• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi penghayatan spiritualitas keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki keluarga Kudus Banteng, Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deskripsi penghayatan spiritualitas keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki keluarga Kudus Banteng, Yogyakarta."

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG. Penulis memilih judul ini berdasarkan fenomena kehidupan keluarga Katolik dewasa ini, termasuk dalam kehidupan sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, Paroki Banteng yang sering menyimpang dari spiritualitas Keluarga Kudus. Di antara anggota keluarga semakin jarang berkomunikasi, makan bersama dan doa bersama karena berbagai alasan tertentu. Sementara Keluarga Kudus merupakan model keluarga yang ideal mengenai kesatuan hati, saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain sebagaimana hati Maria dan Yosef yang disatukan kepada Yesus, mengarah kepada sikap takut akan Allah. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui deskripsi penghayatan spiritualitas keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan penentuan informan dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Untuk mencapai validitas data penulis melakukan wawancara beberapa informan tambahan, melakukan penelusuran terhadap dokumen, dan juga diperkuat oleh pengamatan secara langsung terhadap perilaku umat dan keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Banteng.

Hasil penelitian ini bahwa sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan pada umumnya belum memiliki pemahaman yang utuh tentang spiritualitas Keluarga Kudus. Keluarga Katolik di lingkungan tersebut lebih terjebak dalam ‘ilusi ketokohan ataupun tindakan’ daripada tokoh Yesus, Maria dan Yosef. Sementara semangat berserah diri pada kehendak Allah, yang menjadi substansi dari spiritualitas sendiri belum menjadi perhatian serius dalam praktek berkeluarga sehari-hari. Demikian halnya dengan upaya keluarga Katolik untuk menghayati spiritualitas keluarga Kudus juga pada umumnya masih sebatas mengikuti contoh tindakan yang dilakukan oleh tokoh keluarga Kudus, seperti aktif dalam kegiatan lingkungan; mengelola pendapatan secara bijaksana di bawah prinsip kesederhanaan; mengupayakan pendidikan dan perkembangan iman anak; berusaha untuk membangun komunikasi yang baik dengan sesama anggota keluarga dan masyarakat; dan berusaha meningkatkan semangat hidup doa dan menggereja. Hal ini secara nyata menunjukkan bahwa pemahaman dan penghayatan spiritualitas keluarga Kudus masih sebatas mengikuti tindakan konkrit dari Yesus, Maria dan Yosef.

(2)

ABSTRACT

This undergraduate thesis entitles: THE DESCRIPTION OF REALIZATION OF THE SPIRITUALITY OF HOLY FAILY IN CATHOLIC FAMILY IN THE REGION ST. JOHN KENTUNGAN, HOLY FAMILY PARISH, BANTENG, YOGYAKARTA. The writer chose this topic based on the phenomenon of Catholic family life today, including in the lives of a Catholic families in St. John Kentungan region, Banteng Parish, which often deviate from the spirituality of the Holy Family. Among the family members increasingly rarely communicate, eat together, and pray together for various reasons. While the Holy Family is a model of the ideal family of the unity of hearts, mutual understanding, obedience and self-denial for others as the heart Mary and Joseph are united to Jesus, to lead to the attitude of the fear of God. This research can be the effort to know well the realization of the Sacred Family Spirituality in their beings.

This type of research is descriptive qualitative determination of informants done intentionally (purposive sampling). To achieve with the validity of the data the writer also interviewed some additional informants, performing a search for documents, and also confirmed by direct observation of the behavior of people and families in region St. John Kentungan Banteng Parish.

The result of this research notice some of families in St. John region have no integrated insight about the spirituality of Sacred Family. The Catolic Families on that region are isolated by an illusion of the role or the act of Jesus, Mary and Joseph. Inspite of that, the willing of self-giving to God’s will that is substance of spirituality itself was not get a serious anttention in their daily lifes. Thus with the strugle of Catolic family to deepend the spirituality of Sacred Family also, generally is still only following the example of what the figures of the Sacred Family did. For examples, participating in region programs, holding the income wisely in simplicity, responsible for education and children’s faith, and also strive to develop the spirit of prayer and acclesiastical. These things perform that the insight and realization of the spirituality of sacred family is still just follow the concrete action of Jesus, Mary and Joseph.

(3)

i

DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES

KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG, YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh :

Marselina Ase Teme NIM: 121124054

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Para Suster Ursulin (OSU) di manapun

berada yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar dan kepada

seluruh keluarga besar yang telah mendukung saya dengan caranya

masing-masing selama menjalani proses perkuliahan di IPAK Yogyakarta hingga

(7)

v MOTTO

“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”

(Mat. 7:12)

“Langkah anda yang pertama senantiasa kembali kepada Yesus Kristus”

(8)
(9)
(10)

viii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul: DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG. Penulis memilih judul ini berdasarkan fenomena kehidupan keluarga Katolik dewasa ini, termasuk dalam kehidupan sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, Paroki Banteng yang sering menyimpang dari spiritualitas Keluarga Kudus. Di antara anggota keluarga semakin jarang berkomunikasi, makan bersama dan doa bersama karena berbagai alasan tertentu. Sementara Keluarga Kudus merupakan model keluarga yang ideal mengenai kesatuan hati, saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain sebagaimana hati Maria dan Yosef yang disatukan kepada Yesus, mengarah kepada sikap takut akan Allah. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui deskripsi penghayatan spiritualitas keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan penentuan informan dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Untuk mencapai validitas data penulis melakukan wawancara beberapa informan tambahan, melakukan penelusuran terhadap dokumen, dan juga diperkuat oleh pengamatan secara langsung terhadap perilaku umat dan keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan Paroki Banteng.

Hasil penelitian ini bahwa sebagian keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan pada umumnya belum memiliki pemahaman yang utuh tentang spiritualitas Keluarga Kudus. Keluarga Katolik di lingkungan tersebut lebih terjebak dalam ‘ilusi ketokohan ataupun tindakan’ daripada tokoh Yesus, Maria dan Yosef. Sementara semangat berserah diri pada kehendak Allah, yang menjadi substansi dari spiritualitas sendiri belum menjadi perhatian serius dalam praktek berkeluarga sehari-hari. Demikian halnya dengan upaya keluarga Katolik untuk menghayati spiritualitas keluarga Kudus juga pada umumnya masih sebatas mengikuti contoh tindakan yang dilakukan oleh tokoh keluarga Kudus, seperti aktif dalam kegiatan lingkungan; mengelola pendapatan secara bijaksana di bawah prinsip kesederhanaan; mengupayakan pendidikan dan perkembangan iman anak; berusaha untuk membangun komunikasi yang baik dengan sesama anggota keluarga dan masyarakat; dan berusaha meningkatkan semangat hidup doa dan menggereja. Hal ini secara nyata menunjukkan bahwa pemahaman dan penghayatan spiritualitas keluarga Kudus masih sebatas mengikuti tindakan konkrit dari Yesus, Maria dan Yosef.

(11)

ix ABSTRACT

This undergraduate thesis entitles: THE DESCRIPTION OF REALIZATION OF THE SPIRITUALITY OF HOLY FAILY IN CATHOLIC FAMILY IN THE REGION ST. JOHN KENTUNGAN, HOLY FAMILY PARISH, BANTENG, YOGYAKARTA. The writer chose this topic based on the phenomenon of Catholic family life today, including in the lives of a Catholic families in St. John Kentungan region, Banteng Parish, which often deviate from the spirituality of the Holy Family. Among the family members increasingly rarely communicate, eat together, and pray together for various reasons. While the Holy Family is a model of the ideal family of the unity of hearts, mutual understanding, obedience and self-denial for others as the heart Mary and Joseph are united to Jesus, to lead to the attitude of the fear of God. This research can be the effort to know well the realization of the Sacred Family Spirituality in their beings.

This type of research is descriptive qualitative determination of informants done intentionally (purposive sampling). To achieve with the validity of the data the writer also interviewed some additional informants, performing a search for documents, and also confirmed by direct observation of the behavior of people and families in region St. John Kentungan Banteng Parish.

