• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Pastoral

a. Pengertian Pastoral

Istilah “pastoral” berasal dari kata “Pastor” yang berarti “gembala.” Pastoral mempunyai arti esensial dalam kehidupan Gereja. Akulah gembala yang baik” kata Yesus ((Yoh 10:11). Dalam perikop ini Yesus memberikan gambaran tugas gembala. Maka pengertian Pastoral meliputi karya yang dilakukan oleh seorang Pastor, pelayan umat Gereja. Oleh karena itu semua yang beriman dalam Gereja ikut ambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam. Dengan demikian pelayanan pastoral juga menjadi tugas seluruh umat dan bukan hanya para imam tertahbis saja. Sebagai pelayanan Gereja pastoral meliputi berbagai wadah atau lingkup iman yang berbeda-beda, misalnya: Pastoral sekolah, pastoral paroki dalam bidang kemasyarakatan (Sumarno, 2001:1).

Amalorpavadass (1972:5-7), mengatakan ada tiga tugas yang dipenuhi dalam pelayanan pastoral yaitu: pelayanan dengan mewartakan, pelayanan ibadat dengan merayakan dan pelayanan pengarahan dengan mengorganisir dan mendidik umat Kristus supaya penuh cinta kasih dan matang dalam segi iman untuk memberi kesaksian dan pengabdian.

Tugas Gereja adalah mewartakan misteri keselamatan kepada seluruh dunia dan mengajak umat untuk menjawab panggilan Allah dan menyambut keselamatan yang

ditawarkan lewat pelayanan sabda. Allah disampaikan dengan berbagai cara dan bentuk dengan tujuan membina, menggairahkan dan memupuk iman. Pelayanan mengakibatkan Sabda Allah menjadi aktual dan relevan bagi waktu dan tempat serta kategori pendengar dengan kata-kata manusiawi.

Pelayanan Sabda mempersiapkan dan membimbing kepada liturgi. Liturgi sendiri memuat pelayanan sabda dan kebaktian, kedua-duanya membutuhkan dan menuju kepada pelayanan pengarahan demi tercapainya kesaksian nyata dan pengabdian cinta kasih.

Nouwen (1986:17-21), mengatakan bahwa dengan berubahnya zaman dan berkembangnya hidup para pelayan kristiani ke pelbagai arah yang baru, semakin tidak jelas pula bagaimana olah rohani yang menyita banyak waktu masih berhubungan dengan kesibukan hidup paroki. Para pelayan kristiani mulai merasa bahwa doa semakin dialami sebagai pelarian ke dalam hidup batin yang aman untuk menghindarkan diri dari masalah-masalah yang seharusnya mengusik suara hati kristiani dan merupakan tantangan untuk melibatkan diri dalam tindakan yang kreatif.

Kebanyakan dari mereka telah memberikan diri dalam kegiatan pastoral sehari-hari yang kadang-kadang begitu menuntut sehingga mereka merasa kosong, letih, lelah dan sering kali kecewa. Kelelahan ini begitu terasa mendalam sehingga kemajuan jarang terlihat jelas dan hasilnya pun hanya kadang-kadang tampak. Melalui hubungan pelayanan itulah Sabda Allah sampai kepada manusia. Seperti seorang dokter, psikolog, psikiater atau pekerja sosial membutuhkan ketrampilan khusus agar mereka dapat menolong sesama mereka, secara bertanggungjawab tanpa melatih diri dalam bidang-bidang pokok pelayanan mereka seperti berkhotbah, mengajar, pendampingan, organisasi dan pelayanan.

Pada saat ini ada kehausan besar akan spiritualitas baru, yaitu pengalaman baru akan Allah dalam hidup kita sendiri. Pengalaman ini hakiki bagi setiap pelayanan kristiani tetapi tidak dapat ditemukan di luar batas-batas pelayanannya. Seharusnya benih-benih spiritualitas baru ini dapat ditemukan di tengah-tengah pelayanan kristiani itu sendiri. Doa bukanlah persiapan sebelum bekerja atau syarat yang tidak dapat diabaikan kalau pelayanan mau berhasil. Doa adalah hidup: Doa dan pelayanan adalah sama dan tidak dapat dipisahkan. Kalau keduanya dipisahkan, seorang pelayan kristiani akan menjadi seorang tukang dan imamat tidak lebih dari sebuah cara lain untuk meringankan penderitaan hidup sehari-hari.

