• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAGU LARASKONDA

Dalam dokumen BUKU_PLPG.SENIRUPA.pdf (Halaman 176-183)

JENIS-JENIS MUSIK DAERAH

LAGU LARASKONDA

Kawih Kepesindensn Laras : Degung

SULANJANA

Jenis : Renggong Ageng Posisi : Mandiri

Laras : Salendro Patet : Manyuro

Gerakan: Antare Embat : Lenyepan

CIKERUHAN

Laras : Salendro sanggian : NN

Surupan : 1 = Tugu

Kapan abdi gaduh suweng Naha henteu dipongpokan Kapan abdi keur baluweng Naha henteu dilongokan

Sapanjang jalan soreang Moal weleh diaspalan Sapanjang tacan kasorang Moal weleh diakalan

BARDIN

Surupan : 4 = Tugu

Jauh-jauh manggul awi Neang-neang pimerangeun Jauh-jauh neang abdi Nyiar-nyiar pimelangeun Kikinciran dina leuwi Kokojayan di muara Pipikiran asa ngimpi Rarasaan nya di mana

2. Sekar Irama Merdika

Sekar irama merdika adalah musik vokal yang biasa disajikan dengan tempo bebas yang di dalam khasanah musik tradisional Jawa Barat (karawitan) biasa

disebut dengan istilah Tembang Sunda. Istilah Tembang Sunda pada masyarakat Jawa Barat diidentikan dengan Cianjuran. Hal itu perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman di dalam memaknai istilah yang digunakan tersebut.

Berkaitan dengan penggunaan istilah Tembang Sunda di dalam khasanah musik daerah (karawitan) Jawa Barat, maka pada tahun 1962 telah diadakan musyawarah Tembang Sunda di Bandung. Musyawarah tersebut dilakukan selama dua hari dengan diikuti oleh sejumlah tokoh seni Tembang Sunda Cianjuran se-Jawa Barat. Salah satu keputusannya adalah : ―Netepkeun Istilah

Tembang Sunda pikeun sakabeh Tembang nu aya di Pasundan‖. (Wiraatmadja,

1996:48). Jadi yang dimaksud dengan istilah Tembang Sunda adalah istilah yang digunakan untuk menyebut semua jenis musik vokal di Jawa Barat (Sunda) yang tergolong kepada sekar irama merdika.

Berdasarkan kepada keputusan yang dibuat oleh para seniman Tembang Sunda pada musyawarah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa semua jenis musik vokal yang tergolong kepada sekar irama merdika disebut Tembang Sunda. Sedangkan menurut Soepandi dalam Sulastri (1981:13) mengatakan bahwa ―Tembang adalah sekar yang berembat bebas, dalam istilah lain disebut ritmis melodis atau polymetrashchematika‖. Adapun yang termasuk kepada kelompok Tembang Sunda tersebut, antara lain; Cianjuran, Cigawiran, Ciawian, Beluk, Ngaleu, Kakawen, Kepesindenan, dan sebagainya. Beberapa jenis musik vokal Tembang Sunda seperti disebutkan di atas, namanya diambil dari nama daerah di mana musik vokal tersebut berasal, misalnya; Tembang Sunda

Cianjuran adalah jenis musik vokal irama merdika (Tembang Sunda) yang

berasal dari daerah Cianjur; Cigawiran adalah Tembang Sunda yang tumbyh dan lahir dari daerah Cigawir; Ciawian adalah Tembang Sunda yang tumbuh dari daerah Ciawi Tasikmalaya. Begitupula jenis-jenis Tembang Sunda yang lainnya di Jawa Barat.