The result of this research notice some of families in St. John region have no integrated insight about the spirituality of Sacred Family. The Catolic Families on that region are isolated by an illusion of the role or the act of Jesus, Mary and Joseph. Inspite of that, the willing of self-giving to God’s will that is substance of spirituality itself was not get a serious anttention in their daily lifes. Thus with the strugle of Catolic family to deepend the spirituality of Sacred Family also, generally is still only following the example of what the figures of the Sacred Family did. For examples, participating in region programs, holding the income wisely in simplicity, responsible for education and children’s faith, and also strive to develop the spirit of prayer and acclesiastical. These things perform that the insight and realization of the spirituality of sacred family is still just follow the concrete action of Jesus, Mary and Joseph.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang mahakuasa, berkat kasih dan

penyertaan-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul

DESKRIPSI PENGHAYATAN SPIRITUALITAS KELUARGA KUDUS DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN ST. YOHANES

KENTUNGAN PAROKI KELUARGA KUDUS BANTENG,

YOGYAKARTA.

Keluarga Katolik pada saat ini sering menghadapi tantangan, terutama

dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang pesat dewasa ini. Setiap anggota

keluarga cenderung memiliki kesibukan masing-masing. Situasi seperti ini tidak

sedikit membawa dampak merugikan bagi keluarga, di mana semakin jauh dari

penghayatan akan nilai-nilai yang mesti dihidupkan oleh setiap anggota keluarga

seturut spiritualitas yang dihidupkan keluarga Kudus Nasaret. Oleh karena itu,

selain menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan pada

Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, skripsi ini juga dapat

menjadi salah satu referensi bagi keluarga Katolik untuk membagun keluarga

seturut semangat hidup Keluarga Kudus.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini telah melibatkan banyak

pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, dari hati yang

(13)

xi

1. Drs. F.X. Heryatno W.W SJ.,M.Ed selaku Kaprodi IPAK Universitas Sanata

Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh

pendidikan lembaga ini.

2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ selaku dosen pembimbing utama sekaligus sebagai

dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan dan

pendampingan kepada penulis, baik selama perkuliahan maupun selama

penulisan skripsi.

3. F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd. selaku dosen Penguji II sekaligus pembimbing

penelitian, yang penuh kesabaran membimbing penulis sejak persiapan,

pelaksanaan hingga penulisan skripsi ini selesai.

4. Y. Kristianto, SFK., M.Pd. selaku dosen Penguji III yang selalu mendukung

dan memberi masukan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

5. Segenap staf dosen Prodi IPAK, pegawai dan karyawan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang dengan

penuh keramahan membimbing penulis selama menempuh proses perkuliahan.

6. Keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, khususnya

para indormasn yang telah membuka hati untuk penulis selama proses

wawancara berlangsung, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar

tanpa hambatan.

7. Pimpinan Ursulin Indonesia, para Dewan dan semua Suster Ursulin yang telah

memberikan kesempatan, dukungan dan semangat kepada penulis untuk studi

(14)

xii

8. Suster-suster Komunitas Ursulin Pandega Padma Yogyakarta yang selalu

mendukung, memberi motivasi, dan semangat kepada penulis serta

meluangkan waktu untuk mendengarkan penulis.

9. Keluarga besar penulis yang selalu mendoakan kesuksesan penulis.

10.Teman-teman Angkatan 2012 yang selalu kompak dan menjadi inspirasi bagi

penulis.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat

diharapkan penulis dengan hati yang terbuka. Penulis juga berharap agar skripsi

ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, terutama keluarga-keluarga Katolik di

Lingkungan St. Yohanes Kentungan.

Yogyakarta, 5 Desember 2016

Penulis,

(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vii

ABSTRAK ... viii

F. Manfaat Penulisan/Penelitian ... 7

G. Metode Penulisan ... 8

H. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

A. Spiritualitas Keluarga Kudus ... 12

1. Pengertian Spiritualitas ... 12

2. Spiritualitas Hidup Keluarga Kudus ... 17

3. Tokoh Keluarga Nasaret ... 21

a. Maria ... 22

b. Yosef ... 23

(16)

xiv

B. Pengertian Keluarga ... 29

C. Tujuan Keluarga Kristiani ... 33

D. Fungsi Keluarga Kristiani ... 34

E. Hak-Hak dan Kewajiban Dasar Keluarga ... 35

F. Ciri-ciri Keluarga Kristiani ... 36

G. Peranan Keluarga Kristiani ... 37

H. Kewajiban Sesama Anggota Keluarga ... 39

BAB III METODE PENELITIAN... 43

A. Jenis Penelitian ... 43

5. Kisi-kisi Panduan Wawancara dan Observasi ... 51

E. Teknik Analisis Data ... 55

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 57

A. Temuan Umum... 57

1. Sejarah Singkat Lingkungan St. Yohanes Kentungan ... 57

2. Keadaan Umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan menurut Usia .. 58

3. Keadaan Umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan menurut Mata Pencaharian ... 60

4. Keadaan Sosial Budaya ... 64

B. Temuan Khusus ... 64

1. Bagaimana Pandangan tentang Spiritualitas Keluarga Kudus ... 64

(17)

xv

bagi Keluarga Katolik ... 65

3. Bagaimana Keluarga Katolik Mengelola Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga ... 67

4. Bagaimana Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Pendidikan dan Perkembangan Iman Anak ... 68

5. Bagaimana Keluarga Katolik Membangun Komunikasi dengan Anggota Keluarga dan Masyarakat Sekitar ... 70

6. Bagaimana Keluarga Katolik Menyikapi Perbedaan Cita-cita Anak dan Keinginan Orangtua... 71

7. Bagaimana Keluarga Katolik Membangun Hidup Doa dan Menggereja ... 73

C. Uji Validitas ... 74

D. Pembahasan ... 77

1. Pandangan Keluarga Katolik tentang Spiritualitas Keluarga Kudus ... 77

2. Cara Hidup Keluarga Kudus Menjadi Model bagi Keluarga Katolik ... 80

3. Pengelolaan Pendapatan dan Pengeluaran dalam Keluarga Katolik .. 84

4. Tanggung Jawab Keluarga Katolik terhadap Pendidikan dan Pengembangan Iman Anak ... 89

5. Komunikasi Keluarga Katolik dengan Sesama Anggota Keluarga dan Masyarakat di Sekitarnya ... 94

6. Menyikapi Perbedaan Antara Cita-Cita Anak dan Keinginan Orangtua ... 97

7. Hidup Doa, Menggereja dan Hambatan bagi Keluarga Katolik ... 101

E. Usulan Program Untuk Meningkatkan Penghayatan Penghayatan Keluarga Katolik terhadap Spiritualitas Keluarga Kudus ... 105

1. Latar Belakang ... 106

2. Sekilas Pengertian Rekoleksi ... 107

3. Tujuan Program ... 108

(18)

xvi

BAB V PENUTUP ... 125

A. Kesimpulan ... 125

B. Saran ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... 128

LAMPIRAN Lampiran 1 Panduan Wawancara ... (1)

Lampiran 2 Data Wawancara Asli ... (4)

Lampiran 3 Surat Permohonan Ijin Penelitian ... (24)

Lampiran 4 Hymne Keluarga Kudus dan Santo Yosef ... (25)

Lampiran 5 Doa Penyerahan diri kepada Keluarga Kudus Nazaret ... (26)

Lampiran 6 Gambar Keluarga Kudus ... (27)

Lampiran 7 Kegiatan Rohani di Lingkungan St. Yohanes Kentungan ... (28)

(19)

xvii

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Kitab Suci

Semua singkatan dalam skripsi ini mengikuti singkatan Kitab Suci sesuai

daftar singkatan dalam Perjanjian Baru dan Alkitab Katolik Deutrakanonik yang

diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia.