Nouwen (1986:22), mengatakan bahwa setiap orang kristiani adalah pelayan. Pelayanan yang dihubungkan dengan tahbisan dapat dianggap sebagai pusat karena seorang pelayan yang ditahbiskan memberi wujud yang paling kentara dari berbagai bentuk pelayanan kristiani.

Dalam dunia profesionalisasi, bidang-bidang spesialisasi terus berkembang. Anggapan dulu bahwa pelayan kristiani adalah dokter, psikolog, pekerja sosial, dan perawat sekaligus. Dalam masyarakat, yang mengerjakan semuanya adalah mereka. Mereka menjadi pusat pengetahuan dan kebijaksanaan. Namun saat ini banyak pelayan kristiani merasa bahwa mereka adalah amatir dalam semua bidang dan bukan seorang profesional dalam bidang tersebut. Mereka merasa tidak mampu, rendah diri, dan ragu-ragu apakah mereka dapat menolong orang-orang secara efektif.

Nouwen (1986:22) juga merumuskan dua sisi identitas yang minta perhatian di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Peneguhan

Tidak ada pelayanan Kristiani yang dapat hidup secara kreatif dan penuh arti bila perasaan tersebut begitu menguasai. Orang menganggap diri tidak mempunyai sumbangan khusus yang dapat diberikan kepada sesamanya dan lebih sebagai hiasan daripada pribadi yang bernilai untuk kehidupan, lebih dibiarkan daripada dibutuhkan lama kelamaan akan menjadi tertekan, acuh tak acuh, bosan, dan mudah marah. Atau ia dengan mudah akan memutuskan untuk meninggalkan pelayanan, pindah ke bidang lain yang dianggapnya sungguh-sungguh sebuah profesi.

Pelayanan pastoral pribadi adalah yang paling dibutuhkan dan kenyataannya paling diharapkan sekurangnya apabila kita dapat memahami permasalahannya. Maka dari itu, latihan pastoral barangkali pertama-tama berarti pendidikan para pastor supaya mereka dapat mendengarkan persoalan-persoalan, dan menjadi sadar bahwa beribu-ribu orang terus-menerus mempertanyakan apa yang telah ditanyakan oleh Alfie. Apa arti semua ini? Mengapa kita harus makan dan minum, bekerja dan bermain, mencari uang dan mempunyai anak, dan terus-menerus bergulat melawan serangkaian frustrasi yang tak pernah berakhir? Atau bertanya seperti halnya Yogavasistha, “Kebahagiaan macam apakah yang dapat ada di dunia di mana setiap orang dilahirkan untuk mati?” (Allport, 1960:23).

2) Penyangkalan diri

Pada saat seseorang mulai merasa percaya diri atau berbangga, ia diganggu oleh kata-kata Kristus yang melintas di benaknya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya-sebab barang siapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mat 16:24-25). Yang terpenting, orang ingat akan kata-kata Santo Paulus yang hampir-hampir tak dapat dipercaya, “Aku hidup, tetapi bukan lagi

aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:20). Peristiwa pada saat pelayanan kristiani menemukan bahwa ia tidak hanya mempunyai sesuatu untuk disumbangkan namun dapat menyentuh inti kehidupan, pada saat ia siap untuk meneguhkan dirinya sendiri dan merasa bahwa ia dapat memenuhi harapan-harapannya dan mewujudkan cita-cita yang terdalam dalam hidupnya, ia dihadapkan dengan panggilan yang mendesak untuk menyangkal diri, memandang diri sebagai pelayan, seorang pekerja tak berguna yang ada di garis belakang.

Banyak pelayanan kristiani dan imam sangat ingin masuk ke dalam lingkungan orang-orang ahli dan mempunyai identitas yang jelas. Namun apakah begitu penting untuk sampai kepada kepenuhan diri profesional ini. Tetapi apakah merupakan panggilan kita untuk memenuhi diri kita sendiri sampai ke tingkat yang terakhir dan untuk menciptakan keadaan di mana kita dapat sampai kepada apa yang kita pandang paling berarti, paling indah, dan pengalaman intensif.

Thomas Merton (1969:76) dalam salah satu karyanya menulis: Menjadi amat pentinglah bagi kita untuk lepas dari konsep kita sehari-hari mengenai diri kita sendiri sebagai subjek-subjek potensial untuk pengalaman unik yang istimewa, atau sebagai calon-calon (yang mengharapkan) realisasi, hasil dan kepenuhan.

