• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kurva Pengukuran Kekerasan dengan Texture Analyzer pada nasi hasil formula

Dalam dokumen Pengembangan Beras Tiruan Berbasis Sorgum (Halaman 81-151)

Lampiran 29. Data pengukuran derajat putih beras tiruan formula 14 dan Nasi Rojo Lele Nama Sample Ulangan Nilai Derajat Putih % Derajat Putih Rataan (%) Standar Deviasi Formula 14 Ulangan Perlakuan 1 26,20 32,1078 32,4142 0,308408 2 26,80 32,8431 Ulangan Pengukuran 1 26,40 32,3529 2 26,40 32,3529 Nasi Ulangan Pengukuran 1 60,20 73,7745 73,7132 0,086655 2 60,10 73,6520

SORGHUM BASE ARTIFICIAL RICE FORMULATION

Annisa Kharunia

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +6285659689810, E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Rice is a staple food for Indonesians which still can not be replaced by another source of carbohydrate. This phenomenon is risky for national food security. There for goverment has done several program in food diversification but seems none of them works really success. Regarding these issue, this research is conduct to make an artificiall rice made from sorghum as one of solution to food diversification. The best formulation regarding hedonik rating test is the artificial rice made from 80% of sorghum flour, 20% mokaf of total flour needed, 40% water from total flour, and 1% of GMS of total flour needed. the proksimat analysis showed the best formulation contain water 6,48% , ash 0,775%(bb), protein content 6,53% (bb), fat contain 1,39% (bb), and carbohydrate contain 84,81% (bb).

ANNISA KHARUNIA. F24080115. Pengembangan Beras Tiruan Berbasis Sorgum. Di bawah bimbingan Eko Hari Purnomo dan Slamet Budijanto. 2012

RINGKASAN

Di dalam melakukan diversifikasi pangan, diperlukan pemilihan produk-produk diversifikasi yang dapat diterima secara baik oleh masyarakat dan tidak bertentangan dengan kebiasaan makan orang Indonesia. Salah satu adalah pembuatan beras tiruan dari sumber karbohidrat lokal seperti sorgum yang memiliki potensi besar di Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian untuk menentukan formulasi bahan baku terbaik

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari formulasi beras tiruan terbaik dengan menggunakan ekstruder ulir ganda yang dapat diterima konsumen secara sensori. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan air, CMC dan GMS pada beras tiruan berbasis sorgum jenis B-100 hasil pemuliaan yang dilakukan oleh BATAN.

Penelitian ini dimulai dengan tahapan formulasi bahan baku utama yaitu tepung sorgum, mokaf dan ubi. Formulasi yang akan diujikan adalah formula A 100% sorgum, formula B 80% sorgum: 20% mokaf, formula C 80% sorgum: 10% mokaf: 10% ubi, dan formula D 80% sorgum: 20% ubi. Kemudian pada nasi dari formulasi yang telah dibuat, dilakukan uji rating hedonik dengan kriteria atribut secara keseluruhan, formula dengan penilaian tertinggi dari panelis akan dijadikan sebagai formula bahan baku pada tahapan selanjutnya. Tahapan selanjutnya adalah memformulasikan air, GMS dan CMC. Pada tahap ini akan dibuat 16 formulasi dengan metode mixture experiment, kemudian dilakukan uji rating dan pembedaan dari kontrol terhadap nasi dari beras tiruan untuk menentukan formulasi terbaik. Formulasi terbaik akan dikarakterisasi lebih lanjut dengan analisis proksimat, analisis tekstur dan analisis derajat putih.

Pembuatan beras tiruan menggunakan metode ekstrusi panas (hot extrussion) dengan menggunakan ekstruder ulir ganda merk Berto BEX-DS-2256 (double screw extruder). Bahan baku kering berupa tepung-tepungan dan GMS juga CMC dicampurkan dengan menggunakan mixer, kemudian ditambahkan air sesuai dengan formulasi. Bahan baku yang telah tercampur kemudian dimasukan kedalam ekstruder melalui hopper. Bahan akan keluar dari ekstruder melalui dye yang telah dirancang khusus berbentuk beras. Kemudian, beras tiruan yang baru keluar dari ekstruder dikeringkan terlebih dahulu dengan menggunakan tray dryer pada suhu 60oC selama 4 jam.