Mat. : Matius

Luk. : Lukas

Mark. : Markus

Yoh. : Yohanes

Kis. : Kisah Para Rasul

Rom. : Roma

Ams. : Amsal

Ef. : Efesus

B. Singkatan Resmi Dokumen Gereja

AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang

Kerasulan Awan, 7 Desember 1965

AL : Amoris Laetitia, Intisari Ajaran Paus Fransiskus tentang Perkawinan dan Keluarga, 2014

Art. : Artikel

FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes

Paulus II tentang Peranan Keluarga Kristen Dalam Dunia

(20)

xviii

GS : Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang

Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh

Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983

KGK : Katekismus Gereja Katolik. Dicetak oleh Percetakan Arnoldus

Ende, 1995

KAS : Keuskupan Agung Semarang

ST : Santa/Santo

C. Singkatan Umum

KK : Kepala Keluarga

PNS : Pegawai Negeri Sipil

IRT : Ibu Rumah Tangga

TK : Taman Kanak-Kanak

SD : Sekolah Dasar

SMTA : Sekolah Menengah Tingkat Atas

IP : Indeks Prestasi

(21)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga Katolik memegang peranan yang

sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai Kristiani. Baik atau buruknya

tingkah laku seorang Kristiani sangat ditentukan oleh situasi hidup dan pendidikan

yang diperoleh dalam keluarga. Demikian halnya dengan keberlanjutan

perkembangan Gereja Katolik sangat ditentukan oleh keberadaan keluarga

Katolik, baik dalam aspek jumlah maupun kualitas. Hal ini berarti bahwa semakin

banyak keluarga Katolik yang berkualitas akan mempengaruhi kualitas kehidupan

umat dalam menggereja secara keseluruhan, yang pada gilirannya layak menjadi

cerminan dari gereja mini di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

Seiring dengan perkembangan jaman, fungsi keluarga pun semakin

bergeser dan bahkan berubah. Belum lagi adanya fenomena kehidupan

masyarakat modern yang cenderung individualistis dewasa ini

sekurang-kurangnya mempengaruhi dinamika kehidupan keluarga Katolik, baik langsung

maupun tidak langsung. Salah satu gejala yang melanda hampir semua keluarga,

termasuk keluarga Katolik dewasa ini adalah perubahan pola komunikasi dalam

keluarga, yang sebelumnya dilakukan secara langsung penuh perhatian dan

kehangatan, namun dalam kekinian cenderung menggunakan alat komunikasi

modern. Hal itu diperparah lagi gaya hidup masyarakat kota yang cenderung

mengejar karier demi materi, sehingga waktu untuk membangun komunikasi

(22)

semakin terbatas. Oleh sebab itu, perhatian orangtua terhadap perkembangan

kepribadian dan iman anak-anak pun seakan menjadi hal yang kurang

diperhitungkan dalam sebagian keluarga modern dewasa ini.

Berdasarkan temuan penelitian bahwa pada para informan umumnya

mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Setiap anggota keluarga lebih

memilih mengurus kepentingan masing-masing, sehingga interaksi dalam

keluarga untuk saling berbagi pengalaman cenderung terabaikan. Oleh karena itu,

penanaman nilai-nilai hidup atau spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret kepada

sesama anggota keluarga semakin sulit untuk dilakukan oleh orangtua.

Dalam hubungannya dengan hidup doa dan menggereja, pola hubungan

antar personal anggota keluarga Katolik seperti ini menimbulkan kecenderungan

untuk lalai atau kurang terlibat dalam kehidupan menggereja, kegiatan rohani di

lingkungan, dan kurang peduli dengan sesama di sekitarnya. Sebagaimana

pengalaman keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan, gejala

seperti ini mulai muncul ketika anggota keluarga mulai jarang berdoa bersama,

makan bersama, dan melakukan pekerjaan rumah secara bersama-sama karena

alasan sibuk dan keterbatasan waktu. Padahal doa bersama dalam keluarga

Kristiani merupakan hal yang sangat penting, selain menjadi momen untuk

membangun hubungan yang mesra dengan Tuhan juga menjadi saat yang tepat

untuk membangun hubungan emosional yang kuat di antara anggota keluarga.

Dalam penutupan Sinode Keluarga, Paus Fransiskus menghimbau agar

keluarga Katolik memahami peran keluarga dalam hidup sehari-hari. Keluarga

(23)

sama lain, bukan terjebak atau tergoda dalam ilusi spiritualitas, tidak peduli dan

mengabaikan orang lain. Keluarga Katolik juga diharapkan tidak jatuh pada ‘iman

yang terjadwal’ menjalankan agenda pribadi yang tidak sejalan dengan agenda

gereja. Paus Fransiskus juga menegaskan bahwa panggilan keluarga bertolak dari

refleksi atas kehidupan keluarga Nasaret; Yesus, Maria dan Yusuf yang

mengajarkan cara mengalami sukacita secara sederhana dalam keluarga.

Kehidupan keluarga ditandai dengan kesabaran di tengah aneka kesulitan dan

bertumbuh dalam semangat pelayanan. Demikian halnya dengan persaudaraan

yang ditumbuhkan dalam keluarga mesti berakar pada cinta antara satu dengan

yang lain, semua adalah anggota dari satu tubuh yakni Kristus (Wuarmanuk,

2015: 28-29). Hal ini berarti bahwa keluarga Katolik harus mampu mewujudkan

diri sebagai gereja mini, yakni menjadi persekutuan yang mesra sebagai tubuh

Kristus.

Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang mampu memberi

kesempatan kepada setiap anggota keluarga mengambil peran untuk menciptakan

kehidupan rumah tangga yang damai, rukun, saling mendengarkan, menghargai

dan mengasihi satu dengan yang lain. Peran ayah seperti Yosef sebagai kepala

keluarga bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluarga. Peran ibu seperti

Maria sebagai pendengar yang setia, bersikap tulus, bijaksana, pendidik dan

pengatur rumah tangga. Peran anak seperti Yesus, mendengarkan orangtua,

menghargai dan menghormati orangtua, taat dan belajar hidup dari orangtua

(KHK: art. 1136). Oleh karena itu, keharmonisan keluarga juga ditentukan oleh

(24)

Paus Fransiskus juga mengeluarkan anjuran Apostolik terbaru “Amoris

Laetitia” atau sukacita kasih di Vatikan, yang membahas nilai-nilai fundamental

dalam membangun keluarga. Beliau mengakui bahwa dewasa ini banyak keluarga

masih berjuang keluar dari jerat hidup yang keras, banyak pengangguran, keluarga

gelandangan, para migran, korban kekerasan dan eksploitasi keluarga, yang

berefek negatif pada perkembangan iman anak. Hal ini menjadi tugas gereja untuk

merangkul dan mengembalikan kepercayaan hidup mereka yang telah lama

hilang (Wuarmanuk, 2016: 24). Dengan demikian, semua keluarga yang berada

dalam penderitaan diharapkan akan melihat pancaran sinar kasih Allah.

Dalam konteks kehidupan umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan

Paroki Banteng, secara umum kehidupan keluarga di lingkungan ini terlihat

berjalan secara normal. Namun berdasarkan temuan di lapangan bahwa ada

sebagian informan dihadapkan dengan situasi komunikasi di antara anggota

keluarga yang kurang berjalan sesuai harapan. Sebagian orangtua ataupun

anak-anak lebih sibuk bekerja ataupun belajar, sehingga jarang untuk saling berdiskusi

dan membagi kasih atau sekedar berkumpul dan bersenda gurau, makan bersama

dan doa bersama. Dengan kata lain rumah hanya sebagai tempat untuk tidur di

waktu malam, sehingga kebersamaan dan nuansa kekeluargaan dalam keluarga

menjadi hal yang mahal untuk dibangun oleh keluarga.

Di samping itu, dalam kehidupan berkomunitas pun terlihat bahwa

semangat untuk saling kontrol, terutama saling mengingatkan sesama umat yang

kurang aktif dalam menjalankan tugas dan doa bersama masih tergolong rendah.

(25)

maupun paroki dapat dikatakan sangat minim. Kondisi demikian setidaknya

menjadi gambaran awal bahwa semangat Keluarga Kudus Nasaret belum

sepenuhnya dihayati oleh semua keluarga di Lingkungan St. Yohanes Kentungan,

sehingga perlu ditelusuri untuk menemukan solusi. Hal ini mendorong penulis

melakukan penelitian yang berjudul: “Deskripsi Penghayatan Spiritualitas

Keluarga Kudus Dalam Keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan

Paroki Keluarga Kudus Banteng”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikan

permasalahan penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan keluarga tentang Spiritualitas Keluarga Kudus?

2. Bagaimana hidup Keluarga Kudus menjadi model dalam kehidupan keluarga

Katolik?

3. Bagaimana keluarga Katolik mengelola pendapatan keluarga?

4. Bagaimana tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan dan perkembangan

iman anak?

5. Bagaimana strategi keluarga Katolik membangun komunikasi dalam keluarga

dan masyarakat di sekitarnya?

6. Bagaimana keluarga Katolik menyikapi perbedaan antara cita-cita anak dan

keinginan orangtua?

7. Bagaimana keluarga Katolik mengembangkan hidup doa dalam keluarga,

(26)

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari bias dalam pembahasan hasil penelitian ini, maka

ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada deskripsi penghayatan

spiritualitas Keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes

Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng. Dengan demikian, pembahasan

skripsi ini lebih fokus pada obyek dan permasalahan yang diteliti.

D. Rumusan Masalah

Dari beberapa masalah yang diidentifikasikan di atas, maka rumusan

masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penghayatan keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes

Kentungan Paroki Keluarga Kudus Banteng terhadap spiritualitas Keluarga

Kudus Nasaret?