Tak seorang pun dapat melayani sesamanya apabila ia tidak mau menyangkal dirinya agar dapat menciptakan ruang di mana Allah dapat melaksanakan karya-Nya. Bagaimana kita dapat sungguh-sungguh menolong orang lain apabila kita tetap memusatkan perhatian pada diri kita sendiri? Selama kita mencoba untuk memperhatikan banyak hal, kita tidak dapat sungguh-sungguh berkonsentrasi. Hanya bila orang dapat melupakan dirinya sejenak, ia dapat menjadi sungguh-sungguh memberi perhatian kepada orang lain yaitu masuk ketengah-tengah keprihatinannya.

Formann, seorang imam-psikolog dari Belanda ketika menunggu saat kematiannya yang segera akan datang menulis: “Persoalan hidup keagamaan di barat harus dihubungkan dengan inflasi Ego. Kita telah kehilangan kesadaran bahwa ada pengetahuan yang hanya dapat dicapai melalui sebuah proses penyerahan untuk menjadi lepas dan kosong” ( Ambo Bilthoven, 1970:6).

Sejak dialog Timur-Barat menjadi bagian dalam hidup banyak orang khususnya kaum muda, kita menjadi sadar akan kenyataan bahwa ada dua bentuk kesadaran: yang satu mengatakan jadilah dirimu sendiri supaya engkau menjadi kreatif, dan yang lain mengatakan lepaskanlah dirimu supaya Allah dapat menjadi kreatif menekankan penyatuan.

Tidak ada orang yang dapat memberikan dirinya dalam cinta apabila ia tidak sadar akan dirinya sendiri. Tak seorang pun dapat sampai ke pengalaman kemesraan sebelum dia menemukan identitasnya. Yesus hidup selama tiga puluh tahun dalam keluarga sederhana. Di sana Ia menjadi seorang yang tahu siapakah diri-Nya dan ke mana Ia mau pergi. Baru sesudah itulah Ia siap untuk mengosongkan diri-Nya dan memberikan hidup-Nya bagi orang lain. Demikianlah jalan dari semua pelayanan. Melalui pembentukan dan latihan yang lama dan kadang-kadang menyakitkan, pelayan kristiani harus menemukan dirinya: tidak untuk menggenggamnya kuat-kuat dan menganggap sebagai miliknya sendiri yang istimewa, akan tetapi untuk keluar, memberikan pelayanan kepada orang lain, dan mengosongkan diri supaya Allah dapat berbicara melalui dia dan memanggil orang untuk kehidupan yang baru.

Dengan demikian identitas pastor, seperti dapat kita lihat dalam pelayanan pastoralnya, lahir dari ketegangan yang sulit ditentukan antara peneguhan diri dan pengorbanan diri. Ada saat dalam kehidupan di mana tekanan lebih pada yang satu daripada yang lain, namun pada umumnya nampak kalau seorang manusia berkembang

makin dewasa, ia akan semakin tidak sibuk dengan dirinya sendiri dan lebih bersedia untuk mengulurkan tangannya dan mengikuti Dia yang menemukan hidup-Nya dengan merelakannya.

Nouwen (1986:22) merumuskan bahwa ada dua konsep yang dapat membantu kita untuk memahami lebih baik keistimewaan hubungan pastoral konsep kontrak dan konsep perjanjian:

a) Kontrak

Banyak hubungan antarorang yang sifatnya profesional gagal oleh karena kontrak yang tidak jelas. Apabila dua orang saling berkencan, ada satu kontrak formal

untuk bertemu. Apabila yang satu meminta bantuan dan yang lain memberikannya, kontrak informal adalah bahwa persoalan tersebut akan menjadi fokus dari pertemuan. Namun sering kali ada suatu kontrak rahasia, yang tidak selalu menjadi jelas. Kadangkala seseorang mencari nasihat tetapi malah diberi khotbah, atau ia ingin didengarkan tetapi malah dinasihati, atau ia mengharapkan informasi tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Di dalam hubungan pastoral antara dua orang dapat ada harapan-harapan yang berbeda, yang menjadi sebab frustrasi besar.