Formula beras tiruan terbaik yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 80% sorgum, 20% tepung mokaf pada basis 1 kg tepung. Kemudian air yang ditambahkan adalah 40% dari berat tepung dan ditambahkan 1% GMS dari berat tepung. Formula beras tiruan terbaik tidak menggunakan CMC. Hasil uji organoleptik dengan analisis linear berganda pada 16 formulasi optimasi air, GMS, dan CMC menunjukan bahwa air, GMS dan CMC tidak berpengaruh pada penilaian panelis pada atribut warna, rasa, tekstur, dan keseluruhan. Hasil uji beda dari kontrol nasi komersil, menyatakan bahwa beras tiruan yang dihasilkan pada penelitian ini berbeda secara signifikan terhadap kontrol pada taraf kepercayaan 5%. Hasil analisis kimia menunjukan bahwa beras tiruan terbaik pada penelitian ini mengandung air 6,48% (bb), kadar abu 0,775% (bb), kadar protein 6,53% (bb), kadar lemak 1,39% (bb), kadar karbohidrat 84,81% (bb).

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketergantungan rakyat Indonesia terhadap beras saat ini cukup memprihatinkan. Banyak orang Indonesia merasa belum kenyang jika belum makan nasi dari beras. Kebiasaan ini berdampak serius pada permasalahan pangan nasional karena masyarakat menjadi sangat ketergantungan terhadap satu jenis sumber karbohidrat utama yaitu beras. Segala cara telah dilakukan pemerintah demi meningkatkan pasokan beras nasional dan dilain pihak pemerintah juga terus berupaya untuk melakukan penganekaragaman pangan (diversifikasi) khususnya sumber karbohidrat lain seperti ubi, singkong, sagu, jagung, sorgum dan lain-lain. Namun usaha diversifikasi pangan ini masih banyak menemui kendala.

Kendala dalam upaya diversifikasi sumber karbohidrat berkaitan erat dengan budaya dan kebiasaan makan orang Indonesia yang sangat erat dengan nasi. Sulit bagi masyarakat untuk menggantikan nasi dengan makanan lain, misalnya jagung rebus, ubi goreng, atau singkong rebus misalnya. Oleh karena itu saat ini para ilmuan mencari cara bagaimana menciptakan suatu kendaraan diversifikasi pangan yang tidak bertentangan dengan budaya makan orang Indonesia. Salah satunya adalah menciptakan beras tiruan berbasis sumber karbohidrat selain beras.

Indonesia memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumber karbohidrat seperti ubi, talas, singkong, sagu, jagung dan sorgum. Diantara semua sumber karbohidrat yang ada di Indonesia, sorgum memiliki keunggulan tersendiri. Sorgum adalah salah satu tanaman serealia yang termasuk dalam famili yang sama dengan padi, jagung dan gandum yaitu Graminae. Sorgum sangat cocok untuk diversifikasi pangan karena bijinya mengandung karbohidrat yang relatif tinggi sebagai sumber bahan pangan utama, dan memiliki protein, kalsium, mineral dan vitamin yang tidak kalah dibanding beras. Di dunia, sorgum adalah tanaman serealia kelima terpenting setelah beras, gandum, jagung, dan barley. Sorgum menjadi makanan utama lebih dari 750 juta orang yang tinggal di daerah tropis setengah kering seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Lat in (FSD 2003). Sorgum merupakan sumber pangan potensial bagi bangsa Indonesia karena memiliki berbagai keunggulan. Sorgum termasuk low-input crop yang dapat di budidayakan pada lahan kering dan dapat beradaptasi luas di lahan marginal. Biji sorgum dapat dimanfaatkan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri, sedangkan daunnya digunakan untuk pakan ternak. Sorgum dan produk-produk yang dihasilkannya memiliki harga yang lebih murah dibandingkan dengan makanan-makanan pokok yang lain seperti beras dan gandum (Arvi 2006).