2. Bagaimana upaya-upaya keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes

Kentungan meningkatkan penghayatan terhadap spiritualitas Keluarga Kudus

dalam kehidupan keluarga?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ataupun penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Mengetahui gambaran tentang penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus

Nasaret pada keluarga-keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes

Kentungan, Paroki Keluarga Kudus Banteng.

2. Mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga-keluarga Katolik

dalam meningkatkan penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus dalam

(27)

F. Manfaat Penulisan/Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat

sebagai berikut:

1. Bagi keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan

Menjadi sarana yang membantu setiap keluarga dalam memahami dan

menghayati spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret secara utuh, yang pada

gilirannya dijadikan sebagai pedoman dalam hidup berkeluarga.

2. Bagi Keluarga Katolik pada umumnya

Menjadi inspirasi bagi semua keluarga Katolik dalam membangun keluarga

yang baik dan harmonis.

3. Bagi pihak Paroki

Sebagai referensi yang berguna dalam pengembangan program pendampingan

terhadap keluarga-keluarga Katolik di Paroki Banteng, terutama berkaitan

dengan upaya untuk menginternalisasikan semangat Keluarga Kudus dengan

harapan agar seluruh keluarga Katolik memiliki pemahaman yang utuh

tentang spiritualitas keluarga Kudus. Dengan pemahaman yang utuh dimaksud

memungkinkan kehidupan keluarga Katolik semakin selaras dengan

kehidupan keluarga yang dicontohkan oleh keluarga Kudus Nasaret.

4. Bagi penulis sendiri

Menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan tentang seluk-beluk

kehidupan berkeluarga, yang sangat bermanfaat kelak dalam melakukan

pendampingan terhadap keluarga Katolik di tempat perutusan.

(28)

Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis, di mana

metode ini lazim digunakan dalam penelitian kualitatif. Sugiyono (2008)

menyatakan bahwa metode deskriptif analisis merupakan metode atau cara

mengumpulkan data-data sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, kemudian

data-data tersebut disusun, diolah dan dianalisis untuk dapat memberikan

gambaran mengenai masalah yang ada (https://www.pengertian analisis deskriptif

menurut para ahli, diunduh tanggal 11 Nopember 2016 pukul 16:18). Penelitian ini pun berupaya untuk menggambarkan secara jelas dan mendalam tentang

penghayatan keluarga Katolik di Lingkungan St. Yohanes Kentungan terhadap

spiritualitas Keluarga Kudus dengan menggunakan data-data kualitatif yang

diperoleh melalui wawancara sebagai data primer dan dokumentasi serta hasil

observasi sebagai data sekunder (pendukung). Sedangkan untuk membahas hasil

penelitian ini penulis menggunakan beberapa konsep yang berkaitan dengan

spiritualitas Keluarga Kudus, keluarga dan beberapa literatur yang relevan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulis dalam penulisan skripsi ini, maka dibuat

kerangka atau sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Berisi latar belakang penulisan, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

(29)

juga membahas pengertian keluarga Katolik, tujuan keluarga, fungsi keluarga,

hak-hak dasar keluarga dan kewajiban sesama anggota keluarga.

BAB III METODE PENELITIAN. Berisi gambaran tentang metode penelitian yang digunakan mencakup: jenis penelitian, unit analisis, penentuan

informan, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, lokasi dan waktu

penelitian.

BAB IV PEMAPARAN DATA. Berisi gambaran lokasi penelitian dan hasil penelitian berupa data verbatim (kata per kata) dari hasil wawancara dengan

informandan hasil observasi serta dokumentasi, yang berkaitan dengan deskripsi

penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus dalam keluarga Katolik di Lingkungan

St. Yohanes Kentungan. Kemudian hasil penelitian tersebut dikelompokkan ke

tema-tema yang sama untuk memudahkan penulis dalam membahasnya. Adapun

tema-tema dimaksud, yakni: Pandangan Keluarga tentang Spiritualitas Keluarga

Kudus; Spiritualitas Keluarga Kudus Menjadi Model Bagi Keluarga Katolik;

Pengelolaan Pendapatan dan Pengeluaran serta Hambatannya Bagi Keluarga di

Lingkungan St. Yohanes Kentungan; Tanggung Jawab Orangtua Terhadap

Pendidikan dan Perkembangan Iman Anak; Strategi Untuk Membangun

Komunikasi Dalam Keluarga dan Masyarakat serta Hambatannya; Menyikapi

Perbedaan Antara Cita-Cita Anak Dengan Keinginan Orangtua; dan Hidup Doa,

Menggereja dan Hambatan Bagi Keluarga. Hasil penelitian tersebut menjadi

acuan bagi penulis dalam menganalisis dua topik besar, yang sebelumnya sebagai

rumusan masalah ataupun tujuan penelitian ini, yakni: Gambaran penghayatan

(30)

Lingkungan St. Yohanes Kentungan dan urgensinya dalam kehidupan keluarga

Katolik pada umumnya; dan upaya keluarga Katolik untuk menghayati

spiritualitas Keluarga Kudus di era globalisasi. Di akhir bagian ini penulis

menyertakan usulan program untuk Paroki dalam rangka meningkatkan

penghayatan spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret, yang dilakukan melalui

kegiatan rekoleksi bagi keluarga di setiap lingkungan di wilayah Paroki Banteng.

Melalui kegiatan tersebut diharapkan setiap keluarga dapat menginternalisasikan

semangat hidup Keluarga Kudus Nazaret dalam kehidupan nyata setiap hari.

BAB V PENUTUP, berisi kesimpulan atas hasil pembahasan penulisan ini. Selain itu, penulis juga memberi saran atau rekomendasi kepada Pastor

Paroki, dewan Paroki, pengurus lingkungan dan seluruh umat di Lingkungan

(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka dalam tulisan ini berkaitan dengan konsep tentang

spiritualitas Keluarga Kudus Nasaret yang dihidupkan oleh Yesus, Maria dan

Yusuf. Konsep-konsep tersebut dikutip dari pendapat beberapa ahli, yakni

konsep-konsep tentang pengertian spiritualitas, spiritualitas Keluarga Kudus, pengertian

keluarga, tujuan dan fungsi keluarga, hak dan kewajiban, ciri-ciri dan peranan

Keluarga Kristiani serta tugas keluarga Kristiani dalam membangun sebuah

keluarga yang baik dan harmonis, di tengah keluarga, masyarakat dan Gereja.

A. Spiritualitas Keluarga Kudus 1. Pengertian Spiritualitas

Kata spiritualitas berasal dari kata Latin ”spiritus” menunjuk sesuatu

yang sangat konkrit berupa tiupan, aliran udara, nafas hidup dan nyawa. Spiritus

dimengerti sebagai ilham, sukma, jiwa, hati dan Roh. Spiritualitas pada umumnya

dimaksudkan sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan Allahnya dan

aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan. Spiritualitas dapat diartikan

juga sebagai hidup berdasarkan kekuatan Roh Kudus yang mengembangkan iman,

harapan dan cinta kasih, atau sebagai sebuah usaha mengintegrasikan segala segi

kehidupan yang bertumpu pada iman akan Yesus Kristus yang diwujudkan

melalui pengalaman iman Kristiani dalam situasi konkrit (Heuken, 1995: 277).

Dalam Injil Yohanes (16:5-15) menuliskan bahwa umat beriman

(32)

menjadikan orang beriman ”ciptaan baru” yakni seorang yang seluruh

keberadaannya terbuka pada kenyataan rohani. Roh yang diterima orang beriman

bukan Roh perbudakan melainkan Roh yang membuat orang menjadi anak-anak

yang berseru dalam hati “Allah ya Bapa”, Roma 8:15 (Heuken, 1995:277).

Kerohanian atau spiritualitas merupakan kenyataan hidup, yang tumbuh

dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia

di dunia. Spiritualitas dimengerti sebagai yang paling fundamental ialah kekuatan

hidup yang harus menciptakan kehidupan yang kudus. Manusia hidup dan

dipanggil untuk berbagi energi kehidupan yang diperoleh dari energi Ilahi yang

bersumber pada Allah (Darminta, 2007:63).

Kerohanian juga menjadi dasar dan pijakan untuk selalu dibangun

bangunan baru atau diperbaharui, seperti yang dikatakan oleh Paulus: “Kamu

bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dengan

orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar

para rasul dan para nabi dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia

tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di

dalam Dia kamu juga turut dibangun menjadi tempat kediaman Allah di dalam

Roh” (Ef., 2: 19-22) (Darminto, 2007:68).

