1999: 240-246).
Nilai hidup ketaatan dan kesetiaan Keluarga Kudus kepada kehendak
Allah ini patut menjadi contoh dan teladan bagi keluarga Kristiani dalam
menumbuhkembangkan iman dan pengharapan kepada Allah. Keluarga Kristiani
hendaknya bercermin kepada kehidupan Keluarga Kudus dalam mengembangkan
3. Tokoh Keluarga Kudus Nasaret
Tokoh dalam keluarga Kudus Nazaret yakni Maria, Yosef dan Yesus.
Ketiga tokoh ini menjadi teladan sekaligus pusat perhatian yang memberi
inspiratif bagi keluarga Kristiani. Oleh karena itu, keluarga seharusnya menjadi
cerminan kasih ilahi, sebab akar dari cinta yang benar adalah Allah sendiri.
Keluarga manusiawi di dunia ini: ibu-bapa dan anak-anak mestinya membawa
pesan dan berita tentang keluarga surgawi.
Keluarga Kudus Nazaret: Yosef, Maria dan Yesus menjadi contoh dan
teladan bagi keluarga-keluarga Kristiani. Setiap orang Kristiani yang hendak
membangun keluarga, hendaknya belajar dari Keluarga Kudus Nazaret. Menjadi
teladan berarti seluruh kehidupan keluarga Yosef, Maria dan Yesus ditiru
keteladanannya dalam hal iman, harapan dan kasih serta berpasrah kepada
kehendak Allah. Keluarga kudus Nazaret adalah guru iman dan guru dalam
kehidupan berkeluarga (Hello, 2016:13).
a. Maria
Maria menggambarkan dirinya sebagai hamba Tuhan (Luk 1:1.48). Kata
hamba Tuhan berarti budak, pelayan atau abdi Tuhan. Selaku seorang hamba ia
menyadari bahwa hidupnya sungguh amat tergantung pada kehendak Allah.
Tuhanlah yang menuntun dan mengatur hidupnya. Ia meletakkan hidupnya
kepada kehendak Allah. Menyebut diri sebagai hamba Tuhan, Maria termasuk
dalam daftar tokoh yang mempunyai peranan penting dalam sejarah keselamatan
Allah. Maria tidak hanya melayani Allah saja, tetapi juga sesama. Hal ini
Elisabeth, saudarinya, yang mengandung di masa tuanya” (Luk 1:39-45).
Kunjungan Maria kepada Elisabeth membawa kabar sukacita dan kekuatan
kepada Elisabeth. Elisabeth memberi salam kepadanya ”Berbahagialah ia yang
telah percaya sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana”
(Luk 1:45) (Hardiwiratno, 1996:386). Maria adalah ibu rohani kita dalam
keluarga, layaknya peran seorang ibu yaitu mengasihi, mengasah dan mengasuh.
Maria telah dipercayakan peran untuk mengasihi, mengasah dan mengasuh kita
dalam hidup rohani. Peran ibu yang sedemikian kompleks menentukan hidup
seorang anak, menunjukkan betapa pentingnya peran yang dipercayakan Allah
kepada Maria. Oleh karena itu, umat Kristiani harus mengakui peran Maria dan
menerimanya sebagai anugerah Allah yang sangat berharga (Handoko, 2014:73).
Maria adalah sosok ibu yang rendah hati, tulus dan setia pada kehendak
Allah. Maria adalah seorang pribadi yang menyimpan dan merenungkan segala
perkara di dalam hatinya. “Maria menyimpan segala perkataan itu dalam hatinya
dan merenungkannya” (Luk 2:19) (Leks, 2007:40). Dari ulasan di atas
menunjukkan bahwa spiritualitas yang dimiliki dan dihayati oleh Maria adalah
penyerahan diri secara total pada kehendak Allah, yang terkenal dengan komitmen
imannya dalam ungkapan ‘terjadilah padaku menurut perkataanMu’.
b. Yosef
Santo Yosef berasal dari kata Yunani Ioseph dan kata Ibrani ‘yoseph’
yang merupakan singkatan dari yosep’el yang berarti semoga Allah menambahkan
anak-anak lain kepada anak yang mau lahir. Yosef berasal dari keluarga dan
dan ayah Yesus. Yosef adalah pelindung keluarga Kristiani dan teladan bagi Bapa
Keluarga.