Orang dapat ditolong dengan bermacam-macam cara: dengan dorongan, nasihat, instruksi, koreksi, penjernihan perasaan-perasaan, atau dengan sekadar mendengarkan. Namun mereka tidak pernah merasa dibantu seandainya mengharapkan suatu hal dan menerima hal lain. Tanggungjawab utama pastor adalah membantu umatnya agar sadar akan pertolongan yang diharapkannya, dan memberi tahu dia kalau ia dapat memberikan hal itu kepadanya.

Nouwen (1986:76), mengatakan: Selama kontrak rahasia itu tetap rahasia, semakin banyak kemungkinan timbulnya ketidakpuasan yang tidak perlu. Godaan bagi

banyak pastor adalah mereka terlalu terpaku hanya pada suatu model hubungan personal saja: yaitu bimbingan pastoral. Model tersebut dapat menjernihkan perasaannya dan mengumpulkan kekuatannya untuk menemukan jalan sendiri. Sering kali hal ini memerlukan banyak pertemuan yang terencana baik, ketrampilan-ketrampilan khusus dari pihak pastor sendiri, dan sikap tertentu dari pihak umat. Namun kontrak semacam itu agak jarang dalam paroki biasa. Yang lebih sering adalah hubungan dan pembicaraan-pembicaraan pendek dan sambil lalu. Dalam keadaan seperti itu banyak sedikitnya yang dapat terjadi, tergantung pada kepekaan pastor.

Beberapa pastor mengatakan bahwa mereka selalu sibuk, namun merasa tidak pernah menyelesaikan apa pun. Mungkin hal ini hanya disebabkan oleh perencanaan yang jelek. Namun apabila seorang pastor sungguh-sungguh menemukan identitasnya sendiri, pada saat itu pula ia menyadari bahwa berhubungan dengan macam-macam orang dan dengan macam-macam cara itulah persis tugasnya. Sebetulnya alternatif-alternatif dalam berhubungan itulah yang memungkinkan dia melaksanakan suatu pelayanan yang mempunyai banyak bentuk dan banyak kemungkinan yang berbeda-beda. Banyaknya bentuk pelayanan dapat mengakibatkan frustrasi, namun frustrasi tersebut dapat termasuk inti sari dari pelayanan dan menunjuk ke suatu cara berhubungan yang lebih dari sekadar hubungan kontrak yang terjadi dalam profesi-profesi lain.

b) Perjanjian

Perbedaan antara kontrak formal, informal dan kontrak rahasia sangat banyak membantu dalam menjelaskan banyaknya kegagalan dalam hubungan profesional antarorang. Namun seperti halnya peneguhan diri bukan satu-satunya segi identitas dari pelayanan kristiani, demikian pula banyak pelayan kristiani dan imam mengetuk pintu,

membunyikan bel, dan memasuki rumah-rumah meskipun tidak ada seorang pun yang menantikannya. Namun pastor mengambil inisiatif dan bahkan dapat dipandang sebagai seorang pekerja lapangan yang agresif, yang ingin “mewartakan kabar, disambut ataupun tidak disambut, dan mendesaknya” (2 Tim 4:2). Kenyataan bahwa kata “kontrak” tidak dapat sungguh-sungguh mengungkapkan hubungan pastoral, menunjukkan bahwa andaikata pastor senang menganggap hubungannya dengan seseorang sebagai hubungan profesional, profesinya berbeda dengan semua profesi lain yang sifatnya memberi bantuan pula. Dalam hal ini istilah alkitabiah “perjanjian” menambah satu catatan kritis bagi hubungan pastoral yang dipandang sebagai kontrak. Allah tidak mengadakan kontrak dengan umat-Nya, tetapi suatu perjanjian. Suatu kontrak berakhir seandainya satu pihak tidak setia lagi kepada janji-janjinya.

Namun Allah bersabda, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau” (Yes 49:15). Dan siapa yang mengerti perjanjian ini akan menjawab, “Sekalipun ayah dan ibuku meninggalkan aku, namun Tuhan menyambut aku” (Mzm 27:10). Akhirnya yang menjadi dasar hubungan pastoral bukanlah kontrak profesinya, namun perjanjian Ilahi. Dalam perjanjian tidak ada syarat yang diajukan untuk kesetiaan. Perjanjian itu berarti keterlibatan tanpa syarat untuk melayani.