Spiritualitas sejatinya berhubungan dengan roh, yaitu daya yang

menghidupkan dan menggerakkan setiap pribadi untuk mewujudkan,

mempertahankan dan mengembangkan kehidupan. Hidup spiritualitas berarti

hidup berdasarkan Roh Kudus yang membantu mengembangkan iman, harapan,

(33)

segi kehidupan berdasarkan iman akan Yesus Kristus. Spiritualitas sejati terwujud

dalam kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan politik. Dengannya memampukan

manusia untuk bertahan dalam mewujudkan tujuan dan pengharapannya serta

berusaha untuk mencari dan mengenal jalan-jalan Allah (Banawiratma, 1990:57).

Di samping itu, spiritualitas menjadi sumber untuk menghadapi

penganiayaan, kesulitan, penindasan dan kegagalan yang dialami oleh seseorang

atau kelompok tertentu. Spiritualitas Kerajaan Allah tidak bisa bertumbuh dan

berkembang hanya di dalam rumah ibadah melainkan diwujudkan melalui

tindakan yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Umat Allah dipanggil dan

diutus untuk terlibat serta ambil bagian dalam upaya mewujudkan Kerajaan Allah.

Dalam menjalankan tugas pengutusannya, mitra Allah membutuhkan Roh untuk

bisa tahan uji (Banawiratma, 1990: 58).

Spiritualitas sebenarnya cara orang menyadari, memikirkan dan

menghayati hidup rohani. Spiritualitas Katolik berarti saat seseorang menerima

iman (fides quae creditur) dengan cara melakukan sebuah tindakan iman (fides

qua creditur), maka seseorang menjalankan imannya itu melalui praktek spiritual (Harjawiyata, 1979: 20-21). Spiritualitas berarti kehidupan yang dijiwai dan

dipimpin oleh roh yaitu Roh Kudus, yang menunjuk pada pola atau gaya hidup

yang dipengaruhi dan dipimpin oleh Roh Kudus (Martasudjita, 2002:11).

Menurut Harjawiyata (1979:22-24) bahwa unsur-unsur pokok dalam

proses pengembangan spiritualitas Kristiani, yaitu:

a. Tawaran Allah yang bersabda. Allah menyingkapkan seluruh maksud dan

(34)

wujud yang nyata dan konkrit dalam diri Yesus. Seluruh hidup, karya,

sengsara, kematian dan kebangkitan-Nya menyingkapkan betapa besar kasih

setia Allah kepada umat-Nya.

b. Jawaban manusia adalah melalui iman. Ketika Allah bersabda dan

mewartakan kasih-Nya, Ia mengharapkan jawaban dan persetujuan manusia.

Jawaban kita tidak hanya di mulut, tetapi juga harus diwujudkan dalam

tindakan. Jawaban “Ya” ini disebut “iman”. Iman melibatkan seluruh aspek

kehidupan manusia. Iman perlu dihayati dan diamalkan terus-menerus dalam

kehidupan sehari-hari. Iman merupakan dasar hidup rohani dan spiritualitas

Kristiani.

c. Liturgi dan hidup sakramental. Tawaran kasih Allah yang terpusat pada

Kristus dirayakan dan dihadirkan dalam liturgi Gereja. Liturgi merupakan

sumber kehidupan rohani orang Kristen. Hidup yang menimba kekuatannya

dari perayaan sakramen-sakramen dapat disebut ”hidup sakramental”, dan

merupakan unsur mutlak bagi orang kristiani dan membantu untuk

menghayati hidupnya sebagai orang kristiani secara penuh.

d. Kitab Suci. Melalui sabda Allah terjadi dialog yang intens antara Allah dengan

manusia. Hal ini terjadi apabila manusia sedang membaca, mendalami dan

merenungkan kitab suci dalam perayaan liturgi sabda. Perayaan sabda perlu

disiapkan dan diresapkan dalam bacaan suci pribadi atau dalam pendalaman

(35)

e. Hidup Doa. Doa diadakan dalam liturgi, baik doa pribadi maupun

bersama-sama. Sikap yang perlu dibina dalam doa adalah mendengarkan Allah yang

bersabda kemudian kita menjawab.

f. Tobat dan asketis. Iman harus mempengaruhi seluruh hidup. Manusia adalah

orang yang lemah, rapuh dan berdosa. Kesediaan untuk diubah disebut

“bertobat”. Tobat merupakan suatu perjuangan yang berlangsung

terus-menerus sepanjang hidup dan perlu melatih diri membuka hati di hadapan

Allah melalui pemeriksaan batin.

g. Persekutuan Kasih. Persekutuan kasih berlandaskan pada perintah Kristus

yang utama yakni cinta kasih. Cinta kasih dapat menjadi hal yang utama

dalam hidup kita, dalam keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara.

Cinta kasih dapat mengalahkan kebencian, iri hati, balas dendam dan

kesombongan.

Dari pengertian-pengertian di atas penulis memahaminya bahwa

spiritualitas adalah kehidupan orang Kristiani yang dikuasai Roh Kudus dan

menjiwai seluruh segi kehidupan manusia. Roh Kudus yang selalu memberi daya

kekuatan Ilahi dan semangat yang baru kepada manusia dalam menjalani seluruh

aspek kehidupannya, memampukan setiap orang untuk semakin bertumbuh dan

berkembang dalam iman kepada Yesus Kristus dengan berpasrah kepada

kehendak Allah.

Melalui rahmat Roh Kudus, seseorang yang menerima tawaran rahmat

itu dibimbing pada kepenuhan, kesempurnaan atau kesucian dalam hubungan

(36)

spiritualitas manusia dalam aspek intelektual, kehendak, perasaan, tubuh dan

segala keutuhan sebagai pribadi (Olla, 2010: 44).

2. Spiritualitas Hidup Keluarga Kudus

Gambaran Keluarga Kudus Nasareth ditemukan mulai dari bab-bab awal

Injil Mateus dan Lukas (bab 1 dan 2). Warna kepribadian Maria dan Yusuf

dikonkritkan melalui pergulatan-pergulatan yang dialami sepanjang pertumbuhan

Yesus. Sosok Yusuf sebagai pribadi yang sederhana, taat pada tradisi keagamaan

dan pada kehendak Ilahi dan ia adalah seorang beriman yang tidak menuntut

banyak syarat, tidak ingin mencemarkan nama baik orang lain, dan

bertanggungjawab. Seperti Yusuf, Maria juga beriman dan terbuka akan

bimbingan Ilahi, yang selalu mencoba memahami peristiwa demi peristiwa sekitar

Yesus dengan tidak mengedepankan kepentingan dirinya sendiri. Bagi Maria

panggilan hidup adalah Kasih Karunia Allah. Allah telah memilih Maria menjadi

ibu Tuhan Yesus (Luk 1:30-31) dan Yusuf dipanggil untuk mengambil Maria

sebagai isterinya (Mat 1:20) (Dedi Dismas. Membangun Spiritualitas Keluarga

Kudus. Dalam http://dedismas.blogspot.co.id/membangun-spiritualitas-keluarga-kudus.html, diakses 7/12/2016).

Selanjutnya, sikap Maria selaras dengan Yusuf yang mendengarkan dan

menerima panggilan Tuhan. Dalam hal ini kesetiaan, hormat, dan kasih menjadi

dasar hidup bersama bagi Kelurga Kudus Nasaret, dan kasih itu membuat orang

berani menjadi korban bahkan diam demi kebaikan orang lain. Seperti yang ditulis

dalam Injil Mateus bahwa setelah Yusuf mengetahui bahwa Maria sudah

(37)

Namun hal itu tidak dilakukan Yusuf demi kehormatan dan nama baik Maria.

Sikap Yusuf tersebut bermakna bahwa kasih itu membuat orang berani menjadi

korban bahkan diam demi kebaikan orang lain. Di samping itu, di balik perbuatan

Yusuf itu juga mempunyai makna untuk menjaga nama baik orang lain.

Sementara itu, kesetiaan Maria dan Yusuf untuk menjaga Yesus

memungkinkan terjadinya komunikasi batin dan tumbuhnya kepekaan intuisi

untuk bisa mengerti dan memahami orang lain. Kisah pencarian Maria dan Yusuf

terhadap Yesus dengan penuh kecemasan, yang akhirnya ditemukan dalam bait

Allah merupakan suatu kisah kesetiaan Maria dan Yusuf dalam mendampingi

Putera-Nya. Dalam peristiwa ini Maria dan Yusuf menyingkirkan agenda pribadi,

begitu juga dengan Yesus seperti yang ditulis bahwa “pulang bersama-sama

mereka ke Nazareth” (Luk2:51).

