• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUPAS TUNTAS RIBA DAN BUNGA

1. Pendahuluan

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam pernah memperingatkan umatnya akan fitnah harta yang akan menimpa mereka. Bukanlah kefakiran yang beliau takutkan, namun sebaliknya beliau justru khawatir jika fitnah harta duniawi menimpa umatnya sehingga melalaikan mereka dari urusan akhirat.

لا ذخأ ام ب ءرم لا ي لاب ي لا نامز سان لا ىل ع هي تأي ل ار لا ه م أ ل لا ه مأ لام

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli darimana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari -Al Fath 4/296 nomor 2059; 4/313 nomor 2083)

Kenyataan pun membenarkan apa yang beliau sabdakan di atas, tidak sedikit kaum muslimin yang terfitnah dengan harta sehingga melegalkan segala cara demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang mereka inginkan. Salah satu bukti adalah maraknya praktek ribawi yang dilakukan oleh komunitas muslim, lagi-lagi alasannya berujung pangkal pada ketamakan terhadap dunia.

Perbincangan riba dan bunga menjadi sorotan sejak dekade1960an. Perbincangan mengenai sama tidaknya bunga dengan riba semakin memanas setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram tentang bunga bank pada tahun 2003. Hal ini menjadi pro kontra sampai sekarang.

Untuk mendudukan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan pemahaman yang mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun dari akibat yang ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistem bunga dalam perekonomian dan dengan membaca tanda-tanda serta arah yang dimaksud dengan riba dalam Al Qur‘an dan Hadist.

2. Persamaan Riba dan Bunga

Secara etimologi riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu dirham dengan dua dirham. Lafadz ini juga digunakan atas segala bentuk jual beli yang diharamkan (Syarh An Nawawi „alaa

Shahih Muslim 11/8, Fathul Baari 4/312)

Adapun secara terminologi, riba berarti adanya tambahan dalam suatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan riba nasiah (Lihat Al Mughni 6/52,

Fathul Qadir 1/294; dinukil dari Ar Ribaa Adraruhu wa Atsaruhu fii Dlauil Kitabi was Sunnah). Al Ustadz Aunur Rofiq Ghufron mengatakan, ―Maksud tambahan secara khusus,ialah tambahan yang diharamkan oleh syari‘at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.‖ (Majalah As Sunnah edisi 3 tahun VII)

Asal makna ―riba‖ menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut syara‘ riba adalah akad yang terjai dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara‘ atau terlambat menerimanya.

Menurut The American Heritage DICTIONARY of the English Language : Interest is ―A charge for a financial loan, usually a precentage of the amount loaned―. (lihat H. Karnaen A.

Perwataatmadja, S.E., MPA).

Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.

Dilihat dari definisi diatas dapat dikatakan bunga memiliki arti sebagai harga atau kompensasi atau ganti rugi yang dibayarkan untuk penggunaan uang selama suatu jangka waktu. Ini dinyatakan dalam suatu prosentasi dari jumlah uang yang dipinjamkan atau dipakai selama suatu jangka waktu. Pengertian bunga tersebut sama dengan pengertian riba yang telah dikenal di dalam agama Islam.

MODUL EKONOMI ISLAM JILID 1 (EDISI REVISI) 65 3. Larangan Riba Dalam Al Qur’an dan As Sunnah

3.1Larangan riba (bunga) menurut Alqur'an

Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar yaitu sebagai berikut:

a. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan

melipatgandakan harta.

Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.

Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; ―Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai

keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)‖.

b. Tahap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.

Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah

kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 –161 : ―Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih‖.

c. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.

Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.

Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), ―Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.‖

d. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.

Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.

Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; ―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.‖

MODUL EKONOMI ISLAM JILID 1 (EDISI REVISI) 66 3.2Larangan Menurut Hadits

Untuk menunjukkan bagaimana Nabi Muhammad saw menjelaskan makna berbagai perintah yagn terdapat dalam Al Qur'an menyangkut larangan terhadap pemungutan bunga. Kepada para sahabatnya, disini akan dipetik beberapa hadits nabi yang penting.

1. hadits berasal dari Aun Ibn Hanifah yang meriwayatkan dari ayahnya bahwa Rosululloh saw telah mengutuk baik kepada pembayar maupun pamakan riba.

2. Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa Rosulullah saw mengutuk orang-orang yang menerima dan memberi raba, orang yang mencatat, dan menjadi saksi dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa mereka semuanya sama (dalam malakukan dosa)

3. menurut Jabir, Rosulullah saw mengutuk orang-orang yang menerima dan membayar riba, orang yang mencatatnya penerimaan dan pembayaran riba serta orang-orang yang menjadi saksi.

