• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

B. Statistik Deskriptif

1. Labelisasi Halal

Kehalalan merupakan masalah yang paling dahulu berhubungan dengan manusia. Masalah tersebut telah ada semenjak manusia belum diturunkan ke bumi dan merupakan pelajaran pertama yang diterima dari Tuhan ketika Allah menentukan kaidah tentang kehalalan, dipertimbangkan pula kemampuan manusia dalam bersabar terhadap segala sesuatu, maka dari itu Allah tidak menentukan tentang kehalalan pada udara, akan tetapi untuk makanan dan minuman serta hal-hal yang dikonsumsi selain makanan dan minuman (seperti halnya; kosmetika, obat-obatan dan lain-lain) ditentukan tentang kehalalannya.1

Sejak dahulu umat Islam dan bangsa ini berbeda-beda dalam persoalan makanan dan minuman, apa yang boleh dimakan dan apa yang tidak boleh, khususnya berupa binatang. Sedangkan mengenai makanan dan minuman dari tumbuh-tumbuhan tidak banyak perselisihan di kalangan manusia. Islam tidak mengharamkan kecuali sesuatu yang telah berubah menjadi khamar (memabukkan), baik terbuat dari anggur, kurma,

1

Imam Al-Ghazali. Benang Tipis antara Halal dan Haram. Surabaya: Putra Pelajar, 2003, h. 107

gandum, maupun benda-benda lain. Intinya, makanan ataupun minuman itu memabukkan. Demikian juga Islam mengharamkan sesuatu yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan melemahkan urat, dan segala sesuatu yang membahayakan tubuh.2

Islam menyeru manusia secara umum untuk memakan yang baik-baik, dan tidak mengikuti langkah-langkah syaitan yang memanipulasi sebagian manusia dengan menampakkan indah tindakan mengharamkan apa yang dihalalkan dan menghalalkan apa yang telah diharamkan.

Makanan atau tha’am dalam bahasa al-Qur’an adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi, karena itu minuman pun termasuk dalam pengertian tha’am. Makanan merupakan objek dari suatu benda yang dimakan. Menyantap makanan diartikan dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar terpenuhi zat-zat yang dibutuhkan dalam tubuh.3

Oleh karena itu agama Islam memerintahkan agar dalam mengkonsumsi makanan haruslah halal dan thayyib.4 Halal adalah segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Dengan pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah SWT. Istilah halal biasanya berhubungan dengan masalah makanan dan minuman.5

2

Ibid. h. 121 3

Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), h.329

4

Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyiddin Misto, Pokok-pokok Ajaran Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2005), h.107

5

Pengertian Halal menurut Departemen Agama yang dimuat dalam KEPMENAG RI No 518 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah: tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam.6

Dalam buku Ensiklopedia Islam Indonesia disebutkan bahwa halal artinya tidak dilarang, dan diizinkan melakukan atau memanfaatkannya. Halal itu dapat diketahui apabila ada suatu dalil yang menghalalkannya secara tegas dalam al-Qur’an dan apabila tidak ada satu dalil pun yang mengharamkannya atau melarangnya.7

Sedangkan thayyib berarti baik, lezat dalam arti bahwa suatu makanan tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa) atau dicampuri benda najis.8

b. Kriteria Halal Menurut Islam

Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.9 Bahan makanan yang diharamkan Allah adalah bangkai, darah, babi dan hewan yang

6

www.lppommui.or.id 7

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), h.346

8

Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyiddin Misto, Pokok-pokok Ajaran Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2005), h.107

9

 ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ⌦ ⌧

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 173)

Sedangkan minuman yang diharamkan Allah adalah semua bentuk khamar (minuman beralkohol), sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-baqarah ayat 219: ☺ ☺ ☺ ⌦ ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ⌧

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ”Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ”Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 219)

Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik, terbentur, jatuh, ditanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk berhala, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 3:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu memakan hewan) yang disembelih untuk berhala . . .” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Jika hewan-hewan tersebut sempat disembelih dengan menyebut nama Allah sebelum mati, maka akan tetap halal kecuali diperuntukkan bagi berhala.

Segala sesuatu yang ada di bumi diciptakan untuk kepentingan manusia, kalaupun ada makanan tertentu yang diharamkan, hal ini ada hikmahnya dan larangan tersebut tidak lain hanya untuk manusia. Termasuk makanan dan minuman yang halal adalah:10

10

Departemen Agama RI, Pedoman Pangan Halal bagi Konsumen, Importir dan Konsumen di Indonesia, (Jakarta, Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 2000/2001), h.4

1. Bukan terdiri atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam.

2. Tidak mengandung sesuatu yang dihukumi sebagai najis menurut

ajaran Islam.

3. Tidak mengandung bahan penolong dan/atau bahan yang diharamkan menurut ajaran Islam.

4. Dalam proses pembuatan, menyimpan dan menghidangkan tidak

bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut ajaran Islam.