Sikap yang dikembangkan oleh Maria, Yusuf, dan Yesus mencerminkan

bahwa Keluarga Kudus Nasaret menjadi tempat yang ideal untuk tumbuhnya

pribadi-pribadi yang dewasa. Keluarga Kudus juga merupakan kesatuan tiga

pribadi yang menjalani hidup berdasarkan gerak hati atas situasi yang ada pada

saat itu, yang selalu berusaha mempertemukan keputusan-keputusan mereka yang

mengarah kepada kehendak Allah. Segi hidup bersama yang dihidupi Keluarga

Kudus menjadi daya dan kebahagiaan untuk saling medukung dalam mencari dan

melaksanakan kehendak Bapa (Dedi Dismas. Membangun Spiritualitas Keluarga

(38)

Dalam konteks kelembagaan, keluarga menjadi tempat yang

memungkinkan Yusuf, Maria dan Yesus mengalami dan merasakan kepenuhan

akan kebutuhan jasmani maupun rohani yang sangat mendalam. Latar belakang

kehadiran mereka masing-masing sebagai utusan yang bersatu membentuk sebuah

keluarga baru yang di dalamnya saling memberi dan menerima, mendidik dan

dididik. Keluarga Kudus menjadi wahana saling belajar satu sama lainnya baik

dalam menyelesaikan berbagai macam masalah kehidupan maupun dalam

meningkatkan perkembangan rohani. Walau mereka memiliki keterikatan batin

yang kuat namun ketiganya tetaplah pribadi-pribadi yang tidak melebur dalam

pribadi yang lainnya. Masing-masing tetap memiliki kekhasannya, pribadi yang

mandiri dan utuh serta yang memiliki perannya masing-masing. Dalam

pemahaman yang lebih jauh, mereka memiliki kesamaan problem yang

membutuhkan keterlibatan dari masing-masing pribadi mereka. Kepadanya,

masing-masing mereka harus mampu mengambil sebuah tindakan tegas untuk

ikut serta dalam karya keselamatan Allah atau tidak. Karena itu dalam kebebasan,

tanpa paksaan dari apapun dan siapapun keputusan penting harus mereka ambil.

Sambil berdiri dihadapan misteri Ilahi, mereka menemukan bahwa mereka hanya

mempunyai satu hidup yang harus dihidupi yakni hidup demi Allah. Menerima

kenyataan tersebut dan menghayatinya berarti mereka menerima rahmat dan

menemukan bahwa semua yang dari kehidupan adalah baik. Hal ini menandakan

bahwa kehidupan keluarga yang berlandaskan pada kasih, kepercayaan,

penghormatan dan penghargaan dapat membawa sebuah wahana spiritual. (Viktor

(39)

https://msfmusafir.wordpress.com/keluarga-kudus-nazaret-cermin-pelayan-kreatif,

diakses 7/12/2016.

Dalam konteks keluarga Kristiani pada umumnya, pemaknaan

spiritualitas hidup keluarga sebenarnya semangat hidup yang hanya berpusat pada

Allah sendiri. Hal ini sudah terungkap nyata dalam pribadi Yesus Kristus yang

menjadi utusan-Nya dan menjadi bagian dari keluarga Santu Yosef dan Bunda

Maria. Keluarga Kudus adalah keluarga yang hidup damai, harmonis dengan

berlandaskan hukum cinta kasih. Keluarga Kudus menjadi contoh bagi realitas

hidup keluarga pada zaman sekarang. Sementara keluarga Kudus Nasaret sendiri

adalah “model yang sempurna mengenai kesatuan hati, saling memahami,

ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain”. Bunda Maria dan Santu Yosef

digambarkan sebagai dua pribadi yang disatukan dan diarahkan kepada Yesus.

Barthier mengungkapkan bahwa hati mereka disatukan kepada Yesus, mengarah

kepada (sikap) takut akan Allah, untuk menyampaikan rasa terima kasih mereka

atas pengampunan dosa dan penebusan umat manusia, sehingga kemuliaan Tuhan

tinggal dalam hati Maria dan Yosef. Yesus, Maria dan Yosef dengan cara yang

paling tinggi menaruh hormat dan berpasrah kepada Allah Bapa dalam Roh dan

kebenaran (Yoh 4:24) (Sutrisnaatmaka, 1999: 240-246).

Nilai hidup ketaatan dan kesetiaan Keluarga Kudus kepada kehendak

Allah ini patut menjadi contoh dan teladan bagi keluarga Kristiani dalam

menumbuhkembangkan iman dan pengharapan kepada Allah. Keluarga Kristiani

hendaknya bercermin kepada kehidupan Keluarga Kudus dalam mengembangkan

(40)

3. Tokoh Keluarga Kudus Nasaret

Tokoh dalam keluarga Kudus Nazaret yakni Maria, Yosef dan Yesus.

Ketiga tokoh ini menjadi teladan sekaligus pusat perhatian yang memberi

inspiratif bagi keluarga Kristiani. Oleh karena itu, keluarga seharusnya menjadi

cerminan kasih ilahi, sebab akar dari cinta yang benar adalah Allah sendiri.

Keluarga manusiawi di dunia ini: ibu-bapa dan anak-anak mestinya membawa

pesan dan berita tentang keluarga surgawi.

Keluarga Kudus Nazaret: Yosef, Maria dan Yesus menjadi contoh dan

teladan bagi keluarga-keluarga Kristiani. Setiap orang Kristiani yang hendak

membangun keluarga, hendaknya belajar dari Keluarga Kudus Nazaret. Menjadi

teladan berarti seluruh kehidupan keluarga Yosef, Maria dan Yesus ditiru

keteladanannya dalam hal iman, harapan dan kasih serta berpasrah kepada

kehendak Allah. Keluarga kudus Nazaret adalah guru iman dan guru dalam

kehidupan berkeluarga (Hello, 2016:13).

a. Maria

Maria menggambarkan dirinya sebagai hamba Tuhan (Luk 1:1.48). Kata

hamba Tuhan berarti budak, pelayan atau abdi Tuhan. Selaku seorang hamba ia

menyadari bahwa hidupnya sungguh amat tergantung pada kehendak Allah.

Tuhanlah yang menuntun dan mengatur hidupnya. Ia meletakkan hidupnya

kepada kehendak Allah. Menyebut diri sebagai hamba Tuhan, Maria termasuk

dalam daftar tokoh yang mempunyai peranan penting dalam sejarah keselamatan

Allah. Maria tidak hanya melayani Allah saja, tetapi juga sesama. Hal ini

(41)

Elisabeth, saudarinya, yang mengandung di masa tuanya” (Luk 1:39-45).

Kunjungan Maria kepada Elisabeth membawa kabar sukacita dan kekuatan

kepada Elisabeth. Elisabeth memberi salam kepadanya ”Berbahagialah ia yang

telah percaya sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana”

(Luk 1:45) (Hardiwiratno, 1996:386). Maria adalah ibu rohani kita dalam

keluarga, layaknya peran seorang ibu yaitu mengasihi, mengasah dan mengasuh.

Maria telah dipercayakan peran untuk mengasihi, mengasah dan mengasuh kita

dalam hidup rohani. Peran ibu yang sedemikian kompleks menentukan hidup

seorang anak, menunjukkan betapa pentingnya peran yang dipercayakan Allah

kepada Maria. Oleh karena itu, umat Kristiani harus mengakui peran Maria dan

menerimanya sebagai anugerah Allah yang sangat berharga (Handoko, 2014:73).

Maria adalah sosok ibu yang rendah hati, tulus dan setia pada kehendak

Allah. Maria adalah seorang pribadi yang menyimpan dan merenungkan segala

perkara di dalam hatinya. “Maria menyimpan segala perkataan itu dalam hatinya

dan merenungkannya” (Luk 2:19) (Leks, 2007:40). Dari ulasan di atas

menunjukkan bahwa spiritualitas yang dimiliki dan dihayati oleh Maria adalah

penyerahan diri secara total pada kehendak Allah, yang terkenal dengan komitmen

imannya dalam ungkapan ‘terjadilah padaku menurut perkataanMu’.

b. Yosef

Santo Yosef berasal dari kata Yunani Ioseph dan kata Ibrani ‘yoseph’

yang merupakan singkatan dari yosep’el yang berarti semoga Allah menambahkan

anak-anak lain kepada anak yang mau lahir. Yosef berasal dari keluarga dan

(42)

dan ayah Yesus. Yosef adalah pelindung keluarga Kristiani dan teladan bagi Bapa

Keluarga.