Metode pembuatan beras tiruan ini akan menggunakan teknik ekstruksi. Teknik ekstruksi dipilih karena paling efektif dari segi proses dan keseragaman produk. Bentuk produk hasil keluaran ekstruder juga dapat diatur sehingga diharapkan dapat menyerupai beras.

1.2 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari formulasi beras tiruan terbaik dengan menggunakan ekstruder ulir ganda yang dapat diterima konsumen secara sensori. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan air, Carboxy Methyl Cellulose (CMC)dan Glyceril Monostearat (GMS) pada beras tiruan berbasis sorgum.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beras Tiruan

Beras tiruan adalah beras yang dibuat dari sumber karbohidrat selain padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras (Samad 2003). Menurut Departemen Pertanian Republik Indonesia (2011), beras tiruan adalah pangan pokok yang berbentuk seperti butiran beras padi yang bahan bakunya dapat berasal dari kombinasi tepung pangan lokal dan atau padi.

Pembuatan beras tiruan telah dilakukan dengan berbagai teknik. Diantaranya yaitu pembuatan dengan teknik granulasi seperti membuat sagu mutiara dan juga dengan teknik ekstrusi. Lisnan (2008) menyatakan proses pembuatan beras tiruan berbasis ubi kayu dan ubi jalar dengan menggunakan teknik granulasi, meliputi pencampuran tepung, pati, dan air, dilanjutkan dengan proses penghabluran menggunakan ayakan 8 mesh, proses pembutiran dengan mesin pembutir, penyangraian selama 5-7 menit pada suhu 45-50°C, dan pengeringan menggunakan oven selama 60°C selama 72 jam. Hasil rendemen pembuatan beras tiruan dari ubi kayu dan ubi jalar menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pati dalam rasio formula maka rendemen produk semakin meningkat. Perbandingan tepung dan pati yang terbaik adalah 70:30 untuk beras tiruan dari ubi kayu dan 80:20 untuk beras tiruan dari ubi jalar.

Menurut Hackiki (2012), beras tiruan dapat dibuat dari tepung ubi jalar dengan perbandingan terbaik sebanyak 65% tepung ubi jalar, 15% pati ubi jalar dan 20% tepung tempe. Semua bahan baku dimasukan kedalam ekstruder ulir tunggal dengan penambahan air sebanyak 70%. Parameter suhu yang digunakan pada ekstruder adalah 70oC pada zona 1, 80oC pada zona 2, dan 85oC zona 3 dan 85oC pada zona 4. Kemudian adonan yang keluar dari mesin ekstruder akan dipotong secara manual dengan menggunakan pisau, sampai sepanjang 3-5 mm yang kemudian hasilnya dikeringkan menggunakan oven pengering pada suhu 60oC selama 6 jam.

2.2 Sorgum

Sorgum adalah salah satu tanaman serealia yang termasuk dalam famili yang sama dengan padi, jagung dan gandum yaitu Graminae. Sorgum dengan nama spesies Sorghum bicolor (L.) Moench ini banyak tumbuh di Indonesia dan memiliki nama yang berbeda tiap daerahnya seperti ‘Cantel’ di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ‘Jagung Cantik’ di Jawa Barat dan

‘ Batara Tojeng’ di Sulawesi selatan (Suprapto dan Mudjisihene 1987).

Berdasarkan bentuk sekamnya, sorghum dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu sorghum biji, sorghum manis, sorghum rumput dan sorghum sapu. Pada umumnya biji sorghum berbentuk bulat agak lonjong atau bulat telur dan terdiri dari tiga bagian utama yaitu kulit luar, lembaga dan endosperm. Susunan dari bagian-bagian bijinya adalah kulit luar 7,9 %, lembaga 9,8 % dan endosperm 82,3 % (Hoseney 1998).