Dalam Injil Matius tertulis tiga kali tentang ketaatan Keluarga Kudus
kepada Allah. Pertama, Yusuf tidak jadi menceraikan Maria dan diminta
mengambil Maria sebagai isterinya (Mat. 1:18); Kedua, diminta untuk mengungsi
ke Mesir (Mat. 2:13); Ketiga, diminta untuk kembali dari Mesir kembali ke
Nazaret (Mat. 2:19) (Hardiwiratno, 1996:386). Pengalaman krisis mau
menceraikan Maria dan ketulusan hatinya untuk tidak mau mencemarkan nama
baik calon istrinya itu, telah mengantarkan Yusuf kepada sikap kemandirian iman.
Peran yang dimainkan Yusuf sebagai suami Maria dan ayah bagi Yesus memang
amat sangat terbatas. Namun peran terbatas itu justru lebih memberikannya ruang
gerak bagi kewajiban sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Santo Yosef
sebagai pelindung dalam keluarga dan ia adalah sosok yang sederhana, bijaksana,
tulus hati, taat kepada kehendak Allah dan pekerja keras serta bersikap lembut
dalam keluarga (Hello, 2016:19-23). Dengan demikian spiritualitas yang dimiliki
dan dihayati oleh Yosef adalah taat dan berpasrah kepada kehendak Allah.
Teladan Yosef perlu dihayati dalam kehidupan keluarga Katolik pada zaman
sekarang. Seorang ayah sebagai kepala keluarga bertanggungjawab penuh dalam
keluarga, dalam situasi suka dan duka ayah memiliki peran utama untuk
mengatasi kesulitan itu dengan penuh kasih.
c. Yesus
Yesus berarti “Allah menyelamatkan”. Nama ini diberikan oleh malaikat
misi-Nya” karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka”
(Mat. 1:21). Petrus juga menyatakan ”di bawah kolong langit ini tidak ada nama
lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”
(Kis. 4:12) (Kompendium Katekismus Gereja Katolik Art.81, 2009:43).
Yesus dibesarkan dalam keluarga Maria dan Yosef, sehingga keluarga
Kudus Nasaret menjadi gambaran historitas Yesus, sejak kanak-kanak sampai Ia
tampil di muka umum. Yesus tidak dilahirkan di istana sebagai putera raja, tetapi
Ia memilih menjadi seorang miskin dan mau dibesarkan di dalam keluarga
sederhana. Maria dan Yosef selalu berusaha untuk menciptakan suasana yang baik
dan serasi di rumah. Sewaktu-waktu mereka juga harus memikirkan bagaimana
memenuhi kebutuhan sehari-hari; tidak hanya makanan, pakaian, peralatan,
melainkan juga kepuasan, kesenangan, kegembiraan, saling menolong.
Hal yang paling utama dalam keluarga Kudus adalah pendidikan
kerohanian, doa bersama, melakukan kewajiban agama. Dan itulah yang
mondorong Yusuf dan Maria untuk mengajak Yesus ke Yerusalem pada hari raya
paskah. Hidup Yesus sendiri dibaktikan bagi pelayanan kepada kehendak Bapa
yaitu pewartaan kerajaan Allah. Pewartaan Injil-Nya terungkap nyata dalam
pelayanan kepada sesama manusia, terutama bagi yang miskin dan tersingkir dari
masyarakat. Dikatakan bahwa “Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan dan
menurut kebiasaan-Nya pada hari sabat Ia masuk ke rumah-rumah ibadat, lalu
berdiri hendak membaca dari Alkitab, Yesus menemukan nas yang tertulis, Roh
Tuhan ada padaku, Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik
pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan kepada orang buta dan
pembebasan kepada orang-orang tertindas (Luk. 4:16-19) (Komisi Kerasulan
Kitab Suci KAS 2016:15).