Dalam Injil Matius tertulis tiga kali tentang ketaatan Keluarga Kudus

kepada Allah. Pertama, Yusuf tidak jadi menceraikan Maria dan diminta

mengambil Maria sebagai isterinya (Mat. 1:18); Kedua, diminta untuk mengungsi

ke Mesir (Mat. 2:13); Ketiga, diminta untuk kembali dari Mesir kembali ke

Nazaret (Mat. 2:19) (Hardiwiratno, 1996:386). Pengalaman krisis mau

menceraikan Maria dan ketulusan hatinya untuk tidak mau mencemarkan nama

baik calon istrinya itu, telah mengantarkan Yusuf kepada sikap kemandirian iman.

Peran yang dimainkan Yusuf sebagai suami Maria dan ayah bagi Yesus memang

amat sangat terbatas. Namun peran terbatas itu justru lebih memberikannya ruang

gerak bagi kewajiban sebagai suami dan ayah dalam keluarganya. Santo Yosef

sebagai pelindung dalam keluarga dan ia adalah sosok yang sederhana, bijaksana,

tulus hati, taat kepada kehendak Allah dan pekerja keras serta bersikap lembut

dalam keluarga (Hello, 2016:19-23). Dengan demikian spiritualitas yang dimiliki

dan dihayati oleh Yosef adalah taat dan berpasrah kepada kehendak Allah.

Teladan Yosef perlu dihayati dalam kehidupan keluarga Katolik pada zaman

sekarang. Seorang ayah sebagai kepala keluarga bertanggungjawab penuh dalam

keluarga, dalam situasi suka dan duka ayah memiliki peran utama untuk

mengatasi kesulitan itu dengan penuh kasih.

c. Yesus

Yesus berarti “Allah menyelamatkan”. Nama ini diberikan oleh malaikat

(43)

misi-Nya” karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka”

(Mat. 1:21). Petrus juga menyatakan ”di bawah kolong langit ini tidak ada nama

lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan”

(Kis. 4:12) (Kompendium Katekismus Gereja Katolik Art.81, 2009:43).

Yesus dibesarkan dalam keluarga Maria dan Yosef, sehingga keluarga

Kudus Nasaret menjadi gambaran historitas Yesus, sejak kanak-kanak sampai Ia

tampil di muka umum. Yesus tidak dilahirkan di istana sebagai putera raja, tetapi

Ia memilih menjadi seorang miskin dan mau dibesarkan di dalam keluarga

sederhana. Maria dan Yosef selalu berusaha untuk menciptakan suasana yang baik

dan serasi di rumah. Sewaktu-waktu mereka juga harus memikirkan bagaimana

memenuhi kebutuhan sehari-hari; tidak hanya makanan, pakaian, peralatan,

melainkan juga kepuasan, kesenangan, kegembiraan, saling menolong.

Hal yang paling utama dalam keluarga Kudus adalah pendidikan

kerohanian, doa bersama, melakukan kewajiban agama. Dan itulah yang

mondorong Yusuf dan Maria untuk mengajak Yesus ke Yerusalem pada hari raya

paskah. Hidup Yesus sendiri dibaktikan bagi pelayanan kepada kehendak Bapa

yaitu pewartaan kerajaan Allah. Pewartaan Injil-Nya terungkap nyata dalam

pelayanan kepada sesama manusia, terutama bagi yang miskin dan tersingkir dari

masyarakat. Dikatakan bahwa “Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan dan

menurut kebiasaan-Nya pada hari sabat Ia masuk ke rumah-rumah ibadat, lalu

berdiri hendak membaca dari Alkitab, Yesus menemukan nas yang tertulis, Roh

Tuhan ada padaku, Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik

(44)

pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan kepada orang buta dan

pembebasan kepada orang-orang tertindas (Luk. 4:16-19) (Komisi Kerasulan

Kitab Suci KAS 2016:15).

Pada umur dua belas tahun Yesus berkata kepada Maria dan Yusuf,

bahwa Ia harus berada di dalam rumah Bapa-Nya (Luk 2:49). Perkataan Yesus ini

menunjukan hubungan erat antara Yesus dan Bapa-Nya. Hubungan dengan Allah

sebagai Bapa-Nya, menentukan seluruh hidup-Nya dan terungkap dalam

doa-doa-Nya “Aku bersyukur pada-Mu Bapa, Tuhan langit dan bumi bahwa semuanya itu

Engkau sembunyikan bagi orang orang bijak dan pandai, tetapi Engkau nyatakan

kepada orang kecil” (Mat. 11:25). Seluruh kehidupan Yesus ditentukan oleh

kesatuan-Nya dengan Allah Bapa-Nya. Yesus menyerahkan hidup-Nya kepada

kehendak Allah (Iman Katolik, 1996:200). Oleh karena itu, inti dari spiritualitas

Keluarga Kudus Nasaret adalah penyerahan diri kepada kehendak Allah Bapa di

Surga.

Keluarga Kudus adalah model yang sempurna mengenai kesatuan hati,

saling memahami, ketaatan dan penyangkalan diri bagi yang lain. Bunda Maria

dan Yosef digambarkan sebagai dua pribadi yang disatukan dan diarahkan kepada

Yesus. Barthier mengungkapkan bahwa hati mereka disatukan kepada Yesus,

mengarah kepada (sikap) takut akan Allah, untuk menyampaikan rasa terima kasih

mereka atas pengampunan dosa dan penebusan umat manusia, sehingga

kemuliaan Tuhan tinggal dalam hati Maria dan Yosef. Yesus, Maria dan Yosef

dengan cara yang paling tinggi menaruh hormat kepada Allah Bapa dalam Roh

(45)

pada seluruh keluarga umat manusia, yaitu keluarga Allah Bapa (Sutrisnaatmaka,

1999: 246).

Dalam membangun sebuah keluarga atas dasar kasih Allah, maka ada

lima hal yang sangat relevan dengan keluarga zaman sekarang antara lain:

Komitmen. Maria dan Yosef mengawali kehidupan keluarga mereka

dengan membangun komitmen terlebih dahulu dengan Allah dan rencana-Nya.

Komitmen Maria ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku

menurut perkataan-Mu itu” (Luk. 1:38). Komitmen Yosef, ”sesudah bangun dari

tidurnya, ia berbuat seperti apa yang dikatakan Tuhan kepadanya. Ia mengambil

Maria sebagai istrinya”(Mat. 1:24). Padahal sebelumnya Yosef sudah berencana

untuk menceraikan Maria di muka umum. Di titik ini, perbedaan dan keunikan

terkadang memungkinkan terjadinya konflik, namun sekaligus memperkaya, jika

konflik dihadapi dan dikelola melalui komunikasi yang terbuka dan tanggung

jawab kepada pasangan/orang tua atau anak.

Yosef dan Maria membangun sikap setia. Mereka setia pada komitmen

awal. Walaupun banyak mengalami rintangan dalam keluarga, berakhir dengan

putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus, harus mengakhiri hidup-Nya di kayu salib,

demi keselamatan umat manusia. Kesetiaan adalah sebuah nilai hidup yang sangat

penting dan perlu terus diperjuangkan dalam kehidupan berkeluarga.

Yosef dan Maria membangun relasi yang akrab dan mesrah bersama

Allah. Mereka adalah pemeluk agama Yahudi yang saleh. Keakraban dan

kemesraan mereka dengan Allah menjadi sangat nyata dalam kidung magnificat

(46)

dinomorsatukan oleh Allah, sehingga segala keturunan akan menyebutnya

berbahagia.

Yosef dan Maria membangun sikap kesederhanaan dalam hidup. Dalam

doa magnificat, Maria tidak hanya merasa bahagia, tetapi mengalami

perbuatan-perbuatan besar dari Allah. Kebahagiaan lebih merupakan kepenuhan batin.

Yosef dan Maria adalah pendidik yang berdaya guna. Manusia adalah

makluk yang ‘menjadi’ selalu dalam proses menjadi, sebuah pekerjaan rumah

yang tidak pernah selesai. Dalam menghadapi persoalan yang belum dipahami,

Maria menyimpan semua perkara itu dalam hatinya (Luk 2:19,51). Dengan

menanamkan nilai iman disertai dengan komunikasi yang berdayaguna maka

“Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya dan

makin dikasihi oleh Allah dan manusia (Luk 2:52). Oleh karena itu, keluarga

Kudus Nazaret, hendaknya menjadi pola dan panutan bagi keluarga-keluarga

Kristiani (Nugroho, 2012:6-7).