Tanaman sorgum memang bukan berasal dari Indonesia, melainkan dari Ethiopia, Sudan dan Amerika. Namun saat ini sorgum banyak dibudidayakan di Indonesiadan diteliti oleh Badan Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi di Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN), aplikasi Iptek nuklir banyak dilakukan, salah satu diantaranya adalah untuk pemuliaan sorgum. Di PATIR-BATAN, kegiatan pemuliaan mutasi sorgum diarahkan menjadi

tanaman sorgum yang tahan akan kekeringan. Galur sorgum yang tahan kekeringan diantaranya adalah varietas; B-100, B-95, B-92, B-90, B-83 , B-76 , B-75 , B-72 , B-69 , Zh- 30 dan Cty-33.

Sorgum memiliki potensi sangat besar dan prospektif untuk dikembangkan sejalan dengan upaya peningkatan produktivitas lahan marginal karena sorgum memiliki daya adaptasi yang luas dan memerlukan jumlah air yang relatif sedikit dalam pertumbuhannya. Sorgum sangat tahan kondisi lahan kering karena domestikasinya memang berasal dari Afrika yang beriklim kering atau semi-arid (Toure et al. 2004; Borrell et al. 2005). Keunggulan lain, sorgum dapat ditanam dengan sistem ratun (ratooning system) yang memerlukan hanya sedikit tenaga kerja, karena tanaman dapat dipanen dua sampai tiga kali untuk sekali tanam. Daya adaptasi yang luas, kebutuhan air yang sedikit dan tahan terhadap kekeringan merupakan keunggulan utama sorgum untuk dapat dikembangkan di Indonesia. Lahan kering untuk pertanian di Indonesia tersedia seluas 144 juta hektar dan menutut Departemen Pertanian (2004) lahan pertanian yang potensial untuk sorgum ada seluas 19,91 juta hektar. Sorgum merupakan tanaman pilihan paling sesuai dalam upaya peningkatan produktivitas lahan-lahan kering marginal, lahan kosong atau lahan non-produktif lainnya. Oleh karena itu dengan menanam sorgum maka produktifitas lahan akan meningkat dan juga mendukung upaya pengembangan pertanian berkelanjutan dan peningkatan produksi pangan Indonesia.

Negara penghasil sorgum utama adalah India, Cina, Nigeria, dan Amerika Serikat. Berdasarkan penelitian Sirrapa (2003) daerah penghasil sorgum utama di Indonesia adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri) dengan jumlah produksi 17.350 ton (1973- 1983), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon Progo) dengan produksi 1.813 ton (1974-1980), Jawa Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolinggo) dengan produksi 5.963 ton (1984-1988), sebagian Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat dengan produksi 56 ton (1993-1994) .Menurut Beti et al. (1990), luas areal tanam sorgum di dunia mencapai sekitar 50 juta hektar dengan total produksi 68.40 juta ton dan rata-rata produktivitas 1.30 t/ha. Biji sorgum mengandung gizi yang tidak lebih rendah dari kandungan tanaman serealia lainnya. Kandungan kimia biji sorgum ditunjukan oleh Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan kimia biji sorgum varietas B-100

Kandungan Sorgum Jumlah (% b.k)

Protein 12.55% lemak 2.56 % Abu 1.38% karbohidrat 73.59 % Air 7.44% Serat kasar 2.20% Tanin (% polifenol) 0.03%

Sumber: (LIPI 2010 diacu dalam Wijaya 2010)

Selain kaya akan vitamin dan mineral, sorgum juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan sumber karbohidrat lain. Pada Tabel 2 ditunjukan bahwa jumlah kalsium sorgum per 100 gram bagian yang dapat dimakan lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah

kalsium pada beras, jagung dan gandum. Selain itu, jumlah vitamin B1 pada sorgum lebih tinggi jika dibandingkan dengan beras, jagung, dan gandum. Dari segi fosfor dan zat besi, kandungan kedua zat ini pada sorgum lebih tinggi dibandingkan dengan pada beras, namun lebih rendah jika dibandingkan dengan jagung.