Pada umur dua belas tahun Yesus berkata kepada Maria dan Yusuf,
bahwa Ia harus berada di dalam rumah Bapa-Nya (Luk 2:49). Perkataan Yesus ini
menunjukan hubungan erat antara Yesus dan Bapa-Nya. Hubungan dengan Allah
sebagai Bapa-Nya, menentukan seluruh hidup-Nya dan terungkap dalam
doa-doa-Nya “Aku bersyukur pada-Mu Bapa, Tuhan langit dan bumi bahwa semuanya itu
Engkau sembunyikan bagi orang orang bijak dan pandai, tetapi Engkau nyatakan
kepada orang kecil” (Mat. 11:25). Seluruh kehidupan Yesus ditentukan oleh
kesatuan-Nya dengan Allah Bapa-Nya. Yesus menyerahkan hidup-Nya kepada
kehendak Allah (Iman Katolik, 1996:200). Oleh karena itu, inti dari spiritualitas
Keluarga Kudus Nasaret adalah penyerahan diri kepada kehendak Allah Bapa di
Surga.
Keluarga Kudus adalah model yang sempurna mengenai kesatuan hati,
saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain. Bunda Maria
dan Yosef digambarkan sebagai dua pribadi yang disatukan dan diarahkan kepada
Yesus. Barthier mengungkapkan bahwa hati mereka disatukan kepada Yesus,
mengarah kepada (sikap) takut akan Allah, untuk menyampaikan rasa terima kasih
mereka atas pengampunan dosa dan penebusan umat manusia, sehingga
kemuliaan Tuhan tinggal dalam hati Maria dan Yosef. Yesus, Maria dan Yosef
dengan cara yang paling tinggi menaruh hormat kepada Allah Bapa dalam Roh
pada seluruh keluarga umat manusia, yaitu keluarga Allah Bapa (Sutrisnaatmaka,
1999: 246).
Dalam membangun sebuah keluarga atas dasar kasih Allah, maka ada
lima hal yang sangat relevan dengan keluarga zaman sekarang antara lain:
Komitmen. Maria dan Yosef mengawali kehidupan keluarga mereka
dengan membangun komitmen terlebih dahulu dengan Allah dan rencana-Nya.
Komitmen Maria ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku
menurut perkataan-Mu itu” (Luk. 1:38). Komitmen Yosef, ”sesudah bangun dari
tidurnya, ia berbuat seperti apa yang dikatakan Tuhan kepadanya. Ia mengambil
Maria sebagai istrinya”(Mat. 1:24). Padahal sebelumnya Yosef sudah berencana
untuk menceraikan Maria di muka umum. Di titik ini, perbedaan dan keunikan
terkadang memungkinkan terjadinya konflik, namun sekaligus memperkaya, jika
konflik dihadapi dan dikelola melalui komunikasi yang terbuka dan tanggung
jawab kepada pasangan/orang tua atau anak.
Yosef dan Maria membangun sikap setia. Mereka setia pada komitmen
awal. Walaupun banyak mengalami rintangan dalam keluarga, berakhir dengan
putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus, harus mengakhiri hidup-Nya di kayu salib,
demi keselamatan umat manusia. Kesetiaan adalah sebuah nilai hidup yang sangat
penting dan perlu terus diperjuangkan dalam kehidupan berkeluarga.
Yosef dan Maria membangun relasi yang akrab dan mesrah bersama
Allah. Mereka adalah pemeluk agama Yahudi yang saleh. Keakraban dan
kemesraan mereka dengan Allah menjadi sangat nyata dalam kidung magnificat
dinomorsatukan oleh Allah, sehingga segala keturunan akan menyebutnya
berbahagia.
Yosef dan Maria membangun sikap kesederhanaan dalam hidup. Dalam
doa magnificat, Maria tidak hanya merasa bahagia, tetapi mengalami
perbuatan-perbuatan besar dari Allah. Kebahagiaan lebih merupakan kepenuhan batin.
Yosef dan Maria adalah pendidik yang berdaya guna. Manusia adalah
makluk yang ‘menjadi’ selalu dalam proses menjadi, sebuah pekerjaan rumah
yang tidak pernah selesai. Dalam menghadapi persoalan yang belum dipahami,
Maria menyimpan semua perkara itu dalam hatinya (Luk 2:19,51). Dengan
menanamkan nilai iman disertai dengan komunikasi yang berdayaguna maka
“Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya dan
makin dikasihi oleh Allah dan manusia (Luk 2:52). Oleh karena itu, keluarga
Kudus Nazaret, hendaknya menjadi pola dan panutan bagi keluarga-keluarga
Kristiani (Nugroho, 2012:6-7).