Orang-orang Yahudi yang saleh diwajibkan untuk datang ke Bait Suci di

Yerusalem pada hari raya Paskah, Pentekosta dan hari raya Pondok Daun. Yosef

dan Maria adalah orang Yahudi, mereka pun taat mengikuti tradisi yang ada.

Dikatakan bahwa “Yosef dan Maria tiap-tiap tahun membawa serta Yesus ke

Yerusalem untuk merayakan Paskah, Yesus berusia dua belas tahun (Luk. 2:

41-42) (Subagyo, 2011:85).

Orangtua Yesus kembali ke Galilea setelah perayaan berakhir. Yesus

diam-diam pergi ke rumah ibadat. Yosef dan Maria sebagai orangtua diliputi

(47)

bertanya kepada-Nya, “Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami?

Bapa-Mu dan aku mencari Engkau” (Luk. 2:48). Yesus menjawab “Mengapa

kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di rumah

Bapa-Ku? (Luk.2:49). Jawaban Yesus membuat Maria sebagai Ibu-Nya tidak

mengerti rahasia Putranya, tetapi “Maria menyimpan segala perkara di dalam

hatinya” (Luk. 2:51). Maria sebagai seorang ibu, mengambil sikap yang tepat

yakni bijaksana. Sikap bijaksana ini patut menjadi contoh bagi keluarga kristiani

dalam menghadapi setiap persoalan dalam hidup berkeluarga (Subagyo, 2011:86)

Ketika banyak orang mengerumuni Yesus dan berkata kepada-Nya

“Ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan ingin menemui Engkau“

(Mark, 3:32), Yesus menjawab ”Barangsiapa yang melakukan kehendak Allah,

dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan dan dialah ibu-Ku”

(Mrk. 3:35). Jawaban Yesus ini tidak mengandung pemahaman bahwa Yesus

tidak sopan dan tidak menghargai keluarga-Nya, tetapi Yesus ingin menekankan

bahwa hubungan kekeluargaan tidak hanya sebatas keluarga kecil (orangtua dan

anak). Yesus ingin memperluas hubungan relasi kekeluargaan dengan semua

orang yang mendengarkan Firman Allah. “Yang berbahagia ialah mereka yang

mendengarkan Firman Allah dan memeliharanya” (Luk.11:28) (Subagyo,

2011:92). Hal ini dapat dipahami bahwa spiritualitas yang dihayati oleh Keluarga

Kudus (Yosef, Maria dan Yesus) adalah semangat hidup Keluarga Kudus yang

(48)

B. Pengertian Keluarga

Tidak bisa disangkal bahwa kebahagiaan seseorang sangat tergantung

pada keadaan keluarganya. Kalau keluarganya harmonis, umumnya orang akan

mudah merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Demikian pula, setiap keluarga

Katolik dengan latar belakang yang berbeda, baik yang mapan secara ekonomi

maupun yang hidup pas-pasan memiliki kesempatan yang sama untuk menimba

kebijaksanaan hidup dari teladan Keluarga Kudus Nazaret.

Pribadi yang lahir dari kalangan bangsawan atau kaya dapat belajar dari

keluarga bagaimana untuk hidup sederhana dalam saat-saat kelimpahan dan

bagaimana untuk tetap mempertahankan martabat dalam kesesakan. Mereka dapat

belajar bahwa kepantasan moral lebih berharga daripada kekayaan. Hal ini kiranya

menjadi panduan bagi umat Kristiani selama ini dalam memaknai kelimpahan

ataupun kekurangan yang dialami dalam kehidupan keluarga. Hidup

berkecukupan bukan berarti silau dengan harta tetapi rejeki yang diperoleh

menjadi sarana untuk membantu anggota komunitas lain agar tetap merasa

sebagai bagian dari kesatuan umat Allah. Memiliki mobil kemudian digunakan

untuk memobilisasi anggota koor ke gereja saat ada tanggungan di paroki atau

membawa ibu-ibu mengunjungi orang sakit merupakan salah satu contoh dari

sikap hidup keluarga Kristiani dalam memaknai kekayaan.

Di pihak lain, tidak sedikit pula keluarga yang merasa tidak punya cukup

waktu untuk berbicara dari hati ke hati. Berbeda dengan zaman dahulu, peran

orangtua untuk menanamkan ajaran moral dalam diri putra-putrinya dan

(49)

selama dalam perjalanan (Ul. 6:6, 7). Orang tua dan anak-anak punya banyak

waktu untuk menjalin komunikasi, sehingga bisa saling memahami kebutuhan,

keinginan, dan kepribadian anak. Demikian sebaliknya, anak-anak pun bisa

benar-benar mengenal orang tua mereka (Stef & Ingrid Tay. Keluarga Kudus: Pola Ilahi

Bagi Keluarga Kita. Dalam https://www.katolisitas.org/keluarga-kudus-pola-ilahi-bagi-keluarga-kita, diakses 7/12/ 2016) .

Realitas kehidupan keluarga Katolik sekarang, terutama di daerah

perkotaan, anak-anak sudah disekolahkan sejak masih sangat kecil, bahkan

kadang sejak berumur dua tahun. Banyak ayah dan ibu bekerja di tempat yang

jauh dari rumah. Saat orang tua dan anak punya sedikit waktu bersama, perhatian

mereka tersita oleh komputer, televisi, dan perangkat elektronik lainnya. Dalam

banyak keluarga lainnya juga bahwa orang tua dan anak-anak sibuk dengan

kegiatan mereka masing-masing sehingga mereka merasa asing terhadap satu

sama lain atau tidak pernah ada pembicaraan dari hati ke hati.

Menyadari perubahan sosial semacam ini, beberapa keluarga Katolik

bahkan sudah mulai memikirkan untuk sepakat membatasi waktu di depan televisi

atau komputer. Sementara yang lainnya mengupayakan untuk makan bersama

sedikitnya satu kali sehari dan mulai menyisihkan waktu satu jam atau lebih setiap

minggu untuk sekedar mengobrol. Sebelum anak-anak berangkat ke sekolah,

orangtua selalu memberi wejangan sesuatu yang membina dan mengajak berdoa

bersama, yang akan berpengaruh besar atas kegiatannya sepanjang hari itu. Semua

yang dilakukan itu merupakan upaya untuk memaknakan spiritualitas keluarga

(50)

penyelenggaraan Ilahi kadang masih membutuhkan perjuangan yang panjang. Hal

ini yang membedakan keluarga Kristiani dengan keluarga pada umumnya.

Keluarga menurut ajaran gereja adalah lingkungan primer yang paling

berperan dalam pembentukan watak, moral dan iman anak. Keluarga menjadi

sekolah pertama dan utama, tahap demi tahap anak akan mengerti arti hidup. Lain

perkataan bahwa keluarga menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak menjadi

pribadi yang seutuhnya, yakni pribadi yang beriman, berbakti kepada Allah dan

sesama serta memiliki keutamaan hidup (Sutarno, 2013:5).

Paus Yohanes Paulus II, dalam homilinya pada misa di kota Cuenca,

Maret 1985 mengatakan bahwa, “Keluarga merupakan tempat pertama panggilan

kristiani dinyatakan. Setiap panggilan dilahirkan di dalam keluarga, yang

merupakan tempat istimewa bagi benih yang ditanam oleh Allah dalam hati

anak-anak agar dapat berakar dan masak. Keluarga adalah tempat partisipasi orang tua

dalam misi imamat Kristus sendiri dinyatakan dalam derajatnya yang paling

tinggi” (Eminyan, 2001:236).

Keluarga juga merupakan salah satu lembaga terkecil dalam masyarakat.

Demikian pula seorang anak yang baru dilahirkan pertama kali mengenal dan

mengalami kebersamaan dengan setiap orang dalam keluarga. Di samping itu,

keluarga adalah lingkungan pendidikan primer seorang anak, tempat dimana ia

memperoleh dasar-dasar keterampilan (sensomotorik), dasar-dasar kecerdasan

(bahasa, alam pikiran) dan dasar-dasar nilai hidup (agama, adat dan tata

kelakuan). Semntara keluarga berusaha untuk memberikan penghiburan,

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Data umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan
Tabel 3 Data umat Lingkungan St. Yohanes Kentungan

Referensi

Dokumen terkait