Tabel 2. Perbandingan gizi bahan pangan (per 100 gram bagian dapat dimakan)

Komoditi Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Beras 6 140 0.8 0.12 Jagung 9 380 4.6 0.27 Sorgum 28 287 4.4 0.38 Gandum 18 106 1.2 0.12 Sumber: (DEPKES 1992)

Semua varietas sorgum mengandung komponen fenolik, termasuk asam fenolat dan flavonoid. Beberapa varietas mengandung tanin dibagian testa, tetapi seringkali sorgum budidaya tidak mengandung tanin. Komponen ini dapat mempengaruhi warna, flavor, dan kualitas nutrisi produk. Meskipun demikian, tanin melindungi biji sorgum dari serangan serangga dan burung karena rasa pahit yang dikandungnya. Kandungan tanin pada biji menghambat aktivitas beberapa enzim sehingga menghambat pencernaan protein dan pemecahan selulosa. Uji coba pada hewan telah membuktikan bahwa tanin menghambat penyerapan protein, mengurangi pemanfaatan mineral dan menyebabkan penurunan pertumbuhan. Pemberian pakan pada babi yang mengandung 4.21% tanin menurunkan daya cerna protein sebesar 5.6%. Kandungan tanin sebelum biji matang (ripe) selalu lebih tinggi dibandingkan setelah biji matang. Kandungan tanin pada biji yang lebih gelap selalu lebih tinggi daripada biji yang lebih pucat. Beberapa tipe sorgum putih mengalami pigmentasi di bagian perikarp dan testa yang disebabkan oleh komponen fenolik (Leder 2004).

Dalam beberapa penelitian mengkonsumsi sorgum telah banyak dilaporkan berhubungan dengan penurunan resiko kanker saluran pencernaan (gastrointestinal tratc) terutama kanker esofagus (Chen et al. 1993; Isaacson 2005; Van Rensburg, 1981). Chen et al. (1993), menemukan di beberapa wilayah di Provinsi Saxchi China, bahwa orang yang banyak mengkonsumsi sorgum memiliki resiko terkena kanker esofagus 1,4-3,2 kali lebih rendah dari pada orang yang mengkonsumsi tepung gandum dan jagung sebagai makanan utamanya. Sorghum memiliki komposisi 3-deoxyflavanoids (Awika dan Rooney 2004), lemak (Huang et al. 2004) dan komponen lainnya yang berbeda dengan yang ditemukan pada serealia lainnya. Bukti menunjukan bahwa ekstrak sorgum dan berbagai produk berbasis sorgum memiliki kemampuan mengikat komponen radikal bebas yang sangat kuat secara in vitro (Awika et al. 2003).

Pemanfaatan sorgum saat ini masih lebih banyak untuk pakan ternak. Namun Suarni (2004), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sorgum dapat dimanfaatkan menjadi tepung sorgum yang dapat digunakan untuk mensubtitusi tepung terigu pada produk cookies,

2.3 MOCAF (Modified Cassava Flour)

MOCAF adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung singkong yang dimodifikasi. MOCAF adalah produk tepung dari singkong (Manihot esculenta Crantz)

yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikroba BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong.

MOCAF dapat digolongkan sebagai produk edible cassava flour berdasarkan Codex Standard, Codex Stan 176-1989 (Rev. 1 – 1995). Walaupun dari komposisi kimianya tidak jauh berbeda, MOCAF mempunyai karakteristik fisik dan organoleptik yang spesifik jika dibandingkan dengan tepung singkong pada umumnya (Tabel 4). Kandungan protein MOCAF lebih rendah dibandingkan tepung singkong, dimana protein ini dapat menyebabkan warna coklat ketika pengeringan atau pemanasan. Dampaknya adalah warna MOCAF yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung singkong biasa. Perbedaan komposisi kimia MOCAF dengan tepung singkong biasa ditunjukan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan komposisi kimia MOCAF dengan tepung singkong