Orang-orang Yahudi yang saleh diwajibkan untuk datang ke Bait Suci di
Yerusalem pada hari raya Paskah, Pentekosta dan hari raya Pondok Daun. Yosef
dan Maria adalah orang Yahudi, mereka pun taat mengikuti tradisi yang ada.
Dikatakan bahwa “Yosef dan Maria tiap-tiap tahun membawa serta Yesus ke
Yerusalem untuk merayakan Paskah, Yesus berusia dua belas tahun (Luk. 2:
41-42) (Subagyo, 2011:85).
Orangtua Yesus kembali ke Galilea setelah perayaan berakhir. Yesus
diam-diam pergi ke rumah ibadat. Yosef dan Maria sebagai orangtua diliputi
bertanya kepada-Nya, “Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami?
Bapa-Mu dan aku mencari Engkau” (Luk. 2:48). Yesus menjawab “Mengapa
kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di rumah
Bapa-Ku? (Luk.2:49). Jawaban Yesus membuat Maria sebagai Ibu-Nya tidak
mengerti rahasia Putranya, tetapi “Maria menyimpan segala perkara di dalam
hatinya” (Luk. 2:51). Maria sebagai seorang ibu, mengambil sikap yang tepat
yakni bijaksana. Sikap bijaksana ini patut menjadi contoh bagi keluarga kristiani
dalam menghadapi setiap persoalan dalam hidup berkeluarga (Subagyo, 2011:86)
Ketika banyak orang mengerumuni Yesus dan berkata kepada-Nya
“Ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan ingin menemui Engkau“
(Mark, 3:32), Yesus menjawab ”Barangsiapa yang melakukan kehendak Allah,
dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan dan dialah ibu-Ku”
(Mrk. 3:35). Jawaban Yesus ini tidak mengandung pemahaman bahwa Yesus
tidak sopan dan tidak menghargai keluarga-Nya, tetapi Yesus ingin menekankan
bahwa hubungan kekeluargaan tidak hanya sebatas keluarga kecil (orangtua dan
anak). Yesus ingin memperluas hubungan relasi kekeluargaan dengan semua
orang yang mendengarkan Firman Allah. “Yang berbahagia ialah mereka yang
mendengarkan Firman Allah dan memeliharanya” (Luk.11:28) (Subagyo,
2011:92). Hal ini dapat dipahami bahwa spiritualitas yang dihayati oleh Keluarga
Kudus (Yosef, Maria dan Yesus) adalah semangat hidup Keluarga Kudus yang
B. Pengertian Keluarga
Tidak bisa disangkal bahwa kebahagiaan seseorang sangat tergantung
pada keadaan keluarganya. Kalau keluarganya harmonis, umumnya orang akan
mudah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Demikian pula, setiap keluarga
Katolik dengan latar belakang yang berbeda, baik yang mapan secara ekonomi
maupun yang hidup pas-pasan memiliki kesempatan yang sama untuk menimba
kebijaksanaan hidup dari teladan Keluarga Kudus Nazaret.
Pribadi yang lahir dari kalangan bangsawan atau kaya dapat belajar dari
keluarga bagaimana untuk hidup sederhana dalam saat-saat kelimpahan dan
bagaimana untuk tetap mempertahankan martabat dalam kesesakan. Mereka dapat
belajar bahwa kepantasan moral lebih berharga daripada kekayaan. Hal ini kiranya
menjadi panduan bagi umat Kristiani selama ini dalam memaknai kelimpahan
ataupun kekurangan yang dialami dalam kehidupan keluarga. Hidup
berkecukupan bukan berarti silau dengan harta tetapi rejeki yang diperoleh
menjadi sarana untuk membantu anggota komunitas lain agar tetap merasa
sebagai bagian dari kesatuan umat Allah. Memiliki mobil kemudian digunakan
untuk memobilisasi anggota koor ke gereja saat ada tanggungan di paroki atau
membawa ibu-ibu mengunjungi orang sakit merupakan salah satu contoh dari
sikap hidup keluarga Kristiani dalam memaknai kekayaan.