Inilah tantangan paling besar bagi siapa pun yang ingin membuat perjanjian Allah dapat dilihat di dunia ini: sebab siapakah yang tidak mengharapkan imbalan atas pelayanannya yang baik? Kita tidak meminta uang sesudah pembicaraan pastoral, bahkan tidak mengharapkan hadiah kecil pada hari Natal atau ucapan terima kasih, tetapi dapatkah kita melepaskan diri dari keinginan kita untuk memasang tarif imbalan yang begitu halus? Apabila hubungan saya dengan seseorang diwarnai dengan tekanan

yang halus bahwa ia haruss berhenti minum banyak, menjauhkan diri dari obat bius, mengurang pergi ke pelacuran, memotong rambut panjangnya, pergi ke pengadilan, ke Gereja, atau ke balai kota, saya belum sungguh-sungguh bersama-sama dengan dia tetapi masih bersama-sama dengan kekuatiran-kekuatiran saya, sistem nilai dan harapan-harapan saya sendiri, dan membuat diri saya sendiri seorang pelacur, dan merendahkan sesama saya dengan menjadikan korban manipulasi rohani saja”.

Banyak pelayan kristiani mengeluh bahwa tak seorang pun berterima kasih kepada mereka, bahwa waktu berjam-jam yang dihabiskannya bersama orang-orang tidak membawa perubahan apa pun pada mereka, bahwa sesudah bertahun-tahun mengajar, berkhotbah, membimbing, mengorganisasi, dan merayakan, orang-orang tetap acuh tak acuh, Gereja tetap otoriter, dan masyarakat masih korup. Tetapi jika kepuasan kita harus datang dari perubahan-perubahan yang dapat dilihat, kita menjadikan Allah seorang penguasa dan diri kita sebagai kepala bagian penjualan.

Demikianlah kita telah melihat bahwa hubungan pastoral tidak dapat sepenuhnya dimengerti dalam rangka kontrak profesional. Setiap orang menantikan ucapan terima kasih, mengharapkan keberhasilan dan merindukan adanya perubahan. Ini berlaku bagi pelayan kristiani seperti halnya bagi setiap orang lain. Akan tetapi Allah tidak mengadakan kontrak dengan kita, melainkan suatu perjanjian, dan menantang siapa saja yang mau menampakkan perjanjian-Nya di dunia ini, untuk tidak memakai keberhasilan manusiawi sebagai ukuran bagi cinta mereka kepada sesama.

Bila identitas pelayan kristiani ditemukan dalam ketegangan kreatif antara peneguhan diri dan penyangkalan diri dan bila hakikat hubungan pastoral mengandung unsur kontrak profesional tetapi akhirnya dilandaskan pada perjanjian Allah dengan umat-Nya, maka masih ada persoalan mengenai pendekatan pastoral. Banyak pelayan kristiani dan imam pada saat ini mengikuti latihan-latihan khusus persis karena

kebutuhan mereka untuk semakin terampil dalam hubungan pastoral pribadi. Banyak psikolog, sosiolog, pembimbing, dan pelatih kepekaan perasaan saat ini menjadi kaya dengan mengajarkan cara-cara mereka kepada pelayan kristiani yang berhasrat besar, yang mengagumi kepandaian mereka dan berharap dapat menemukan pemecahan atas perasaan-perasaan tidak cakap yang tertanan dalam diri mereka.

Salah satu hal yang paling penting, yang dipelajari para pastor dalam latihan mereka adalah menuliskan pengalaman-pengalaman mereka. Charles Hall 1936:6) sekretaris eksekutif Pendidikan pastoral Klinis, berkata, “Apa yang pantas dikatakan adalah pantas ditulis.” Tetapi apakah yang dapat dipelajari dari sana? Saya akan mendiskusikannya dengan menggunakan dua istilah, yaitu: Penentuan peranan dan kontemplasi.

(1) Penentuan peranan

Russel Dicks (1936:256), salah seorang perintis gerakan latihan Klinis, mengatakan, “Kami yakin selama pelayanan kristiani belum memperkembangkan suatu cara membuat catatan-catatan pribadi mengenai hubungan dengan pribadi-pribadi, ia tidak mempunyai hak untuk menempatkan diri diantara para pekerja ahli dalam bidang kepribadian manusia.”