Parameter MOCAF Tepung Singkong

Kadar Air (% b.k) Max. 13 Max. 13

Kadar protein (% b.k) Max. 1,0 Max. 1,2

Kadar abu (% b.k) Max. 0,2 Max. 0.2

Kadar pati (% b.k) 85 – 87 82 – 85

Kadar serat (% b.k) 1.9 – 3.4 1.0 – 4.2

Kadar lemak (% b.k) 0.4 – 0.8 0.4 – 0.8

Kadar HCN (mg/kg) tidak terdeteksi tidak terdeteksi

Sumber: (GAKOPTRI 2009)

Tabel 4. Perbedaan sifat fisik MOCAF dengan tepung singkong

Parameter MOCAF Tepung Singkong

Besar Butiran (Mesh) Max. 80 Max. 80

Derajat Putih (%) 88 – 91 85-87

Kekentalan (mPa.s) 52 – 55 (2% pasta panas), 75 – 77 (2% pasta dingin)

20 – 40 (2% pasta panas), 30 – 50 (2% pasta dingin)

Sumber: (GAKOPTRI 2009)

Menurut Subagio (2008), MOCAF dapat digunakan sebagai bahan baku, baik substitusi maupun seluruhnya, dari berbagai jenis produk bakery mulai dari muffin, bolu, cookies, brownish, spong cake sampai roti tawar. Namun demikian produk ini tidak sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu, beras atau yang lainnya. Sehingga dalam aplikasinya diperlukan sedikit perubahan dalam formula, atau prosesnya sehingga akan dihasilkan produk

yang bermutu optimal. Misalnya untuk pembuatan muffin, pembuatan dengan campuran air, margarin dan garam perlu dipanaskan sampai mendidih. Keunggulan dari penggunaan MOCAF ini adalah daya kembang muffin yang lebih tinggi dari muffin yang terbuat dari tepung terigu. Normasari (2009), menyatakan bahwa dalam pembuatan cookies dari tepung MOCAF, hasil analisa kimia, fisik dan sensoris, cookies yang dapat diterima oleh konsumen adalah cookies yang dibuat dengan subtitusi tepung terigu : tepung MOCAF 55%:45% yang difortifikasi dengan tepung kacang hijau 5%. Cookies tersebut mengandung kadar air (4.69%), abu (1.55%), lemak (12.98%) dan protein (12.11%), karbohidrat (68.66%).

2.4 Ekstrusi

Ekstrusi adalah suatu satuan proses yang memaksa suatu bahan untuk mengalir pada suatu ruangan yang sempit dan akhirnya memaksanya untuk keluar melalui sistem bukaan (die) yang sempit juga, sehingga bahan mengalami beberapa satuan proses sekaligus meliputi proses pencampuran, pengadukan, pemasakan, pengulian, pembentukan, pengembangan, atau pengeringan tergantung dari desain esktruder dan kondisi proses (Dziezak 1989). Proses ekstrusi digunakan untuk memproduksi beberapa produk seperti pasta, sereal sarapan, biskuit, crackers, makanan bayi, makanan ringan (snack), produk-produk konfeksioneri, dan lain-lain (Linko et al. dalam Dziezak 1989). Secara umum, Pontoh (1995) menyatakan bahwa proses ekstrusi memberi manfaat untuk merubah flavor, merubah protein (denaturasi) dan pati (gelatinisasi dan dekstrinisasi), menghasilkan makanan yang lebih mudah dicerna, merusak enzim yang merugikan, memperbaiki bentuk bahan dan menciptakan tekstur yang dikehendaki.

Pemasakan dengan ekstrusi mempunyai banyak keuntungan, antara lain parameter fisik (suhu, tekanan) dapat dirubah-rubah, sehingga dengan mesin yang sama dapat memasak dan mengolah produk yang mempunyai formula berbeda-beda. Keuntungan lainnya adalah memberi bentuk dan tekstur pada hasil produk, kemampuan produksi kontinyu, pengoperasian yang efisien dari segi tenaga, energi, dan luas pabrik, pasteurisasi produk akhir, dan proses dalam keadaan kering (Harper 1981). Lusas dan Llyod (2001) menambahkan bahwa di dalam proses ekstrusi, tindakan koreksi dapat dengan mudah dilakukan. Ekstrusi juga merupakan gabungan dari berbagai satuan operasi. Secara umum, satuan operasi yang terjadi pada proses ekstrusi antara lain pemanasan, pendinginan, pengaliran bahan, pemasukan bahan, penekanan, pencampuran, peleburan, pemasakan, pembentukan, teksturisasi, dan reaksi (Lusas dan Lloyd 2001).