4. Selanjutnya dalam sabdanya ketika menunaikan hajinya yang terakhir Rosulullah saw bersabda ―segala bentuk riba adalah diharamkan, sesungguhnya modal yang kamu miliki adalah untukmu, kamu tidak akan dianiaya dan tidak akan menyaniaya. Allah telah menurunkan perintahnya bahwa riba diharamkan sama sekali. Saya bermula dengan (jumlah) bunga (yang dipijamkan kepada banyak orang) dari Abbas dan membatalkan semuanya‖. Selanjutnya beliau atas nama pamannya ―abbas‖ telah membatalkan seluruh total bunga terhadap pinjaman modal dari para peminjam.‖

4. Jenis-Jenis Riba

4.1Riba Fadl / Riba Buyu

Riba Fadl disebut juga riba buyu‘ yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Contoh berikut ini akan memperjelas adanya gharar.

Ketika kaum Yahudi kalah dalam perang Khaibar, maka harta mereka diambil sebagai rampasan perang (ghanimah), termasukn diantaranya adalah perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya hidup kaum muslimin yang sederhana. Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha membeli perhiasannya yang terbuat dari emas dan perak tersebut, yang akan dibayar dengan uang yang terbuat dari emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak (dirham). Jadi sebenarnya yang akan terjadi bukanlah jual beli, namun pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak.

Perhiasan perak dengan berat yang setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum muslimin kepada kaum Yahudi seharga dua atau tiga dirham, padahal nilai perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih tinggi dari sekedar 2-3 dirham . Jadi muncul ketidak-jelasan (gharar) akan nilai perhiasan perak dan nilai uang perak (dirham). Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW mencegahnya dan bersabda:

“Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasul SAW bersabda: Transaksi pertukaran emas dengan emas harus

samatakaran, timbangan dan tangan ke tangan(tunai), kelebihannya adalah riba; perakdengan perak harus sama takaran dan timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tanganke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran,

timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba.” (Riwayat Muslim).

Di luar keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahannya pada saat yang sama. Rasul SAW bersabda :

MODUL EKONOMI ISLAM JILID 1 (EDISI REVISI) 67

“Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar; satu dirham dengan dua dirham; satu sha‟ dengan dua sha‟ karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama). Seorang bertanya: „wahai Rasul, bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta

dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW: “Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).” (HR Muslim).

Dalam perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot).

4.2Riba Nasi‘ah / Riba Duyun

Riba Nasi‘ah disebut juga riba duyunyaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.

Nasi‘ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi‘ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi al ghunmu(untung) muncul tanpa adanya al ghurmi(resiko), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmudan al kharajmuncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi.

Memastikan sesuatu yang diluar wewenang manusia adalah bentuk kezaliman. Padahal justru itulah yang terjadi dalam riba nasi‘ah, yakni 2 terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya bersifat uncertain (tidak pasti) menjadi certain (pasti). Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of liability) ini, dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Pendapat Imam Sarakhzi akan memperjelas hal ini.

“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad)

yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut” (ImamSarakhsi dalam al-Mabsut, juz. XII., hal.109).

Dalam perbankan konvensional, riba nasi‘ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dll. Bank sebagai kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate).

Padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman itu tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermined juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung, yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal. Jadi, mengenakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan.

QS Al Hasyr 18 dan QS Luqman 34: ―Wama tadri nafsun ma dza taksibu ghadan‖2(dan seorang itu tidak mengetahui apa yang dihasilkannya esok

Bunga dan time value of money.

Para pendukung konsep bunga mendasarkan argumentasi mereka dengan prinsip time value of moneyyang didefinisikan sebagai berikut:

A dollar today is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return.

Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapat return positif, negatif, atau nol. Itu sebabnya dalam teori finance, selalu dikenal risk-return relationship. Namun, sebenarnya penerapan time value of moneypun tidak senaif yang dibayangkan, misalnya dengan mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima. Bila unsur ketidakpastian return ini dimasukkan, ekonom konvensional menyebut kompensasinya sebagai discount rate. Jadi istilah discount rate lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest rate.

MODUL EKONOMI ISLAM JILID 1 (EDISI REVISI) 68

melalui premium for uncertainty. Dalam setiap investasi tentu selalu ada probabiliti untuk mendapat positif return, negative return, dan no return. Adanya probabiliti inilah yang menimbulkan uncertainty(ketidakpastian). Probabiliti untuk mendapat negative return dan no return ini yang dipertukarkan (exchange of liabilities) dengan suatu yang pasti yaitu premium for uncertainty.

Katakanlah probabiliti positive returndan negative return masing- masing sebesar 0,4; sedangkan probabiliti no returnsebesar 0,2. Apa yang dilakukan dalam perhitungan discount rate adalah mempertukarkan probabiliti negative return (0,4) dan probabiliti no return(0,2) ini dengan premium for uncertainty, sehingga yang tersisa tinggal probabiliti untuk positive return (1,0).

Keadaan inilah yang ditolak dalam ekonomi syariah, yaitu keadaan al ghunmu bi la ghurmi (gaining return without responsible for any risk) dan al kharaj bi la dhaman (gaining income without responsible for any expenses). Sebenarnya keadaan ini juga ditolak oleh teori finance, yaitu dengan menjelaskan adanya hubungan antara risk dan return; bukankah return goes along with risk?

4.3Riba Jahiliyah

Riba Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba Jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaedah ―Kullu Qardin Jarra Manfa‘ah Fahuwa Riba‖ (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba).

Memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru‘), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarah). Jadi, transaksi yang dari semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh dirubah menjadi transaksi yang bermotif bisnis.

Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyah tergolong Riba Nasi‘ah; dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong Riba Fadl. Tafsir Qurtuby menjelaskan:

“Pada Zaman Jahiliyah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada para debitur : “Lunaskan hutang anda sekarang, atau anda tunda pembayaran itu dengan tambahan”.

Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kreditur

menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru.” (Tafsir Qurtubi, 2/

1157).

Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.

Dari definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat diidentifikasi praktek perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Riba nasi‘ah dapat ditemui dalam transaksi pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan/deposito/giro. Riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.

Tipe Faktor Penyebab Cara Menghindarkan Faktor Penyebab Riba Fadl

/ Buyu

Gharar Kedua belah pihak harus memastikan factor-faktor berikut ini: Kuantitas Kualitas Harga Waktu Penyerahan Riba Nasi‘ah / Duyun

Return tanpa resiko, pendapatan tanpa biaya

Kedua belah pihak membuat kontrak yang merinci hak dan kewajiban masing-masing untuk menjamin tidak adanya pihak maupun yang mendapatkan return tanpa menanggung resiko ataqu menikmati pendapatan tanpa menanggung biaya Riba

Jahiliyah

Pinjaman sukarela secara komersil / karena pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba

Jangan mengamil manfaat apapun dari akad / transaksi kebaikan (tabarru)

Kalaupun ingin mengambil manfaat, maka gunakanlah akad bisnis (tijarah), biukan akad kebaikan (tabarru)

MODUL EKONOMI ISLAM JILID 1 (EDISI REVISI) 69

5. Konsep Bunga di Kalangan Non Muslim

5.1Konsep bunga dikalangan yahudi

Orang- orang yahudi dilarang mempraktikkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat di kitab suci mereka, baik dalam old testament (perjanjian lama) maupun undang-undang Tahmud. Kitab Exodus (keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan

―jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat ku, orang miskin diantara kamu, maka janganlah kamu berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah kamu bebankan bunga uang terhadapnya.‖

kitab deutoromy (ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan ―janganlah engkau membungakan kepada saudaramu. Baik uang maupun bahan makanan, atau apa yang dapat dibungakan.‖

kitab lecivitus (imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan, janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya. Melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantara kamu. Janganlah kamu memberikan uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.‖

5.2Konsep bunga di kalangan yunani dan romawi

Pada masa paus yunani sekitar abad VI sebelum masehi hingga i masehi telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya tersebut bervariasi tergantung pada kegunaannya. Secara umum bilai bunga dikategorikan sebagai berikut.

Pada masa romawi, sekitar abad V sebelum hingga IV Masehi terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga.

Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan. Akan tetapi pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis bunga pada zaman Romawi yaitu sebagai berikut:

plato mengecam sistem bunga berdasarkan atas dua sebab. Pertama bunga sebagai sebab dari perpecahan dan ketidakpuasan di dalam masyarakat. Kedua merupakan alat mengekploitasi si kaya terhadap si miskin. Sedangkan Aristoteles menyatakan keberatannya, karena fungsi uang adalah sebagai alat tukar. Oleh karenanya menurut ia bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu terjadi. Dengan demikian bunga merupakan suatu tindakan yang tidak adil.

Cicero memberi nasihat kepada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan yakni cukai dan memberi piutang dengan bunga. Cato memberi dua ilustrasi untuk melukiskan perbedaan antara perniagaan dan pemberi pinjaman.

1. Perniagaan adalah suatu pekerjaan yang mempunyai risiko, sedangkan memberi pinjaman dengan bunga adalah sesuatu yang tidak pantas.

2. Dalam tradisi mereka terdapat perbandingan antara seseorang pencuri dan seorang pemakan bunga. Pencuri akan didenda dua kali lipat. Sedangkan pemakan bunga akan didenda empat kali lipat.

Singkatnya menurut para ahli filsafat yunani dan romawi menganggap bunga adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Karena terdapat eksploitasi disana, dan merupakan praktik tidak sehat dalam masyarakat.

5.3konsep bunga di kalangan kristen

Dalam kristen konsep mengenai bunga ini terdapat dalam Lukas 6:34-35 yang bunyinya:

―dan jika kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik

MODUL EKONOMI ISLAM JILID 1 (EDISI REVISI) 70

kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan. Maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yang maha tinggi, sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu terima kasih dan terhadap orang-orang jahat.‖

a. Pandangan para pendeta awal kristen (abad I-XII)

Pada masa ini umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk kepada kitab perjanjian lama.

St Basil (329-379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan.

St Gegory dari Nyssa (335-395) mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu.

St. John Chrysostom (344-407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam perjanjian lama yang ditujukan bagi orang-orang yahudi juga berlaku bagi penganut perjanjian baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir)

St Agustine berpendapat bahwa pemberlakuan bunga pada orang-orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampokan yang merampok orang kaya.