Dengan mempelajari laporan-laporan tertulis menganai karya pastoralnya dengan pribadi-pribadi, pelayan kristiani dapat menjernihkan pengalaman-pengalamannya sendiri. Ia juga mempunyai suatu cara konkret untuk mengenali secara persis apa yang terjadi dalam karya pastoralnya dan suatu kesempatan istimewa untuk berpikir secara realistis mengenai cara-cara tindakan pastoral lain. Dengan cara ini ia dapat merumuskan apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan. Namun pengalaman adalah kata yang sangat ambivalen. Banyak imam yang memakai pengalamannya

bertahun-tahun sebagai suatu alasan untuk menampilkan kecakapannya, cenderung melupakan bahwa hanya sedikitlah orang yang belajar dari pengalamannya. Suatu peristiwa yang dilaporkan secara teliti dan dievaluasi secara kritis sering kali dapat mengajar seseorang lebih daripada pengalaman bertahun-tahun tanpa pemahaman. Bagaimanapun juga, jika seseorang dapat menentukan dimana ia berdiri, dapat juga menggambarkan peta ke mana ia akan pergi. Setiap orang yang profesional bertanggungjawab atas definisinya sendiri. Apabila seorang imam tidak dapat menentukan perananya secara teliti, ia tidak akan pernah dapat membuatnya jelas bagi orang lain.

Akan tetapi jika ia berpikir bahwa penentuan peranan adalah kata akhir dalam pelayanan pastoral pribadi, kita tidak menangkap inti pelayanan, yang bukan melupakan praktek kemahiran namun kontemplasi yang dalam. Maka dari itu baiklah kiranya untuk akhirnya membahas arti kontemplasi.

(2) Kontemplasi

Keprihatinan yang besar dari banyak pembimbing seperti russel Dicks ialah untuk menolong para pelayan kristiani mempelajari tanggapan yang terbaik terhadap satu rangsangan tertentu. Seorang pelayan kristiani hendaknya meninggalkan semua ketrampilan khusus, peralatan, dan teknik khusus dalam hubungan manusiawi kita bahkan mungkin berharap ia mempunyai lebih banyak-namun tanggapan yang terampil bukanlah merupakan inti pelayanan. Orang yang menuliskan pengalaman-pengalamannya tidak hanya mempunyai kesempatan untuk merumuskan peristiwa dan tanggapan-tanggapan yang paling baik, tetapi juga mempunyai suatu sumber yang tak terhingga nilainya untuk suatu kontemplasi teologis. Anton Boisen (1963:267) bapak gerakan latihan klinis, meminta para muridnya untuk menuliskan

pengalaman-pengalaman mereka, ia tidak pertama-tama berpikir mengenai “bagaimana mengerjakan hal itu dengan baik”, tetapi lebih mengenai pertanyaan “Apa yang dapat saya pelajari dari orang yang saya temui sebagai pastor ini?” baginya sumber teologi yang paling sering dilupakan adalah apa yang disebutnya “dokumen manusia hidup”. Dalam Eksploration of the Inner World (1977:135), ia menulis:

Seperti halnya tidak ada ahli sejarah yang layak menyandang julukan itu, puas dengan menerima atas dasar kuasa, pertanyaan yang disederhanakan dari beberapa ahli sejarah mengenai soal-soal yang sedang diselidiki, demikian pula saya mencoba untuk memulai tidak dengan rumusan-rumusan yang siap pakai dari buku, tetapi mulai dengan dokumen manusia hidup dan dengan keadaan-keadaan sosial yang aktual dengan segala seluk beluknya yang rumit, (Harper, 1979:135).

Pelayanan pastoral mempunyai arti yang lebih jauh daripada kecemasan-kecemasan pastoral. Pelayanan pastoral berarti suatu kontemplasi yang teliti dan kritis mengenai keadaan manusia. Melalui kontemplasi ini pastor dapat membuka selubung dan memperlihatkan kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, kenyataan bahwa kebaikan dan kejahatan bukan sekadar kata, melainkan realitas yang dapat dilihat dalam kehidupan setiap orang. Dalam arti ini, setiap hubungan pastoral merupakan suatu tantangan untuk memahami dalam suatu cara baru, karya Allah bagi manusia dan untuk semakin peka membedakan cahaya dan kegelapan dalam hati manusia.

Dalam arti ini, kontemplasi bukan hanya suatu segi yang penting dalam kehidupan iman atau suatu syarat yang tidak dapat tidak harus dipenuhi untuk

Dokumen terkait