Proses ekstruksi lebih mudah diprediksi dan memerlukan energi yang lebih sedikit dibandingkan proses pemasakan batch. Pemasakan dengan ekstruksi mempunyai beberapa keuntungan meliputi keluaran produk yang tinggi, efisiensi energi, kontrol suhu yang mudah, dan mampu menyesuaikan varietas bahan untuk menghasilkan produk akhir yang sesuai dengan keinginan (Eastman et al 2001).

Bahan baku yang dapat diproses dengan ekstruder umumnya berupa grits atau tepung. Komposisi bahan baku yang akan diekstruksi perlu diperhatikan. Kadar air memegang peranan penting terhadap pengembangan dalam proses ekstruksi. Holay dan Harper (1982) mengatakan bahwa kadar air sangat mempengaruhi derajat gelatinisasi dan air juga berfungsi sebagai reaktan dalam reaksi kompleks dengan komponen lainnya. Hasil ekstruksi dengan kelembaban tinggi mempunyai ukuran pori-pori lebih besar dan dinding sel lebih tebal. Bila hasil ekstruksi terlalu lembab, produk yang diperoleh dapat mengembang cukup besar setelah

keluar dari cetakan tetapi menyusut sebelum dingin, memadat dan menjadi produk dengan tekstur yang tidak disukai (Muchtadi et al 1988).

Pada pembuatan beras ekstrusi ada dua teknologi ekstrusi yang dapat digunakan, yaitu teknik ekstrusi panas (hot exstrussion) dan teknik ekstrusi dingin (cold extrussion).

2.4.1 Hot Extrussion

Hot extrussion atau Ekstrusi panas dilakukan dengan cara melewatkan adonan tepung beras, campuran bahan untuk fortifikasi, dan air melewati ekstruder ulir ganda atau ulir tunggal dan dipotong oleh pisau pada ekstruder menjadi butiran yang mirip butiran beras. Pada proses ini suhu yang digunakan adalah 70-110oC yang didapat dengan transfer panas yang melewati jaket pemanas. Pada suhu ini terjadi pemasakan sempurna atau pemasakan sebagian yang akan memicu butiran beras tiruan yang penampakannya (kilau dan transparansinya) seperti beras asli. Ekstrusi jenis ini saat ini telah di aplikasikan oleh Wuxi NutriRice Co. (DSM/Buhler) dan COFCO di China. Teknik pembuatan beras ekstrusi ini uga telah diaplikasikan di Philippina oleh perusahaan Superlative Snack Inc. Di Philipina peralatan lain yang digunakan dalam pembuatan beras fortifikasi selain ekstruder ulir ganda atau tunggal adalah hammer mill untuk menepungkan beras, mixer, dan mesin pengering. Sementara di Cina sendiri, menggunakan alat yang hampir sama yaitu double screw ekstruder yang dilengkapi dengan mesin uap dan sistem

preconditioning udara yang diproduksi oleh Buhler yaitu sebuah perusahaan ternama yang memproduksi alat-alat penggilingan di Asia (USAID 2008).

2.4.2 Cold Extrussion

Proses pembuatan beras dengan menggunakan teknologi ekstrusi dingin hampir mirip dengan teknologi ekstrusi yang digunakan dalam memproduksi pasta dengan teknologi cold extrussion. Adonan tepung beras, fortifican dan air dilewatkan pada ekstruder tanpa pemanasan kecuali panas yang dihasilkan dari proses itu sendiri yang biasanya dibawah suhu 70oC. Dengan suhu ini adonan yang keluar dari ekstruder belum masak sempurna. Teknologi ini telah

Dalam dokumen Pengembangan Beras Tiruan Berbasis Sorgum (Halaman 81-151)

Dokumen terkait