Al-Qardhawi menegaskan bahwa masalah makanan menurut al-Qur’an bukan masalah cabang (furu’), melainkan masalah pokok (ushul). Ayat-ayat tersebut diturunkan untuk menegakkan dan meneguhkan aqidah Islam serta menolak pandangan orang sesat. Penghalalan makanan yang diharamkan menandakan betapa kasih Allah kepada manusia. Makanan tersebut justru sangat baik untuk manusia.

Dalam Islam memelihara jiwa dan akal adalah bagian dari prinsip

dharuriyah (pokok). Oleh karena itu, segala sesuatu yang akan mencelakakan jiwa maupun akal termasuk dalam hal makanan adalah haram.

Islam adalah sebuah agama yang menjadi ideologis, sistem dan aturan hidup, kerangka berpikir, pedoman terhadap konsep dan pengembangan integritas diri, menjadi tolok ukur keabsahan suatu tindakan, serta sumber inspirasi bagi sebagian besar teori peradaban. Sebagai ideologi, Islam memiliki aturan yang lengkap dan menyeluruh, serta komprehensif dalam mengatur setiap aspek utama kehidupan manusia (syumuliatul Islam).11

Konsep Syumuliatul Islam ini makin dipertegas oleh nash Al Qur’an yang berbunyi:12

“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu merupakan musuh yang nyata bagimu.” (QS 2:168).

Syumuliatul Islam ini, oleh para pemeluknya berusaha diaplikasikan dalam tataran praktis. Salah satu contoh praktis adalah yang diterapkan dalam pola konsumsi masyarakat Muslim di Indonesia. Produk-produk yang dikonsumsi oleh umat Islam –terutama produk-produk makanan– adalah makanan yang halal. Kehalalan produk makanan tersebut dapat

11

Sa’id Hawwa, Al-Islam, (Jakarta: Al Islahy Press, 1993) h. 27 12

diketahui dari label yang tercantum di kemasan produk, yang dikenal sebagai label halal.

Temuan MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang beredarnya produk tidak halal di masyarakat, mendapat tanggapan reaktif dari konsumen berupa pemboikotan produk tersebut dengan cara tidak mau mengkonsumsi dan mengedarkan produk-produk tidak halal tersebut. Kenyataan ini membuat produsen-produsen produk makanan dalam kemasan melakukan pemberian label halal pada produk mereka (labelisasi halal). 13

Pemberian label berkaitan erat dengan pengemasan. Label merupakan bagian dari suatu produk yang menyampaikan informasi mengenai produk dan penjual. Stanton membagi label ke dalam 3 (tiga) klasifikasi yaitu:14

1. Brand Label, yaitu merek yang diberikan pada produk atau dicantumkan pada kemasan.

2. Descriptive Label, yaitu label yang memberikan informasi objektif mengenai penggunaan, konstruksi/pembuatan, perawatan/perhatian, dan kinerja produk, serta karakteristik-karakteristik lainnya yang berhubungan dengan produk.

13

Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini diakses pada tanggal 15 April 2010 dari http://www.esqmagazine.com

14

3. Grade Label, yaitu label yang mengindentifikasikan penilaian kualitas produk (product’s judged quality) dengan suatu huruf, angka, atau kata. Misal buah-buahan dalam kaleng diberi label kualitas A, B dan C.

Pengertian Halal menurut Departemen Agama yang dimuat dalam KEPMENAG RI No 518 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam.15

Proses-proses yang menyertai dalam suatu produksi makanan atau minuman, agar termasuk dalam klasifikasi halal adalah proses yang sesuai dengan standard halal yang telah ditentukan oleh agama Islam. Diantara standard-standard itu adalah:16

1. Tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi serta tidak menggunakan alkohol sebagai ingradient yang sengaja ditambahkan.

2. Daging yang digunakan berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam.

3. Semua bentuk minuman yang tidak beralkohol.

15

Ibid.

16

Departemen Agama RI, Pedoman Pangan Halal bagi Konsumen, Importir dan Konsumen di Indonesia, (Jakarta, Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 2000/2001), h.4

4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengelolaan dan tempat transportasi tidak digunakan untuk babi atau barang tidak halal lainnya, tempat tersebut harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari’at Islam.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, label didefinisikan sebagai sepotong kertas (kain, logam, kayu dan sebagainya) yang ditempelkan pada barang dan menjelaskan tentang nama barang, nama pemilik, tujuan, alamat dan sebagainya.17

Dalam buku Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal,

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang diserahkan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempatkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.18

Labelisasi halal yang secara prinsip adalah label yang menginformasikan kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa produknya benar-benar halal dan nutrisi-nutrisi yang dikandungnya tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh dikonsumsi.19

17

Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), h.301

18

Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta, 2003), h.277

19

Ahmad Haris. “Halal di kemasan Belum Tentu Halal Dimakan”. artikel ini diakses pada tanggal 17 februari 2010 dari http://www.harisahmad.com

Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran.20

Untuk memperoleh label halal dari MUI, produsen harus melalui proses sertifikasi halal terlebih dahulu. Sertifikasi halal adalah suatu proses pemeriksaan secara rinci terhadap kehalalan produk makanan, yang selanjutnya diputuskan kehalalannya dalam bentuk Fatwa MUI.21

Sertifikasi halal secara definisi dijelaskan dalam panduan untuk memperoleh sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI yaitu, fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi terkait.22

Dengan demikian Label Halal adalah label yang diberikan pada produk-produk yang telah memenuhi kriteria halal menurut agama Islam. Perusahaan-perusahaan yang telah mencantumkan produknya dengan label halal merupakan perusahaan yang telah melakukan prosesi halal pada produknya.