Di pihak lain, tidak sedikit pula keluarga yang merasa tidak punya cukup
waktu untuk berbicara dari hati ke hati. Berbeda dengan zaman dahulu, peran
orangtua untuk menanamkan ajaran moral dalam diri putra-putrinya dan
selama dalam perjalanan (Ul. 6:6, 7). Orang tua dan anak-anak punya banyak
waktu untuk menjalin komunikasi, sehingga bisa saling memahami kebutuhan,
keinginan, dan kepribadian anak. Demikian sebaliknya, anak-anak pun bisa
benar-benar mengenal orang tua mereka (Stef & Ingrid Tay. Keluarga Kudus: Pola Ilahi
Bagi Keluarga Kita. Dalam https://www.katolisitas.org/keluarga-kudus-pola-ilahi-bagi-keluarga-kita, diakses 7/12/ 2016) .
Realitas kehidupan keluarga Katolik sekarang, terutama di daerah
perkotaan, anak-anak sudah disekolahkan sejak masih sangat kecil, bahkan
kadang sejak berumur dua tahun. Banyak ayah dan ibu bekerja di tempat yang
jauh dari rumah. Saat orang tua dan anak punya sedikit waktu bersama, perhatian
mereka tersita oleh komputer, televisi, dan perangkat elektronik lainnya. Dalam
banyak keluarga lainnya juga bahwa orang tua dan anak-anak sibuk dengan
kegiatan mereka masing-masing sehingga mereka merasa asing terhadap satu
sama lain atau tidak pernah ada pembicaraan dari hati ke hati.
Menyadari perubahan sosial semacam ini, beberapa keluarga Katolik
bahkan sudah mulai memikirkan untuk sepakat membatasi waktu di depan televisi
atau komputer. Sementara yang lainnya mengupayakan untuk makan bersama
sedikitnya satu kali sehari dan mulai menyisihkan waktu satu jam atau lebih setiap
minggu untuk sekedar mengobrol. Sebelum anak-anak berangkat ke sekolah,
orangtua selalu memberi wejangan sesuatu yang membina dan mengajak berdoa
bersama, yang akan berpengaruh besar atas kegiatannya sepanjang hari itu. Semua
yang dilakukan itu merupakan upaya untuk memaknakan spiritualitas keluarga
penyelenggaraan Ilahi kadang masih membutuhkan perjuangan yang panjang. Hal
ini yang membedakan keluarga Kristiani dengan keluarga pada umumnya.
Keluarga menurut ajaran gereja adalah lingkungan primer yang paling
berperan dalam pembentukan watak, moral dan iman anak. Keluarga menjadi
sekolah pertama dan utama, tahap demi tahap anak akan mengerti arti hidup. Lain
perkataan bahwa keluarga menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak menjadi
pribadi yang seutuhnya, yakni pribadi yang beriman, berbakti kepada Allah dan
sesama serta memiliki keutamaan hidup (Sutarno, 2013:5).
Paus Yohanes Paulus II, dalam homilinya pada misa di kota Cuenca,
Maret 1985 mengatakan bahwa, “Keluarga merupakan tempat pertama panggilan
kristiani dinyatakan. Setiap panggilan dilahirkan di dalam keluarga, yang
merupakan tempat istimewa bagi benih yang ditanam oleh Allah dalam hati
anak-anak agar dapat berakar dan masak. Keluarga adalah tempat partisipasi orang tua
dalam misi imamat Kristus sendiri dinyatakan dalam derajatnya yang paling
tinggi” (Eminyan, 2001:236).
Keluarga juga merupakan salah satu lembaga terkecil dalam masyarakat.
Demikian pula seorang anak yang baru dilahirkan pertama kali mengenal dan
mengalami kebersamaan dengan setiap orang dalam keluarga. Di samping itu,
keluarga adalah lingkungan pendidikan primer seorang anak, tempat dimana ia
memperoleh dasar-dasar keterampilan (sensomotorik), dasar-dasar kecerdasan
(bahasa, alam pikiran) dan dasar-dasar nilai hidup (agama, adat dan tata
kelakuan). Semntara keluarga berusaha untuk memberikan penghiburan,