Dari sekian banyak musik vokal Tembang Sunda yang ada di Jawa Barat,

Tembang Sunda Cianjuran lebih populer dan lebih banyak dipelajari oleh

masyarakat di luar di mana musik tersebut berasal. Hingga saat sekarang ini hampir di seluruh daerah Jawa Barat berdiri grup-grup musik Tembang Sunda

Cianjuran. Sedangkan jenis Tembang Sunda yang lainnya relatif kurang diminati

Jenis Tembang Sunda yang sangat dikenal oleh masyarakat di Jawa Barat sebenarnya ada tiga jenis, yaitu; Cianjuran, Ciawian, dan Cianjuran. Ciri khas dari setiap jenis Tembang Sunda tersebut terletak pada melodi hiasan lagu yang dinyanyikan. Sebagai contoh, lagu Goyong pada Tembang Sunda Cigawiran berbeda dengan lagu Goyong pada Tembang Sunda Cianjuran; Sinom Pangrawit pada Tembang Sunda Ciawian berbeda dengan lagu Sinom Pangrawit pada Cianjuran, begitu pula dengan lagu-lagu yang lainnya.

Pada Tembang Sunda Cianjuran, Ciawian, dan Cigawiran terdapat salah satu aturan bahwa syair (Sunda = rumpaka) yang digunakan dalam menciptakan lagu harus berpedoman kepada guru lagu dan guru wilangan yang terdapat pada pupuh. Guru lagu adalah huruf vokal yang terdapat pada kata terakhir dalam setiap barisnya. Sedangkan Guru wilangan adalah jumlah suku kata pada setiap baris syair tersebut. Sebagai contoh perhatikan syair berikut di bawah ini.

PUPUH SYAIR/RUMPAKA GURU

WILANGAN

GURU LAGU

Kinanti Bu-dak leu-tik bi-sa nga-pung 8 U

Ba-ba-ku nga-pung-na peu-ting 8 I

Ku-ri-ling ka-ka-la-ya-ngan 8 A

Ne-a-ngan nu a-mis-a-mis 8 I

Sa-ru-pa-ning bu-bu-a-han 8 A

Na-on ba-e nu ka pang-gih 8 I

Dari tabel tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa sebuah lagu Tembang Sunda memiliki pola pupuh Kinanti, maka syair/rumpaka yang dibuatnya harus berpatokan kepada guru lagu dan guru wilangan di atas, yaitu; 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, dan 8i. Untuk mendapatkan kepastian tentang guru lagu dan guru wilangan pupuh lainnya, cobalah lakukan analisis seperti tersebut di atas.

4 3 5 4 5 1 2 2 2 2 2 2 A ta wa na a pal na bi wir 2 2 2 2 2 2 3 2 1 1 Bhi ne ka tung gal i ka 1 2 3 2 2 1 3 4 Mak sud na gu mu lung

4 3 2 1 1 1 5 1 2 2 2 2 2 Ka beh se ler – se ler bang sa be da – be da 3 2 2 3 4 3 2 1 1

Ta ta pi a sal sa ge tih 1 1 1 2 1 5 4 3 4 5 4 5 1 2 Be da ta pi sa a sal

Secara spesifik tentang Tembang Sunda Ciawian, Cigawiran, dan Cianjuran tersebut di atas dapat disampaikan sebagai berikut.

a. Tembang Sunda Ciawian

Disebut Tembang Sunda Ciawian karena musik vokal tersebut berasal dari Kecamatan Ciawi Tasikmalaya (daerah Indihyang). Sehingga sampai saat ini jenis musik vokal tersebut disebut dengan Ciawian.

Tembang Sunda Ciawian diciptakan sekitar pertengahan abad XX (1920/1930an). Adapun tokoh yang terkenal pada saat itu adalah Raden H. Tingting. Sepeninggal Raden H. Tingting (tahun 1974), musik vokal ini kurang begitu berkembang. Hal itu dikarenakan proses regenerasi yang dilakukan oleh Raden H. Tingting tidak berjalan dengan baik.

Lagu-lagu Tembang Sunda Ciawian kebanyakan berlaras Salendro. Syair atau rumpaka yang digunakan berpatokan kepada beberapa pupuh, yaitu;

Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula. Sehingga lagu yang

digunakan pun mengambil dari nama pupuh, kecuali Bayubud dan Pangrawit. Untuk lebih jelasnya dengarkanlah lagu berikut pada CD 1, dan pelajarilah baik-baik.

KINANTI BERENUK

Dalam dokumen BUKU_PLPG.SENIRUPA.pdf (Halaman 176-183)