Mengacu pada klasifikasi label yang diberikan oleh Stanton, maka label

halal masuk dalam klasifikasi Descriptive Label yaitu label yang

menginformasikan tentang:23

a. Konstruksi atau pembuatan produk yang sesuai dengan standard halal;

20

Ibid.

21

Departemen Agama, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta, 2003, h.2 22

Ibid. h.1 23

Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini diakses pada tanggal 15 April 2010 dari http://www.esqmagazine.com

b. Ingredient atau bahan baku produk yang sesuai dengan standard halal dan;

c. Efek yang ditimbulkan (other characteristic) produk yang sesuai dengan standar halal

d. Proses Labelisasi Halal

Sebelum mencantumkan label halal pada suatu produk, produsen harus mengajukan sertifikat halal bagi produknya. Dalam mengajukan sertifikat halal, produsen terlebih dahulu disyaratkan mempersiapkan Sistem Jaminan Halal seperti diuraikan di bawah ini:24

a. Sistem Jaminan Halal (Halal Assurance System) harus

didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen perusahaan.

b. Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk Panduan Halal (Halal Manual) yang memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen, serta berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut.

c. Produsen menjabarkan Panduan Halal secara teknis dalam bentuk Prosedur Baku Pelaksanaan (Standard Operating Procedure) untuk

24

mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya tetap terjamin.

d. Baik Panduan Halal maupun Prosedur Baku Pelaksanaan yang

disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran manajemen dari tingkat direksi sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik.

e. Sistem Jaminan Halal dan pelaksanaannya dimonitor dan dievaluasi melalui sistem audit halal internal yang ditetapkan oleh perusahaan. f. Koordinasi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal dilakukan oleh Tim

Auditor Halal Internal yang mewakili seluruh bagian yang terkait dengan produksi halal yang ditetapkan oleh perusahaan. Koordinator Tim Auditor Halal Internal harus beragama Islam.

g. Penjelasan rinci tentang Sistem Jaminan Halal dapat merujuk kepada Buku Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal, yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI.

Setelah persyaratan Sistem Jaminan Halal yang produsen ajukan telah disetujui, maka produsen dapat menjalankan Prosedur Sertifikasi Halal sebagai berikut:25

25

a. Setiap produsen mendaftarkan seluruh produknya yang diproduksi dalam satu lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik pada lokasi yang berbeda yang menghasilkan produk dengan merek yang sama.

b. Setiap produsen yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal bagi produknya, harus mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir tersebut berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang digunakan dengan melampirkan:

1. Spesifikasi dan Sertifikat halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta bagan alur proses.

2. Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah (produk lokal) atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya.

3. Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaannya.

c. Tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi

produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya.

d. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat Tenaga Ahli LPPOM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.

e. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan. f. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status

kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.

g. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat halal, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan Halal. Jika kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya, Auditor Halal Internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat “ketidakberatan penggunaannya”. Bila ada perusahaan yang terkait dengan produk halal hasil dikonsultasikan dengan LPPOM MUI oleh Auditor Halal Internal.

Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen untuk memastikan apakah seluruh bahan yang digunakan dalam proses pembuatan produk memenuhi syarat yang sesuai syariah. Tata cara pemeriksaan (audit)nya adalah sebagai berikut:

1. Surat resmi akan dikirim oleh LPPOM MUI ke perusahaan yang akan diperiksa, yang memuat jadwal audit pemeriksaan dan persyaratan administrasi lainnya.

2. LPPOM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi: a.Nama ketua tim dan anggota tim

3. Pada waktu yang telah ditentukan Tim Auditor yang telah dilengkapi dengan surat tugas dan identitas diri, akan mengadakan pemeriksaan (auditing) ke perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat halal. Selama pemeriksaan berlangsung, produsen diminta bantuannya untuk memberikan informasi yang jujur dan jelas.

4. Pemeriksaan (audit) produk halal mencakup:

a.Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk.

b.Observasi lapangan dan Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang dicurigai mengandung babi atau turunannya, yang mengandung alkohol dan yang dianggap perlu.

Tabel 2.126

Bagan Proses Sertifikasi Halal

Revisi

Produsen

26

Ibid., h.11

Rencana Pengajuan Sertifikat Halal

Pemasyarakatan dan Uji Coba Manual Halal dan Prosedur Baku Pelaksanaannya

Audit Internal dan Evaluasi

Penyusunan Manual Halal dan Prosedur Baku Pelaksanaannya Rencana Sistem Jaminan Halal

LPPOM MUI Revisi Revisi Revisi Fatwa MUI Evaluasi Sertifikat Halal Audit di Lokasi Produksi Cek Sistem Jaminan Halal

Dokumen terkait